Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 5)
C. PERKEMBANGAN AGAMA ISLAM DAN PENERAPAN HUKUM ISLAM
Ada dua pertemuan ilmiah yang pernah diadakan di kota Banjarmasin
yang dapat memberi arah bagi kajian sejarah perkembangan Islam di
Kalimantan Selatan. Yang pertama adalah Pra Seminar Sejarah Kalimantan
Selatan yang berlangsung 23-25 September 1973 dan yang kedua adalah
Seminar Sejarah Kalimantan yang berlangsung tanggal 8-10 April 1976.
Kesimpulan yang dapat disimak dari hasil seminar itu adalah :
a. Tentang masuknya agama Islam
b. Tentang cara penyebarannya
c. Tentang pengaruh bahasa Melayu sebagai alat penyebaran Agama Islam.
Masuknya
agama Islam ke Kalimantan Selatan sebenarnya terjadi lama sebelum
berdirinya Kerajaan Islam Banjar, dan diperkirakan tersebarnya agama
Islam itu sekitar abad ke-14 Masehi. Dengan kata lain bahwa berdirinya
Kerajaan Isam Banjar dengan raja pertama Sultan Suriansyah, tidak
identik dengan masuknya agama Islam itu ke Kalimantan Selatan. Dua abad
sebelum Kerajaan Banjar berdiri, disekitar Kuwin sudah terdapat
pemukiman penduduk yang memeluk agama Islam. Barangkali kelompok
penduduk yang dikenal sebagai Oloh Masih atau Orang Melayu yang
tinggal di sekitar Kuwin telah mengenal agama Islam, atau mungkin sudah
beragama Islam. Islam masuk ke Kalimantan dengan secara damai dan para
pembawa atau penyebar agama itu adalah para pedagang/ulama sebagai hasil
dari hubungan timbal balik antara Malaka – Johor, kemudian Pasai dan
Aceh dengan Negara Daha dengan bandar Muara Bahan yang ramai saat itu
dikunjungi para pedagang. Waktu itu yang Menjadi raja di Negara Daha
adalah Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan sekitar abad ke- 14 Masehi.
Penyebaran Islam itu lebih meluas setelah berdirinya Kerajaan Banjar
yang dipimpin oleh Sultan Suriansyah sebagai raja pertama yang memeluk
agama Islam. Bantuan dari Kerajaan Islam Demak dan hubungan Islam dengan
pantai utara Jawa Timur Gresik, Tuban dan Surabaya
mempercepat proses penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan. Raden
Paku yang dikenal sebagai Sunan Giri putera Maulana Iskak pada waktu
berumur 23 tahun berlayar ke pulau Kalimantan singgah di pelabuhan
Banjar tempat pemukiman Oloh Masih atau Orang Melayu membawa
barang dagangan dengan tiga buah kapal bersama dengan juragan Kamboja
yang terkenal dengan nama Abu Hurairah. Sesampai di pelabuhan datanglah
penduduk berduyun-duyun membeli barang dagangannya, dan kepada penduduk
fakir miskin barang itu diberikannya dengan cuma-cuma.86 Sunan Giri juga
mengirim para pelajar, saudagar, nelayan ke pulau Madura, Bawean dan
Kangean, bahkan sampai ke Ternate, Haruku di Kepulauan Maluku. Bahkan
salah seorang keturunan raja Daha yang bernama Raden Sekar Sungsang
pergi ke Jawa dan belajar dengan Sunan Giri yang kemudian bergelar Sunan
Serabut.87 Melalui jalur inilah kelak Raden Samudera dapat memperoleh
bantuan dalam peperangan melawan pamannya Pangeran Tumenggung. Melalui
jalur perdagangan yang ramai inilah pula Raden Samudera mengenal agama
Islam itu, sehingga dengan mudah ketika persyaratan yang diajukan Sultan
Demak untuk mendapatan bantuan, dengan segala senang hati Raden
Samudera memeluk agama Islam. Hal ini menunjukkan bahwa da’wah Sunan
Giri berhasil memperkenalkan Islam ke daerah Kalimantan Selatan, sebelum
berdirinya Kerajaan Banjar. Kerajaan Banjar berdiri pada 24 September
1526 dan peristiwa ini bersamaan dengan peng-Islaman raja dan para
Mantri Kerajaan. Agama Islam menjadi agama resmi dalam Kerajaan Banjar,
menggantikan agama Hindu sebelumnya yang juga telah menjadi agama resmi
Kerajaan Negara Dipa dan Daha. Agama Islam menempati kedudukan selain
sebagai keyakinan yang dipeluk oleh Orang Banjar sebagai warga Kerajaan,
juga menjadi satu-satunya sumber hukum yang berlaku di seluruh kawasan
Kerajaan.
86 Gusti Abdul Muis, “Masuk dan Tersebarnya Islam di Kalimantan Selatan”, Makalah pada Pra Seminar Sejarah Kalimantan, Banjarmasin, 1973, hal. 22. 87 Ahmad Basuni, op.cit., hal. 24.
Jabatan
Penghulu pada masa-masa awal Kerajaan merupakan jabatan urutan ketiga
dalam urutan kepangkatan, setelah Sultan dan Mangkubumi. Urutan itu
berlaku pula dalam segala kegiatan resmi yang diadakan oleh Kerajaan.
Tersebarnya agama Islam erat kaitannya dengan memasyarakatnya bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) antar
suku di Kalimantan Selatan, karena agama Islam disebarkan dengan
pengantar bahasa Melayu dengan menggunakan huruf Arab-Melayu. Huruf
Arab-Melayu ini ternyata sudah dikenal di sekitar penduduk Melayu yang
disebut Oloh Masih. Surat
yang dikirimkan ke Kerajaan Demak oleh Raden Samudera untuk meminta
bantuan dalam memerangi pamannya Pangeran Tumenggung dari negara Daha
tertulis dengan huruf Arab-Melayu dan dalam bahasa Melayu padahal saat
itu Raden Samudera masih beragama Hindu. Huruf Arab-Melayu itu menjadi
huruf yang dipakai dalam Kerajaan Banjar dalam setiap perjanjian dengan
belanda. Undang-undang Sultan Adam 1835 juga tertulis dengan huruf
Arab-Melayu dan dalam bahasa Melayu-Banjar.
Begitu
pula selanjutnya para ulama yang menyusun kitab-kitab agama selalu
menggunakan bahasa Melayu dengan huruf Arab-Melayu pula, sebagai contoh
adalah :
a. Kitab Sabilal Muhtadin oleh Muhammad Arsyad Al Banjari selesai ditulis pada 22 April 1781.
b. Kitab Ad Durrun Nafis oleh Syekh Muhammad Nafis bin Ideris Al Banjari yang ditulis pada tahun 1785.
c. Kitab Shirathol Mustaqim yang oleh Syekh Nuruddin Ar Raniri (Aceh) ditulis sekitar permulaan abad ke- 18.
d. Kitab Tuhfat al Raghibin oleh Syekh Muhammad Al Banjari.
e. Kitab Parukunan oleh Mufti Jamaluddin ibnu Muhammad Arsyad Al Banjari Mufti Kerajaan Banjar, tanpa tahun.
f. Parukunan Basar oleh Fatimah binti H. Abdul Wahab Bugis, cucu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, tanpa tahun.
g. Kitab Hidayatusalikin oleh Syekh Abdussamad Palimbani (Palembang), teman Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sewaktu mengaji di Mekkah.
h. Kitab Sairussalikin oleh Syekh Abdussamad Palimbani 2 Jilid, tanpa tahun.
1. Perkembangan Agama Islam
Perkembangan
Islam dalam abad ke- 17 menunjukkan kemajuan yang pesat. Pada waktu itu
seorang yang hidup dalam Kerajaan Banjar di Martapura telah menyusun
sebuah kitab ilmu tasawuf tentang Asal Kejadian Nur Muhammad yang dipengaruhi ajaran Ibnu Arabi yang termasuk aliran Wahdatul wujud. Hal
ini menunjukkan bahwa dalam abad ke- 17 dalam wilayah Kerajaan Banjar
sudah menunjukkan berkembangnya aliran tasawuf secara dominan sampai
melahirkan seorang ulama terkemuka dibidang tersebut dan mampu mengarang sebuah kitab yang cukup berat. Kitab tasawuf itu dihadiahkan pengarangnya kepada Ratu Aceh. KH. Zafri Zamzam dalam salah satu tulisannya menyebut bahwa ulama besar itu adalah Syekh Ahmad Syamsudin Al Banjari.88 Dalam penelitian seorang orientalis R.O Winstedt yang menyebutkan dalam bukunya tentang Hikayat Nur Muhammad yang
paling tua yang dijumpai di Jakarta ditulis tahun 1688 oleh seorang
ulama Banjar yang bernama Sham al Din untuk Sultan Taj al Alam Syafiat
al Din yang memerintah di Aceh. Memang dalam masa pemerintahannya
Sulthanah Seri Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat puteri dari Sultan
Iskandar Muda memerintah di Kerajaan Aceh pada tahun 1050-1085 H /
1641-1675, seorang Ratu yang loyal terhadap ajaran-ajaran wahdatul wujud
yang berkembang di sana yang semula mendapat tekanan. Dengan
dikirimkannya naskah Kitab tentang Asal Kejadian Nur Muhammad itu ke
Kerajaan Aceh khusus untuk Ratu Aceh hal ini menunjukkan hubungan
timbal-balik yang baik dengan Kerajaan Aceh. Hal ini mungkin disebabkan
oleh kegiatan-kegiatan ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
As Sumatrani pada satu kelompok dan dari pihak penetapannya Nuruddin Ar
Raniri pada pihak lainnya. Kedua Faham ini ternyata mempunyai pengaruh
yang besar di dalam daerah Kerajaan Banjar. Pengaruh yang pertama dapat
kita tunjukkan dengan tokoh Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari dan nanti
masih terlihat pada abad ke- 18 dengan tokoh Syekh Abu Hamid Abulung.89
Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa dalam masa satu abad
perkembangan Islam di Kerajaan Banjar dipengaruhi ajaran Tasawuf.
2. Pengaruh Aceh
Selama
abad ke-17 terlihat bahwa perkembangan agama Islam dalam wilayah
Kerajaan Banjar mendapat pengaruh dari ajaran-ajaran yang berkembang di
Aceh. Dengan runtuhnya Kerajaan Demak sebagai pusat da’wah Islam semasa
Wali Songo, pengaruh perkembangan Kerajaan Aceh. Kegiatan para ulama dan
para juru da’wah dari Kerajaan Aceh telah merambah kemana-mana termasuk
dalam wilayah Kerajaan Banjar, disamping Sumatera sendiri dan Malaysia.
Kedudukan Kerajaan Aceh juga menentukan, karena Aceh merupakan terminal
bagi jemaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci atau bagi mereka
yang kembali ke tanah air. Sebelum munculnya kapal api, para jamaah haji
atau para pelajar yang akan belajar ke Tanah Suci, berdiam di Aceh
beberapa lama menunggu angin baik untuk melanjutkan pelayaran, begitu
pula bagi mereka yang akan pulang ke tanah air khususnya daerah bagian
timur dari kepulauan Nusantara ini.
88 Zafri Zamzam, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Banjarmasin, 1979.
Selama
mereka berada di Aceh mereka mengikuti kegiatan-kegiatan yang bersifat
keagamaan ataupun mengikuti pengajian-pengajian, karena itu maka
perkembangan pemikiran yang berkembang di Aceh mempengaruhi mereka.
Karena itulah pemikiran dari Hamzah Fansuri yang mengembalikan pada
ajaran tasawuf Sunni, sampai pengaruhnya ke dalam Kerajaan Banjar.
Berdasarkan perkembangan pemikiran keagamaan yang sudah mendapat pengaruh Aceh, mengalami beberapa tahap perkembangan.
a) Faham
dasar keagamaan yang mewarnai pemikiran keagamaan di dalam Kerajaan
Banjar adalah yang berasal dari Jawa yaitu Demak atau Giri yang hanya
menyangkut prinsip-prinsip dasar sesuai dengan ajaran Ahlus Sunah wal Jamaah dalam akidah dan faham Syafiiah dalam bidang hukum disertai dengan tasawuf akhlaq. Disini tidak terlihat tanda-tanda bahwa ajaran Kejawen turut masuk ke wilayah Kerajaan Banjar.
b) Faham
mistik/sufisme yang berasal dari Hamzah Fansuri sudah memasuki praktik
keagamaan di dalam Kerajaan Banjar beberapa saat setelah penduduk
memeluk agama Islam dan sudah ada yang berangkat ke Aceh dalam rangka
menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Faham ini tampaknya dominan
sebagaimana terlihat pada Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari yang
ternyata sudah menggeluti persoalan tentang kejadian Nur Muhammad, salah
satu prinsip dasar dari ajaran tasawuf wahdatul wujud.
c) Sebagai reaksi yang muncul di Aceh yaitu berkembangnya Faham sufisme dari Hamzah Fansuri, maka kelompok pemikiran Nuruddin Ar Raniri yang menentangnya juga mendapat simpati dari rakyat Kerajaan Banjar.
Nuruddin Ar Raniri lebih menekan pada faham Sunni dengan titik berat pada pengembangan hukum fiqih menurut mazhab Syafei. Kepedulian terhadap Faham Sunni dengan mazhab Syafei ini terbukti dengan dipergunakannya secara luas kitab “Sirathol Mustaqim” sebagai
kitab pegangan di kalangan masyarakat dalam wilayah Kerajaan Banjar.
Mengenai persoalan yang disebutkan terakhir dapat kita lihat dari apa
yang diungkapkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari berkenaan dengan
keberadaan Kitab Shirathol Mustaqim dalam masyarakat Kalimantan Selatan
pada masa sebelum beliau. Disebutkan : “Bahwa kitab yang dikarang
oleh seorang yang alim Syekh Nurruddin Raniri yang bernama As Shirathol
Mustaqim yang berbicara tentang ilmu fiqih dalam mazhab Syafii adalah
kitab yang terbaik dalam bahasa Melayu.
89
Abdurrahman, “Studi Tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835: Suatu
Tinjauan Tentang Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar
pada Pertengahan Abad ke-19”, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam, Banjarmasin, 1989.
Karena
uraiannya terambil dari beberapa buah kitab fiqih yang terkenal dan
lagi dicantumkan beberapa buah nas dan dalil. Karena itu, kitab tersebut
banyak memberi manfaat kepada kaum muslimin dan dapat pula diterima
oleh kaum muslimin dengan baik. Mudah-mudahan Allah selalu memberikan
ganjaran pahala kepada penulisnya, pahala yang berlifat ganda dan
memberikan tempat yang tinggi di dalam surga Firdaus diakhirat kelak.
Kendatipun demikian bahasa yang dibawakan dalam Kitab itu banyak yang
kurang jelas, sehingga menyulitkan bagi orang yang ingin mempelajarinya,
karena bercampur dengan bahasa Aceh, bahasa yang tidak dimengerti oleh
bukan yang bukan Aceh. Disamping itu pula beberapa tempat terdapat
perubahan, sehingga berubah dari teks aslinya di ganti dengan kata-kata
lain, dan pada tempat lain terdapat pula katakata yang hilang atau
kurang. Ini semua mungkin karena ulahnya orang yang menyalin kurang
menguasai masalahnya, karena itu tidak heran terdapat adanya
perbedaan-perbedaan pada setiap naskah pada segi bahasa sehingga
rusaklah susunan kalimatnya. Sedang naskah yang asli yang disandarkan
kepada pengarangnya hampir tidak ditemukan lagi, sehingga sulit
membedakan mana yang benar dan mana yang salah, melainkan orang yang
mengetahui adalah orang yang menguasai ilmu fiqih. Sedang orang yang
betul-betul yang menguasai ilmu fiqih tidak ditemukan di negeri ini pada
masa ini, karena kurangnya perhatian, merosotnya pengetahuan dan
pikiran orang yang bersimpang siur” Kutipan ini menggambarkan cukup akrabnya rakyat Kalimantan Selatan dengan Kitab karya Ar Raniri,
hanya saja karena perkembangan masyarakat naskah yang disebarluaskan
melalui salin menyalin menjadi cacat sedangkan mereka yang mengkaji
masalah tersebut sudah tidak ada lagi. Uraian yang dikemukakan oleh
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari tersebut di atas sedikit banyaknya
memberikan gambaran kepada kita mengenai perkembangan hukum Islam pada
masa awal dan pertengahan abad ke-18 sebagai uraian yang paling otentik
dan dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian tersebut kami menarik lima kesimpulan yaitu :
1. Kitab Ash Shirathol Mustaqim karangan
Syekh Nurruddin Ar Raniri masih tetap dipakai sebagai referensi dalam
bidang hukum Islam walaupun banyak masyarakat Banjar yang masih sulit
memahami kitab tersebut mengingat di dalamnya banyak terdapat kata-kata
sulit yang diambil dari bahasa Aceh.
2. Penyebaran
kitab tersebut dalam masyarakat Banjar dilakukan melalui penyalinan
sedangkan naskah asli yang semula berasal dari Syekh Nuruddin Ar Raniri
sudah tidak bisa ditemukan lagi, artinya tidak ada lagi orang/ulama yang
masih menyimpan naskah dari Kitab tersebut.
3. Naskah
kitab Shirathol Mustaqim yang beredar dalam masyarakat pada waktu itu
berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya sebagai akibat dari
perbedaan dalam penyalinan dimana ada kata-kata yang hilang dan kalimat
menjadi rusak, sehingga menimbulkan kesulitan dalam memahaminya.
4. Penyalin-penyalin naskah Kitab Ash Shirathol Mustaqim adalah
kebanyakan orang yang kurang mengetahui masalah fiqih sehingga
penyalinan dilakukan dengan cara semaunya. Hal ini menunjukkan bahwa
penanganan hukum Islam terutama dalam rangka penyebarannya banyak
dilakukan oleh orang yang bukan ahlinya lagi karena orang yang ahli
sudah tidak ada lagi. Pada saat ini menurut Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjari sulit mencari orang yang betul-betul menguasai ilmu fiqih dalam
masyarakat Kerajaan Banjar. Hal ini menunjukkan adanya kemunduran dalam
perkembangan hukum Islam dibandingkan dengan masa sebelumnya.
5. Terjadinya
kemunduran dalam perkembangan hukum Islam pada masa ini adalah karena
kurangnya perhatian orang terhadap bidang tersebut. Hal ini mungkin
disebabkan karena semakin meningkatnya perhatian orang terhadap bidang
tasawuf yang dalam banyak hal sangat mengabaikan ketentuan-ketentuan
hukum. Selain itu kemunduran ini disebabkan karena memang gejala umum
dan adanya pemikiran yang bersimpang siur.90Menghadapi perkembangan
hukum Islam di Kalimantan Selatan sebagaimana digambarkan di atas
peranan dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari (Lahir 15 Safar 1122 H/19
Maret 1710 M dan wafat 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812) sebagai ulama
dan ahli hukum Islam di daerah ini. Melalui jasa beliau telah dilakukan
pengembangan kembali hukum Islam baik melalui penulisan kitab dan
risalah agama, da’wah dan pendidikan agama dan pencetakan kader yang
akan mengembangkan pelaksanaan hukum-hukum Islam.
3. Tokoh-tokoh Ulama Sufi yang Hidup di Kerajaan Banjar
Satu
hal yang menarik dalam perkembangan agama Islam dalam Kerajaan Banjar
adalah menyangkut perkembangan tasawuf sebagai dimensi mistis dari
ajaran Islam yang cukup dominan mempengaruhi hidup keagamaan di daerah
kerajaan ini.
Tokoh-tokoh sufi itu adalah :
a. Syekh Ahmad Syamsuddin Al Banjari
Riwayat
tokoh ulama sufi ini tidak banyak diketahui, hanya yang diketahui bahwa
ulama ini adalah seorang Banjar yang tinggal di ibu kota kerajaan Martapura. Ulama inilah yang menulis tentang Asal Kejadian Nur Muhammad dan
menghadiahkannya untuk Ratu Aceh Sulthanah Seri Ratu Tajul Alam
Safiatuddin Johan Berdaulat (164101675 M). Kalau ulama ini sewaktu
menulis naskah itu berumur sekitar 50 tahun, maka dapat diperkirakan,
ulama ini lahir sekitar tahun 1618. Ulama ini hidup pada masa
pemerintahan Pangeran Tapesana (Adipati Halid) sebagai wali raja, karena
putera mahkota Amirullah Bagus Kesuma belum dewasa.
90 Abdurrahman, ibid., hal. 74-75.
Pangeran
Tapesana menjabat sebagai Mangkubumi kerajaan. Naskah itu ditulis pada
tahun 1668 dan pernah ditemukan oleh seorang orientalis R.O. Winestedt
di Jakarta.
b. Syekh Muhammad Nafis Bin Idris Al Banjari
Syekh Muhammad Nafis terkenal karena karya beliau Ad Durrun Nafis sebuah
kitab tasuf minimal di kawasan Asia Tenggara. Tetapi siapa Syekh
Muhammad Nafis ini, sulit diketahui siapa sebenarnya tokoh ini. Beberapa
penulis sejarah berbeda pendapat tentang tokoh ini. Diantara pendapat
itu adalah : Amir Hasan Kiai Bondan, mengatakan bahwa Syekh Mohammad
Nafis itu adalah Pangeran Haji Musa bin Pangeran Muhammad Nafis, cucu
dari Ratu Anum Kusumayuda, seorang bangsawan Banjar.91 H. Gusti Abdul
Muis mengatakan bahwa Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al
Banjari, dilahirkan di salah satu desa di Martapura dari keluarga
bangsawan Kerajaan Banjar. Pendapat lain mengatakan bahwa Syekh Muhammad
Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari lahir di Martapura dari keluarga
Kerajaan Banjar, beliau hidup semasa dengan Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjari dan Syekh Abdul Hamid Abulung. Beliau memperoleh pendidikan di
Mekkah, selama di Mekkah itulah beliau menulis kitab Ad Durrun Nafis. Syekh
Muhammad Nafis dikuburkan di Desa Binturu Kelua, tetapi sebagian
mengatakan kuburnya di Lasung, Kecamatan Kusan Hulu. Syekh Muhammad
Nafis mengarahkan da’wahnya di daerah Kelua dan sekitarnya pada abad ke-
18 dan 19 dan Kelua saat itu merupakan pusat penyiaran Islam di bagian
utara dari Kerajaan Banjar.92 Dalam kitabnya Ad Durrun Nafis, beliau
tidak banyak menjelaskan tentang siapa beliau sendiri. Hanya dapat
diketahui bahwa dalam beberapa penerbitan tentang kitab beliau, tertulis
dengan jelas nama beliau ialah Syekh Muhammad Nafis Bin Ideris Bin
Husein Al Banjari. Dalam kitab Ad Durrun Nafis disebutkan bahwa : “Dan
yang menghimpun risalah ini hamba faqir lagi hina mengaku dengan dosa
dan taqahir, lagi yang mengharapkan kepada Tuhannya yang amat kuasa,
yaitu yang terlebih faqir dari pada segala hamba Allah Taala yang
menjadikan segala makhluk, yaitu Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein,
dinegeri Banjar tempat jadi, dan dinegeri Mekkah tempat diamnya, Syafei
akan mazhabnya yaitu pada fiqih, A’syari i’tiqadnya yaitu pada
ushuluddin, Junaid ikutannya, yaitu pada ilmu tasawuf, Qadiriyah
thariqatnya, Syathariyah pakaiannya, Naqsyabandiyah amalannya,
Khalwatiyah pakaiannya, Samaniyah minumannya”.
91 Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Fadjar, Banjarmasin, 1953, hal. 175. 92 A. Gazali Usman, Urang Banjar Dalam Sejarah, Lambung Mangkurat University Press, Banjarmasin, 1989, hal. 60.
Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari mendapat gelar kehormatan dengan “Maulana Al Allamah Al Fahamah al Mursyid ila Thariqis Salamah”. Beliau semasa hidup bersahabat dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pengarang kitab Sabilal Muhtadin. Syekh
Muhammad Nafis seorang sufi di zamannya namun beliau adalah orang yang
tidak suka meninggikan diri; ini ternyata dalam tulisannya yang mengakui
diri, “seorang faqir yang hina, semiskin-miskin hamba Allah”. Syekh Muhammad Nafis berusaha membersihkan diri zahirnya dan batinnya dengan rajin mengamalkan sekalian thariqat yang telah disebutkannya.
Pengetahuan kesufian itu dia peroleh dengan berguru kepada banyak tokoh sufi, diantaranya :
a. Syekh Abdullah bin Hijaz As Syarqawi
b. Syekh Shiddiq bin Umar Khan
c. Syekh Muhammad bin Abdul Karim Saman al Madani
d. Syekh Abdul Rahman bin Abdul Azis al Maghribi
e. Syekh Muhammad bin Ahmad al Jauhari.
Setelah beliau diakui oleh semua gurunya bahwa dia diperbolehkan mengajar ilmu-ilmu batin dengan beberapa thariqat yang telah dianggap beliau “Syekh Muursyid”nya maka berusahalah Syekh Muhammad Nafis bin Ideris bin Husein Al Banjari mengajak manusia mentauhidkan Allah.93
Syekh Muhammad Nafis diperkirakan lahir pada tahun 1160 H atau 1735 M
yaitu hidup pada masa pemerintahan Kerajaan Banjar yang dijabat oleh
Sultan Tamjidillah, Sultan Tahmidillah dan Sultan Suleman. Setelah
memperoleh pendidikan di daerahnya dia melanjutkan pendidikan di Mekkah
al Mukarramah. Pada waktu di Mekkah itulah atas permintaan beberapa
sahabatnya ia menulis kitab Ad Durrun Nafis pada tahun 1200 H
atau 1782 M. Setelah itu beliau kembali ke Martapura dan menyampaikan
da’wahnya di tengah-tengah masyarakat warga Kerajaan Banjar. Dalam
aktivitas da’wahnya dia banyak menjalankan pengajian ke daerah terpencil
yang mempunyai kedudukan strategis dalam perkembangan Islam, tetapi
yang terbanyak waktu yang disediakannya adalah didaerah Kelua. Beliau
meninggal dan dikuburkan di Haurgading, kampung Takulat, dan sekarang
menjadi Desa Binturu Kecamatan Kelua. Karyanya yang paling monumental
dan dikenal luas di Asia Tenggara adalah kitab yang judul lengkapnya
berbunyi : Ad Durrun Nafis Fi Bayani Wahdatil Af’al Wa Asma Wa Sifati Wa Zati Taqidisi, yang
artinya Permata yang Indah yang Menjelaskan tentang Keesaan Af’al,
Asma, Sifat dan Zat Yang Maha Suci, yang dikalangan masyarakat luas
dikenal dengan kitab Ad Durrun Nafis.
93 Hawash Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya di Nusantara, Al Ikhlas, Surabaya, 1980, hal. 109; Abdurrahman, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam Masyarakat Banjar”, dalam Majalah Kalimantan Scientiae, Universitas Lambung Mangkurat No. 18 Tahun VIII, 1989, hal. 9.
Kitab
ini sampai sekarang banyak dipergunakan sebagai kitab yang dipelajari
masyarakat untuk bidang ilmu tasawuf. Menurut Ensiklopedia Islam, naskah
asli dari Ad Durrun Nafis sampai sekarang belum ditemukan. Yang
tertua dari penertiban kitab ini diterbitkan pada tahun 1313 H yang
dicetak oleh Mathba’ah al Karim al Islamiyah di Mekkah. Pada terbitan
tahun 1323 H termuat pada tepi Kitab Hidayat al Salikin fi suluki Maslaki al Muttaqien karangan
Syekh Abdussamad al Palimbani. Pada tahun 1343 diterbitkan oleh
percetakan Mustafa Babi al Halabi wa Auladihi di Mesir dan pada tahun
1347 H dicetak oleh Dar al Taba’ah al Mishriyah juga di Mesir. Setelah
itu terus menerus dicetak di Singapura dan terakhir di Surabaya. Syekh Ahmad bin Muhammad Zain bin Mustafa al Fatami yang melakukan pentashihan kitab Ad Durrun Nafis untuk
diterbitkan tidak pernah mendapatkan naskah aslinya sehingga ia
memandang perlu untuk mencantumkan keterangan pada halaman sampul kitab ad Durrun Nafis yang
berbunyi : “Ketahui olehmu hal yang waqif atas kitab ini bahwanya
segala naskah kitab ini sangatlah bersalahan setengah dengan
setengahnya. Dan tiada hamba ketahui mana-mana yang mufakat dengan asal
naskah mualifnya. Maka hamba ikutkan pada naskah yang hamba cap ini akan
barang yang terlebih elok dan munasabah. Dan tiada kurangkan dari pada
salah satu dari pada beberapa naskah itu akan sesuatu karen ihtiath,
wallahualam”.94Kitab Ad Durrun Nafis ditulis dalam “bahasa Jawi”, yaitu
bahasa Melayu dengan huruf Arab-Melayu. Maksud utama kitab ini ditulis
dalam bahasa Jawi agar dapat berguna bagi mereka yang tidak memahami
bahasa Arab. Dalam kitab ini tidak ditemukan kata-kata dalam bahasa
Banjar, berbeda dengan kitab Sabilal Muhtadin karangan Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari yang banyak ditemukan kata-kata dalam bahasa
Banjar. Kitab ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarangnya
berisi ajaran tasawuf yang tinggi, dan mengandung rahasia yang amat
halus dan perkataannyapun amat dalam, tiada mengetahui yang demikian
kecuali ulama yang rasikh. Kitab ini dikenal sebagai kitab yang
amat padat dan kadang-kadang pelik dan sulit dalam ilmu tauhid yang
teranyam dengan ilmu tasawuf. Dalam Ensiklopedia Islam disebutkan bahwa
kitab Ad Durrun Nafis mengandung ajaran-ajaran tasawuf sunni. Muhammad Nafis berusaha memperluas konsep Wahdat al Syuhud dewahdat al wujud yang
diambil dari ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya seperti Abdu al Karim
al Jilli, Abdu al Ghani al Nablusi dan Abdullah bin Iberahim Hirghani.
Oleh karena itu disatu pihak ia membawakan konsep tasawuf sunni dan di pihak lain ia membawakan konsep tasawuf wahdat al wujud dalam sikap yang mendua.
94 Hawash Abdullah, ibid., hal. 112.
c. Syekh Abdul Hamid Abulung
Tidak
banyak diketahui tentang kapan dia lahir, tetapi yang jelas masa
hidupnya adalah semasa dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dan Syekh
Mohammad Nafis. Syekh Abdul Hamid membawa ajaran tasawuf yang tidak umum di daerah ini. Kalau syekh Mohammad Nafis membawa ajaran-ajaran dari aliran Wahdatul Wujud yang
dipelopori Ibnu Arabi, tetapi ajaran itu disublimasikannya dengan
ajaran tauhid, karena itulah bagi orang awam sulit untuk dapat
memahaminya. Ajaran Wahdatul Wujud dibawa ke Kalimantan oleh Syekh Abdul Hamid, seorang ahli tasawuf yang terkenal dengan ajarannya. Syekh Abdul Hamid berkata : “Tiada yang maujud melainkan hanyalah Dia, Tiada aku melainkan Dia, Dialah Aku, Dan aku adalah Dia”. Dalam
pelajaran Syekh Abdul Hamid juga diajarkan bahwa syariat yang diajarkan
selama ini adalah kulit dan belum sampai kepada hakikat. Ajaran ini
pula merupakan hasil pengaruh ajaran Abi Yazid al Bisthomi (874 M), Husein bin Mansur Al Halaj (858-922) yang kemudian masuk ke Indonesia melalui Hamzah Fansyuri dan Syamsuddin dari Sumatera dan Syekh Siti Jenar
dari Jawa.95Ajaran Syekh Abdul Hamid ini mendapat tantangan yang keras
dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pada masa pemerintahan Sultan
Tahmidillah, dimana beliau mengeluarkan fatwa bahwa ajaran tersebut
sesat. Dengan dasar fatwa ini Sultan Tahmidillah memerintahkan hukum
bunuh atas Syekh Abdul Hamid Abulung.96Untuk mempertahankan Faham Ahlussunnah dari ajaran Wahdani Wujud yang
dinyatakan sebagai faham sesat, Sultan Adam Al Wasik Billah (1825-1857)
mengeluarkan Undang-Undang yang dikenal sebagai Undang Undang Sultan
Adam (1835). Pasal 1 dari Undang-Undang itu berbunya sebagai berikut : “Adapun
perkara yang pertama aku suruhkan sekalian ra’yatku laki-laki dan
bini-bini ber’itikat ahlul sunnah wal-jamaat dan jangan seorang juapun
yang ber’itikat ahlal-bidaat, maka barangsiapa yang ber’itikat lain dari
pada ahlal sunat wal-jama’at kusuruh bapadah kepada Hakimnya, dan Hakim
itu menobatkan dan mengajari ‘itikat yang betul. Lamun enggan inya dari
pada tobat, bapadah Hakim itu lawan diaku”.
95 M. Laily Mansyur, Kitab Ad-Durun Nafis: Tinjauan Atas Suatu Ajaran Tasawuf, Hasanu, Banjarmasin, 1982, hal. 4. 96 M. Laily Mansyur, loc.cit.
Dengan demikian di Kerajaan Banjar yang paling banyak pengikutnya adalah Tasawuf Sunni (Tasawuf ahlus sunnah wal Jamaah) meskipun Tasawuf Wahdatul Wujud pernah juga berpengaruh didaerah ini. Tasawuf Sunni adalah tasawuf yang mengajarkan tentang kebersihan diri rohani dan jasmani dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Dasar utama tasawuf Sunni adalah Al Qur’an dan al Hadits dan
di dalam amaliyahnya berpedoman kepada amaliyah yang telah dicontohkan
oleh Rasulullah, Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in. Salah satu pokok ajarannya
ialah bahwa Tuhan sebagaimana yang diajarkan oleh Imam Asy’ari dan
Maturidi, dimana dibedakan secara tegas antara Khaliq dan mahluk. Tauhid, Fiqih dan Tasawuf adalah
tiga aspek dari ajaran Islam yang tidak terpisah dan saling menguatkan
antara satu dengan lainnya secara harmonis dan diamalkan secara terpadu.
Faham Wahdatul Wujud atau serba Tuhan (pantheisme) ialah
Faham yang menganggap bahwa manusia dan dunia atau manusia dan Tuhan itu
menjadi satu, tidak terpisah dalam kehidupan rohani yang tinggi (fana). Banyaklah ucapan-ucapan yang ekstrem seperti : ‘ainul jama’ (menjadi satu dengan Dia) seperti yang selalu dikhotbahkan oleh Abu Yasid al Bisthomi, dan kata-kaa hulul (Tuhan
turun ke dalam diri manusia) yang diajarkan dan dipertahankan oleh
Husein bin Mansyur Al Hallaj). Prinsip pokok falsafahnya seperti yang
dikemukakan oleh Ibnu Arabi : “Maha Suci Tuhan Yang Menciptakan segala sesuatu, yang Dia sendiri adalah zat sesuatu itu”, merupakan prinsip kesatuan wujud. Faham Wahdatul Wujud Ibnu Arabi sampai kepada kesimpulan Faham “Wihdatul Adyan”. yakni bahwa “Dia
adalah sesuatu yang disembah adalah salah satu dari tempat Tuhan
menyingkapkan Dirinya. Inilah yang dimaksudkan Ibnu Arabi dengan agama
cinta, agama universal atau jiwa agama besar.97Kalau Syekh Ahmad
Syamsuddin Al Banjari, riwayat hidupnya dan bahkan makamnya tidak
diketahui, sedangkan Syekh Muhammad Nafis makamnya sempat diragukan
tempatnya, maka makam Syekh Abdul Hamid Abulung makamnya jelas
tempatnya. Beliau dimakamkan di desa Abulung-Sungai Batang
Martapura-Kabupaten Banjar.
97 Gusti Abdul Muis, “Tasawuf Sunni”, Makalah Seminar Pengajian Tasawuf di Kalimantan, Banjarmasin, 1985.
d. Datu Sanggul
Tokoh sufi yang keempat yang pernah hidup dalam masa Kerajaan Banjar adalah Datu Sanggul. Datu
Sanggul adalah nama panggilan sedangkan nama sebenarnya tidak diketahui
dengan jelas. Menurut penuturan beberapa tetua dari desa Tatakan
(Kecamatan Tapin Selatan-Kabupaten Tapin), bahwa Datu Sanggul itu adalah
seorang pendatang dari Palembang dan nama sebenarnya adalah Abdussamad.
Beliau datang ke Tatakan yang waktu itu dalam wilayah Kerajaan Banjar
untuk berguru kepada seorang tokoh yang berilmu tinggi Datu Suban di
Muning. Menurut pengetahuan orang kampung saat itu bahwa Datu Sanggul
itu adalah orang biasa, tidak diketahui mempunyai ilmu pengetahuan. Pada
masa itu yaitu masa Kerajaan Banjar, agama Islam adalah agama resmi
kerajaan dan karena itu pula bagi mereka yang ketahuan tidak menjalankan
Shalat dijatuhi hukuman, khususnya pada Shalat Jum’at. Menurut
kesaksian masyarakat yang dapat dipercaya bahwa setiap hari Jumat,
Abdussamad tidak pernah berShalat ke masjid. Karena terlalu sering tidak
ke masjid Shalat Jumat, sampai akhirnya benda berharga yang dapat
dijadikan hukuman denda hanya tinggal satu-satunya yang sangat disayangi
ialah kapak. Masyarakat setempat baru mengetahui bahwa Abdussamad
seorang tokoh yang berilmu tinggi ialah ketika Abdussamad meninggal,
yang saat itu dikunjungi oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Pada
waktu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menuntut ilmu di Mekkah al
Mukarramah, setiap hari Jumat beliau berjumpa dengan Abdussamad ini dan
bersama-sama menjalankan Shalat Jumat di sisi Baitullah. Setelah selesai
Shalat Jumat, beliau kembali ke Tatakan. Untuk kebenaran Abdussamad
yang berasal dari Tatakan ini, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari meminta
agar pada hari Jumat yang akan datang dibawakan buah mangga yang ada di
halaman istana kerajaan yang memang dahulu ditanam oleh beliau. Pada
hari Jumat berikutnya, buah mangga yang masih kelihatan getahnya karena
baru dipetik, dibawakan oleh Abdussamad, dan pada hari itu pula orang di
istana ribut karena buah mangga yang paling besar sudah dipetik orang
dan bahkan getahnya masih menetes. Demikian salah satu cerita yang
berkembang luas di daerah Kabupaten Banjar tentang tokoh Datu Sanggul
ini. Cerita yang juga menarik tentang tokoh ini adalah dialog beliau
tentang ilmu tinggi tersebut dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
yang ditulis dalam sebuah kitab. Dialog itu diakhiri dengan dibaginya
kitab itu dan dipotong miring itu. Kitab itu dikenal sebagai Kitab
Barencong.98
98 Abdurrahman, Sejarah…, op. cit.
Sebagai
sumber sejarah cerita seperti ini besar sekali artinya dan harus dikaji
lebih mendalam dengan memperbandingkan dengan sumber-sumber lain dan
dengan multi analisa untuk dapat memahami apa sebenarnya yang terjadi
dibalik cerita itu. Tetapi yang jelas Datu Sanggul adalah tokoh seorang
sufi yang pernah hidup dalam Kerajaan Banjar sezaman dengan Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari.
4. Faham Ahlussunah Waljamaah di Kerajaan Banjar
Secara umum yang dimaksud dengan Faham ahlussunnah Wal Jama’ah adalah
orang-orang yang mengamalkan apa yang telah diamalkan oleh Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya. Orang-orang yang mengamalkan segala
ajaran Nabi Besar Muhammad saw disebut ahlussunah karena mereka berpegang teguh dan mengikuti sunnah Nabi saw. Mereka juga disebut al Jama’ah karena bersatu di atas alhaq atau kebenarannya. Mereka tidak berselisih dalam agama. Mereka berkumpul pada imam al haq dan mereka juga mengikuti apa yang telah menjadi kesepakatan para salaf. Para salaf adalah
generasi pertama dari umat Islam, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para
imam kebenaran. Mereka adalah tiga generasi yang mendapat kemuliaan.
Karena mereka mengikuti sunnah Rasullullah saw dan jejak para salaf (atsar) maka mereka disebut ahlul hadist, ahlul atsar, dan ahlul ittiba’ (orang yang mengikuti sunah. Mereka juga disebut Al Tha’fah Al Manshurah (Kelompok yang dimenangkan Allah dan Al Firqah An Najiyah (golongan yang selamat).99 Kaum Ahlussunah wal Jamaah ialah
kaum yang menganut i’tiqad sebagai i’tiqad yang dianut oleh Nabi
Muhammad saw dan sahabat-sahabat beliau. I’tiqat yang dianut oleh Nabi
Muhammad saw dan sahabat-sahabat beliau. I’tiqad Nabi dan
Sahabat-sahabat itu telah termaktub dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul
secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur, tetapi
kemudian dikumpulkan dan dirumuskan dengan rapi oleh seorang ulama
Ushuluddin yang besar, yaitu Syekh Abu Hasan Ali al Asy’ari yang lahir
di Basrah tahun 260 H dan wafat di Basrah pula tahun 324 H dalam usia 64
tahun. Rumusan yang hampir sama adalah rumusan yang dilakukan oleh Abu
Mansur al Maturidi yang wafatnya di Maturidi Samarkand, Asia Tengah
dalam tahun 33 H, 9 tahun setelah Imam Abu Hasan Asy’ari wafat. Karena
itulah apabila disebut kaum Ahlussunah wal Jamaah, maka maksudnya ialah orang-orang yang mengikuti faham Asy’ari dan faham Abu Manshur al Maturidi.100 Dalam bidang fiqih pendekatannya adalah mengikuti salah satu dari Imam yang empat, yaitu Imam Syafei, Maliki, Hambali dan Imam Hanafi. Seangkan dalam bidang Tasawuf sesuai dengan ajaran Imam al Junaidi al Bagdadi dan Imam Al Ghazali.
99 Nashir Abdul Karim Al-Aql, Prinsip-Prinsip Aqidah Ahlussunah wal Jamaah, Gema Insani Press, Jakarta, 1992, hal.9. 100 Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah, Pustaka Tarbiyah, Jakarta, 1984, hal. 17.
Secara umum disebut sebagai Kaum Sunni, kependekan dari Ahlussunah wal Jamaah, orang-orangnya di sebut Sunniyan. Pada masa Kerajaan Banjar i’tiqad Ahlussunah wal Jamaah merupakan
i’tiqad yang dipegang teguh dan dikukuhkan kemudian dalam Undang-undang
Sultan Adam, seperti yang tertera dalam Perkara pertama dari
undang-undang itu : “Adapun perkara yang pertama aku suruhkan
sekalian ra’yatku laki-laki dan bini-bini beratikat ahlal sunat
waljamaat dan jangan ada seorang ber’itiqad lain dari i’tiqad ahlal
sunat waljamaah kusuruh bapadah kapada hakimnya dan hakim itu mamariksa
lamun banar salah i’tiqad yang betul lamun anggan inya dari pada tobat
bapadah hakim itu kayah diaku”. Pasal ini jelas sekali ketetapannya
bahwa bagi setiap penduduk dalam wilayah Kerajaan Banjar laki-laki atau
perempuan untuk berpegang pada i’tiqad Ahlussunah wal Jammah. I’tiqad
ini adalah ajaran atau faham yang dirumuskan oleh Imam Abu Hasan al
Asy’ari dan Imam Abu Mansur al Maturidi. Dalam bidang syariat jelas Kerajaan Banjar berpegang pada Mazhab Imam Syafei. Jadi Ahlussunah wal Jamaah yang
menjadi pegangan dalam masa Kerajaan Banjar adalah i’itiqadnya menurut
rumusan Hasan al Asy’ari dan Abu Musa al Maturidi, sedangkan dalam
bidang fiqih atau bidang syariat berpegang pada mazhab
Imam Syafei. Hal ini terlihat dalam ketegaran hukum yang diberlakukan
bagi rakyat dalam wilayah Kerajaan, dalam perkara lima dari Undang-undang Sultan Adam : “Tiada
kuberikan sekalian orang menikahkan perempuan dengan taklik kepada
majahab yang lain daripada yang majahab Syafei maka siapa yang sangat
bahajatkan bataklid pada menikahkan perempuan itu bapadah kayah diaku
dahulu”. Undang-undang ini sangat tegas melarang menikahkan
perempuan bermazhab lain selain mazhab Syafei. Mazhab Syafei merupakan
mazhab kerajaan, dan semua ketetapan hukum harus berdasarkan mazhab
Syafei tersebut.
5. Riwayat Hidup Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
Dari kurun waktu masa hidup beliau sebagaimana tercatat pada berbagai riwayat hidup kita dapat membaginya dalam tiga babakan :
a. Masa
kecil dan menuntut ilmu di kampung halaman selama kurang lebih 30
tahun. Pada masa ini masih belum ada karya beliau yang dapat ditonjolkan
baik bagi perkembangan agama Islam pada umumnya dan perkembangan hukum
Islam pada khususnya. Sebagian besar hidup beliau dilakukan di
lingkungan istana.
b. Masa
menuntut ilmu ditanah suci (Mekkah dan Madinah) kurang lebih 35 tahun
lebih banyak berupa usaha pendalaman dan pengkajian berbagai bidang ilmu
termasuk ilmu hukum Islam. Sekalipun beliau berada di tanah suci
hubungan dengan daerah rupanya tidak pernah putus seperti umpanya
terbukti dengan diskusi beliau kepada guru-gurunya mengenai masalah
sembahyang Jumat dan pungutan pajak yang dilakukan oleh Sultan. Namun
sayangnya data mengenai hal tersebut tidak pernah diketemukan lagi.
c. Masa
penerapan ilmu yang mencakup tidak kurang dari 40 tahun (perhitungan
tahun umumnya dilakukan orang menurut tahun hijrah) sebagai masa yang
mempunyai pengaruh besar bagi perkembangan hukum Islam didaerah ini.
101Beliau
dilahirkan dari seorang ayah Abdullah dan ibu Siti Aminah di desa Lok
Gabang, sebuah desa dalam wilayah kerajaan Banjar, 12 km dari Martapura
pada tahun 1710 M, atau 15 Safar 1122 H., pada masa pemerintahan Sultan
Hamidullah (1700-1734) yang bergelar Sultan Kuning. Karena budi
pekertinya yang baik dan menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya, beliau
dipelihara oleh Sultan sebagai anak angkat. Oleh Sultan, Mohammad Arsyad
dikirim ke Mekkah untuk memperdalam pengetahuan agama, dan belajar di sana
selama 35 tahun lamanya. 102Menurut Shaghir Abdullah bahwa Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari adalah keturunan dari Sultan Sulu-Mindanau di
Philipina Abu Bakar Balewa yang melarikan diri karena berperang dengan
Portugis. Informasi ini diperoleh Shagir Abdullah dari salah seorang
keturunan Syekh Muhammad Arsyad sendiri. Dalam buku Saqhir Abdullah pula
dapat kita peroleh informasi yang berbeda yang dikutipnya dari Kitab Al Iqdul Farid min Jawahirul Asanid karya
Syekh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa Al Fadani al Makki yang
mengatakan bahwa Syekh Muhammad Arsyad mempunyai ayah yang bernama Abdus
Shamad Al Banjari.103Riwayat hidup Syekh Muhammad Arsyad berkembang
dari mulut kemulut yang kemudian oleh keturunan beliau ditulis beberapa
manakib yang pada mulanya tidak dipublikasikan. Manakib seperti ini
pernah ditulis oleh Al’alimul Fadhil H. Muhammad As’ad Khatib bin Alimul
Alamah Pangeran H. Ahmad Mufti bin Syekh Muhammad Arsyad. Biografi
pertama yang pernah diterbitkan adalah karya yang ditulis oleh buyut
beliau sendiri : Syekh H. Abdurrahman Shiddiq (1857-1939) yang pernah
menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri yang berjudul “Risalah Sajaratul Arsyadiah”. Dalam
buku Shagir Abdullah yang memperoleh informasi dari tuan Guru Mufti H.
Abdurrahman Shiddiq bahwa ayah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari bernama
Abdullah berasal dari keturunan Syayid Abu Bakar yang berasal dari Palembang yang kemudian pindah ke Johor.
101 Abdurrahman, Sejarah..., op.cit. 102 A. Gazali Usman, op.cit., hal. 56.
Syayid Abu Bakar ini kemudian menyebarkan agama Islam di Brunei Darussalam, Sabah
dan Kepulauan Sulu Philipinan Selatan. Adapun Abdullah orang tua Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari sebelum pindah ke Kerajaan Banjar pernah
terlibat dalam beberapa kali peperangan yang disifatkan sebagai jihad fisabilillah melawan pihak penjajah Belanda dan Spanyol pada kejadian di banyak tempat.104 Risalah Sajaratul Arsyadiah ini
ditulis pada tahun 1349 H (1930 M) dan baru selesai pada tahun 1350 H
(1931) tetapi baru diterbitkan di Singapura pada tahun 1937. Dalam buku
yang terdiri atas 103 halaman ini diceritakan tentang kapan Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari dilahirkan, masa kanak-kanaknya, kemudian
dikirim Sultan ke Mekkah al Mukarramah untuk belajar, kembali ke tanah
air dan mengajar sampai meninggal dunia. Kitab ini sekarang dianggap
sebagai satu-satunya sumber sekunder dari riwayat Syekh Muhammad Arsyad
Al Banjari yang dapat dipegangi, meskipun mengenai perhitungan tahun
perlu dikaji lebih lanjut. Syekh Muhammad Arsyad berada di tanah suci
selama 35 tahun, yaitu 30 tahun di Mekkah al Mukarramah dan 5 tahun di
Madinah. Selama di tanah suci beliau berteman dengan beberapa orang yang
kemudian menjadi ulama besar antara lain Syekh Abdus Samad Palembani,
Abdurrahman Masri dan Abdul Wahab Bugis. Diantara guru-guru beliau
selama mengaji di Mekkah dan Madinah ialah Syekh Athoullah ulama lulusan
Al Azhar Mesir, Syekh Muhammad Abdul Karim Saman al Madani seorang ahli
tasawuf dan Syekh Suleman Kurdi. Selama di Mekkah neliau sempat pula
mengajar di Masjidil Haram Mekkah, suatu hal yang jarang terjadi bagi
seorang ulama Indonesia.
Diantara guru-guru beliau selama di Mekkah adalah : “Alimul 'Alamah
Syekh ‘Athaillah, yang memberi izin untuk mengajar dan memberi fatwa di
Masjid al Haram. Selama beliau mengajar di Masjidil Haram, terdapat
seorang muridnya dari mahluk golongan jin Islam yang namanya Al Badakut
al Ina. Karena setianya Al Badakut al Mina mengikuti Syekh Muhammad
Arsyad ketika beliau kembali ke Martapura, Kerajaan Banjar. Masyarakat
Martapura menyebutnya Datuk Badok.105 Guru beliau dalam bidang tasawuf
adalah Saidil’arif Billah Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Saman al
Madani yang mengajar di Madinah, sehingga beliau mendapat ijazah dari
guru besar tersebut dengan kedudukan sebagai Khalifah. Ketika Mohammad
Arsyad pulang, kembali ke tanah air kerajaan Banjar, pemerintahan sudah
berganti. Sultan yang memungut beliau menjadi anak angkat dan mengirim
ke Mekkah untuk belajar, yaitu Sultan Hamidullah sudah meninggal, begitu
pula penggantinya yang membiayai selama menuntut pada saat pemerintahan
dipegang oleh Pangeran Natadilaga atau Sultan Tahmidullah, putera dari
Sultan Tamjidillah.
103 Muhammad Shagir Abdullah, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjary Matahari Islam, Yayasan Pendidikan dan Dakwah Islamiyah, Al Fatanah, Kuala Mempawah, 1983, hal. 8. 104 Muhammad Shaghir Abdullah, op.cit., hal.6.
Dalam
perjalanan pulang ke tanah air, beliau sempat singgah ke Jakarta dan
melakukan pembetulan arah kiblat beberapa masjid dan ini terjadi pada
masjid Jembatan Lima menurut memori yang dibuat pada tanggal 4 Safar
1186 H bersamaan dengan 7 Mei 1772.106 Beliau baru sampai ke Kerajaan
Banjar, tanah air beliau Martapura pada bulan Ramadhan 1186 H atau
Desember 1772. Sehingga ada sekitar tujuh bulan berkeliling baru sampai
di kota
Martapura. Ketika sampai di Martapura, Kerajaan Banjar diperintah oleh
Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah yang bergelar Susuhunun Nata
Alam (1761-1801). Jadi selama beliau mengaji di Mekkah al Mukarramah
mengalami tiga orang sultan yang memerintah Kerajaan Banjar. Beliau
berangkat pada masa pemerintahan Sultan Kuning atau Sultan Hamidullah,
kemudian diganti oleh Sultan Tamjidillah atau Sultan Sepuh dan kemudian
waktu kembali kerajaan dijabat oleh Sultan Nata Alam ini yang disebutkan
Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah yang diabadikannya dalam
kitab Sabilal Muhtadin, “seorang raja yang amat besar Fahamnya dan
memiliki kecerdikan dan memperbaiki segala pekerajaan agama dan
pekerjaan dunia”. Sedangkan Sultan sendiri ketika akan meninggal dunia berwasiat kepada keturunannya bahwa : “Syekh
Muhammad Arsyad adalah seorang sahabatku dan dia pula seorang guruku,
maka aku wasiatkan kepada anak cucuku turun temurun janganlah durhaka
kepadanya dan anak cucu serta zuriatnya, jika durhaka tidaklah ia
selamat”.107 Hubungan sultan ini diperkuat lagi dengan ikatan
perkawinan, ketika Sultan mengawinkan Syekh Muhammad Arsyad dengan
cucunya Ratu Aminah binti Pangeran Thoha bin Sultan Tahmidillah.
Kedatangan Syekh Muhammad Arsyad, membawa perbaikan dalam bidang
pengadilan, karena usul beliau untuk membentuk Mahkamah Syariah
disetujui Sultan dengan jabatan Mufti sebagai Ketua Hakim Tertinggi,
yang berfungsi pula untuk mengawasi pengadilan umum. Mufti didampingi
oleh seorang Qadi ialah pelaksana hukum dan mengatur jalannya
pengadilan, agar hukum Islam berlaku dengan wajar. Hukum Islam dijadikan
hukum pemerintahan sebagai sumber pokok dalam membuat undang-undang dan
peraturan yang berdasarkan Qur’an dan Hadist. Hukum yang belaku
berdasarkan Ahlus Sunnah wal Jamaah mazhab Syafei. Jabatan Qadi
pertama yang diangkat Sultan ialah cucu Syekh Muhammad Arsyad, Muhammad
As’ad. Disamping mengajar pada lembaga pesantren di dalam Pagar
Martapura untuk mendidik para da’i, beliau juga banyak mengarang
bermacam kitab sebagai penuntun bagi umat Islam.
105 Yusuf Khalidi, Ulama Besar Kalimantan Syekh Muhammad Arsyad al Banjari, Al Ihsan, Surabaya, 1972. 106 Abu Daudi, Maulana Syekh Muhammad Arsyad al Banjari (Tuan Guru Besar), Sekretariat Madrasah Sullamul Ulum, Dalam Pagar Martapura, 1980, hal. 31.
Karangan itu antara lain ialah :
(1) Ushuluddin, yang berisi sifat-sifat Tuhan semacam pelajaran Sifat Dua Puluh yang umum sekarang.
(2) Luqthatul ‘Ajlan, berkenaan dengan sifat perempuan yang mengalami masa haid yang bertalian dengan masalah ibadah.
(3) Kitab Faraidh, yang berhubungan dengan masalah warisan dan cara pembagiannya.
(4) Kitabunnikah, berisi tentang pengertian tentang wali dan bagaimana cara akad-nikah.
(5) Kitab Tuhfaturraghibien,
berisi penjelasan menurut para Ahlussunah wal Jamaah untuk menghapus
kebiasaan yang menyebabkan orang tergelincir kearah syirik dan murtad.
(6) Qaulul Mukhtashar, berisi tentang penjelasan tanda-tanda akhir zaman dan tanda-tanda datangnya Imam Mahdi.
(7) Kitab Kanzul Ma’rifah kitab yang membahas masalah Tasawuf.
(8) Sabilul Muhtadin Lit-Tafaqquh Fi Amriedien, Kitab Fiqih dalam bahasa Melayu, huruf Arab yang sangat mendalam disertai berbagai masalah-masalah sulit.
Kitab
Sabilal Muhtadin, ditulis atas permintaan Sultan Tahmidullah (Pangeran
Nata Dilaga, Nata Alam) bin Sultan Tamjidillah. Kitab tersebut ditulis
pada tahun 1193 H dan selesai pada tahun 1195 H (1779-1780), baru
dicetak untuk pertama kali dengan serempak pada tahun 1300 H (1882 M) di
Mekkah, Istambul dan Kairo. Kitab ini sangat terkenal di seluruh Asia
Tenggara seperti Philipina, Malaysia, Singapura, Thailand, Indonesia,
Brunei Darussalam, Kampuchea, Vietnam dan Laos, karena kaum Muslimin di
daerah-daerah tersebut masih menggunakan bahasa Melayu.108Menurut
Pengetua Pusat Sejarah Negara Brunei Darussalam YDM Pehin Orang Kaya
Amar Diraja Dato Seri Utama Dr. Awang H.M. Jamil Al Sufri, yang disertai
oleh stafnya Dayyangku Hajjah Rosnah binti Pengiran Bakar dan Dayyang
Jamaliah binti H. Abdul Latif, menjelaskan bahwa Kitab Sabilal Muhtadin sampai
sekarang dipakai di Negara Brunei Darussalam untuk orang belajar Fiqih
dan penyebar agama Islam di Brunei adalah cucu dari Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari, dan buyut beliau menjadi penyebar Islam di
Philipina.109Cucu Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, Ustadzah Fatimah
telah menyusun Kitab Perukunan Besar, yang berisi cara-cara ibadah, rukun sembahyang, puasa. Kitab ini tersebar sampai sekarang di seluruh Indonesia
karena bekali-kali cetak ulang. Keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjari menjadi ulama-ulama besar yang tersebar di seluruh Kalimantan
Selatan, Tengah dan Timur, bahkan juga di Indragiri, Brunei dan Philipina.
107 Abu Daudi, ibid., hal. 45. 108 M. Asywadie Syukur, Kitab Sabilal Muhtadin, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1985. 109 Banjarmasin Post, 31 April 1987.
Selain
itu dari penelitian yang dilakukan oleh IAIN Antasari Banjarmasin
menyebutkan masih ada lagi karya tulis Syekh Arsyad yang berjudul “Fathul Rahman bin Syarh Risalat al Ruslan” sebagai
komentar tulisan Syekh Zakaria al Anshari.110 Di samping tulisan
langsung masih ada lagi tulisan yang dibuat oleh keturunan beliau,
Abdurrahman Shidiq dalam tulisan beliau111 menyebutkan bahwa salah
seorang cucu beliau Fatimah binti Syarifah binti H. Abdul Wahab Bugis
binti Maulana Syekh Muhammad Arsyad lebih tepat saudara sebapa dari
Mufti H. Muhammad Arsyad yang kemudian menjadi guru perempuan dan
menterjemahkan suatu kitab Melayu tentang fiqih yang dinamakan “Perukunan Besar” yang dicetak penerbit Mekkah Nursyarafah dan dinamakan Parukunan Jamaluddin. Ada yang mengatakan bahwa kitab Parukunan Jamaluddin adalah
hasil dikte pelajaran Syekh Arsyad yang diedit oleh Fatimah. Sedangkan
menurut Ahmad Basuni yang menulis ini bukan Fatimah tetapi ibunya yang
bernama Syarifah.112 Selain Parukunan Jamaluddin masih ada perukunan
lain yang disusun oleh H. Abdurrasyid (1885-1934) yang disusun
berdasarkan tulisan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang oleh seorang
pedagang dari Negara dicetak di Singapura pada tahun 1907.
113Dilihat dari tulisan-tulisan beliau tersebut maka karya tulisnya diarahkan pada empat sasaran, yaitu :
(1) Karya
yang ditujukan kepada orang awam yaitu semacam pelajaran praktis. Hal
ini tampak seperti ditulisnya ajaran-ajaran beliau oleh Fatimah binti
Abdul Wahab Bugis dengan nama “Parukunan Basar” yang kemudian disebut sebagai “Parukunan Jamaluddin” sebagai pelajaran ibadah orang awam.
(2) Karya-karya
yang ditujukan untuk orang yang terpelajar dan karenanya disusun dengan
menggunakan dalil-dalil yang terperinci dan pendapat para ulama.
Sebagai contoh dalam hukum ialah kitab “Sabilal Muhtadin” dan kitab “Luqthatul Ajlam” walaupun antara dua kitab tersebut terlihat adanya beberapa duplikasi.
(3) Karya-karya yang diajukan kepada orang alim yang menguasai bahasa Arab. Kitab ini ditulis dalam bahasa Arab misalnya “Hasyiah Fathil Jawaad” yang merupakan komentar dari kitab “Fathul Jawaad” yang
ditulis oleh Syekh ibn Hajar al Haitami. Adanya tulisan seperti ini
menunjukkan keterlibatan beliau seperti lazimnya ulama masa itu untuk
meringkas, memperluas, memberi komentar atau catatan pinggir terhadap
kitab-kitab ulama pendahulunya.
110 IAIN Antasari, “Laporan Hasil Seminar Sehari Pemikiran-Pemikiran Keagamaan Syekh MuhammadBanjarmasin, 1989, hal. 29. 111 Abdurrahman Shiddiq, Arsyad al Banjari”, Risalah Sajaratul Arsyadiah, Singapura, 1937, hal. 29. 112 Ahmad Basuni, op.cit., hal. 27. 113 M. Laily Mansyur, op.cit., hal. 34.
(4) Karya-karya yang ditujukan kepada para pejabat petugas agama sebagai petunjuk pelaksanaan secara teknis, seperti misalnya “Kitabun Nikah” dan “Kitabul Faraidh” yang
merupakan petunjuk teknis menyelenggarakan pernikahan dan pembagian
waris di kalangan umat Islam. Ciri khas dari karya ini adalah pendek,
tegas dan tidak mencantumkan dalil-dalil atau pendapat ulama yang
dijadikan referensi.
114Tidak
semua karya tulis beliau dapat diketemukan lagi pada masa sekarang dan
masih ada pula yang diperdebatkan lain seperti kitab Tahfatur Raghibin. Diantara karya-karya beliau tersebut alah Kitab Hukum Islam/Fiqih yang berjudul Sabilal Muhtadin fi afaqquhi fi amri din yang
menurut pengantarnya ditulis atas permintaan Sultan Tahmidullah bin
Sultan Tamjidillah. Kitab ini mulai ditulis pada tahun 1193 H (1779 M)
yang berisi uraian mengenai masalah fiqih bidang ibadat. Diperkirakan
menurut rencana semula sebagaimana dapat kita tangkap pada bagian
pendahuluannya kitab ini paling tidak akan terdiri atas 4 bagian
sebagaimana lazimnya kitab-kitab fiqih yang beredar pada masa lampua
yaitu bagian ibadah, muamalah, munakahat dan jinayat. tetapi
sampai akhir hayat beliau yang rampung dan beredar terdiri atas 2 jilid
besar dan hanya membicarakan tentang ibadah semata. Mungkin beliau
hanya mencukupkan uraiannya sampai di sana
dan ada pula kemungkinan lain beliau tidak punya kesempatan untuk
menyelesaikan seluruhnya. Satu hal yang menarik dari kitab Sabilil
Muhtadin ini sekalipun ada beberapa ahli yang mengeritiknya sebagai
kitab yang tidak mengandung hal-hal baru115 ialah bahwa kitab ini
membicarakan hal-hal yang kontekstual dalam masalah hukum dikaitkan
dengan kondisi daerah Kalimantan Selatan. Hasil-hasil diskusinya
mengenai berbagai masalah hukum seperti hasil diskusi dengan gurunya
Syekh Sulaiman Kurdi ketika ia berada di Madinah antara lain misalnya
tentang pemungutan pajak yang dilakukan oleh Sultan Banjar dan mengenai
sistem denda bagi orang yang tidak pergi ke Jumat, sebagaimana kemudian
dijadikan buku oleh Syekh Sulaiman Kurdi dengan judul “Al Fatwa”. Hanya
saja sayangnya kitab tersebut tidak beredar dikalangan ummat Islam di
daerah Kalimantan Selatan sehingga tidak diketahui secara persis duduk
persoalannya dan bagaimana fatwa dari Syekh Sulaiman Kurdi tentang hal
yang ditanyakan tersebut. Fatwa-fatwa lepas/bebas yang pernah
dikemukakan dalam berbagai pengajaran/ pengajian untuk menjawab
pertanyaan yang diajukan kepadanya atau memberi keputusan terhadap kasus
tertentu atau dalam bentuk action tertentu untuk hal yang bersifat luar biasa, sehingga untuk persoalan ini dapat dikemukakan dua permasalahan.
(1) Untuk
isi pengajarannya yang disampaikan secara lisan fatwa dan penyelesaian
kasus yang beliau berikan umumnya diingat dan atau dicatat oleh para
murid atau orang yang meminta fatwa/pendapat tersebut. Mungkin dalam
persoalan semacam inilah yang kemudian dicatat/ditulis dalam kitab Parukunan Jamaludin dan Parukunan Abdurrasyid. Sedang selebihnya hidup sebagai pendapat umum di kalangan masyarakat Banjar.
114 Abdurrahman, “Studi…, op.cit., hal. 77; M. Asywadie Syukur, loc.cit.
(2) Untuk
hal-hal yang bersifat luar biasa umumnya sudah tercatat dalam sejarah
Islam di Kalimantan Selatan sebagai sesuatu yang sudah populer seperti
misalnya tindakan beliau membetulkan arah kiblat Masjid Luar Batang dan
Masjid Jembatan Lima Jakarta, tindakan beliau untuk memfasakh perkawinan
anak beliau Syarifah dengan Usman karena beliau sudah mengawinkannya
dengan Abdul Wahab Bugis di Tanah Suci, fatwa hukuman mati yang
diberikannya terhadap H. Abdul Hamid Abulung yang menganut tasawuf
aliran wahdatul wujud, dan lain sebagainya.
Pembentukan
Pusat pendidikan dan pengembangan agama Islam yang dimaksudkan sebagai
penyiapan kader-kader ulama terutama dikalangan keturunan beliau
sendiri. Setelah perkawinan beliau dengan Ratu Aminah, cucu Sultan
Tamjidillah bin Sultan Tahmidillah oleh Sultan kepada beliau diberi
sebidang tanah yang kemudian dibuka sebagai pusat kegiatan pendidikan
yang kemudian dikenal sebagai daerah “Dalam Pagar”. Disinilah
unutk pertama kali dikenal suatu pusat pendidikan Islam yang mirip
sebagai pesantren pada masa sekarang walaupun pada masa itu kita belum
mengenal adanya istilah Pesantren. Dari sinilah kemudian lahir
sejumlah ulama besar dan terkenal yang kemudian menyebar keseluruh
penjuru Kalimantan bahkan juga sampai ke luar Kalimantan seperti Riau, Malaysia, Fatani dan sebagainya. Umumnya mereka muncul sebagai Mufti atau Qadhi. Sebagai konseptor dan sekaligus mempelopori pembentukan Lembaga “Mufti” dan “Qadhi” sebagai
suatu bentuk lembaga peradilan menurut ketentuan hukum Islam dalam
struktur Pemerintahan Kerajaan Banjar pada masa pemerintah Sultan Nata
alam atau Penambahan Nata yang memerintah pada tahun 1761-1801.116 atau
1785-1808.117 Pembentukan lembaga ini adalah dimaksudkan sebagai usaha
melaksanakan ketentuan hukum Islam dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan
bahwa baru atas inisatif dari Syekh Muhammad Arsyad lah lembaga
peradilan yang mandiri dalam kerajaan Banjar diadakan yang berarti pada
masa sebelumnya kita belum mengenal adanya lembaga peradilan agama yang
berdiri sendiri. Lembaga inilah yang kemudian menjadi cikal bakal bagi
pemerintah Belanda untuk membentuk suatu lembaga peradilan agama secara
khusus untuk daerah Kalimantan Selatan pada tahun 1937 dengan nama “Kerapatan Kadhi” dan Kerapatan Kadhi Besar, yang berlaku terus sampai sekarang.
115 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984. 116op.cit., hal. 189. Menurut pendapat J.C. Noorlander,
Pengaruh lebih jauh dari pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam bidang hukum muncul secara konkrit ketika Sultan Adam Al Wasik Billah yang
memerintah di Kerajaan Banjar (1825-1857) yang diperkirakan pada masa
mudanya pernah menjadi murid dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
menetapkan suatu ketentuan hukum yang sampai sekarang dikenal dengan
nama “Undang-undang Sultan Adam” pada tanggal 15 Muharram 1251
(1835). Dalam penyusunan Undang-undang ini peranan dari kelompok ulama
sangat besar sekali. Bahkan dalam salah satu pasal dari Undang-undang
ini Sultan dengan tegas menyatakan sekalian Kepala jangan ada yang menyalahi fatwa Haji Jamaluddin (pasal
31) . Mufti Haji Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah
Mufti Kerajaan pada saat itu dan beliaulah yang namanya dipergunakan
dalam penulisan kitab “Parukunan Besar” yang juga dikenal sebagai “Perukunan Haji Jamaluddin”. Hanya
saja tidak diketahui apa sebenarnya fatwa Haji Jamaluddin yang tidak
boleh disimpangi itu. Hal ini masih harus diteliti lebih jauh.118Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari wafat pada 6 Syawal 1227 H dalam usia 105
tahun bertepatan dengan 13 Oktober 1812. Dimakamkan di desa Kalampayan,
hingga terkenal dengan sebutan Datu Kalampayan.
( Bersambung ke Bagian 6 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar