Basyair Melayu Banjar juga hadir di Youtube, Kunjungi kami di https://www.youtube.com/channel/UC7DD_EHfum0_OPl-pAxI-bw dan subcribe untuk mendapatkan upload terbaru dari kami, atau Search Ketik " Syair Banjar " di Youtube

Senin, 06 Februari 2017

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 4)

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 4)

a. Pedagang-pedagang Cina
Orang-orang Cina mendatangi daerah Banjar untuk keperluan memperoleh lada pada pertengahan pertama abad ke-tujuhbelas, setelah diusir oleh saingan mereka Belanda dan Inggris. Ketika itu mereka diberitahu tentang kemungkinan melakukan perdagangan lada di Banjar oleh orang-orang Portugis di Macao. Mereka kemudian datang dengan jung-jung mereka, setiap tahun secara teratur datang sebanyak empat sampai tigabelas buah dari pelabuhan Amoy, Kanton, Ningpo, dan Macao. Para nakhoda disambut dengan senang di Kayu Tangi dan Tatas oleh orang-orang Banjar, karena mereka membawa sejumlah barang kesukaan penduduk setempat. Berbagai macam barang terdiri dari sutera kasar dan halus, teh, kamper, garam, perkakas tembaga, barang-barang porselen dan lain sebagainya yang dapat ditukar dengan lada, emas, sarang burung dan lain-lain barang hasil daerah Banjar. Kedatangan mereka yang secara terus menerus membawa negeri Banjar masuk dalam lingkaran persinggahan para pedagang dari berbagai negara seperti Arab, Gujarat, disamping dari daerah-daerah tetangga seperti Jawa, Madura, Sulawesi, Lombok, Bali dan Sumbawa. Mereka berkumpul untuk saling mengadakan transaksi, namun komoditi dari Cina sangat menonjol peranannya. Pada permulaan abad ke-delapanbelas perdagangan jung menjadi begitu penting, bahwa sungai Barito dikenal pula dengan sungai Cina, sebab dipenuhi oleh jung-jung dari Cina. Demikianlah musim dari penawaran lada di Banjar adalah pada permulaan Oktober sampai Maret pada setiap tahunnya, jung-jung itu tidak seperti umumnya pedagang-pedagang yang lain, mereka tiba pada akhir bulan Februari . Menurut perhitungan bahwa kedatangan mereka yang terlambat berarti hanya akan mendapat sisa-sisa dari lada yang tidak terjual. Namun ternyata pepatah “yang datang pertama, dilayani pertama” tidak berlaku di lingkungan orang-orang Banjar. Adalah hal biasa bagi orang-orang Banjar untuk menyimpan sebagian besar persediaan ladanya untuk para pedagang jung. Mereka tidak hanya tertarik oleh barang dagangan Cina, tetapi juga oleh harga yang lebih tinggi yang ditawarkan. Misalnya pada tahun 1701 lada yang berasal dari Nigeria dijual kepada orang-orang Inggris dengan harga 1 dolar Spanyol untuk setiap 13 gantang, sedang kepada Cina seharga satu dolar Spanyol untuk setiap 9 gantang. Padagang-pedagang Inggris banyak yang menentang harga yang diberikan oleh orang-orang Cina, karena sangat merugikan mereka. Orang-orang Cina dapat menawarkan harga yang lebih tinggi karena mereka akan menaksir terlebih dahulu harga lada berdasarkan harga barang-barang Cina. Sedangkan pedagang-pedagang Inggris hanya dapat membayar lada dengan dolar Spanyol. Para pedagang Inggris akan membayar kontan semua lada yang dibelinya, sedang pedagang-pedagang jung jarang yang dapat membayar dengan kontan. Namun karena barangnya diminati penduduk setempat maka akan lebih mudah dan lebih banyak memperoleh lada. Sesudah kekalahan orang-orang Banjar dalam perang-perang Inggris-Banjar pada Oktober 1701, orang-orang Cina kehilangan tempat dan hak mereka dalam pasar lada. Karena sebagian besar tindakan raja Banjar diatur oleh Inggris sebagai pemenang perang, maka diperintahkanlah semua rakyatnya untuk menjual ladanya kepada orang-orang di bawah pengawasan Inggris, yang mendirikan tempat penjagaan yang terletak di muara sungai Barito. Dengan semakin berkurangnya jung yang mengunjungi Banjar membuat khawatir pada penguasa Inggris di sana. Untuk itulah maka kemudian mereka mengadakan perundingan dengan orang-orang Cina, yang pada intinya orang-orang Cina dijamin kemudahannya untuk berdagang dengan Banjar. Maka perdagangan barang dari berbagai negara di pelabuhan di pelabuhan itu kembali ramai. Pada tahun 1702 London mengatakan bahwa lebih mudah untuk mendapatkan barang-barang Cina di Banjar dari pada di Cina. Di pelabuhan ini calon pembeli dapat melihat terlebih dahulu barang yang akan dibeli, baru setelah kecocokan transaksi dilakukan. Hal ini mustahil dilakukan di Cina. Disamping orang-orang Cina menjual barangnya mereka juga banyak membeli barang-barang yang ditawarkan pedagang Inggris, seperti kain India, tembaga dan sebagainya. Sebelum pendirian permukiman Inggris di Banjar, pedagang-pedagang jung memperoleh barang-barang dari wilayah barat itu dari para pedagang Belanda di Batavia. Hubungan komersial antara Inggris dan pedagang-pedagang jung di Banjar berakhir sesudah pengusiran orang-orang Inggris oleh orang-orang Banjar dalam perang Inggris-Banjar yang kedua tahun 1707. Setelah itu orang-orang Cina membenahi diri. Mereka dapat bebas kembali untuk mengadakan transaksi dengan para pedagang lada Banjar dan Biaju. Jumlah orang-orang Cina yang berkumpul di daerah kerajaan makin hari makin besar. Mereka terdiri dari 2 golongan yakni pedagang-pedagang jung dan pedagang-pedagang menetap. Pedagang-pedagang jung hanya tinggal sementara di Tatas atau di tempat lain di daerah Banjar. Setelah selesai dengan aktivitas perdagangannya termasuk mengisi perbekalan kapalnya, mereka akan kembali berlayar ke Kanton, Amoy atau pelabuhan lainnya di Cina, baru kembali ke Banjar pada musim berikutnya. Sedang pedagang menetap, mulanya mereka juga seperti pedagang jung yang hanya tinggal sementara di Banjar, namun karena melihat kemungkinan untuk menjadikan Banjar sebagai rumah mereka yang kedua, maka kemudian mereka tinggal dan menetap. Beberapa diantara mereka membuat toko di kota atau pelabuhan, menjadi pedagang perantara antara pedagang jung dan pedagang Banjar. Terdapat sekitar 80 keluarga di Tatas dan Kayu Tangi sebelum Tahun 1708, jumlah mereka terus bertambah menjadi sekitar 200 keluarga sesudah periode itu. Secara berangsur-angsur beberapa diantara mereka dapat berkomunikasi dengan penduduk setempat dalam bahasa setempat. Mereka dengan mudah dapat berintegrasi, sehingga kemudian dapat bergerak bebas dimana mereka suka. Bahkan pimpinan mereka di Banjar, kapten Lim Kom Ko, sering diutus oleh para penguasa kerajaan Banjar untuk ikut mewakili dalam perundingan-perundingan dengan orang-orang Eropa.
b. VOC
Ketika J.van Michelen dan P.der Vesten berlayar ke Banjar untuk mencari lada pada tahun 1678, mendapat hasil yang jauh dari memuaskan. Oleh karena itu beberapa waktu perhatian orang-orang Belanda tidak tertuju ke daerah itu. Hubungan baru terjalin lagi pada tahun 1708 Lim Kim Ko, kapten Cina Banjar, datang ke Batavia sebagai utusan dari Sultan Suria Alam. Maksud kedatangannya itu adalah untuk menyampaikan kepada Pemerintah Pusat di Batavia bahwa mereka ingin kembali menjalin hubungan dagang dengan VOC. Dalam Perundingan itu penguasa Batavia menghendaki dilaksanakannya perdagangan bebas antara orang-orang Banjar dan penduduk Batavia. Mereka mengizinkan orang-orang Banjar untuk mengirim lada mereka ke Batavia, dan juga memberikan kebebasan kepada orang-orang Cina untuk membawa lada ke Batavia, dengan harga rata-rata 5 dolar Spanyol untuk setiap pikul. Lancarnya perdagangan ini mengakibatkan bahwa Pemerintah Pusat di Batavia lebih senang mempercayakan pembelian lada kepada mereka dari pada kepada pegawai-pegawainya sendiri. Pada Februari 1711, Gubernur Jenderal Abraham van Riebeek mencabut kebijaksanaan yang telah dijalankan sebelumnya. Diputuskan bahwa kapal The Peter and Paul akan pergi ke Banjar untuk membeli lada dan emas. Beberapa alasan diajukan untuk melakukan perubahan yang besar ini. Pertama jumlah lada yang didapat dari perdagang-pedagang Cina dianggap kurang memuaskan. Pada Tahun 1709, 850,000 pon lada dikirim oleh pedagang-pedagang Cina, namun jumlah ini terus berkurang. Pada tahun berikutnya jumlah lada yang diperoleh oleh para pedagang Cina yang pada bulan Agustus 1710 meninggalkan Banjar dengan 13 buah jung kedua, harga lada tidak lagi 5 dolar setiap pikul, tetapi menjual 7-8 dolar. Van Riebeeck melihat kenyataan bahwa Sultan Banjar ingin sekali memperbaharui hubungan Belanda-Banjar karena krisis politik yang sedang dialaminya. Untuk itu maka VOC harus mengambil kesempatan untuk memasuki pasar lada di Tatas dan Kayu Tangi, dan menghalangi Cina membeli banyak lada di sana. Selama periode 1700-1725 Pemerintah Pusat VOC di Belanda menambah permintaan ladanya untuk pasar di Eropa. Tetapi selama ini pemerintah di Batavia sukar untuk memenuhinya, maka hubungan baik dengan Banjar adalah merupakan kesempatan untuk menambah ladanya. Pemerintah Pusat di Batavia menyadari adanya desas-desus bahwa orang-orang Inggris bermaksud untuk kembali berdagang di Banjar. Maka untuk menjaga kepentingannya di Banjar para penguasa VOC bekerja keras untuk menghalangi kehadirannya. Antara lain dengan memerintahkan kepada Gubernurnya di pantai timur Jawa untuk menghalau kapal milik orang-orang Inggris yang bermaksud mengangkut barang-barang seperti batu kapur, beras ke Banjar. Pelayaran yang pertama dari VOC berhasil membawa sebanyak 826 2/3 pikul lada, jumlah itu berkuran menjadi 586 1/2 pikul pada tahun 1712. N.V.D. Bosch dan I. Indus, perusahaan yang mengelola Peter and Paul mengadakan pendekatan kepada Sultan Suria Alam, agar bersedia memberi mereka muatan lada untuk memenuhi kapalnya dengan harga 4 dolar per pikul. Dalam hal ini karena VOC telah memberikan bantuan kepada para penguasa Banjar untuk menumpas pemberontakan Biaju di Negara tahun 1711. Kurang dari satu bulan Peter and Paul telah berangkat dengan muatan lada penuh. Sangat disayangkan, kunjungan Belanda yang kedua pada Agustus 1712 tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan harapan memperoleh lada yang lebih banyak berdasar persetujuan bersama 2 orang wakil Banjar R. Aria dan Tanu Kati, yang datang ke Batavia pada awal 1712, Pemerintah Pusat di Batavia menyediakan 10.000 dolar untuk perusahaan Bosch dan Paul, yang menggantikan Indus, dan dikirim Luijtpol dan Jambl untuk menyertai Peter and Paul dalam mengangkut lada. Namun ternyata perusahaan itu tidak segera dapat membeli lada seperti dilakukan oleh para pedagang Cina yang bisa membeli secara langsung dari orang-orang Banjar, dengan harga 6-7 real setiap pikul. Akibatnya, hanya Peter and Paul yang bisa memperoleh muatan sebanyak 73.312 ½ pon atau 626 1/2 pikul. Para penguasa Belanda yang kecewa dengan hasil yang tidak memadai itu tiba-tiba memutuskan untuk menghentikan pengiriman kapal-kapalnya ke Banjar. Sedang di Banjar, peperangan antara orang-orang Banjar dan Biaju terus berlangsung yang mengakibatkan turunnya produksi lada. Maka kemudian Sultan Aria Alam mengutus wakilnya untuk menyampaikan kepada Gubernur Jenderal C. van Zwoll, bahwa Sultan akan memberikan monopoli perdagangan lada kepada VOC, jika VOC bersedia untuk membantunya menghadapai orang-orang Biaju dan Bugis. Pemerintah pusat di Batavia bersedia kembali mengadakan hubungan dagang dengan Banjar karena permintaan Pemerintah Pusat di Belanda semakin tidak dapat dipenuhi oleh Banten dan Jambi yang saat itu produksi ladanya sedang merosot. Demikianlah kemudian pada pertengahan 1727 Batavia kembali mengirim kapalnya dengan mendapatkan sebanyak 3.926 pikul. Ini adalah awal yang baik bagi perusahaan Landsheer and Bround dibandingkan perusahaan sebelumnya tahun 1727-1713. Pada tahun 1728 VOC mengirim 6 buah kapal yakni Miderbeek, Wolphardijk, Vol, Readhuis, Olifftak, dan Doonink, semua penuh dengan lada yang berjumlah 19785 pikul. Masih ditambah sebanyak 368.943 pon yang diangkut ke Batavia dengan kapal-kapal pedagang Banjar. Hal ini selain panen lada yang sedang baik, juga karena penguasa Banjar menekan para pedagang lada untuk menjual ladanya kepada orang-orang Belanda. Untuk selanjutnya hubungan perdagangan lada antara Belanda dan Banjar selalu mengalami masa pasang surut. Tentu saja kondisi politik tidak bisa terlepas mempengaruhi kebijaksanaan dalam bidang ekonomi.
c. Pedagang-pedagang Inggeris
Sejak diusirnya pada 1707, orang-orang Inggeris mencoba datang kemabli ke Banjar pada tahun 1713. Mereka mengharap bahwa kurangnya persediaan lada dari Malabar bisa dipenuhi oleh Banjar. Mereka berusaha meyakinkan Sultan Aria Alam atas kedatangannya untuk mengadakan kembali hubungan perdagangan, dan tidak untuk membicarakan peristiwa tahun 1707. Dengan muatan perak seharga masing-masing f 4,351 dan 4,313, Eagle Gallery dan Borneo berlayar ke Banjar tahun 1713. Pada kedatangannya di Tatas, pedagang-pedagang Inggeris menjumpai orang-orang Banjar yang tetap menyembunyikan kemarahan. Sementara para bangsawan Banjar, Raden Tuka dan Kiai Chitra Yuda dengan ragu-ragu menyambut kedatangan kapal itu sampai mereka yakin bahwa yang datang itu adalah kapal-kapal pedagang individu bukan orang-orang EIC. Pada mulanya kapal-kapal itu tidak bisa memperoleh lada, karena Inggeris tidak menyetujui atas harga 15 dolar Spanyol untuk setiap pikulnya. Demikianlah setelah diadakan perundingan, Inggeris bersedia untuk menyerahkan 20 tahanan dan 2 drum serbuk mesiu kepada Sultan untuk membantunya dalam perang Bugis-Banjar. Para penguasa Banjar kemudian mengirim sebanyak 4.000 pikul lada untuk Inggeris dengan harga 4 ½ dolar per pikul, ditambah sebesar suku atau ¼ real untuk pajak. Dalam transaksi perdagangan mereka, kapal-kapal itu menyewa rumah kayu kecil sebagai gudang untuk menyimpan ladanya yang dikirim oleh perahu-perahu Banjar sebanyak 4-5 pikul sekali angkut. Alasan orang-orang Banjar untuk tidak memberikan lada sekaligus dalam jumlah besar karena ketika itu dipedalaman sedang terjadi perang dengan orang-orang Biaju dan Bugis, selain itu pada musim hujan produksinya agak berkurang. Disamping itu kapal-kapal Inggeris masih mempunyai kesulitan untuk mendapatkan lada karena persaingannya dengan pedagang jung yang datang setiap bulan Maret dengan harga yang lebih tinggi. Pada September 1714, tak lama sebelum Eagle Gallery dan Borneo sampai di Tatas, pedagang-pedagang Inggeris hanya dapat mengumpulkan lebih sedikit lada dari pada tahun muatan penuh ketika berangkat dari Banjarmasin pada 10 Desember 1714. Pada waktu pelabuhan Tatas terancam serangan orang-orang Bugis, para penguasa Banjar menghendaki agar kapal-kapal Inggeris tidak meninggalkan pelabuhan, agar bisa membantu mempertahankan pelabuhan itu. Namun Reid salah seorang wakil dari pedagang-pedagang Inggeris menyatakan, bahwa mereka bersedia tetap menempatkan kapalnya di pelabuhan Tatas jika mereka bisa membeli lada seharga 4 3/4 dolar per pikul seperti Eagle dan Borneo. Namun para pangeran Banjar mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai hak kekuasaan untuk mengatur harga lada di pelabuhan bebas seperti Tatas. Disamping itu mereka juga tidak bisa melarang para pedagang lada menjual ladanya kepada pedagang individu maupun kepada perusahaan. Orang-orang Biaju memberontak karena para bangsawan mencoba untuk mencampuri pengiriman lada dan melakukan penarikan pajak. Para pedagang Banjar menambahkan bahwa orang-orang Inggeris tidak dapat mengatur harga seperti ketika mereka mempunyai kekuatan penuh di Banjar, sekarang mereka hanyalah para pedagang yang harus tunduk kepada kondisi yang ada, yakni membeli lada dengan harga yang ditetapkan oleh pedagang-pedagang Banjar. Selanjutnya para bangsawan tidak mau lagi membujuk Reid untuk membawa kapal-kapalnya ke Tatas. Disamping itu Reid sendiri juga merasa tidak ada gunanya untuk mengadakan perundingan dengan orang-orang Banjar mengenai pembelian lada, sejak seorang pangeran yang berkuasa disitu memberitahukan bahwa pedagang - pedagang jung telah mendapatkan kontrak untuk mendapatkan lada pada musim tahun itu. Jadi kemungkinan untuk mendapatkan lada adalah sangat sedikit dan harganya mahal. Reid merasa bahwa jika dia mau membayar harga yang sama dengan orang-orang Cina yakni 9-10 dolar per pikul, dia juga sangsi untuk bisa memperoleh lebih dari 20 pikul karena orang-orang Banjar selalu menukarkan lada dengan barang-barang Cina, bukan dengan uang. Setelah usahanya yang sia-sia untuk mengadakan perundingan dengan para penguasa Banjar, Reid meninggalkan Banjar tanpa lada. Demikianlah bahwa kepentingan Inggris atas lada di Banjar selalu harus berhadapan dengan pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
d. Pertambangan
Kebijaksanaan yang diambil pemerintah Belanda ialah menyewa tanah apanase milik pangeran Mangkubumi Kencana. Mangkubumi pada masa Pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah, untuk membuka tambang batu-bara di daerah Pengaron. Sewa tanah itu sebesar 10.000 Gulden setahun. Belanda mengambil inisiatif untuk segera eksploitasi terhadap sumber batu bara tersebut. Batu bara ketika sedang mempunyai banyak peminat di pasar dunia dan sumber batu bara tersebut banyak ditemukan di daerah Kerajaan Banjar. Pada tahun 1849 dibukalah di Pengaron oleh Gubernur Jenderal J.J. Rochassen dengan nama tambang batu bara Oranje Nassau. Tambang ini berproduksi 10.000 ton pertahun. Demikianlah optimisnya pembukaan pertambangan itu dan diharapkan sukses seperti tambang yang telah ditutup di Martapura, Julia Hermina dan Delft karena beberapa pegawai Belanda terbunuh selama Perang Banjar (1859-1905). Risiko seperti yang dihadapi oleh kedua pabrik di Martapura itu tidak mengecilkan semangat para investor untuk menanamkan modalnya pada usaha itu, karena prospeknya yang kelihatan cerah. Kompetisi di pasaran terjadi dengan batu bara yang diproduksi Inggeris, karena kemampuan kapal-kapalnya yang mempunyai daya angkut besar sehingga dapat menekan harga angkutan dari Asia ke Eropa. Perusahaan batu baru Pulau Laut didirikan pada 1903, sesudah dilihat adanya kemungkinan untuk mengeksploitasi secara terbuka. Modal yang cukup besar dari rencana 180.000 menjadi 2 juta gulden, untuk membuat laporan tentang situasi geologi daerah itu. Berdasarkan laporan inilah tidak kurang pemilik modal yang berminat menanamkan modalnya di Pulau Laut. Persiapan cukup matang diperlukan agar para investor dapat bekerja dengan baik di daerah itu, yakni membangun jalan untuk mengangkut batu, penyediaan tenaga buruh dan sebagainya. Sejumlah modal dan beratus-ratus kuli akan membawa perubahan pada kehidupan ekonomi dan sosial di pulau yang sepi itu. Ketika adminsitrator pertama J. Lousdorfer mendarat di Kota Baru pada 1908, dia menjumpai keadaan masyarakat yang sama sekali asing dari pengetahuannya, yakni mereka hidup dengan aturan yang sangat berbeda dengan yang dikenalnya. Produksi dari pabrik di Pulau Laut sebanyak 80.000 ton per tahun 1905. Pada tahun 1908 kemampuan produksi maksimum tercapai. Jumlah pegawai bertambah dari 150.000 orang kuli menjadi 2,300 orang kuli pada tahun 1910. Pulau Laut menjadi kekuatan ekonomi yang besar, menjadi salah satu daerah tambang batu bara terbesar di wilayah jajahan Belanda. Pada tahun 1912 pertambangan itu menghasilkan 165.000 ton. Namun pada tahun-tahun berikutnya hasil senantiasa mengalami pasang surut karena adanya persaingan dari negara-negara produsen yang lain di pasaran dunia.
e. Karet
Dengan tidak menentunya pasaran batu bara, pemerintah Hindia Belanda yang telah memberikan perhatian pada potensi daerah-daerah luar jawa mencoba untuk mengusahakan jenis komoditi lain. Dengan suksesnya tanaman tembakau di Deli, maka dicoba pula untuk mengembangkannya pula di daerah Banjar, namun ternyata hasilnya jauh dari memuaskan. Bersamaan dengan waktu pasar dunia sedang dibanjiri oleh permintaan komoditi jenis baru yakni karet, yang diperlukan oleh industri mobil, yang baru mulai berkembang saat itu. Untuk itulah para pengusaha swasta yang telah diberi keleluasaan untuk menanamkan modalnya di wilayah tanah jajahan, ada yang mencoba untuk membudidayakan karet di daerah Banjar. Para pengusaha Eropa mulai membudidayakan karet di daerah Banjar pada tahun 1906. Terdapat tiga daerah perkebunan besar yakni Hayup di Tanjung, Tanah Intan dan Danau Salak di Martapura. Ketiganya menggunakan tenaga kuli kontrak dari Jawa maupun dari daerah sekitarnya. Jenis kuli yang terakhir inilah yang nantinya akan menjadi pengusaha karet pribumi. Setelah masa kontraknya, terutama yang dari Hayup selesai, mereka kembali ke kampungnya dan menanam karet sendiri.Mereka sudah mendapat cukup pengalaman dalam pengolahan karet selama bekerja di Perkebunan Eropa. Harga karet yang tinggi sebelum Perang Dunia I mengakibatkan perluasan perkebunan karet di sana, terutama di daerah Hulu Sungai. Banyak tanah sawah yang dijadikan perkebunan karet. Tidak kurang dari 40% kepala keluarga di Hulu Sungai mempunyai perkebunan karet. Usaha budidaya karet di daerah Banjar kemudian dipekuat oleh modal-modal asing di luar orang-orang Belanda. Mulai dengan Hayup dan Tanah Intan yang dikelola oleh para pengusaha Inggeris, sedangkan Danau Salak pada 1917 dipegang oleh Jerman. namun setahun sejak menduduki daerah Banjar perusahaan-perusahaan perkebunan karet itu dijual kepada orang-orang Jepang dan sebagian kepada pemilik-pemilik modal Cina.
Salah satu pusat budi daya karet yaitu Hulu Sungai terus menambah jumlah pohon karetnya. Pada tahun 1924 terdapat sekitar 10 juta pohon yang dimiliki oleh sekitar 3.000 orang (rata-rata setiap pemilik mempunyai 300 pohon). Jumlah itu terus bertambah sehingga pada tahun 1963 terdapat tidak kurang dari 49 juta pohon dengan pemilik sekitar 12.000 orang, dengan luas perkebunan sekitar 50.000 hektar. Kebanyakan pohon itu ditanam pada waktu memuncaknya permintaan karet pada tahun 1920-an. Salah satu keistimewaan dari budi daya karet di daerah Banjar, bahwa pada mulanya mereka dipelopori oleh pengusaha-pengusaha asing, namun pada masa kemudian justru yang memegang peran adalah para pemilik kebun pribumi. Akibat dari naik turunnya produksi karet dan permintaan karet pasar dunia, yang dapat mengikuti perkembangan harga hanyalah karet rakyat, karena mereka menggunakan tenaga kerja mereka lebih banyak memakai tenaga anggota keluarganya sendiri. Demikianlah berkembangnya budi daya karet di daerah Banjar, maka pada sekitar tahun 1930-an kesejahteraan penduduk meningkat dengan pesat. Hal ini ditunjukkan antara lain dengan banyaknya rumah yang dibangun di daerah Hulu Sungai, disamping itu permintaan daerah Banjar akan barang-barang impor sangat meningkat, misalnya banyaknya permintaan akan sepeda, mobil dan sebagainya. Demikianlah gambaran secara garis besar tentang perdagangan di daerah Banjar, sejak dikenalnya daerah itu secara luas. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa perkembangan bidang ekonomi daerah Banjar sangat berlainan dengan pembabakan tentang sejarah ekonomi yang dikenal secara umum yakni adanya periode Tanam Paksa, periode Politik Pintu Terbuka dan periode Politik Etis. Ternyata bahwa pembabakan itu lebih sesuai untuk daerah pulau Jawa sedang untuk daerah-daerah luar Jawa, ternyata sangat berlainan. Bahkan dapat diperkirakan bahwa untuk setiap daerah luar Jawa yang satu dengan yang lainnya pun tidak sama. Untuk daerah Banjar atau sekarang dikenal denga nama Kalimantan Selatan kiranya lebih baik untuk diadakan pembabakan seperti yang telah diuraikan di muka yakni, periode kerajaan dan periode sesudah kerajaaan. Dasar dari pembabakan ini adalah pemegang peranan dalam bidang pereknomian bahwa pada masa kerajaan penduduk setempat lebih banyak memegang peranan, sedang pada masa sesudahnya dipegang oleh orang-orang asing, walaupun pada masa perkebunan karet penduduk juga ikut berperan penting tapi itu hanya karena keadaan yang tidak menguntungkan di pasar dunia, sehingga pengusaha asing enggan untuk melakukannya. Perekonomian daerah Banjar dalam hal ini dapat diketahui, bahwa komoditi mereka semuanya adalah komoditi pasar dunia. Oleh karena itu pasang surutnya juga sangat tergantung pada permintaan pasar dunia, sehingga terjadi diferensiasi jenis komoditi yang sangat besar, dari lada ke batu bara, kemudian dari batu bara ke karet. Dan tentunya variasi yang lebih beraneka ragam dari masa ke masa.
2. Kemelut Politik Abad ke-17
Panggung sejarah Banjar pada abad ke-17 diwarnai dengan berbagai kemelut. Kemelut bermula pada masa pemerintahan Sultan Hidayatullah, pemegang pucuk pimpinan tertinggi kesultanan Banjarmasin (1570-1595). Konflik politik terjadi antara kelompok etnis Biaju dan Banjar. Saat itu dominasi politik dipegang etnis Biaju, dibawah pimpinan permaisuri seorang Biaju-Islam, puteri Khatib Banun, seorang tokoh Biaju. Ketika Sultan Hidayatullah mangkat, puteranya Mustain Billah dari permaisuri seorang Biaju, yang berhasil berkuasa dengan bantuan kelompok sukunya, melalui penyingkiran dan pembunuhan lawan politiknya. Keadaan inhi seiring dengan mulai berkembangnya perdagangan lada. Pada abad ke-17, lada meningkat produksinya dan omzet perdagangannya sangat besar, begitu pula tambang emas terus meningkat. Hal ini menggerakkan VOC untuk mencari cara monopoli potensi ekonomi kesultanan Banjarmasin tersebut. Demikian pula dengan Inggeris, juga berusaha untuk memperoleh hak monopoli di kesultanan Banjarmasin. Akibatnya kedua bangsa Eropa ini bersaing, untuk merebut posisi di hati aparat kesultanan Banjarmasin. Persaingan ini membawa keuntungan bagi kesultanan Banjarmasin, yang merupakan kesultanan yang berorientasi dagang. Karena dengan persaingan itu, kesultanan Banjarmasin dapat menetapkan harga yang lebih tinggi. Namun demikian, keadaan ini membawa dampak bagi politik kesultanan Banjarmasin, artinya kemajuan ekonomi perdagangan dan beberapa kebijakan Sultan, yang menimbulkan pro dan kontra, terutama dari Dewan Mahkota. Dewan ini terdiri dari keluarga raja, para pangeran, Mantri, Kiai, sangat besar pengaruhnya terhadap penentuan kebijaksanaan politik kesultanan, bahkan hal inilah yang membatasi kekuasaan Sultan. Untuk menghadapi masalah perdagangan terhadap pedagang asing terutama Inggeris dan Belanda terdapat 4 kelompok yang saling bersaing dan bertentangan, karena bangsawan itu, juga menguasai perdagangan secara pribadi.
Ada 4 kelompok yang saling bersaing, antara lain :
1. Kelompok Sultan, Raja Itam, Adipati Anom dan Raja Mempawah adalah anggota Dewan Mahkota, tetapi menginginkan perdagangan bebas dan memanggil VOC hanya sebagai alat untuk menghadapi perluasaan kekuasaan Mataram atas wilayah Banjarmasin.
2. VOC sebagai kelompok yang berusaha untuk dapat monopoli lada di Banjarmasin yang pada tahun 1638 mengalami kegagalan.
3. Golongan bangsawan pengusaha, yaitu golongan bangsawan yang mempunyai usaha perdagangan secara pribadi, menyokong Inggeris sebagai alat menghadapi VOC.
4. Inggeris mengikuti VOC-Belanda, agar memperoleh hak monopoli dalam perdagangan lada di Banjarmasin yang disokong oleh golongan bangsawan pengusaha. Dan berusaha menghasut orang Makassar untuk menyerang Sultan.
Adanya kelompok-kelompok tersebut membawa konflik terutama antara intern kesultanan. Konflik ini memuncak tahun 1638. Raja Itam, anggota Dewan Mahkota, secara terang-terangan tidak mengakui kontrak dagang tahun 1635 yang dibuat Ratna Diraja Gidja Babauw, syahbandar atas nama Sultan dengan VOC, yang diwakili Henrick Bouwer, Anthonio van Diemen, Jan van den Burgh dan Steven Barentz. Karena sikap anti VOC secara terang-terangan, dan sifatnya menentang kebijaksanaan Sultan,maka Raja Itam dipecat sebagai anggota Dewan Mahkota dan hak miliknya disita. Konflik berawal dari sini. Raja Itam tidak tinggal diam, dan berusaha mengembalikan kekuasaannya kembali lewat Pangeran Adipati Anom, yang akan melakukan kudeta, jika loji VOC pindah ke tempat kedudukan Sultan yang baru. Sultan Inayatullah menyerahkan kekuasaan dan digantikan puteranya Ratu Anom dengan gelar Sultan Saidullah (1637-1642). Ratu Anom adalah gelar Sultan Inayatullah dengan permasisuri dari suku Banjar. Sebagaimana ayahnya, Sultan Saidullah juga seorang yang senang beribadat, dan pemerintahan diserahkan kepada Mangkubumi Pangeran Adipati Halid dengan gelar Pangeran Mangkubumi, yaitu saudara Sultan dan Ibu suku Jawa.
Dengan demikian, Sultan ini tidak terlalu berkecimpung dalam menangani kesultanan, sehingga konflik politik makin keras, dan muncul kubu-kubu yang saling bersaingan, antara lain:
1. Kubu Pangeran Adipati Anom (Putera Sultan Inayatullah dari permaisuri Biaju). Pangeran Adipati Anom atau Pangeran Suryanata adalah saingan berat Sultan Saidullah. Ia pro Inggeris bersama Raja Itam dan benci VOC. Ambisinya untuk berkuasa ini, nanti akan berhasil pada tahun 1663, setelah berhasil merebut kekuasaan kemenakannya Amirullah Bagus Kesuma (Putera Sultan Saidillah) atas bantuan kelompok etnis Biaju.
2. Kubu “swagers” (ipar) Sultan Inayatullah, ialah kelompok raja Sukadana, Raja Marta Sahary, Pangeran Antakusumah dan Adipati Halid (Pangeran Tapasena). Adipati Halid mempunyai kekuasaan besar, menjabat Mangkubumi, memiliki prajurit dan sangat menginginkan tahta. Kubu ini pro VOC.
3. Siasat Sultan Inayatullah (sesudah turun tahta) untuk mengimbangi dua kekuatan yang saling bersaing dan untuk menetralisir konflik, sebagai akibat dari pemerintahan Sultan Saidaullah yang lemah, yaitu menghidupkan golongan pro Inggeris dengan cara merehabilitasi Raja Itam, kliknya Pangeran Adipati Anom (Pangeran Suryanata). Tujuannya untuk mengimbangi Adipati Halid yang pro VOC.
Tahun 1673, adalah tahun yang penting dalam perjalanan sejarah Kesultanan Banjarmasin. Tahun itu titik awal terjadinya revolusi istana, dan ini berlangsung sepanjang abad ke-17, baru berakhir setelah Amarullah Bagus Kesuma berhasil menghancurkan kekuasaan Sultan Agung (Pangeran Adipati Anom atau Pangeran Suryanata) yang mengkudeta Amarullah Bagus Kesuma tahun 1663. Kekuasaan Sultan Agung direbut kembali oleh Amarullah pada tahun 1679, yang mengakhiri konflik politik pada abad ke-17. Pada tahun 1624 Sultan Saidullah meninggal, pada waktu itu Adipati Halid selaku Mangkubumi yang otomatis menjadi wali Sultan, dari putera mahkota Amirullah Bagus Kesuma yang belum dewasa. Tahun 1642 atau 1643 Pangeran Adipati Halid mengangkat dirinya menjadi Sultan dengan gelar Sultan Rakyatullah atau Pangeran Ratu, atau Sultan Tahlilullah. Pada tahun 1637, sebetulnya Pangeran Adipati Anom telah berusaha mengadakan kudeta terhadap ayahnya Sultan Inayatullah dengan cara membunuh ayahnya melalui dua orang Jawa sebagai pembunuh bayaran, tetapi gagal. Usaha kedua tahun 1642, juga gagal karena Adipati Halid mendahului mengangkat dirinya sebagai Sultan, pada saat putera mahkota belum dewasa. Kudeta Adipati Halid ini mendapat dukungan dari golongan bangsawan. Pada tahun 1660 terjadi perkembangan politik baru, putera Mahkota Amirullah Bagus Kesuma telah dewasa dan menuntut haknya sebagai Sultan yang sah. Tuntutan itu didukung Pangeran Adipati Anom dan para bangsawan serta kelompok Biaju yang menginginkan hak pemerintah itu diserahkan kepada turunan yang sah sesuai dengan legitimasi. Amirullah berhasil berkuasa tahun 1660-1663 dengan gelar Amirullah Bagus Kesuma. Kelompok Adipati Halid tetap berusaha memperoleh kekuasaan dan berhasil denga bantuan para bangsawan mengangkat puteranya Pangeran Aria Wiraraja sebagai Mangkubumi. Dengan demikian klik Adipati Halid tetap berkuasa. Pada saat berkuasa, Adipati Halid berhasil menjalin kontak dagang dengan VOC tahun 1660-1661, sebagai kelompok pro Belanda, kontrak ini memberi hak monopoli pada VOC. Dengan sendirinya Amirullah sebagai Sultan hanya boneka dari taktik kelompok Adipati Halid (Pangeran Tapasena) dan Mangkubumi Aria Wiraraja. Perjanjian yang dibuat pada saat Amirullah Kesuma berkuasa ini, menyebabkan golongan bangsawan tidak menyenanginya. Sebab, hak monopoli VOC, berarti tidak memberikan adanya kebebasan dalam perdagangan, sedangkan golongan bangsawan juga adalah para pedagang, yang memperoleh keuntungan dari perdagangan bebas. Karena itu pula, golongan bangsawan mendukung Adipati Anom (Pangeran Suryanata) mengadakan kudeta, merebut kekuasan dari Amirullah Bagus Kesuma. Pangeran Adipati Anom didukung juga oleh golongan etnis Biaju. Sedangkan Adipati Halid mendapat dukungan rakyat dan sebagian kaum bangsawan, yang memperoleh keuntungan di bawah kekuasaan Adipati Halid. Dua kubu yang bersaing ini, akhirnya di bawah kekuasaan Adipati Halid.
Dua kubu yang bersaing ini, akhirnya mengadakan kompromi :
1. Pangeran Adipati Halid atau Pangeran Tapasena tetap berkuasa di Martapura.
2. Pangeran Adipati Anom atau Pangeran Suryanata berkuasa dan memindahkan kerajaan di sungai Pangeran Banjarmasin dengan gelar Sultan Agung (1663-1679).
Pangeran ini mengangkut 10 pucuk meriam dan 600 prajurit dari Kayutangi Martapura. Adiknya, Pangeran Purbanegara menjadi raja Muda. Bagaimana nasib Amirullah Bagus Kesuma? Sultan yang malang ini sempat lari ke Alai dan mengumpulkan kekuatan di sana. Tahun 1666 Adipati Halid (Pangeran Tapasena) meninggal, menyebabkan golongan legitimitas bertambah kuat, sehingga Amirullah mendapat dukungan yang kuat pula. Pada tahun 1679, Amirullah menyerang Banjarmasin dan berhasil membinasakan Sultan Agung beserta keluarganya, dan sejak itulah Amirullah kembali dapat mengambil haknya sebagai Sultan di Banjarmasin (1680-1700) sampai akhir abad ke-17. Motivasi perebutan tahta, tidak terlepas dari percaturan politik, yang ada di belakang layar, terutama golongan bangsawan. Golongan bangsawan terkadang penentu dari keberhasilan suatu kudeta. Hal ini berkenan dengan kepentingan-kepentingan golongan bangsawan itu sendiri. Abad ke-17 ditandai dengan berakhirnya pemerintahan Amirullah Bagus Kesuma, yang berkuasa di kesultanan Banjarmasin untuk kedua kalinya (1680-1700). Sultan ini telah keluar sebagai pemenang perebutan kekuasaan selama abad ke-17, dengan mengalahkan saingannya, pamannya sendiri Pangeran Suryanata atau Pangeran Agung dan anaknya Pangeran Dipati. Keberhasilan Amirullah Bagus Kesuma tidak terlepas dari dukungan Bangsawan, yang diambil alih oleh pamannya sendiri. Selama pemerintahannya, Amirullah telah berhasil mempersatukan kembali kesultanan Banjarmasin yang terbagi dua, yaitu kesultanan Banjarmasin yang beribukota di Martapura dan kesultanan Banjarmasin yang beribukota di Sungai Pangeran Banjarmasin. Meskipun kesultanan Banjarmasin secara intern mengalami perpecahan dan konflik-konflik, namun secara ekstern tetap dipandang utuh, sehingga tidak ada campur tangan pihak asing, baik dari segi ekonomi maupun politik. Ketika orang-orang Makassar menyerbu Banjarmasin pada tahun 1681 dengan 5000 pasukan dan bahkan membuat pertahanan di tepi sungai Martapura, kesultanan Banjarmasin masih dapat menghancurkan dan mengalahkan pasukan Makassar. Hal ini disebabkan persatuan dapat dipelihara terhadap unsur-unsur yang mencoba menghancurkan kedaulatan kesultanan. Diduga serangan Makassar ini akibat hasutan Inggris yang mencoba melemahkan kesultanan Banjarmasin, agar Inggris dapat lebih berperan dalam perdagangan lada di wilayah Banjarmasin. Kekompakan kesultanan Banjarmasin dapat pula dilihat dari keberhasilannya mengalahkan Portugis yang ingin mencoba menanamkan ekspansi monopoli perdagangan tahun 1694, Inggris tahun 1707 juga berhasil dikalahkan, sedangkan Belanda (VOC) telah mengalami kepahitan pada tahun 1638. Abad ke-18 dimulai dengan masa pemerintahan Sultan Hamidullah yang bergelar Sultan Kuning (1700-1734). Pemerintahan pada masa Sultan tersebut dikenal dengan pemerintahan yang paling stabil, tidak ada pertentangan dan perebutan kekuasaan, tidak ada campur tangan bangsa asing baik politik maupun ekonomi, sehingga boleh dikatakan kesultanan Banjarmasin mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan ini. Rupanya, kepemimpinan Sultan Kuning yang cukup bijaksana, dan “kepekaannya” terhadap segala situasi yang dihadapinya, menyebabkan lawan-lawan politiknya tidak berani dan segan melakukan makar-makar yang merusak jalannya stabilitas pemerintah. Karena situasi ini telah mulai diciptakan oleh Amirullah Bagus Kesuma, ayah Sultan Kuning. Kemangkatan Sultan Hamidullah tahun 1734, merupakan pertanda awan mendung di kesultanan Banjarmasin. Kembali muncul penyakit lama, pertentangan kepentingan perebutan kekuasaan mulai terjadi lagi. Apalagi putra mahkotanya belum dewasa pada saat Sultan mangkat. Sesuai dengan tradisi, maka wali dipegang oleh pamannya atau adik Sultan Kuning yaitu pangeran Tamjidillah, sehingga kelak jika putra mahkota telah dewasa, barulah tahta kerajaan akan diserahkan. Pangeran Tamjidillah sebagai wali sultan mempunyai siasat yang lebih jauh, yaitu berkeinginan menjadikan hak kekuasaan politk berada dalam tangannya dan keturunannya. Untuk itu, Pangeran Mohammad Aliuddin Aminullah yang telah dewasa menjadi menantunya. Dengan perkawinan tersebut, putra mahkota tentunya tidak sampai hati meminta bahkan merebut kekuasaan dari mertuanya, yang berarti sama dengan ayahnya sendiri. Kenyataan memang demikian, sehingga putra mahkota tidak begitu bernafsu, untuk meminta kembali hak atas tahta kesultanan Banjarmasin. Oleh sebab itu, Pangeran Tamjidillah berhasil berkuasa selama 25 tahun dan mengangkat dirinya menjadi Sultan dengan gelar Sultan Sepuh (1734-1759). Tetapi bagaimanapun juga Pangeran Mohammad Aliuddin Aminullah ingin mengambil kembali hak atas tahta kerajaan sebagai ahli waris yang sah dari Sultan Kuning. Usahanya meminta bantuan VOC merebut tahta dari pamannya, sekaligus juga mertuanya, tidak kunjung tiba, karena itu dengan inisiatif sendiri, Pangeran Mohammad Aliuddin Aminullah berhasil lepas dari kungkungan pamannya dan melarikan diri ke Tabanio, sebuah pelabuhan perdagangan lada yang terpenting dari kesultanan Banjarmasin. Putera mahkota menjadi bajak laut untuk mengumpulkan kekuatan, dan menanti saat yang baik merebut kembali tahta pamannya. Sementara itu Sultan Tamjidillah pada tahun 1747 membuat kontrak dagang dengan VOC, yang merupakan dasar bagi VOC, untuk mengadakan hubungan dagang dan politik dengan kesultanan Banjarmasin sampai tahun 1787.
Perjanjian itu tertanggal 18 Mei 1747 tertulis huruf Arab-Melayu dan bahasa Melayu dan huruf Latin bahasa Belanda. Perjanjian yang tertulis dengan huruf Arab-Melayu dan berbahasa Melayu itu antara lain berbunyi: “Bahwa inilah surat perniagaan dan persahabatan yang telah dimufakatkan oleh Sultan Tamjidillah serta Ratu Anum dan sekalian orang yang besar-besar yang ada memerintahkan dalam negeri Banjar, maka sekalian itu mufakatlah dengan Kompeni Wilandia titah dari pada Gurnadur Jenderal Gustap Wilem Baron pan Imhoff serta dengan Raden pan India yang telah berbuat titah perintah kepada tiga orang Wilandia dan yang menjadi kepala perintah itu yaitu komandur Astipan Markus pan der Hiden dan dua orang pitur besar yang seorang Yan pan Suchtelen dan yang seorang Danil pan der Beruh maka yang tiga orang itu sama juga menanggung titah itu” “Syahdan tersebutlah perjanjian yang telah lalu itu tatkala pada zaman itu adalah Seri Sultan sangat kasih berkasihan dengan Kompeni Wilandia maka tiba-tiba tiada orang Banjar menurut seperti perjanjian yang telah lalu itu. Syahdan kemudian dari pada itu yang telah tersebut perlu Kompeni Wilandia membuat surat perjanjian tatkala pada zaman Seri Sultan sangat berkasih-kasihan dengan Kompeni Wilandia maka sekonyong-konyong tiada orang Banjar mengikuti seperti perjanjian yang dahulu itu adalah seolah-olah tiada surat perjanjian yang tinggal lagi pada sekarang ini. Syahdan maka tersebutlah dalamnya Gurnadur Jenderal dan segala Raden pan India dengan segalanya juga menitahkan tiga orang Wilandia akan membaharui surat perjanjian yang lebih patut antara kedua pihak itu supaya kekal berkekalan selama-lamanya dari pada sahabat bersahabat tiada berubah-ubah dalam kedua pihak itu dan adapun titah Kompeni itu tertanggung atas tiga orang Wilandia yaitu Komandir Astipan Markus pan der Hiden dan dua orang pitur besar yaitu Yan pan Suchetelen dan Danil pan der Beruh ialah yang akan membikin surat perjanjian yang baharu ini”75Dari pendahuluan surat perjanjian ini tidak dapat diketahui bahwa perjanjian yang telah dibuat sebelumnya, tidak ditaati oleh Orang Banjar, karena Orang Banjar memang di kenal sebagai pedagang bebas tidak mau terikat dengan aturan-aturan yang merugikan perdagangan mereka sendiri. Perjanjian ini dibuat antara Kerajaan Banjar yang dilakukan oleh Sultan Tamjidillah serta Ratu Anum dengan pihak VOC yang diwakili Steven Marcus van der Heijden, Yan van Suchtelen dan Danil van der Burgh atas perintah Gubernur Jenderal Gustaff Willem Baron van Imhoff.
75 Arsip Nasional, Surat-Surat Perjanjian antara Kesultanan Bandjarmasin, dengan Pemerintahan VOC, Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1835-1860, Jakarta, 1965, hal. 34.
Pasal-pasal dalam perjanjian itu menyangkut perdagangan monopoli lada di dalam Kerajaan Banjar. Dalam perjanjian itu disebutkan tentang harga patokan lada dan larangan bagi bangsa kulit putih selain VOC mengadakan perdagangan lada dengan kerajaan Banjar.
Pasal-pasal dari perjanjian itu antara lain adalah :
“Pasal yang kelima adalah Seri Sultan dan Ratu Anum telah berjanji pada hal memberi perniagaan dengan Kompeni Wilandia dan menjual sekalian lada di dalam negeri Banjar maka sekalian lada itu sekali-kali jangan di jual kepada tempat yang lain maka hendaklah Seri Sutan dan Ratu Anum mengerasi atas rakyat sekalian dalam negeri Banjar supaya jangan ada yang menjual pada lainnya selain Kompeni jua yang membeli lada itu.”
“Pasal yang keenam adalah Seri Sultan dan Ratu Anum membuat perjanjian dengan Wilandia dari pada melarang jenis orang putih yang datang berniaga ke negeri Banjar dari pada menjual dagangan atau membeli dagangan dan jikalau ada umpamanya melawan dari larangan itu hendak dihukumkan dengan bagaimana patut hukuman atasnya.”
“Pasal yang ketujuh mengikat juga kiranya Kompeni Wilandia seperti bicara Seri Sultan dan Ratu Anum dari pada sebuah wangkang Cina yang supaya boleh ia datang ke Banjar pada tiap-tiap tahun satu wangkang dan akan dagangannya itu mana sekehendak orang memikili akan tetapi menjual lada itu sekali-sekali tiada ia boleh orang Banjar menjual lada dengan orang Cina dengan putus harga delapan real dalam sepikul.”
‘‘Pasal yang kedelapan Kompeni Wilandia telah memutuskan harga lada dengan Seri Sultan dan Ratu Anum yang dalam sepikul itu enam real putus harganya selama-lama tiada berubah akan tetapi dalam sepikul itu adalah seratus kati atau seratus dua puluh lima pun dacin. Kompeni yang dipakai dan hendaklah lada itu kering dan bersih dalamnnya jangan ada seperti ciri seperti pasir atau batu yang kecil-kecil dan jikalau menimbang lada itu hendaklah ada dua orang pihak dari pada seri Sultan dan dua orang pula dari pada pihak Kompeni ........”.
76Perjanjian itu berisi dua belas pasal. Disamping ketentuan tentang harga yang sudah pasti juga meliputi persyaratan tentang kualitas lada, bahwa lada itu harus kering. Ketetapan monopoli tersebut juga menyangkut tentangnya para pedagang ke negeri Banjar. Orang Cina tidak boleh membeli lada kepada orang Banjar, tetapi harus membeli kepada kompeni. Kompeni membeli lada kepada Orang Banjar seharga enam real sepikul sedangkan Kompeni menjualnya kepada Orang Cina delapan real sepikulnya.
76 Arsip Nasional, ibid., hal. 36.
Monopoli tersebut juga mengatur bahwa Orang Banjar tidak boleh berlayar ke sebelah timur sampai ke Bali, Sumbawa, Lombok, batas kesebelah barat tidak boleh melewati Palembang, johor, Malaka dan Belitung. Kata-kata penutup dari perjanjian itu berbunyi : “Tamat surat ini perjanjian yang telah jadi di dalam istana Seri Sultan dan Ratu Anum di Kayu Tangi yang telahh mufakat dengan Kompeni Wilandia dalam hijrat seribu seratus enam puluh tahun kepada tahun Ba dan kepada bulan Rabi’ulawwal dan pada hari Chamis yaitu dua surat yang telah jadi dan dalam keduanya itu sama serta dengan capnya dan tapak tangan dan satu surat yang tinggal dibawah Seri Sultan dan Ratu Anum dan yang satu surat tinggal dibawah Kompeni”.77Perjanjian itu ditandatangani oleh Sultan Tamjidillah, dengan cap segi delapan di tengahnya tertera huruf Arab dan terbaca Sultan Tamjidillah. Pada bagian yang ditandatangani Kompeni tertulis : “Terbuat dan tersurat dalam bilik musyawarah kami dalam kota intan Batawiah pada enambelas hari bulan Juni tahun seribu tujuh ratus empat puluh tujuh”. Secara sepintas bahwa perjanjian itu mendudukkan pihak Kompeni Belanda pada posisi yang lebih dominan, tetapi pada praktiknya kemudian perjanjian itu hanya sekedar siasat bagi pihak kerajaan untuk melindungi terhadap pengaruh pihak lain, karena Orang Banjar selalu mengadakan transaksi perdagangan secara bebas dengan bangsa apa saja yang membeli lada. Kenyataan ini dapat diketahui bahwa setelah sembilan tahun kemudian diadakanlah perjanjian kembali sebagai usaha Kompeni Belanda untuk lebih mengefektifkan perjanjian tahun 1747. Perjanjian baru itu ditandatangani pada 20 Oktober 1756. Dalam pendahuluan dari surat perjanjian itu sebagai konsideran dari diadakannya perjanjian disebutkan bahwa : “Bahwa Tuan Yang Maha Mulia Gubernur Jenderal dan tuan-tuan yang maha bangsawan Raden pan India dengan sangat kesusakaran memandang dan beberapa kali telah mengetahui yang Sultan-Sultan Banjar dan dahulu-dahulu selamanya tinggal dalam kekurangan pada memelihara akan bunyi maksud waad perjanjian serta dengan adat yang tiada berpaut-pautan pda orang yang baik...” Selanjutnya dapat dibaca dalam konsideran perjanjian itu bahwa orang Banjar berdagang secara bebas dengan orang Cina, sehingga bunyi dalam perjanjian tahun 1747 tidak pernah ditepati. Konsideran itu berbunyi :
77 Arsip Nasional, ibid., hal. 37.
“.....Orang Cina sekarang lima tahun lamanya adalah membawa lada ke negeri Cina daripada yang telah dijanjikan dalam waad perjanjian.....” Larangan berdagang dengan orang Cina lebih dipertegas lagi dalam Pasal yang keenam, begitu pula larangan berdagang dengan orang Inggeris dan Perancis. Perjanjian tersebut juga menyangkut komoditi lainnya seperti sarang burung dan intan. Pasal yang kedua puluh dua dan yang ke dua puluh tiga menyebutkan bahwa Kompeni Belanda akan membantu Seri Sultan untuk menaklukkan kembali daerah kerajaan Banjar yang telah memisahkan diri seperti : Berau, Kutai, Pasir, Sanggauh, Sintang dan Lawai serta daerah taklukannya. Kalau berhasil maka Seri Sultan akan mengangkat Penghulu-Penghulu di daerah tersebut dan selanjutnya Seri Sultan memerintahkan kepada Penghulu-Penghulu tersebut untuk menyerahkan hasil dari daerah tersebut setiap tahun kepada Kompeni Belanda dengan perincian sebagai berikut : - Berau, dua puluh pikul sarang burung dan 20 pikul lilin. - Kutai, 20 pikul sarang burung dan 40 pikul lilin. - Pasir, 40 tahil emas halus dan 20 pikul sarang burung, serta 20 pikul lilin - Sanggauh, 40 tahil emas halus dan 40 pikul lilin - Sintang, 60 tahil emas halus dan 40 pikul lilin - Lawai, 200 tahil emas halus, dan 20 pikul sarang burung Perjanjian ini ditandatangani oleh Paduka Seri Sultan Tamjidillah di Kayutangi dalam halaman kediaman Seri Sultan pada tahun seribu tujuh ratus lima puluh enam hari Arba dua puluh hari bulan Oktober. Seminggu kemudian terjadi lagi perjanjian yang dibuat oleh Tuan Almusyarafat Pangeran Ratu Anum adalah gelar dari Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah, menantu Seri Sultan Tamjidillah dan juga keponakan Sultan dengan Kompeni Belanda. Perjanjian itu ditandatangani di benteng Tatas pada 27 Oktober 1756. Perjanjian ini dibuat atas inisiatif sendiri dari Ratu Anum dalam usahanya memperoleh tahta dari mertuanya, sesuai dengan perjanjian bahwa Seri Sultan Tamjidillah sebetulnya hanya berfungsi sebagai wali, sementara Ratu Anum belum dewasa. Pasal yang kedua dari perjanjian yang dibuatnya, menjelaskan usahanya merebut kekuasaan dan juga kekuasaan yang sekarang dipegang oleh Seri Sultan Tamjidillah adalah perbuatan seorang jahil yang hendak melenyapkan asal keturunan Sultan Banjar yang sah. Pasal yang kedua dari perjanjian itu berbunyi :
“Tuan Yang Maha Mulia yang tersebut sesungguhnya perikutan yang benar dan betul dari tahta kerajaan Banjar dengan sangat kesukaran dipandang yang kerajaan ini dengan tiada patut adalah memegang mana tahta tahta kerajaan nenek moyangnya sampai bapanya yang telah wafat Paduka Seri Sultan Chamidullah selama beberapa dalam suatu juga asal keturunan yang benar dan diperintahkan maka pada sekarang ini telah diambil tahta kerajaan Tuan Yang Maha Mulia oleh seorang jahil dengan tiada patut serta memecahkan janjinya di atas bilik ketiduran bapa Tuan Yang Maha Mulia tatkala pulang kerahmatullah, mana kala Tuan Yang Maha Mulia digenapi umur delapan belas tahun akan menyerahkan tahta kerajaan Banjar...” Kelanjutan dari perjanjian yang dibuat bahwa nanti kalau berhasil Ratu Anum menjadi Sultan dia berjanji akan menyerahkan Kerajaan Banjar kepada Kompeni Belanda dan jabatannya sebagai Sultan merupakan kerajaan pinjaman dari kompeni. Sebagai Kerajaan pinjaman Ratu Anum berjanji akan menyerahkan tiap tahun pada kompeni berupa : 1000 pikul lada hitam, 10 pikul lada putih, 11 karat batu intan, dan 100 real halus. Usahanya ini kemudian ternyata tidak berhasil karena itulah Ratu Anum mencari jalan lain dengan cara keluar dari ibukota Kerajaan, mengumpulkan kekuatan dan pengikut untuk pada suatu waktu yang tepat akan menyerang Kerajaan dan merebut tahta dari Seri Sultan Tamjidillah. Ratu Anum memilih Tabanio yang pada saat itu merupakan pusat kegiatan perdagangan. Perdagangan Muhammad Aliuddin Aminullah yang juga bergelar Ratu Anom tetap bermarkas di Tabanio, yang menurut Onderkoopman Ring Holm78 merupakan pusat perdagangan gelap yang paling ramai di Kalimantan. Setelah berhasil mengumpulkan kekuatan dan pengikut yang besar, Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah melaksanakan maksudnya semula yaitu merebut kembali tahta kesultanan, dari tugas pamannya yang sekaligus mertuanya, mengambil hak atas tahta sesuai dengan tradisi yang sah dari kesultanan Banjarmasin. Menggunakan sejumlah perahu dengan pengikut yang besar, Pengeran Mohammad Aliuddin Aminullah bertolak dari Tabanio menyusuri Tanjung Silat yang berombak besar dan terkadang angin bertiup kencang, kemudian memasuki sungai Barito, terus berbelok ke sungai Martapura, akhirnya sampai ke Martapura. Berita kedatangan Pangeran Mohammad Aliuddin Aminullah yang akan menyerang Martapura sempat menggemparkan keluarga istana, tetapi Pangeran Tamjidillah tetap tenang atas situasi yang gawat tersebut.
78 J.C. Noorlander, op.cit., hal. 38.
Dengan dasar pertimbangan supaya jangan terjadi pertumpahan darah antar keluarga sendiri, apalagi Pangeran Mohammad Aliuddin Aminullah adalah kemenakan dan menantunya sendiri, Pangeran Tamjidillah menyerahkan tahta kesultanan Banjarmasin, sehingga Pangeran Aliuddin berkuasa atas kesultanan Banjarmasin. Secara lahiriah Pengeran Tamjidillah ikhlas, menyerahkan tahta kepada keponakannya Pangeran Mohammad Aliuddin, tetapi secara sembunyi Pangeran Tamjidillah tidak senang hati atas berpindahnya tahta dari tangannya, apalagi sebetulnya sebagian besar kaum bangsawan mendukungnya sebagai Sultan. Hal inilah yang menyebabkan Pangeran Tamjidillah membuat siasat licik, untuk mengembalikan tahta ke tangannya. Ketika Pangeran Tamjidillah menyerahkan tahta kepada Pangeran Mohammad Aliuddin keponakannya, di hadapan para bangsawan dia mengatakan : “Biarlah tahta direbut oleh Ratu Anom (gelar Pangeran Mohammad Aliuddin) sebentar lagi juga akan mati” Ucapan ini lahir dari niat liciknya untuk melenyapkan Pangeran Mohammad Aliuddin sebagai Sultan. Bagaimana caranya? Kenyataannya Ratu Anom atau Sultan Mohammad Aliuddin Aminullah menderita sakit yang terus menerus dan menyebabkan kesehatannya makin lama makin mundur dan pada tahun 1761 dia meninggal dengan meninggalkan putera mahkota yang masih kecil. Diduga kematian Sultan ini akibat diracun. Meskipun pemerintahannya hanya berlangsung 3 tahun, dia mempunyai sikap politik yang keras terhadap VOC, sehingga lebih banyak berusaha menguntungkan perdagangan Kerajaan, daripada harus tunduk pada kemauan Belanda. Pemimpin-pemimpin VOC yang pernah berhubungan dengan Sultan Aminullah, harus sangat berhati-hati, sehingga Sultan tidak merasa tersinggung, karena watak Orang Banjar sangat keras kalau dia tersinggung. Hal ini dilaporkan oleh VOC kepada Residen de Lilc79 yang berbunyi sebagai berikut : “Residen jangan mengira bahwa di Banjar ini sama halnya dengan di Banten atau Jawa. Orang Banten atau Orang Jawa walaupun dia dipukul kompeni dengan cambuk di kepalanya, sekali-kali tak berani mengatakan bahwa pukulan itu sakit, tapi orang Banjar mendengar kata-kata yang keras saja sudah marah dan bila sampai terjadi begitu maka seluruh Banjar akan merupakan buah-buahan yang banyak pada satu tangkai”. Siasat Pengeran Tamjidillah berhasil, karena Sultan Muhammad Aliuddin meninggal, Putera Mahkota masih kecil, karena itulah Mangkubumi kembali berada di tangannya sebagai wali Sultan yang belum dewasa, dan dia menunjuk anaknya Pangeran Nata Alam atau Natadilaga sebagai wali sultan yang kemudian terkenal sebagai Susuhunan Nata Alam, raja dari kesultanan Banjarmasin yang terbesar dalam abad ke- 18.
79 J.C. Noorlander, ibid., hal. 42, sebagaimana terjemahan M. Idwar Saleh.
Cerita lama yang pernah dialami oleh Pangeran Aliuddin Aminullah setelah ayahnya Sultan Kuning meninggal, kembali terulang setelah Sultan Aminullah meninggal. Wali Sultan Nata Alam berusaha agar tahta tetap dipegangnya dan ahli waris berada pada garis keturunannya. Nata Alam mulai mengatur siasat untuk melaksanakan ambisinya. Pertama-tama dia berusaha memperoleh dukungan kaum bangsawan, dan ternyata dukungan dengan mudah diperolehnya. Selanjutnya dia mengangkat puteranya sebagai penggantinya kelak dengan gelar Sultan Sulaeman Saidullah yang saat itu baru berusia 6 tahun (1767). Limabelas tahun kemudian yaitu pada tahun 1782 kembali diangkatnya cucu yang baru lahir dengan gelar Sultan Adam Al Wasik Billah. Tindakan ini merupakan realisasi dari siasatnya untuk mengekalkan tahta atas garis keturunannya dan mendapat dukungan dari kaum bangsawan yang memang dengang mudah diperolehnya.
Siasat selanjutnya ialah Nata Alam mengangkat dirinya sebagai Sultan Kerajaan Banjar (1787 – 1801) dengan gelar-gelar :
a. Panembahan Kaharuddin Halilullah
b. Alamuddin Saidillah
c. Abdullah
d. Amierilmu’minin Abdullah
e. Ami Ail Mu’minin Abdullah
f. Susuhunan Nata Alam
g. Pangeran Nata Dilaga
h. Pengeran Wiranata
i. Pangeran Nata Negara
j. Panembahan Batuah
k. Sultan Tahmidullah
Sultan Muhammad Aliuddin meninggalkan putera-putera yang berhak menggantikan kedudukan sebagai Sultan ketika dia wafat, yaitu Pengeran Abdullah, Pangeran Rahmat dan Pangeran Amir. Anak-anak yang berhak atas tahta ini satu persatu meninggal, Pangeran Abdullah meninggal, kemudian disusul Pangeran Rahmad, keduanya mati dicekik. Sekarang menunggu giliran pangeran Amir menyadari atas kejadian terhadap saudara-saudaranya, karena itu sebelum terlambat dia meminta diizinkan meninggalkan Kesultanan Banjarmasin dengan alasan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Sultan Nata Alam mengizinkan, karena berarti bahwa satu-satunya pewaris tahta sudah tidak berada di tempat lagi. Ternyata Pangeran Amir tidak berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji tetapi dia singgah ke Pasir ke tempat pamannya Arung Tarawe. Arung Tarawe menyanggupi memberi bantuan pada Pangeran Amir, untuk menyerang Martapura, untuk merebut tahta dari Pangeran Nata Alam. Perjanjian ini yang menyebabkan peperangan dan sebagai peristiwa yang terburuk bagi Kesultanan Banjarmasin, sebab dalam peperangan perebutan tahta ini bangsa Belanda dan orang-orang Bugis ikut campur tangan. Dengan demikian peperangan ini melibatkan pertentangan antar suku, yaitu suku Banjar dan suku Bugis, juga melibatkan orang Belanda sebagai bangsa yang “haus daerah”, untuk dijadikan tanah jajahan. Pada tahun 1785 Pangeran Amir dengan bantuan Arung Tarawe menyerang Martapura. Pasukannya dengan 3000 orang Bugis dengan kekuatan 60 buah perahu berangkat dari Pasir melalui Tanjung Silat mendarat di Tabanio, pelabuhan lada terbesar dari Kesultanan Banjarmasin. Di Tabanio pasukan Bugis melakukan pembunuhan terhadap rakyat yang tidak berdosa yang tidak mengerti persoalan dan tidak mengerti perebutan tahta, pemusnahan kebun lada, sumber potensial dari perdagangan Kesultanan Banjarmasin dan sumber penghasilan rakyat, menawan rakyat dan selanjutnya dijadikan budak oleh orang Bugis, hal ini menyebabkan terjadinya pertentangan suku, suku Bugis dan suku Banjar. Hal ini pula menyebabkan hilangnya simpati rakyat Banjar terhadap pangeran Amir, sehingga rakyat Banjar tidak ada yang membantu perjuangan Pangeran Amir, suatu siasat yang merugikan Pangeran Amir sendiri. Memang penyerangan Pangeran Amir ini, sebagai realisasi balas dendam akan kematian ayahanda dan saudara-saudaranya. Penyerangan Pangeran Amir ini menyebabkan Pangeran Nata Alam membuat kontrak baru dengan VOC pada tahun 1787 untuk menjaga stabilitas kekuasaannya agar tetap berada di tangannya dan garis keturunannya.
Hal-hal penting dari perjanjian itu ada 4 point :
1. Sultan menyerahkan daerah kekuasaannya atas Pasir, Laut, Pulo Tabanio, Mendawai, Sampit, Pambuang, Kotawaringin pada VOC.
2. Kerajaan Banjar adalah vazal VOC dan Sultan cukup puas dengan “uang tahunan”
3. Pengangkatan Sultan Muda dan Mangkubumi harus mendapat persetujuan VOC.
4. Kerajaan Banjar, hanyalah diperintah oleh keturunan Sultan Nata Alam.
Pangeran Nata Alam menyadari bahwa atas serangan Pangeran Amir dengan pasukan Bugis tersebut, dan hanya VOC yang dapat menyelamatkannya, karena itulah tidak ada pilihan lain bagi Pangeran Nata, bahwa dia harus meminta bantuan VOC untuk mengusir pasukan Bugis tersebut. Pangeran Nata Alam mengatur siasat bahwa bagaimanapun juga Belanda harus dijadikan tameng untuk melindungi kedaulatannya, tetap terikat daengan Kesultanan Banjarmasin tetapi bukan sebagai penguasa.
Perjanjian yang diadakan oleh Sultan Nata Alam terdiri dari : Acte van Afstand 13 Agustus 1787, Tractaat 13 Agustus 1787, Proclamatie 1 Oktober 1787, dan Sep. Articul het Tractaat van 13 Agustus 1787, 22 April 1789. Perjanjian ini tertulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Belanda dan bahasa Melayu huruf Arab. Dalam isi perjanjian itu tergambar situasi politik yang penting, yaitu saat serbuan orang-orang Bugis yang dipimpin oleh Pangeran Amir. Nama Pangeran Amir memang tidak ditemukan dalam serbuan yang menggoncangkan kerajaan tersebut tetapi serbuan orang Bugis tersebut adalah bantuan Pangeran Tarawe, paman dari Pangeran Amir. Kehadiran pasukan kompeni Belanda membantu Pangeran Nata, merupakan pasukan juru selamat terhadap kehancuran pemerintahan Pangeran Nata. Karena itulah dalam butir-butir isi perjanjian kedudukan Kompeni Belanda menunjukkan posisi dominan. Lebih tragis lagi adalah posisi Kerajaan Banjar hanya sebagai sebuah kerajaan pinjaman dari milik kompeni Belanda. Dalam Acte van Afstand tersebut, kedudukan Kerajaan Banjar sebagai kerajaan pinjaman, sebetulnya merupakan hasil dari permusyawaratan seluruh pembesar kerajaan disebutkan bahwa : “.....akan menjadi paedah serta selamat bagi negeri beserta rakyat maka setelah aku bermusyawaratan timbang menimbang perkara-perkara itu bersama-sama dengan anandaku yang sudah terpilih akan ganti kedudukanku Sultan Soleman dan cucuncaku Sultan Adam dan Perdana Mantriku Ratu Anom Ismail beserta sekalian raja-raja dan orang-orang besar dari istana tahta kerajaan negeri Banjar maka kami sekalian kira-kira terbaiklah dan sudah dihitung pada hati kami menyerahkan diriku beserta sekalian rakyat tahta kerajaan negeri Banjar betul kepada perlindungan dan pernaungan kompeni maka dari karena sebab itu juga dengan surat yang terbuka ini aku mengaku dan mengatakan baik bagi diriku sendiri baik bagi zuriat-zuriatku yang akan mengganti kedudukanku dan bagi waris-warisku turun temurun aku menanggalkan sekalian pangkat-pangkat kerajaanku dengan sekalian tanah-tanah dan negeri-negeri beserta pulau-pulau dan teluk rantau dan sungai-sungai.80 Para pembesar kerajaan yang ikut menyaksikan semua perjanjian yang dibuat dan ikut menandatangani selain Sunan Nata Alam, Sultan Soleman dan Sultan Adam Al Wasik Billah adalah : Pangeran Mangkudilaga, Pangeran Aria, Pangeran Isa, Pangeran Zainal, Pangeran Marta, Gusti Tasan serta Perdana Mantri Kerajaan Ratu Anom Ismail. Sedangkan para pembesar golongan Kiai, ikut pula menandatangani : Kiai Surengrana, Kiai Tumenggung, Kiai Martadangsa, Kiai Maesa Jaladeri, Kiai Rangga, Kiai Jayengpati, Kiai Durapati, Kiai Surajaya, Kiai Jayadirana dan Kapitan Kartanegara.
80 Arsip Nasional, op.cit., hal. 84.
Kemenangan diplomasi yang diperoleh Pangeran Nata Alam adalah bahwa kompeni Belanda harus meminjamkan Kerajaan Banjar yang merupakan pinjaman abadi, tidak boleh dibatalkan kepada Pangeran Nata dan keturunannya. ”.....wakil Kompeni Kristopel Hopman menyerahkan kepada aku Sultan Soleman Sa’isullah dari pihak mana kompeni Wilanduwi seperti barang yang diberi pinjam yang baka tiada boleh mati agar supaya aku dan aku ampunya zuriat yang mutachirin seperti anakndaku Pangeran Ratu Sultan Soleman dan cucundaku Sultan Adam duduk memerintahkan dan menyelenggarakan kerajaan beserta rakyat….81Kemenangan diplomasi lainnya adalah bahwa kerajaan Banjar sebagai kerajaan pinjaman yang kedudukannya setengah jajahan, tetapi persetujuan itu menghasilkan keputusan bahwa Kerajaan Banjar menempati kedudukan sebagai kerajaan yang kedudukannya setarap dengan Kompeni Belanda, sebagai kerajaan merdeka. Kedudukan sebagaimana sebuah kerajaan merdeka itu dalam hal penghormatan terhadap wakil Kerajaan Banjar yang akan menghadap Gubernur Jenderal di Batavia dengan penghormatan sambutan tembakan meriam, sebagaimana sambutan terhadap negara lainnya. Begitu pula sambutan yang sama diberikan apabila wakil kompeni Belanda yang akan menghadap Sultan di Bumi Kencana Kerajaan Banjar. Persetujuan tentang persamaan kedudukan itu terhadap pada pasal 31 : “Pasal tiga puluh asa. Adapun sebagaimana akan dihormati dengan menembak kepada Paduka Seri Sultan ampunya surat-surat yang dibawa datang di Banjar kepada pitor besar atau di Batavia kepada Paduka Gurnadur Jenderal dan Raden van India maka begitu juga surat-surat yang datang dari Batavia oleh Paduka Gurnadur Jenderal dan Raden van India atau yang dibawa dari pitor besar yang dinegeri Banjar kepada Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan itu hendaklah diberi hormat begitu juga sebagaimana harus dan patut yakni surat-surat yang dari oleh Gurnadur Jenderal dan Raden van India serta dari oleh Yang Maha Mulia paduka Seri Sultan akan dihormati dengan tembak lima belas kali dan surat dari pitor besar dengan tembak tujuh kali adanya….82
81 Arsip Nasional, ibid., hal. 85. 82 Arsip Nasional, ibid., hal. 104.
Panggilan atau sebutan terhadap Sultan berbeda dengan sebutan terhadap Gubernur Jenderal Belanda. Kalau terhadap Sultan disebut Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan, tetapi sebutan untuk Gubernur Jenderal Belanda hanya disebut paduka Gubernur saja. Kata-kata penghormatan ini menunjukkan bahwa Kerajaan Banjar dipandang Belanda sebagai kerajaan besar yang memperoleh kehormatan sebagai negara merdeka. Hal ini dibuktikan lagi dengan penghormatan 15 kali tembakan meriam untuk wakil Sultan sedang untuk wakil kompeni hanya dengan tujuh kali tembakan meriam. Acte van Afstand ini diperkuat lagi dalam Tractaat 13 Agustus 1787 yang berisi 36 pasal dan ditanda-tangani di ibukota kerajaan, Bumi Kencana. Kemenangan diplomasi Pangeran Nata Alam bahwa yang memerintah Kerajaan adalah keturunan Nata Alam, diperkuat lagi dalam Proclamatie 1 Oktober 1787. Proklamasi itu selain menyatakan bahwa Kerajaan Banjar merupakan kerajaan pinjaman dari Kompeni Belanda, juga mempertegas lagi bahwa keturunan Nata Alam lah yang berhak memerintah kerajaan itu. “......Lagipula tahta kerajaan itu Tuan Yang Maha Bangsawan Gurnadur Jenderal dan Raden van Indie menyerahkan pula dari pihak mana Kompeni Wilanduwi seperti ariyati barang pinjaman yang baka tiada boleh mati kepada Tuan yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan Soleman Sa’idallah agar supaya diperintah dan menyelenggarkan tahta kerajaan….83Dalam perjanjian yang dibuat ini Pangeran Nata Alam menyebut dirinya sebagai Paduka Seri Sultan Soleman Sa’idallah sedangkan cucunya Sultan Adam Alwasikubillah, kesemuanya ikut menandatangani perjanjian yang dibuat. Perdana Mantri yang jabatan Perdana Mantri kadang-kadang disebut pula sebagi Mangkubumi, tetapi dalam Tractaat 1 Oktober sebagai penjelasan dari Proclamatie 1 Oktober, disebut sebagai Wazir mu’adlam. Dalam Tractaat 13 Agustus 1787 yang terdiri atas 36 pasal kedudukan Kerajaan Banjar sebagai kerajaan pinjaman lebih diperinci lagi, sehingga wilayah kerajaan Banjar tidak sebesar wilayah sebelumnya. Dalam Tractaat itu dijelaskan bahwa Kerajaan Banjar melepaskan negeri-negeri Pasir dengan daerah takluknya; Pulau Laut beserta sekalian yang berwujud pada dekatnya; Tabaniau beserta dengan pesisirnya, gunung-gunung serta separo dari dusun Tatas dan Dayak-dayaknya dengan Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin. Orang asing selain orang Eropah adalah orang yang bukan anak Banjar. Orang Cina, Bugis, Makassar, Mandar dan Bali dalam perjanjian itu dikelompokkan sebagai orang asing dan mereka tunduk pada Hukum Kompeni Belanda.
83 Arsip Nasional, ibid., hal. 124.
Dengan demikian kalau orang asing ini melakukan kejahatan, mereka dihukum berdasarkan hukum Kompeni Belanda, meskipun tindakan mereka itu di dalam negeri Kerajaan Banjar. Khusus untuk orang Cina yang telah melakukan perniagaan dengan berniaga dengan orang Banjar dan dalam negeri Kerajaan Banjar. Sedangkan bangsa asing lainnya harus mendapat persetujuan dari Kompeni Belanda terlebih dahulu. Belanda mengirimkan bantuan dibawah pimpinan Hoffman, disamping sebagai wakil Belanda dalam masalah kontrak yang baru dibuat juga sebagai pimpinan bantuan untuk mengusir pasukan Bugis dari Kesultanan Banjarmasin. Pasukan Pangeran Nata bersama rakyat Banjar dan dibantu oleh pasukan VOC berhasil mengusir pasukan Bugis, dan menangkap Pangeran Amir dan selanjutnya dibuang ke pulau Ceylon (Srilangka). Kemenangan perang berarti kemenangan bagi Pangeran Nata untuk memperoleh hak waris atas garis keturunan Sultan Kuning. Berakhirnya perang melawan Pangeran Amir, berarti berakhir pula pertentangan selama periode abad ke- 18 antara keturunan Sultan Kuning dalam “Kesultanan Banjarmasin”. Kemenangan perang ini bagi Belanda, juga merupakan keuntungan besar sebab, bantuan Belanda bukanlah sia-sia dan hadiah dari kemenangan itu bagi Belanda sangat besar. Hak politik berada dalam tangan Belanda atas Kesultanan Banjarmasin bahkan Kesultanan Banjarmasin tak lebih dari sebuah vazal dari Belanda. Tetapi kenyataannya bukanlah demikian, Belanda hanya memperoleh impian dari kemenangan tersebut. Pangeran Nata sekarang mulai mengatur siasat untuk mengusir kekuatan Belanda dari Kesultanan Banjarmasin. Tidak dengan kekuatan bersenjata tetapi dengan taktik perdagangan. Sejak perjanjian tahun 1787 sampai dengan 1797 merupakan sandiwara politik Kesultanan Banjar yang terbesar dengan Sultan Nata Alam sebagai pemeran utamanya. Segala rencana perdagangan VOC disabot, bajak laut diorganisir untuk merampok kapal-kapal Belanda, perdagangan bebas dengan bangsa berjalan dengan lebih ramai sehingga VOC tidak berhasil memperoleh monopoli sebagaimana yang disebutkan dalam kontrak 1787. Siasat yang paling berhasil yang dilakukan Sultan Nata Alam ialah menghancurkan kebun lada sehingga populasi produksi lada berada dalam batas minimal. Menjelang tahun 1793 perdagangan lada sangat merosot ditambah dengan bajak laut yang menutup muara sungai Barito sehingga melumpuhkan perdagangan VOC. Mengenai kegagalan perdagangan Belanda di Banjarmasin disebutkan sebagai berikut : “Betul-betul licin orang-orang Banjar itu terhadap suatu “Grootmacht” seperti VOC yang telah berpengalaman dua abad lebih mengenai soal-soal Banjar, begitu lamanya mereka dengan diam-diam menyembunyikan sebab-sebab sebenarnya daripada kegagalan pengluasan kekuasaan VOC. Baru lama kemudian setelah perlawanan diam-diam ini tak perlu dirahasikan lagi, VOC mengerti bahwa dia telah bertahun-tahun ditipu”.84Bagi Belanda, Banjarmasin merupakan pos pengeluaran belaka dan sama sekali tidak mendatangkan keuntungan, bahkan menimbulkan kerugian, sehingga bagi Belanda mempertahankan melanjutkan hubungan dengan Banjarmasin menjadi beban yang berat. Setelah melihat keberhasilan politik yang dijalankan maka Pangeran Nata mengirimkan utusan ke pulau Pinang, pusat perdagangan Inggris untuk bersama-sama mengusir Belanda dari kerajaan Banjarmasin. Begitu pula dikirim utusan ke Batavia, supaya VOC meninggalkan Banjarmasin. Belanda akhirnya tahun 1797 mengirim komisaris Boekholtz ke Banjarmasin dan membuat kontrak tahun 1797 yang sangat memalukan VOC. Akhirnya VOC meninggalkan Banjarmasin. Komisaris Francois van Boekholtz mengadakan pembicaraan dengan Sultan, Sultan Adam dan Wazir Tuan Raden Dipati Anum Ismail bertempat di istana Bumi Kencana Martapura mengenai masalah yang menyangkut kontrak yang dibuat tahun 1787. Kedatangan Boekholtz ini menemui Sultan dan pembesar istana kerajaan karena sebelumnya terdapat beberapa issu yang negatif terhadap perjanjian tahun 1787 khususnya pihak Kerajaan Banjar terdapat sikap mengabaikan semua isi perjanjian dan sikap untuk membatalkan semua perjanjian itu. Selama sepuluh tahun perjanjian itu ternyata Kompeni Belanda tidak memperoleh keuntungan sama sekali.
Kegagalan perjanjian itu menurut penilaian Komisaris Francois van Boekholtz terdapat pada dua masalah pokok ialah :
a) Kegagalan terhadap monopoli perdagangan lada yang sebelumnya diharapkan medatangkan keuntungan yang sangat besar bagi Kompeni Belanda, dan yang kedua.
b) Sikap Sultan yang tidak tulus membalas budi Kompeni Belanda yang telah membantu Kerajaan untuk menghancurkan serbuan Pangeran Amir dengan pasukan Bugis Pasir.
Pembicaraan dengan pembesar kerajaan itu menghasilkan kesimpulan bahwa Sultan dan seluruh pembesar kerajaan mengusulkan agar Sultanlah yang memegang seluruh wilayah kerajaan dan memerintah bukan atas dasar pinjaman dari Kompeni. Dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan perjanjian tahun 1787 mendatangkan kerugian bagi Kompeni Belanda, lagi pula banyak kesukarannya bagi Orang Kulit Putih mengawasi pelaksanaan monopoli perdagangan lada dan lainnya, kesulitan karena berbeda adat istiadat apalagi terhadap Orang Dayak yang suka memotong kepala, disamping perjalanan yang ditempuh sangat jauh, akhirnya Kompeni Belanda mengadakan perjanjian tahun 1789 yang sangat merugikan dan menunjukkan kekalahan diplomasinya.
84 J.C. Noorlander, op.cit., hal. 125, terjemahan M. Idwar Saleh.
Perjanjian itu terdiri atas 13 pasal dan ditanda tangani di Bumi Kencana istana Sultan dan di Batavia. Para pembesar istana yang ikut membubuhkan tandatangan mereka terdiri dari : Sultan Soleman, Sultan Adam, Penembahan Batu Ratu Anum Ismail, pangeran Ishak dan Pangeran Hasin. Dari pihak Kompeni Belanda adalah : Van Boekholtz sebagai Komisaris, A.W. Jorissen, Wm. Bloem, A.B. Dietz, S.H. Rose Seer dan P.G. van Overstraten. Pasal yang ketiga dari perjanjian itu menyebutkan bahwa Kompeni Belanda menetapkan Sultan Suleman Sa’idallah yang berkuasa memerintah di atas sekalipun tanah Kompeni dan Sultan pulalah yang memelihara Kerajaan itu sebagai kepunyaan sendiri. Segala keuntungan dari hasil kerajaan termasuk segala jenis sarang burung dan semua komoditi perdagangan yang sebelumnya menjadi hak Kompeni Belanda, sekarang diserahkan kepada Sultan. “..... Maka dari itu sekarang Kompeni tetapkan Tuan Sultan Suleman Sa’idallah yang kuasa memerintah di atas sekaliannya tanah Kompeni serta Sultan Suleman pula yang kewakilan dari Kompeni menjaganya dan memeliharanya seperti Tuan Suleman punya sendiri. Tambahan lagi Tuan Suleman pula yang menerima hasil-hasil dari sekalian negeri dan desa-desa. ......Lagi pula Kompeni kasihkan kepada Tuan Suleman keuntungan dari barang yang dapat keluar dari jenis sarang burung….”85Pasal keempat menetapkan bahwa kedaulatan atas daerah Pasir dan Laut Pulau yang telah diambil Kompeni, dikembalikan kepada Sultan. Inilah bukti kemenangan diplomasi Sultan Nata Alam yang menyebabkan Sultan berkuasa atas kerajaan sebagaimana sebuah kerajaan merdeka tanpa camput tangan kompeni Belanda. Biaya yang dikeluarkan Kompeni Belanda untuk memenuhi isi perjanjian tahun 1787, tidak sebanding dengan hasil yang diharapkan Belanda sebelumnya, dengan kata lain mempertahankan kedudukannya terhadap Kerajaan Banjar, Kompeni Belanda dihadapkan dengan risiko pengeluaran biaya yang sangat besar. Kemerosotan ekonomi dan pendapatan Kompeni Belanda itu terlihat dari isi Pasal 10 yang menyatakan bahwa kewajiban Kompeni Belanda untuk membayar tiap-tiap tahun kepada Pangeran Prabu sebanyak 250 real dan kepada Ratu Prabu sebanyak 50 real seperti ditetapkan dalam kontrak yang dibuat oleh Komisaris Cr. Hoffman, Kompeni Belanda menyatakan tidak dapat membayarnya.
85 Arsip Nasional, op.cit., hal. 148.
Sultan Nata telah memainkan peranan yang sangat penting bagi politik kerajaan Banjarmasin dan berhasil mempertahankan kedaulatan dan keutuhan kerajaan Banjar dari dominasi kolonialisme Belanda. Tetapi kemenangan ini di bayar mahal bagi Kesultanan Banjar. Perdagangan merosot akibat kebun lada dihancurkan, sedangkan komoditi lada merupakan salah satu sumber devisa yang terpenting bagi kesultanan Banjarmasin. Akibat dari perdagangan merosot, maka kekayaan negara juga merosot dan akhirnya lemah, sehingga menjelang abad ke-19 kerajaan Banjarmasin menghadapi Belanda yang sudah cukup kuat, sedangkan kesultanan sudah sangat lemah. Abad ke-18 ditutup dengan meninggalnya Sultan Nata Alam, Sultan terbesar dalam kerajaan Banjar yang meninggal pada tahun 1801. Kepemimpinan tradisonal memang diwarnai oleh faktor kharismatik, profil seorang pemimpin tradisional, disamping memiliki darah bangsawan, tetapi juga memiliki “olah batin” yang memadai. Olah batin Sultan Banjarmasin, dilandasi agama Islam, yang dapat terefleksi lewat kearifannnya dalam memimpin pemerintahan. Sultan Hamidullah (Sultan Kuning) dan Nata Alam, profil pemimpin yang dapat menstabilkan pemerintahan, sehingga kesultanan Banjarmasin pada waktu kedua pemerintahan ini, mengalami kemajuan yang pesat dibidang ekonomi, pihak-pihak asing tidak dapat merongrong kesultanan.
 ( Bersambung ke Bagian 5 )

Sumber : Sejarah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar