Basyair Melayu Banjar juga hadir di Youtube, Kunjungi kami di https://www.youtube.com/channel/UC7DD_EHfum0_OPl-pAxI-bw dan subcribe untuk mendapatkan upload terbaru dari kami, atau Search Ketik " Syair Banjar " di Youtube

Senin, 06 Februari 2017

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 5)

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 5)


C. PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM
Ada dua pertemuan ilmiah yang pernah diadakan di kota Banjarmasin yang dapat memberi arah bagi kajian sejarah perkembangan Islam di Kalimantan Selatan. Yang pertama adalah Pra Seminar Sejarah Kalimantan Selatan yang berlangsung 23-25 September 1973 dan yang kedua adalah Seminar Sejarah Kalimantan yang berlangsung tanggal 8-10 April 1976.

Kesimpulan yang dapat disimak dari hasil seminar itu adalah :
a. Tentang masuknya agama Islam
b. Tentang cara penyebarannya
c. Tentang pengaruh bahasa Melayu sebagai alat penyebaran Agama Islam.
Masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan sebenarnya terjadi lama sebelum berdirinya Kerajaan Islam Banjar, dan diperkirakan tersebarnya agama Islam itu sekitar abad ke-14 Masehi. Dengan kata lain bahwa berdirinya Kerajaan Isam Banjar dengan raja pertama Sultan Suriansyah, tidak identik dengan masuknya agama Islam itu ke Kalimantan Selatan. Dua abad sebelum Kerajaan Banjar berdiri, disekitar Kuwin sudah terdapat pemukiman penduduk yang memeluk agama Islam. Barangkali kelompok penduduk yang dikenal sebagai Oloh Masih atau Orang Melayu yang tinggal di sekitar Kuwin telah mengenal agama Islam, atau mungkin sudah beragama Islam. Islam masuk ke Kalimantan dengan secara damai dan para pembawa atau penyebar agama itu adalah para pedagang/ulama sebagai hasil dari hubungan timbal balik antara Malaka – Johor, kemudian Pasai dan Aceh dengan Negara Daha dengan bandar Muara Bahan yang ramai saat itu dikunjungi para pedagang. Waktu itu yang Menjadi raja di Negara Daha adalah Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan sekitar abad ke- 14 Masehi. Penyebaran Islam itu lebih meluas setelah berdirinya Kerajaan Banjar yang dipimpin oleh Sultan Suriansyah sebagai raja pertama yang memeluk agama Islam. Bantuan dari Kerajaan Islam Demak dan hubungan Islam dengan pantai utara Jawa Timur Gresik, Tuban dan Surabaya mempercepat proses penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan. Raden Paku yang dikenal sebagai Sunan Giri putera Maulana Iskak pada waktu berumur 23 tahun berlayar ke pulau Kalimantan singgah di pelabuhan Banjar tempat pemukiman Oloh Masih atau Orang Melayu membawa barang dagangan dengan tiga buah kapal bersama dengan juragan Kamboja yang terkenal dengan nama Abu Hurairah. Sesampai di pelabuhan datanglah penduduk berduyun-duyun membeli barang dagangannya, dan kepada penduduk fakir miskin barang itu diberikannya dengan cuma-cuma.86 Sunan Giri juga mengirim para pelajar, saudagar, nelayan ke pulau Madura, Bawean dan Kangean, bahkan sampai ke Ternate, Haruku di Kepulauan Maluku. Bahkan salah seorang keturunan raja Daha yang bernama Raden Sekar Sungsang pergi ke Jawa dan belajar dengan Sunan Giri yang kemudian bergelar Sunan Serabut.87 Melalui jalur inilah kelak Raden Samudera dapat memperoleh bantuan dalam peperangan melawan pamannya Pangeran Tumenggung. Melalui jalur perdagangan yang ramai inilah pula Raden Samudera mengenal agama Islam itu, sehingga dengan mudah ketika persyaratan yang diajukan Sultan Demak untuk mendapatan bantuan, dengan segala senang hati Raden Samudera memeluk agama Islam. Hal ini menunjukkan bahwa da’wah Sunan Giri berhasil memperkenalkan Islam ke daerah Kalimantan Selatan, sebelum berdirinya Kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar berdiri pada 24 September 1526 dan peristiwa ini bersamaan dengan peng-Islaman raja dan para Mantri Kerajaan. Agama Islam menjadi agama resmi dalam Kerajaan Banjar, menggantikan agama Hindu sebelumnya yang juga telah menjadi agama resmi Kerajaan Negara Dipa dan Daha. Agama Islam menempati kedudukan selain sebagai keyakinan yang dipeluk oleh Orang Banjar sebagai warga Kerajaan, juga menjadi satu-satunya sumber hukum yang berlaku di seluruh kawasan Kerajaan.
86 Gusti Abdul Muis, “Masuk dan Tersebarnya Islam di Kalimantan Selatan”, Makalah pada Pra Seminar Sejarah Kalimantan, Banjarmasin, 1973, hal. 22. 87 Ahmad Basuni, op.cit., hal. 24.
Jabatan Penghulu pada masa-masa awal Kerajaan merupakan jabatan urutan ketiga dalam urutan kepangkatan, setelah Sultan dan Mangkubumi. Urutan itu berlaku pula dalam segala kegiatan resmi yang diadakan oleh Kerajaan. Tersebarnya agama Islam erat kaitannya dengan memasyarakatnya bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) antar suku di Kalimantan Selatan, karena agama Islam disebarkan dengan pengantar bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab-Melayu. Huruf Arab-Melayu ini ternyata sudah dikenal di sekitar penduduk Melayu yang disebut Oloh Masih. Surat yang dikirimkan ke Kerajaan Demak oleh Raden Samudera untuk meminta bantuan dalam memerangi pamannya Pangeran Tumenggung dari negara Daha tertulis dengan huruf Arab-Melayu dan dalam bahasa Melayu padahal saat itu Raden Samudera masih beragama Hindu. Huruf Arab-Melayu itu menjadi huruf yang dipakai dalam Kerajaan Banjar dalam setiap perjanjian dengan belanda. Undang-undang Sultan Adam 1835 juga tertulis dengan huruf Arab-Melayu dan dalam bahasa Melayu-Banjar.
Begitu pula selanjutnya para ulama yang menyusun kitab-kitab agama selalu menggunakan bahasa Melayu dengan huruf Arab-Melayu pula, sebagai contoh adalah :
a. Kitab Sabilal Muhtadin oleh Muhammad Arsyad Al Banjari selesai ditulis pada 22 April 1781.
b. Kitab Ad Durrun Nafis oleh Syekh Muhammad Nafis bin Ideris Al Banjari yang ditulis pada tahun 1785.
c. Kitab Shirathol Mustaqim yang oleh Syekh Nuruddin Ar Raniri (Aceh) ditulis sekitar permulaan abad ke- 18.
d. Kitab Tuhfat al Raghibin oleh Syekh Muhammad Al Banjari.
e. Kitab Parukunan oleh Mufti Jamaluddin ibnu Muhammad Arsyad Al Banjari Mufti Kerajaan Banjar, tanpa tahun.
f. Parukunan Basar oleh Fatimah binti H. Abdul Wahab Bugis, cucu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, tanpa tahun.
g. Kitab Hidayatusalikin oleh Syekh Abdussamad Palimbani (Palembang), teman Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sewaktu mengaji di Mekkah.
h. Kitab Sairussalikin oleh Syekh Abdussamad Palimbani 2 Jilid, tanpa tahun.
1. Perkembangan Agama Islam
Perkembangan Islam dalam abad ke- 17 menunjukkan kemajuan yang pesat. Pada waktu itu seorang yang hidup dalam Kerajaan Banjar di Martapura telah menyusun sebuah kitab ilmu tasawuf tentang Asal Kejadian Nur Muhammad yang dipengaruhi ajaran Ibnu Arabi yang termasuk aliran Wahdatul wujud. Hal ini menunjukkan bahwa dalam abad ke- 17 dalam wilayah Kerajaan Banjar sudah menunjukkan berkembangnya aliran tasawuf secara dominan sampai melahirkan seorang ulama terkemuka dibidang tersebut dan mampu mengarang sebuah kitab yang cukup berat. Kitab tasawuf itu dihadiahkan pengarangnya kepada Ratu Aceh. KH. Zafri Zamzam dalam salah satu tulisannya menyebut bahwa ulama besar itu adalah Syekh Ahmad Syamsudin Al Banjari.88 Dalam penelitian seorang orientalis R.O Winstedt yang menyebutkan dalam bukunya tentang Hikayat Nur Muhammad yang paling tua yang dijumpai di Jakarta ditulis tahun 1688 oleh seorang ulama Banjar yang bernama Sham al Din untuk Sultan Taj al Alam Syafiat al Din yang memerintah di Aceh. Memang dalam masa pemerintahannya Sulthanah Seri Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat puteri dari Sultan Iskandar Muda memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1050-1085 H / 1641-1675, seorang Ratu yang loyal terhadap ajaran-ajaran wahdatul wujud yang berkembang di sana yang semula mendapat tekanan. Dengan dikirimkannya naskah Kitab tentang Asal Kejadian Nur Muhammad itu ke Kerajaan Aceh khusus untuk Ratu Aceh hal ini menunjukkan hubungan timbal-balik yang baik dengan Kerajaan Aceh. Hal ini mungkin disebabkan oleh kegiatan-kegiatan ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani pada satu kelompok dan dari pihak penetapannya Nuruddin Ar Raniri pada pihak lainnya. Kedua Faham ini ternyata mempunyai pengaruh yang besar di dalam daerah Kerajaan Banjar. Pengaruh yang pertama dapat kita tunjukkan dengan tokoh Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari dan nanti masih terlihat pada abad ke- 18 dengan tokoh Syekh Abu Hamid Abulung.89 Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa dalam masa satu abad perkembangan Islam di Kerajaan Banjar dipengaruhi ajaran Tasawuf.
2. Pengaruh Aceh
Selama abad ke-17 terlihat bahwa perkembangan agama Islam dalam wilayah Kerajaan Banjar mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran yang berkembang di Aceh. Dengan runtuhnya Kerajaan Demak sebagai pusat da’wah Islam semasa Wali Songo, pengaruh perkembangan Kerajaan Aceh. Kegiatan para ulama dan para juru da’wah dari Kerajaan Aceh telah merambah kemana-mana termasuk dalam wilayah Kerajaan Banjar, disamping Sumatera sendiri dan Malaysia. Kedudukan Kerajaan Aceh juga menentukan, karena Aceh merupakan terminal bagi jemaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci atau bagi mereka yang kembali ke tanah air. Sebelum munculnya kapal api, para jamaah haji atau para pelajar yang akan belajar ke Tanah Suci, berdiam di Aceh beberapa lama menunggu angin baik untuk melanjutkan pelayaran, begitu pula bagi mereka yang akan pulang ke tanah air khususnya daerah bagian timur dari kepulauan Nusantara ini.
88 Zafri Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Banjarmasin, 1979.
Selama mereka berada di Aceh mereka mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat keagamaan ataupun mengikuti pengajian-pengajian, karena itu maka perkembangan pemikiran yang berkembang di Aceh mempengaruhi mereka. Karena itulah pemikiran dari Hamzah Fansuri yang mengembalikan pada ajaran tasawuf Sunni, sampai pengaruhnya ke dalam Kerajaan Banjar.
Berdasarkan perkembangan pemikiran keagamaan yang sudah mendapat pengaruh Aceh, mengalami beberapa tahap perkembangan.
a) Faham dasar keagamaan yang mewarnai pemikiran keagamaan di dalam Kerajaan Banjar adalah yang berasal dari Jawa yaitu Demak atau Giri yang hanya menyangkut prinsip-prinsip dasar sesuai dengan ajaran Ahlus Sunah wal Jamaah dalam akidah dan faham Syafiiah dalam bidang hukum disertai dengan tasawuf akhlaq. Disini tidak terlihat tanda-tanda bahwa ajaran Kejawen turut masuk ke wilayah Kerajaan Banjar.
b) Faham mistik/sufisme yang berasal dari Hamzah Fansuri sudah memasuki praktik keagamaan di dalam Kerajaan Banjar beberapa saat setelah penduduk memeluk agama Islam dan sudah ada yang berangkat ke Aceh dalam rangka menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Faham ini tampaknya dominan sebagaimana terlihat pada Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari yang ternyata sudah menggeluti persoalan tentang kejadian Nur Muhammad, salah satu prinsip dasar dari ajaran tasawuf wahdatul wujud.
c) Sebagai reaksi yang muncul di Aceh yaitu berkembangnya Faham sufisme dari Hamzah Fansuri, maka kelompok pemikiran Nuruddin Ar Raniri yang menentangnya juga mendapat simpati dari rakyat Kerajaan Banjar.
Nuruddin Ar Raniri lebih menekan pada faham Sunni dengan titik berat pada pengembangan hukum fiqih menurut mazhab Syafei. Kepedulian terhadap Faham Sunni dengan mazhab Syafei ini terbukti dengan dipergunakannya secara luas kitab “Sirathol Mustaqim” sebagai kitab pegangan di kalangan masyarakat dalam wilayah Kerajaan Banjar. Mengenai persoalan yang disebutkan terakhir dapat kita lihat dari apa yang diungkapkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari berkenaan dengan keberadaan Kitab Shirathol Mustaqim dalam masyarakat Kalimantan Selatan pada masa sebelum beliau. Disebutkan : “Bahwa kitab yang dikarang oleh seorang yang alim Syekh Nurruddin Raniri yang bernama As Shirathol Mustaqim yang berbicara tentang ilmu fiqih dalam mazhab Syafii adalah kitab yang terbaik dalam bahasa Melayu.
89 Abdurrahman, “Studi Tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835: Suatu Tinjauan Tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan Abad ke-19”, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam, Banjarmasin, 1989.
Karena uraiannya terambil dari beberapa buah kitab fiqih yang terkenal dan lagi dicantumkan beberapa buah nas dan dalil. Karena itu, kitab tersebut banyak memberi manfaat kepada kaum muslimin dan dapat pula diterima oleh kaum muslimin dengan baik. Mudah-mudahan Allah selalu memberikan ganjaran pahala kepada penulisnya, pahala yang berlifat ganda dan memberikan tempat yang tinggi di dalam surga Firdaus diakhirat kelak. Kendatipun demikian bahasa yang dibawakan dalam Kitab itu banyak yang kurang jelas, sehingga menyulitkan bagi orang yang ingin mempelajarinya, karena bercampur dengan bahasa Aceh, bahasa yang tidak dimengerti oleh bukan yang bukan Aceh. Disamping itu pula beberapa tempat terdapat perubahan, sehingga berubah dari teks aslinya di ganti dengan kata-kata lain, dan pada tempat lain terdapat pula katakata yang hilang atau kurang. Ini semua mungkin karena ulahnya orang yang menyalin kurang menguasai masalahnya, karena itu tidak heran terdapat adanya perbedaan-perbedaan pada setiap naskah pada segi bahasa sehingga rusaklah susunan kalimatnya. Sedang naskah yang asli yang disandarkan kepada pengarangnya hampir tidak ditemukan lagi, sehingga sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah, melainkan orang yang mengetahui adalah orang yang menguasai ilmu fiqih. Sedang orang yang betul-betul yang menguasai ilmu fiqih tidak ditemukan di negeri ini pada masa ini, karena kurangnya perhatian, merosotnya pengetahuan dan pikiran orang yang bersimpang siur” Kutipan ini menggambarkan cukup akrabnya rakyat Kalimantan Selatan dengan Kitab karya Ar Raniri, hanya saja karena perkembangan masyarakat naskah yang disebarluaskan melalui salin menyalin menjadi cacat sedangkan mereka yang mengkaji masalah tersebut sudah tidak ada lagi. Uraian yang dikemukakan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari tersebut di atas sedikit banyaknya memberikan gambaran kepada kita mengenai perkembangan hukum Islam pada masa awal dan pertengahan abad ke-18 sebagai uraian yang paling otentik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian tersebut kami menarik lima kesimpulan yaitu :
1. Kitab Ash Shirathol Mustaqim karangan Syekh Nurruddin Ar Raniri masih tetap dipakai sebagai referensi dalam bidang hukum Islam walaupun banyak masyarakat Banjar yang masih sulit memahami kitab tersebut mengingat di dalamnya banyak terdapat kata-kata sulit yang diambil dari bahasa Aceh.
2. Penyebaran kitab tersebut dalam masyarakat Banjar dilakukan melalui penyalinan sedangkan naskah asli yang semula berasal dari Syekh Nuruddin Ar Raniri sudah tidak bisa ditemukan lagi, artinya tidak ada lagi orang/ulama yang masih menyimpan naskah dari Kitab tersebut.
3. Naskah kitab Shirathol Mustaqim yang beredar dalam masyarakat pada waktu itu berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya sebagai akibat dari perbedaan dalam penyalinan dimana ada kata-kata yang hilang dan kalimat menjadi rusak, sehingga menimbulkan kesulitan dalam memahaminya.
4. Penyalin-penyalin naskah Kitab Ash Shirathol Mustaqim adalah kebanyakan orang yang kurang mengetahui masalah fiqih sehingga penyalinan dilakukan dengan cara semaunya. Hal ini menunjukkan bahwa penanganan hukum Islam terutama dalam rangka penyebarannya banyak dilakukan oleh orang yang bukan ahlinya lagi karena orang yang ahli sudah tidak ada lagi. Pada saat ini menurut Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sulit mencari orang yang betul-betul menguasai ilmu fiqih dalam masyarakat Kerajaan Banjar. Hal ini menunjukkan adanya kemunduran dalam perkembangan hukum Islam dibandingkan dengan masa sebelumnya.
5. Terjadinya kemunduran dalam perkembangan hukum Islam pada masa ini adalah karena kurangnya perhatian orang terhadap bidang tersebut. Hal ini mungkin disebabkan karena semakin meningkatnya perhatian orang terhadap bidang tasawuf yang dalam banyak hal sangat mengabaikan ketentuan-ketentuan hukum. Selain itu kemunduran ini disebabkan karena memang gejala umum dan adanya pemikiran yang bersimpang siur.90Menghadapi perkembangan hukum Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana digambarkan di atas peranan dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (Lahir 15 Safar 1122 H/19 Maret 1710 M dan wafat 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812) sebagai ulama dan ahli hukum Islam di daerah ini. Melalui jasa beliau telah dilakukan pengembangan kembali hukum Islam baik melalui penulisan kitab dan risalah agama, da’wah dan pendidikan agama dan pencetakan kader yang akan mengembangkan pelaksanaan hukum-hukum Islam.
3. Tokoh-tokoh Ulama Sufi yang Hidup di Kerajaan Banjar
Satu hal yang menarik dalam perkembangan agama Islam dalam Kerajaan Banjar adalah menyangkut perkembangan tasawuf sebagai dimensi mistis dari ajaran Islam yang cukup dominan mempengaruhi hidup keagamaan di daerah kerajaan ini.
Tokoh-tokoh sufi itu adalah :
a. Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari
Riwayat tokoh ulama sufi ini tidak banyak diketahui, hanya yang diketahui bahwa ulama ini adalah seorang Banjar yang tinggal di ibu kota kerajaan Martapura. Ulama inilah yang menulis tentang Asal Kejadian Nur Muhammad dan menghadiahkannya untuk Ratu Aceh Sulthanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat (164101675 M). Kalau ulama ini sewaktu menulis naskah itu berumur sekitar 50 tahun, maka dapat diperkirakan, ulama ini lahir sekitar tahun 1618. Ulama ini hidup pada masa pemerintahan Pangeran Tapesana (Adipati Halid) sebagai wali raja, karena putera mahkota Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa.
90 Abdurrahman, ibid., hal. 74-75.
Pangeran Tapesana menjabat sebagai Mangkubumi kerajaan. Naskah itu ditulis pada tahun 1668 dan pernah ditemukan oleh seorang orientalis R.O. Winestedt di Jakarta.
b. Syekh Muhammad Nafis Bin Idris Al Banjari
Syekh Muhammad Nafis terkenal karena karya beliau Ad Durrun Nafis sebuah kitab tasuf minimal di kawasan Asia Tenggara. Tetapi siapa Syekh Muhammad Nafis ini, sulit diketahui siapa sebenarnya tokoh ini. Beberapa penulis sejarah berbeda pendapat tentang tokoh ini. Diantara pendapat itu adalah : Amir Hasan Kiai Bondan, mengatakan bahwa Syekh Mohammad Nafis itu adalah Pangeran Haji Musa bin Pangeran Muhammad Nafis, cucu dari Ratu Anum Kusumayuda, seorang bangsawan Banjar.91 H. Gusti Abdul Muis mengatakan bahwa Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari, dilahirkan di salah satu desa di Martapura dari keluarga bangsawan Kerajaan Banjar. Pendapat lain mengatakan bahwa Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari lahir di Martapura dari keluarga Kerajaan Banjar, beliau hidup semasa dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Syekh Abdul Hamid Abulung. Beliau memperoleh pendidikan di Mekkah, selama di Mekkah itulah beliau menulis kitab Ad Durrun Nafis. Syekh Muhammad Nafis dikuburkan di Desa Binturu Kelua, tetapi sebagian mengatakan kuburnya di Lasung, Kecamatan Kusan Hulu. Syekh Muhammad Nafis mengarahkan da’wahnya di daerah Kelua dan sekitarnya pada abad ke- 18 dan 19 dan Kelua saat itu merupakan pusat penyiaran Islam di bagian utara dari Kerajaan Banjar.92 Dalam kitabnya Ad Durrun Nafis, beliau tidak banyak menjelaskan tentang siapa beliau sendiri. Hanya dapat diketahui bahwa dalam beberapa penerbitan tentang kitab beliau, tertulis dengan jelas nama beliau ialah Syekh Muhammad Nafis Bin Ideris Bin Husein Al Banjari. Dalam kitab Ad Durrun Nafis disebutkan bahwa : “Dan yang menghimpun risalah ini hamba faqir lagi hina mengaku dengan dosa dan taqahir, lagi yang mengharapkan kepada Tuhannya yang amat kuasa, yaitu yang terlebih faqir dari pada segala hamba Allah Taala yang menjadikan segala makhluk, yaitu Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein, dinegeri Banjar tempat jadi, dan dinegeri Mekkah tempat diamnya, Syafei akan mazhabnya yaitu pada fiqih, A’syari i’tiqadnya yaitu pada ushuluddin, Junaid ikutannya, yaitu pada ilmu tasawuf, Qadiriyah thariqatnya, Syathariyah pakaiannya, Naqsyabandiyah amalannya, Khalwatiyah pakaiannya, Samaniyah minumannya”.
91 Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Fadjar, Banjarmasin, 1953, hal. 175. 92 A. Gazali Usman, Urang Banjar Dalam Sejarah, Lambung Mangkurat University Press, Banjarmasin, 1989, hal. 60.
Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari mendapat gelar kehormatan dengan “Maulana Al Allamah Al Fahamah al Mursyid ila Thariqis Salamah”. Beliau semasa hidup bersahabat dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pengarang kitab Sabilal Muhtadin. Syekh Muhammad Nafis seorang sufi di zamannya namun beliau adalah orang yang tidak suka meninggikan diri; ini ternyata dalam tulisannya yang mengakui diri, “seorang faqir yang hina, semiskin-miskin hamba Allah”. Syekh Muhammad Nafis berusaha membersihkan diri zahirnya dan batinnya dengan rajin mengamalkan sekalian thariqat yang telah disebutkannya.
Pengetahuan kesufian itu dia peroleh dengan berguru kepada banyak tokoh sufi, diantaranya :
a. Syekh Abdullah bin Hijaz As Syarqawi
b. Syekh Shiddiq bin Umar Khan
c. Syekh Muhammad bin Abdul Karim Saman al Madani
d. Syekh Abdul Rahman bin Abdul Azis al Maghribi
e. Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari.
Setelah beliau diakui oleh semua gurunya bahwa dia diperbolehkan mengajar ilmu-ilmu batin dengan beberapa thariqat yang telah dianggap beliau “Syekh Muursyid”nya maka berusahalah Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari mengajak manusia mentauhidkan Allah.93 Syekh Muhammad Nafis diperkirakan lahir pada tahun 1160 H atau 1735 M yaitu hidup pada masa pemerintahan Kerajaan Banjar yang dijabat oleh Sultan Tamjidillah, Sultan Tahmidillah dan Sultan Suleman. Setelah memperoleh pendidikan di daerahnya dia melanjutkan pendidikan di Mekkah al Mukarramah. Pada waktu di Mekkah itulah atas permintaan beberapa sahabatnya ia menulis kitab Ad Durrun Nafis pada tahun 1200 H atau 1782 M. Setelah itu beliau kembali ke Martapura dan menyampaikan da’wahnya di tengah-tengah masyarakat warga Kerajaan Banjar. Dalam aktivitas da’wahnya dia banyak menjalankan pengajian ke daerah terpencil yang mempunyai kedudukan strategis dalam perkembangan Islam, tetapi yang terbanyak waktu yang disediakannya adalah didaerah Kelua. Beliau meninggal dan dikuburkan di Haurgading, kampung Takulat, dan sekarang menjadi Desa Binturu Kecamatan Kelua. Karyanya yang paling monumental dan dikenal luas di Asia Tenggara adalah kitab yang judul lengkapnya berbunyi : Ad Durrun Nafis Fi Bayani Wahdatil Af’al Wa Asma Wa Sifati Wa Zati Taqidisi, yang artinya Permata yang Indah yang Menjelaskan tentang Keesaan Af’al, Asma, Sifat dan Zat Yang Maha Suci, yang dikalangan masyarakat luas dikenal dengan kitab Ad Durrun Nafis.
93 Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Al Ikhlas, Surabaya, 1980, hal. 109; Abdurrahman, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam Masyarakat Banjar”, dalam Majalah Kalimantan Scientiae, Universitas Lambung Mangkurat No. 18 Tahun VIII, 1989, hal. 9.
Kitab ini sampai sekarang banyak dipergunakan sebagai kitab yang dipelajari masyarakat untuk bidang ilmu tasawuf. Menurut Ensiklopedia Islam, naskah asli dari Ad Durrun Nafis sampai sekarang belum ditemukan. Yang tertua dari penertiban kitab ini diterbitkan pada tahun 1313 H yang dicetak oleh Mathba’ah al Karim al Islamiyah di Mekkah. Pada terbitan tahun 1323 H termuat pada tepi Kitab Hidayat al Salikin fi suluki Maslaki al Muttaqien karangan Syekh Abdussamad al Palimbani. Pada tahun 1343 diterbitkan oleh percetakan Mustafa Babi al Halabi wa Auladihi di Mesir dan pada tahun 1347 H dicetak oleh Dar al Taba’ah al Mishriyah juga di Mesir. Setelah itu terus menerus dicetak di Singapura dan terakhir di Surabaya. Syekh Ahmad bin Muhammad Zain bin Mustafa al Fatami yang melakukan pentashihan kitab Ad Durrun Nafis untuk diterbitkan tidak pernah mendapatkan naskah aslinya sehingga ia memandang perlu untuk mencantumkan keterangan pada halaman sampul kitab ad Durrun Nafis yang berbunyi : “Ketahui olehmu hal yang waqif atas kitab ini bahwanya segala naskah kitab ini sangatlah bersalahan setengah dengan setengahnya. Dan tiada hamba ketahui mana-mana yang mufakat dengan asal naskah mualifnya. Maka hamba ikutkan pada naskah yang hamba cap ini akan barang yang terlebih elok dan munasabah. Dan tiada kurangkan dari pada salah satu dari pada beberapa naskah itu akan sesuatu karen ihtiath, wallahualam”.94Kitab Ad Durrun Nafis ditulis dalam “bahasa Jawi”, yaitu bahasa Melayu dengan huruf Arab-Melayu. Maksud utama kitab ini ditulis dalam bahasa Jawi agar dapat berguna bagi mereka yang tidak memahami bahasa Arab. Dalam kitab ini tidak ditemukan kata-kata dalam bahasa Banjar, berbeda dengan kitab Sabilal Muhtadin karangan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang banyak ditemukan kata-kata dalam bahasa Banjar. Kitab ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarangnya berisi ajaran tasawuf yang tinggi, dan mengandung rahasia yang amat halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian kecuali ulama yang rasikh. Kitab ini dikenal sebagai kitab yang amat padat dan kadang-kadang pelik dan sulit dalam ilmu tauhid yang teranyam dengan ilmu tasawuf. Dalam Ensiklopedia Islam disebutkan bahwa kitab Ad Durrun Nafis mengandung ajaran-ajaran tasawuf sunni. Muhammad Nafis berusaha memperluas konsep Wahdat al Syuhud dewahdat al wujud yang diambil dari ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya seperti Abdu al Karim al Jilli, Abdu al Ghani al Nablusi dan Abdullah bin Iberahim Hirghani. Oleh karena itu disatu pihak ia membawakan konsep tasawuf sunni dan di pihak lain ia membawakan konsep tasawuf wahdat al wujud dalam sikap yang mendua.
94 Hawash Abdullah, ibid., hal. 112.
c. Syekh Abdul Hamid Abulung
Tidak banyak diketahui tentang kapan dia lahir, tetapi yang jelas masa hidupnya adalah semasa dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Syekh Mohammad Nafis. Syekh Abdul Hamid membawa ajaran tasawuf yang tidak umum di daerah ini. Kalau syekh Mohammad Nafis membawa ajaran-ajaran dari aliran Wahdatul Wujud yang dipelopori Ibnu Arabi, tetapi ajaran itu disublimasikannya dengan ajaran tauhid, karena itulah bagi orang awam sulit untuk dapat memahaminya. Ajaran Wahdatul Wujud dibawa ke Kalimantan oleh Syekh Abdul Hamid, seorang ahli tasawuf yang terkenal dengan ajarannya. Syekh Abdul Hamid berkata : “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, Tiada aku melainkan Dia, Dialah Aku, Dan aku adalah Dia”. Dalam pelajaran Syekh Abdul Hamid juga diajarkan bahwa syariat yang diajarkan selama ini adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat. Ajaran ini pula merupakan hasil pengaruh ajaran Abi Yazid al Bisthomi (874 M), Husein bin Mansur Al Halaj (858-922) yang kemudian masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin dari Sumatera dan Syekh Siti Jenar dari Jawa.95Ajaran Syekh Abdul Hamid ini mendapat tantangan yang keras dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pada masa pemerintahan Sultan Tahmidillah, dimana beliau mengeluarkan fatwa bahwa ajaran tersebut sesat. Dengan dasar fatwa ini Sultan Tahmidillah memerintahkan hukum bunuh atas Syekh Abdul Hamid Abulung.96Untuk mempertahankan Faham Ahlussunnah dari ajaran Wahdani Wujud yang dinyatakan sebagai faham sesat, Sultan Adam Al Wasik Billah (1825-1857) mengeluarkan Undang-Undang yang dikenal sebagai Undang Undang Sultan Adam (1835). Pasal 1 dari Undang-Undang itu berbunya sebagai berikut : “Adapun perkara yang pertama aku suruhkan sekalian ra’yatku laki-laki dan bini-bini ber’itikat ahlul sunnah wal-jamaat dan jangan seorang juapun yang ber’itikat ahlal-bidaat, maka barangsiapa yang ber’itikat lain dari pada ahlal sunat wal-jama’at kusuruh bapadah kepada Hakimnya, dan Hakim itu menobatkan dan mengajari ‘itikat yang betul. Lamun enggan inya dari pada tobat, bapadah Hakim itu lawan diaku”.
95 M. Laily Mansyur, Kitab Ad-Durun Nafis: Tinjauan Atas Suatu Ajaran Tasawuf, Hasanu, Banjarmasin, 1982, hal. 4. 96 M. Laily Mansyur, loc.cit.
Dengan demikian di Kerajaan Banjar yang paling banyak pengikutnya adalah Tasawuf Sunni (Tasawuf ahlus sunnah wal Jamaah) meskipun Tasawuf Wahdatul Wujud pernah juga berpengaruh didaerah ini. Tasawuf Sunni adalah tasawuf yang mengajarkan tentang kebersihan diri rohani dan jasmani dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Dasar utama tasawuf Sunni adalah Al Qur’an dan al Hadits dan di dalam amaliyahnya berpedoman kepada amaliyah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in. Salah satu pokok ajarannya ialah bahwa Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Asy’ari dan Maturidi, dimana dibedakan secara tegas antara Khaliq dan mahluk. Tauhid, Fiqih dan Tasawuf adalah tiga aspek dari ajaran Islam yang tidak terpisah dan saling menguatkan antara satu dengan lainnya secara harmonis dan diamalkan secara terpadu. Faham Wahdatul Wujud atau serba Tuhan (pantheisme) ialah Faham yang menganggap bahwa manusia dan dunia atau manusia dan Tuhan itu menjadi satu, tidak terpisah dalam kehidupan rohani yang tinggi (fana). Banyaklah ucapan-ucapan yang ekstrem seperti : ‘ainul jama’ (menjadi satu dengan Dia) seperti yang selalu dikhotbahkan oleh Abu Yasid al Bisthomi, dan kata-kaa hulul (Tuhan turun ke dalam diri manusia) yang diajarkan dan dipertahankan oleh Husein bin Mansyur Al Hallaj). Prinsip pokok falsafahnya seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi : “Maha Suci Tuhan Yang Menciptakan segala sesuatu, yang Dia sendiri adalah zat sesuatu itu”, merupakan prinsip kesatuan wujud. Faham Wahdatul Wujud Ibnu Arabi sampai kepada kesimpulan Faham “Wihdatul Adyan”. yakni bahwa “Dia adalah sesuatu yang disembah adalah salah satu dari tempat Tuhan menyingkapkan Dirinya. Inilah yang dimaksudkan Ibnu Arabi dengan agama cinta, agama universal atau jiwa agama besar.97Kalau Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari, riwayat hidupnya dan bahkan makamnya tidak diketahui, sedangkan Syekh Muhammad Nafis makamnya sempat diragukan tempatnya, maka makam Syekh Abdul Hamid Abulung makamnya jelas tempatnya. Beliau dimakamkan di desa Abulung-Sungai Batang Martapura-Kabupaten Banjar.
97 Gusti Abdul Muis, “Tasawuf Sunni”, Makalah Seminar Pengajian Tasawuf di Kalimantan, Banjarmasin, 1985.
d. Datu Sanggul
Tokoh sufi yang keempat yang pernah hidup dalam masa Kerajaan Banjar adalah Datu Sanggul. Datu Sanggul adalah nama panggilan sedangkan nama sebenarnya tidak diketahui dengan jelas. Menurut penuturan beberapa tetua dari desa Tatakan (Kecamatan Tapin Selatan-Kabupaten Tapin), bahwa Datu Sanggul itu adalah seorang pendatang dari Palembang dan nama sebenarnya adalah Abdussamad. Beliau datang ke Tatakan yang waktu itu dalam wilayah Kerajaan Banjar untuk berguru kepada seorang tokoh yang berilmu tinggi Datu Suban di Muning. Menurut pengetahuan orang kampung saat itu bahwa Datu Sanggul itu adalah orang biasa, tidak diketahui mempunyai ilmu pengetahuan. Pada masa itu yaitu masa Kerajaan Banjar, agama Islam adalah agama resmi kerajaan dan karena itu pula bagi mereka yang ketahuan tidak menjalankan Shalat dijatuhi hukuman, khususnya pada Shalat Jum’at. Menurut kesaksian masyarakat yang dapat dipercaya bahwa setiap hari Jumat, Abdussamad tidak pernah berShalat ke masjid. Karena terlalu sering tidak ke masjid Shalat Jumat, sampai akhirnya benda berharga yang dapat dijadikan hukuman denda hanya tinggal satu-satunya yang sangat disayangi ialah kapak. Masyarakat setempat baru mengetahui bahwa Abdussamad seorang tokoh yang berilmu tinggi ialah ketika Abdussamad meninggal, yang saat itu dikunjungi oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Pada waktu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menuntut ilmu di Mekkah al Mukarramah, setiap hari Jumat beliau berjumpa dengan Abdussamad ini dan bersama-sama menjalankan Shalat Jumat di sisi Baitullah. Setelah selesai Shalat Jumat, beliau kembali ke Tatakan. Untuk kebenaran Abdussamad yang berasal dari Tatakan ini, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari meminta agar pada hari Jumat yang akan datang dibawakan buah mangga yang ada di halaman istana kerajaan yang memang dahulu ditanam oleh beliau. Pada hari Jumat berikutnya, buah mangga yang masih kelihatan getahnya karena baru dipetik, dibawakan oleh Abdussamad, dan pada hari itu pula orang di istana ribut karena buah mangga yang paling besar sudah dipetik orang dan bahkan getahnya masih menetes. Demikian salah satu cerita yang berkembang luas di daerah Kabupaten Banjar tentang tokoh Datu Sanggul ini. Cerita yang juga menarik tentang tokoh ini adalah dialog beliau tentang ilmu tinggi tersebut dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang ditulis dalam sebuah kitab. Dialog itu diakhiri dengan dibaginya kitab itu dan dipotong miring itu. Kitab itu dikenal sebagai Kitab Barencong.98
98 Abdurrahman, Sejarah…, op. cit.
Sebagai sumber sejarah cerita seperti ini besar sekali artinya dan harus dikaji lebih mendalam dengan memperbandingkan dengan sumber-sumber lain dan dengan multi analisa untuk dapat memahami apa sebenarnya yang terjadi dibalik cerita itu. Tetapi yang jelas Datu Sanggul adalah tokoh seorang sufi yang pernah hidup dalam Kerajaan Banjar sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
4. Faham Ahlussunah Waljamaah di Kerajaan Banjar
Secara umum yang dimaksud dengan Faham ahlussunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang mengamalkan apa yang telah diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Orang-orang yang mengamalkan segala ajaran Nabi Besar Muhammad saw disebut ahlussunah karena mereka berpegang teguh dan mengikuti sunnah Nabi saw. Mereka juga disebut al Jama’ah karena bersatu di atas alhaq atau kebenarannya. Mereka tidak berselisih dalam agama. Mereka berkumpul pada imam al haq dan mereka juga mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para salaf. Para salaf adalah generasi pertama dari umat Islam, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam kebenaran. Mereka adalah tiga generasi yang mendapat kemuliaan. Karena mereka mengikuti sunnah Rasullullah saw dan jejak para salaf (atsar) maka mereka disebut ahlul hadist, ahlul atsar, dan ahlul ittiba’ (orang yang mengikuti sunah. Mereka juga disebut Al Tha’fah Al Manshurah (Kelompok yang dimenangkan Allah dan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat).99 Kaum Ahlussunah wal Jamaah ialah kaum yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat beliau. I’tiqat yang dianut oleh Nabi Muhammad saw dan sahabat-sahabat beliau. I’tiqad Nabi dan Sahabat-sahabat itu telah termaktub dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama Ushuluddin yang besar, yaitu Syekh Abu Hasan Ali al Asy’ari yang lahir di Basrah tahun 260 H dan wafat di Basrah pula tahun 324 H dalam usia 64 tahun. Rumusan yang hampir sama adalah rumusan yang dilakukan oleh Abu Mansur al Maturidi yang wafatnya di Maturidi Samarkand, Asia Tengah dalam tahun 33 H, 9 tahun setelah Imam Abu Hasan Asy’ari wafat. Karena itulah apabila disebut kaum Ahlussunah wal Jamaah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti faham Asy’ari dan faham Abu Manshur al Maturidi.100 Dalam bidang fiqih pendekatannya adalah mengikuti salah satu dari Imam yang empat, yaitu Imam Syafei, Maliki, Hambali dan Imam Hanafi. Seangkan dalam bidang Tasawuf sesuai dengan ajaran Imam al Junaidi al Bagdadi dan Imam Al Ghazali.
99 Nashir Abdul Karim Al-Aql, Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunah wal Jamaah, Gema Insani Press, Jakarta, 1992, hal.9. 100 Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1984, hal. 17.
Secara umum disebut sebagai Kaum Sunni, kependekan dari Ahlussunah wal Jamaah, orang-orangnya di sebut Sunniyan. Pada masa Kerajaan Banjar i’tiqad Ahlussunah wal Jamaah merupakan i’tiqad yang dipegang teguh dan dikukuhkan kemudian dalam Undang-undang Sultan Adam, seperti yang tertera dalam Perkara pertama dari undang-undang itu : “Adapun perkara yang pertama aku suruhkan sekalian ra’yatku laki-laki dan bini-bini beratikat ahlal sunat waljamaat dan jangan ada seorang ber’itiqad lain dari i’tiqad ahlal sunat waljamaah kusuruh bapadah kapada hakimnya dan hakim itu mamariksa lamun banar salah i’tiqad yang betul lamun anggan inya dari pada tobat bapadah hakim itu kayah diaku”. Pasal ini jelas sekali ketetapannya bahwa bagi setiap penduduk dalam wilayah Kerajaan Banjar laki-laki atau perempuan untuk berpegang pada i’tiqad Ahlussunah wal Jammah. I’tiqad ini adalah ajaran atau faham yang dirumuskan oleh Imam Abu Hasan al Asy’ari dan Imam Abu Mansur al Maturidi. Dalam bidang syariat jelas Kerajaan Banjar berpegang pada Mazhab Imam Syafei. Jadi Ahlussunah wal Jamaah yang menjadi pegangan dalam masa Kerajaan Banjar adalah i’itiqadnya menurut rumusan Hasan al Asy’ari dan Abu Musa al Maturidi, sedangkan dalam bidang fiqih atau bidang syariat berpegang pada mazhab Imam Syafei. Hal ini terlihat dalam ketegaran hukum yang diberlakukan bagi rakyat dalam wilayah Kerajaan, dalam perkara lima dari Undang-undang Sultan Adam : “Tiada kuberikan sekalian orang menikahkan perempuan dengan taklik kepada majahab yang lain daripada yang majahab Syafei maka siapa yang sangat bahajatkan bataklid pada menikahkan perempuan itu bapadah kayah diaku dahulu”. Undang-undang ini sangat tegas melarang menikahkan perempuan bermazhab lain selain mazhab Syafei. Mazhab Syafei merupakan mazhab kerajaan, dan semua ketetapan hukum harus berdasarkan mazhab Syafei tersebut.
5. Riwayat Hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Dari kurun waktu masa hidup beliau sebagaimana tercatat pada berbagai riwayat hidup kita dapat membaginya dalam tiga babakan :
a. Masa kecil dan menuntut ilmu di kampung halaman selama kurang lebih 30 tahun. Pada masa ini masih belum ada karya beliau yang dapat ditonjolkan baik bagi perkembangan agama Islam pada umumnya dan perkembangan hukum Islam pada khususnya. Sebagian besar hidup beliau dilakukan di lingkungan istana.
b. Masa menuntut ilmu ditanah suci (Mekkah dan Madinah) kurang lebih 35 tahun lebih banyak berupa usaha pendalaman dan pengkajian berbagai bidang ilmu termasuk ilmu hukum Islam. Sekalipun beliau berada di tanah suci hubungan dengan daerah rupanya tidak pernah putus seperti umpanya terbukti dengan diskusi beliau kepada guru-gurunya mengenai masalah sembahyang Jumat dan pungutan pajak yang dilakukan oleh Sultan. Namun sayangnya data mengenai hal tersebut tidak pernah diketemukan lagi.
c. Masa penerapan ilmu yang mencakup tidak kurang dari 40 tahun (perhitungan tahun umumnya dilakukan orang menurut tahun hijrah) sebagai masa yang mempunyai pengaruh besar bagi perkembangan hukum Islam didaerah ini.
101Beliau dilahirkan dari seorang ayah Abdullah dan ibu Siti Aminah di desa Lok Gabang, sebuah desa dalam wilayah kerajaan Banjar, 12 km dari Martapura pada tahun 1710 M, atau 15 Safar 1122 H., pada masa pemerintahan Sultan Hamidullah (1700-1734) yang bergelar Sultan Kuning. Karena budi pekertinya yang baik dan menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya, beliau dipelihara oleh Sultan sebagai anak angkat. Oleh Sultan, Mohammad Arsyad dikirim ke Mekkah untuk memperdalam pengetahuan agama, dan belajar di sana selama 35 tahun lamanya. 102Menurut Shaghir Abdullah bahwa Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah keturunan dari Sultan Sulu-Mindanau di Philipina Abu Bakar Balewa yang melarikan diri karena berperang dengan Portugis. Informasi ini diperoleh Shagir Abdullah dari salah seorang keturunan Syekh Muhammad Arsyad sendiri. Dalam buku Saqhir Abdullah pula dapat kita peroleh informasi yang berbeda yang dikutipnya dari Kitab Al Iqdul Farid min Jawahirul Asanid karya Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al Fadani al Makki yang mengatakan bahwa Syekh Muhammad Arsyad mempunyai ayah yang bernama Abdus Shamad Al Banjari.103Riwayat hidup Syekh Muhammad Arsyad berkembang dari mulut kemulut yang kemudian oleh keturunan beliau ditulis beberapa manakib yang pada mulanya tidak dipublikasikan. Manakib seperti ini pernah ditulis oleh Al’alimul Fadhil H. Muhammad As’ad Khatib bin Alimul Alamah Pangeran H. Ahmad Mufti bin Syekh Muhammad Arsyad. Biografi pertama yang pernah diterbitkan adalah karya yang ditulis oleh buyut beliau sendiri : Syekh H. Abdurrahman Shiddiq (1857-1939) yang pernah menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri yang berjudul “Risalah Sajaratul Arsyadiah”. Dalam buku Shagir Abdullah yang memperoleh informasi dari tuan Guru Mufti H. Abdurrahman Shiddiq bahwa ayah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari bernama Abdullah berasal dari keturunan Syayid Abu Bakar yang berasal dari Palembang yang kemudian pindah ke Johor.
101 Abdurrahman, Sejarah..., op.cit. 102 A. Gazali Usman, op.cit., hal. 56.
Syayid Abu Bakar ini kemudian menyebarkan agama Islam di Brunei Darussalam, Sabah dan Kepulauan Sulu Philipinan Selatan. Adapun Abdullah orang tua Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sebelum pindah ke Kerajaan Banjar pernah terlibat dalam beberapa kali peperangan yang disifatkan sebagai jihad fisabilillah melawan pihak penjajah Belanda dan Spanyol pada kejadian di banyak tempat.104 Risalah Sajaratul Arsyadiah ini ditulis pada tahun 1349 H (1930 M) dan baru selesai pada tahun 1350 H (1931) tetapi baru diterbitkan di Singapura pada tahun 1937. Dalam buku yang terdiri atas 103 halaman ini diceritakan tentang kapan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dilahirkan, masa kanak-kanaknya, kemudian dikirim Sultan ke Mekkah al Mukarramah untuk belajar, kembali ke tanah air dan mengajar sampai meninggal dunia. Kitab ini sekarang dianggap sebagai satu-satunya sumber sekunder dari riwayat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang dapat dipegangi, meskipun mengenai perhitungan tahun perlu dikaji lebih lanjut. Syekh Muhammad Arsyad berada di tanah suci selama 35 tahun, yaitu 30 tahun di Mekkah al Mukarramah dan 5 tahun di Madinah. Selama di tanah suci beliau berteman dengan beberapa orang yang kemudian menjadi ulama besar antara lain Syekh Abdus Samad Palembani, Abdurrahman Masri dan Abdul Wahab Bugis. Diantara guru-guru beliau selama mengaji di Mekkah dan Madinah ialah Syekh Athoullah ulama lulusan Al Azhar Mesir, Syekh Muhammad Abdul Karim Saman al Madani seorang ahli tasawuf dan Syekh Suleman Kurdi. Selama di Mekkah neliau sempat pula mengajar di Masjidil Haram Mekkah, suatu hal yang jarang terjadi bagi seorang ulama Indonesia. Diantara guru-guru beliau selama di Mekkah adalah : “Alimul 'Alamah Syekh ‘Athaillah, yang memberi izin untuk mengajar dan memberi fatwa di Masjid al Haram. Selama beliau mengajar di Masjidil Haram, terdapat seorang muridnya dari mahluk golongan jin Islam yang namanya Al Badakut al Ina. Karena setianya Al Badakut al Mina mengikuti Syekh Muhammad Arsyad ketika beliau kembali ke Martapura, Kerajaan Banjar. Masyarakat Martapura menyebutnya Datuk Badok.105 Guru beliau dalam bidang tasawuf adalah Saidil’arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Saman al Madani yang mengajar di Madinah, sehingga beliau mendapat ijazah dari guru besar tersebut dengan kedudukan sebagai Khalifah. Ketika Mohammad Arsyad pulang, kembali ke tanah air kerajaan Banjar, pemerintahan sudah berganti. Sultan yang memungut beliau menjadi anak angkat dan mengirim ke Mekkah untuk belajar, yaitu Sultan Hamidullah sudah meninggal, begitu pula penggantinya yang membiayai selama menuntut pada saat pemerintahan dipegang oleh Pangeran Natadilaga atau Sultan Tahmidullah, putera dari Sultan Tamjidillah.
103 Muhammad Shagir Abdullah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary Matahari Islam, Yayasan Pendidikan dan Dakwah Islamiyah, Al Fatanah, Kuala Mempawah, 1983, hal. 8. 104 Muhammad Shaghir Abdullah, op.cit., hal.6.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, beliau sempat singgah ke Jakarta dan melakukan pembetulan arah kiblat beberapa masjid dan ini terjadi pada masjid Jembatan Lima menurut memori yang dibuat pada tanggal 4 Safar 1186 H bersamaan dengan 7 Mei 1772.106 Beliau baru sampai ke Kerajaan Banjar, tanah air beliau Martapura pada bulan Ramadhan 1186 H atau Desember 1772. Sehingga ada sekitar tujuh bulan berkeliling baru sampai di kota Martapura. Ketika sampai di Martapura, Kerajaan Banjar diperintah oleh Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah yang bergelar Susuhunun Nata Alam (1761-1801). Jadi selama beliau mengaji di Mekkah al Mukarramah mengalami tiga orang sultan yang memerintah Kerajaan Banjar. Beliau berangkat pada masa pemerintahan Sultan Kuning atau Sultan Hamidullah, kemudian diganti oleh Sultan Tamjidillah atau Sultan Sepuh dan kemudian waktu kembali kerajaan dijabat oleh Sultan Nata Alam ini yang disebutkan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah yang diabadikannya dalam kitab Sabilal Muhtadin, “seorang raja yang amat besar Fahamnya dan memiliki kecerdikan dan memperbaiki segala pekerajaan agama dan pekerjaan dunia”. Sedangkan Sultan sendiri ketika akan meninggal dunia berwasiat kepada keturunannya bahwa : “Syekh Muhammad Arsyad adalah seorang sahabatku dan dia pula seorang guruku, maka aku wasiatkan kepada anak cucuku turun temurun janganlah durhaka kepadanya dan anak cucu serta zuriatnya, jika durhaka tidaklah ia selamat”.107 Hubungan sultan ini diperkuat lagi dengan ikatan perkawinan, ketika Sultan mengawinkan Syekh Muhammad Arsyad dengan cucunya Ratu Aminah binti Pangeran Thoha bin Sultan Tahmidillah. Kedatangan Syekh Muhammad Arsyad, membawa perbaikan dalam bidang pengadilan, karena usul beliau untuk membentuk Mahkamah Syariah disetujui Sultan dengan jabatan Mufti sebagai Ketua Hakim Tertinggi, yang berfungsi pula untuk mengawasi pengadilan umum. Mufti didampingi oleh seorang Qadi ialah pelaksana hukum dan mengatur jalannya pengadilan, agar hukum Islam berlaku dengan wajar. Hukum Islam dijadikan hukum pemerintahan sebagai sumber pokok dalam membuat undang-undang dan peraturan yang berdasarkan Qur’an dan Hadist. Hukum yang belaku berdasarkan Ahlus Sunnah wal Jamaah mazhab Syafei. Jabatan Qadi pertama yang diangkat Sultan ialah cucu Syekh Muhammad Arsyad, Muhammad As’ad. Disamping mengajar pada lembaga pesantren di dalam Pagar Martapura untuk mendidik para da’i, beliau juga banyak mengarang bermacam kitab sebagai penuntun bagi umat Islam.
105 Yusuf Khalidi, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al Banjari, Al Ihsan, Surabaya, 1972. 106 Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al Banjari (Tuan Guru Besar), Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum, Dalam Pagar Martapura, 1980, hal. 31.
Karangan itu antara lain ialah :
(1) Ushuluddin, yang berisi sifat-sifat Tuhan semacam pelajaran Sifat Dua Puluh yang umum sekarang.
(2) Luqthatul ‘Ajlan, berkenaan dengan sifat perempuan yang mengalami masa haid yang bertalian dengan masalah ibadah.
(3) Kitab Faraidh, yang berhubungan dengan masalah warisan dan cara pembagiannya.
(4) Kitabunnikah, berisi tentang pengertian tentang wali dan bagaimana cara akad-nikah.
(5) Kitab Tuhfaturraghibien, berisi penjelasan menurut para Ahlussunah wal Jamaah untuk menghapus kebiasaan yang menyebabkan orang tergelincir kearah syirik dan murtad.
(6) Qaulul Mukhtashar, berisi tentang penjelasan tanda-tanda akhir zaman dan tanda-tanda datangnya Imam Mahdi.
(7) Kitab Kanzul Ma’rifah kitab yang membahas masalah Tasawuf.
(8) Sabilul Muhtadin Lit-Tafaqquh Fi Amriedien, Kitab Fiqih dalam bahasa Melayu, huruf Arab yang sangat mendalam disertai berbagai masalah-masalah sulit.
Kitab Sabilal Muhtadin, ditulis atas permintaan Sultan Tahmidullah (Pangeran Nata Dilaga, Nata Alam) bin Sultan Tamjidillah. Kitab tersebut ditulis pada tahun 1193 H dan selesai pada tahun 1195 H (1779-1780), baru dicetak untuk pertama kali dengan serempak pada tahun 1300 H (1882 M) di Mekkah, Istambul dan Kairo. Kitab ini sangat terkenal di seluruh Asia Tenggara seperti Philipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia, Brunei Darussalam, Kampuchea, Vietnam dan Laos, karena kaum Muslimin di daerah-daerah tersebut masih menggunakan bahasa Melayu.108Menurut Pengetua Pusat Sejarah Negara Brunei Darussalam YDM Pehin Orang Kaya Amar Diraja Dato Seri Utama Dr. Awang H.M. Jamil Al Sufri, yang disertai oleh stafnya Dayyangku Hajjah Rosnah binti Pengiran Bakar dan Dayyang Jamaliah binti H. Abdul Latif, menjelaskan bahwa Kitab Sabilal Muhtadin sampai sekarang dipakai di Negara Brunei Darussalam untuk orang belajar Fiqih dan penyebar agama Islam di Brunei adalah cucu dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, dan buyut beliau menjadi penyebar Islam di Philipina.109Cucu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, Ustadzah Fatimah telah menyusun Kitab Perukunan Besar, yang berisi cara-cara ibadah, rukun sembahyang, puasa. Kitab ini tersebar sampai sekarang di seluruh Indonesia karena bekali-kali cetak ulang. Keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menjadi ulama-ulama besar yang tersebar di seluruh Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur, bahkan juga di Indragiri, Brunei dan Philipina.
107 Abu Daudi, ibid., hal. 45. 108 M. Asywadie Syukur, Kitab Sabilal Muhtadin, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985. 109 Banjarmasin Post, 31 April 1987.
Selain itu dari penelitian yang dilakukan oleh IAIN Antasari Banjarmasin menyebutkan masih ada lagi karya tulis Syekh Arsyad yang berjudul “Fathul Rahman bin Syarh Risalat al Ruslan” sebagai komentar tulisan Syekh Zakaria al Anshari.110 Di samping tulisan langsung masih ada lagi tulisan yang dibuat oleh keturunan beliau, Abdurrahman Shidiq dalam tulisan beliau111 menyebutkan bahwa salah seorang cucu beliau Fatimah binti Syarifah binti H. Abdul Wahab Bugis binti Maulana Syekh Muhammad Arsyad lebih tepat saudara sebapa dari Mufti H. Muhammad Arsyad yang kemudian menjadi guru perempuan dan menterjemahkan suatu kitab Melayu tentang fiqih yang dinamakan “Perukunan Besar” yang dicetak penerbit Mekkah Nursyarafah dan dinamakan Parukunan Jamaluddin. Ada yang mengatakan bahwa kitab Parukunan Jamaluddin adalah hasil dikte pelajaran Syekh Arsyad yang diedit oleh Fatimah. Sedangkan menurut Ahmad Basuni yang menulis ini bukan Fatimah tetapi ibunya yang bernama Syarifah.112 Selain Parukunan Jamaluddin masih ada perukunan lain yang disusun oleh H. Abdurrasyid (1885-1934) yang disusun berdasarkan tulisan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang oleh seorang pedagang dari Negara dicetak di Singapura pada tahun 1907.
113Dilihat dari tulisan-tulisan beliau tersebut maka karya tulisnya diarahkan pada empat sasaran, yaitu :
(1) Karya yang ditujukan kepada orang awam yaitu semacam pelajaran praktis. Hal ini tampak seperti ditulisnya ajaran-ajaran beliau oleh Fatimah binti Abdul Wahab Bugis dengan nama “Parukunan Basar” yang kemudian disebut sebagai “Parukunan Jamaluddin” sebagai pelajaran ibadah orang awam.
(2) Karya-karya yang ditujukan untuk orang yang terpelajar dan karenanya disusun dengan menggunakan dalil-dalil yang terperinci dan pendapat para ulama. Sebagai contoh dalam hukum ialah kitab “Sabilal Muhtadin” dan kitab “Luqthatul Ajlam” walaupun antara dua kitab tersebut terlihat adanya beberapa duplikasi.
(3) Karya-karya yang diajukan kepada orang alim yang menguasai bahasa Arab. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab misalnya “Hasyiah Fathil Jawaad” yang merupakan komentar dari kitab “Fathul Jawaad” yang ditulis oleh Syekh ibn Hajar al Haitami. Adanya tulisan seperti ini menunjukkan keterlibatan beliau seperti lazimnya ulama masa itu untuk meringkas, memperluas, memberi komentar atau catatan pinggir terhadap kitab-kitab ulama pendahulunya.
110 IAIN Antasari, “Laporan Hasil Seminar Sehari Pemikiran-Pemikiran Keagamaan Syekh MuhammadBanjarmasin, 1989, hal. 29. 111 Abdurrahman Shiddiq, Arsyad al Banjari”, Risalah Sajaratul Arsyadiah, Singapura, 1937, hal. 29. 112 Ahmad Basuni, op.cit., hal. 27. 113 M. Laily Mansyur, op.cit., hal. 34.
(4) Karya-karya yang ditujukan kepada para pejabat petugas agama sebagai petunjuk pelaksanaan secara teknis, seperti misalnya “Kitabun Nikah” dan “Kitabul Faraidh” yang merupakan petunjuk teknis menyelenggarakan pernikahan dan pembagian waris di kalangan umat Islam. Ciri khas dari karya ini adalah pendek, tegas dan tidak mencantumkan dalil-dalil atau pendapat ulama yang dijadikan referensi.
114Tidak semua karya tulis beliau dapat diketemukan lagi pada masa sekarang dan masih ada pula yang diperdebatkan lain seperti kitab Tahfatur Raghibin. Diantara karya-karya beliau tersebut alah Kitab Hukum Islam/Fiqih yang berjudul Sabilal Muhtadin fi afaqquhi fi amri din yang menurut pengantarnya ditulis atas permintaan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah. Kitab ini mulai ditulis pada tahun 1193 H (1779 M) yang berisi uraian mengenai masalah fiqih bidang ibadat. Diperkirakan menurut rencana semula sebagaimana dapat kita tangkap pada bagian pendahuluannya kitab ini paling tidak akan terdiri atas 4 bagian sebagaimana lazimnya kitab-kitab fiqih yang beredar pada masa lampua yaitu bagian ibadah, muamalah, munakahat dan jinayat. tetapi sampai akhir hayat beliau yang rampung dan beredar terdiri atas 2 jilid besar dan hanya membicarakan tentang ibadah semata. Mungkin beliau hanya mencukupkan uraiannya sampai di sana dan ada pula kemungkinan lain beliau tidak punya kesempatan untuk menyelesaikan seluruhnya. Satu hal yang menarik dari kitab Sabilil Muhtadin ini sekalipun ada beberapa ahli yang mengeritiknya sebagai kitab yang tidak mengandung hal-hal baru115 ialah bahwa kitab ini membicarakan hal-hal yang kontekstual dalam masalah hukum dikaitkan dengan kondisi daerah Kalimantan Selatan. Hasil-hasil diskusinya mengenai berbagai masalah hukum seperti hasil diskusi dengan gurunya Syekh Sulaiman Kurdi ketika ia berada di Madinah antara lain misalnya tentang pemungutan pajak yang dilakukan oleh Sultan Banjar dan mengenai sistem denda bagi orang yang tidak pergi ke Jumat, sebagaimana kemudian dijadikan buku oleh Syekh Sulaiman Kurdi dengan judul “Al Fatwa”. Hanya saja sayangnya kitab tersebut tidak beredar dikalangan ummat Islam di daerah Kalimantan Selatan sehingga tidak diketahui secara persis duduk persoalannya dan bagaimana fatwa dari Syekh Sulaiman Kurdi tentang hal yang ditanyakan tersebut. Fatwa-fatwa lepas/bebas yang pernah dikemukakan dalam berbagai pengajaran/ pengajian untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya atau memberi keputusan terhadap kasus tertentu atau dalam bentuk action tertentu untuk hal yang bersifat luar biasa, sehingga untuk persoalan ini dapat dikemukakan dua permasalahan.
(1) Untuk isi pengajarannya yang disampaikan secara lisan fatwa dan penyelesaian kasus yang beliau berikan umumnya diingat dan atau dicatat oleh para murid atau orang yang meminta fatwa/pendapat tersebut. Mungkin dalam persoalan semacam inilah yang kemudian dicatat/ditulis dalam kitab Parukunan Jamaludin dan Parukunan Abdurrasyid. Sedang selebihnya hidup sebagai pendapat umum di kalangan masyarakat Banjar.
114 Abdurrahman, “Studi…, op.cit., hal. 77; M. Asywadie Syukur, loc.cit.
(2) Untuk hal-hal yang bersifat luar biasa umumnya sudah tercatat dalam sejarah Islam di Kalimantan Selatan sebagai sesuatu yang sudah populer seperti misalnya tindakan beliau membetulkan arah kiblat Masjid Luar Batang dan Masjid Jembatan Lima Jakarta, tindakan beliau untuk memfasakh perkawinan anak beliau Syarifah dengan Usman karena beliau sudah mengawinkannya dengan Abdul Wahab Bugis di Tanah Suci, fatwa hukuman mati yang diberikannya terhadap H. Abdul Hamid Abulung yang menganut tasawuf aliran wahdatul wujud, dan lain sebagainya.
Pembentukan Pusat pendidikan dan pengembangan agama Islam yang dimaksudkan sebagai penyiapan kader-kader ulama terutama dikalangan keturunan beliau sendiri. Setelah perkawinan beliau dengan Ratu Aminah, cucu Sultan Tamjidillah bin Sultan Tahmidillah oleh Sultan kepada beliau diberi sebidang tanah yang kemudian dibuka sebagai pusat kegiatan pendidikan yang kemudian dikenal sebagai daerah “Dalam Pagar”. Disinilah unutk pertama kali dikenal suatu pusat pendidikan Islam yang mirip sebagai pesantren pada masa sekarang walaupun pada masa itu kita belum mengenal adanya istilah Pesantren. Dari sinilah kemudian lahir sejumlah ulama besar dan terkenal yang kemudian menyebar keseluruh penjuru Kalimantan bahkan juga sampai ke luar Kalimantan seperti Riau, Malaysia, Fatani dan sebagainya. Umumnya mereka muncul sebagai Mufti atau Qadhi. Sebagai konseptor dan sekaligus mempelopori pembentukan Lembaga “Mufti” dan “Qadhi” sebagai suatu bentuk lembaga peradilan menurut ketentuan hukum Islam dalam struktur Pemerintahan Kerajaan Banjar pada masa pemerintah Sultan Nata alam atau Penambahan Nata yang memerintah pada tahun 1761-1801.116 atau 1785-1808.117 Pembentukan lembaga ini adalah dimaksudkan sebagai usaha melaksanakan ketentuan hukum Islam dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa baru atas inisatif dari Syekh Muhammad Arsyad lah lembaga peradilan yang mandiri dalam kerajaan Banjar diadakan yang berarti pada masa sebelumnya kita belum mengenal adanya lembaga peradilan agama yang berdiri sendiri. Lembaga inilah yang kemudian menjadi cikal bakal bagi pemerintah Belanda untuk membentuk suatu lembaga peradilan agama secara khusus untuk daerah Kalimantan Selatan pada tahun 1937 dengan nama “Kerapatan Kadhi” dan Kerapatan Kadhi Besar, yang berlaku terus sampai sekarang.
115 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984. 116op.cit., hal. 189. Menurut pendapat J.C. Noorlander,
Pengaruh lebih jauh dari pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam bidang hukum muncul secara konkrit ketika Sultan Adam Al Wasik Billah yang memerintah di Kerajaan Banjar (1825-1857) yang diperkirakan pada masa mudanya pernah menjadi murid dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menetapkan suatu ketentuan hukum yang sampai sekarang dikenal dengan nama “Undang-undang Sultan Adam” pada tanggal 15 Muharram 1251 (1835). Dalam penyusunan Undang-undang ini peranan dari kelompok ulama sangat besar sekali. Bahkan dalam salah satu pasal dari Undang-undang ini Sultan dengan tegas menyatakan sekalian Kepala jangan ada yang menyalahi fatwa Haji Jamaluddin (pasal 31) . Mufti Haji Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah Mufti Kerajaan pada saat itu dan beliaulah yang namanya dipergunakan dalam penulisan kitab “Parukunan Besar” yang juga dikenal sebagai “Perukunan Haji Jamaluddin”. Hanya saja tidak diketahui apa sebenarnya fatwa Haji Jamaluddin yang tidak boleh disimpangi itu. Hal ini masih harus diteliti lebih jauh.118Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari wafat pada 6 Syawal 1227 H dalam usia 105 tahun bertepatan dengan 13 Oktober 1812. Dimakamkan di desa Kalampayan, hingga terkenal dengan sebutan Datu Kalampayan.
( Bersambung ke Bagian 6 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar