Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 4)
a. Pedagang-pedagang Cina
Orang-orang
Cina mendatangi daerah Banjar untuk keperluan memperoleh lada pada
pertengahan pertama abad ke-tujuhbelas, setelah diusir oleh saingan
mereka Belanda dan Inggris. Ketika itu mereka diberitahu tentang
kemungkinan melakukan perdagangan lada di Banjar oleh orang-orang
Portugis di Macao. Mereka kemudian datang dengan jung-jung mereka,
setiap tahun secara teratur datang sebanyak empat sampai tigabelas buah
dari pelabuhan Amoy, Kanton, Ningpo, dan Macao. Para
nakhoda disambut dengan senang di Kayu Tangi dan Tatas oleh orang-orang
Banjar, karena mereka membawa sejumlah barang kesukaan penduduk
setempat. Berbagai macam barang terdiri dari sutera kasar dan halus,
teh, kamper, garam, perkakas tembaga, barang-barang porselen dan lain
sebagainya yang dapat ditukar dengan lada, emas, sarang burung dan
lain-lain barang hasil daerah Banjar. Kedatangan mereka yang secara
terus menerus membawa negeri Banjar masuk dalam lingkaran persinggahan
para pedagang dari berbagai negara seperti Arab, Gujarat, disamping dari
daerah-daerah tetangga seperti Jawa, Madura, Sulawesi, Lombok, Bali dan
Sumbawa. Mereka berkumpul untuk saling mengadakan transaksi, namun
komoditi dari Cina sangat menonjol peranannya. Pada permulaan abad
ke-delapanbelas perdagangan jung menjadi begitu penting, bahwa sungai
Barito dikenal pula dengan sungai Cina, sebab dipenuhi oleh jung-jung
dari Cina. Demikianlah musim dari penawaran lada di Banjar adalah pada
permulaan Oktober sampai Maret pada setiap tahunnya, jung-jung itu tidak
seperti umumnya pedagang-pedagang yang lain, mereka tiba pada akhir
bulan Februari . Menurut perhitungan bahwa kedatangan mereka yang
terlambat berarti hanya akan mendapat sisa-sisa dari lada yang tidak
terjual. Namun ternyata pepatah “yang datang pertama, dilayani pertama” tidak
berlaku di lingkungan orang-orang Banjar. Adalah hal biasa bagi
orang-orang Banjar untuk menyimpan sebagian besar persediaan ladanya
untuk para pedagang jung. Mereka tidak hanya tertarik oleh barang
dagangan Cina, tetapi juga oleh harga yang lebih tinggi yang ditawarkan.
Misalnya pada tahun 1701 lada yang berasal dari Nigeria dijual kepada
orang-orang Inggris dengan harga 1 dolar Spanyol untuk setiap 13
gantang, sedang kepada Cina seharga satu dolar Spanyol untuk setiap 9
gantang. Padagang-pedagang Inggris banyak yang menentang harga yang
diberikan oleh orang-orang Cina, karena sangat merugikan mereka.
Orang-orang Cina dapat menawarkan harga yang lebih tinggi karena mereka
akan menaksir terlebih dahulu harga lada berdasarkan harga barang-barang
Cina. Sedangkan pedagang-pedagang Inggris hanya dapat membayar lada
dengan dolar Spanyol. Para pedagang
Inggris akan membayar kontan semua lada yang dibelinya, sedang
pedagang-pedagang jung jarang yang dapat membayar dengan kontan. Namun
karena barangnya diminati penduduk setempat maka akan lebih mudah dan
lebih banyak memperoleh lada. Sesudah kekalahan orang-orang Banjar dalam
perang-perang Inggris-Banjar pada Oktober 1701, orang-orang Cina
kehilangan tempat dan hak mereka dalam pasar lada. Karena sebagian besar
tindakan raja Banjar diatur oleh Inggris sebagai pemenang perang, maka
diperintahkanlah semua rakyatnya untuk menjual ladanya kepada
orang-orang di bawah pengawasan Inggris, yang mendirikan tempat
penjagaan yang terletak di muara sungai Barito. Dengan semakin
berkurangnya jung yang mengunjungi Banjar membuat khawatir pada penguasa
Inggris di sana.
Untuk itulah maka kemudian mereka mengadakan perundingan dengan
orang-orang Cina, yang pada intinya orang-orang Cina dijamin
kemudahannya untuk berdagang dengan Banjar. Maka perdagangan barang dari
berbagai negara di pelabuhan di pelabuhan itu kembali ramai. Pada tahun
1702 London
mengatakan bahwa lebih mudah untuk mendapatkan barang-barang Cina di
Banjar dari pada di Cina. Di pelabuhan ini calon pembeli dapat melihat
terlebih dahulu barang yang akan dibeli, baru setelah kecocokan
transaksi dilakukan. Hal ini mustahil dilakukan di Cina. Disamping
orang-orang Cina menjual barangnya mereka juga banyak membeli
barang-barang yang ditawarkan pedagang Inggris, seperti kain India,
tembaga dan sebagainya. Sebelum pendirian permukiman Inggris di Banjar,
pedagang-pedagang jung memperoleh barang-barang dari wilayah barat itu
dari para pedagang Belanda di Batavia. Hubungan komersial antara Inggris
dan pedagang-pedagang jung di Banjar berakhir sesudah pengusiran
orang-orang Inggris oleh orang-orang Banjar dalam perang Inggris-Banjar
yang kedua tahun 1707. Setelah itu orang-orang Cina membenahi diri.
Mereka dapat bebas kembali untuk mengadakan transaksi dengan para
pedagang lada Banjar dan Biaju. Jumlah orang-orang Cina yang berkumpul
di daerah kerajaan makin hari makin besar. Mereka terdiri dari 2
golongan yakni pedagang-pedagang jung dan pedagang-pedagang menetap.
Pedagang-pedagang jung hanya tinggal sementara di Tatas atau di tempat
lain di daerah Banjar. Setelah selesai dengan aktivitas perdagangannya
termasuk mengisi perbekalan kapalnya, mereka akan kembali berlayar ke
Kanton, Amoy atau pelabuhan lainnya di
Cina, baru kembali ke Banjar pada musim berikutnya. Sedang pedagang
menetap, mulanya mereka juga seperti pedagang jung yang hanya tinggal
sementara di Banjar, namun karena melihat kemungkinan untuk menjadikan
Banjar sebagai rumah mereka yang kedua, maka kemudian mereka tinggal dan
menetap. Beberapa diantara mereka membuat toko di kota
atau pelabuhan, menjadi pedagang perantara antara pedagang jung dan
pedagang Banjar. Terdapat sekitar 80 keluarga di Tatas dan Kayu Tangi
sebelum Tahun 1708, jumlah mereka terus bertambah menjadi sekitar 200
keluarga sesudah periode itu. Secara berangsur-angsur beberapa diantara
mereka dapat berkomunikasi dengan penduduk setempat dalam bahasa
setempat. Mereka dengan mudah dapat berintegrasi, sehingga kemudian
dapat bergerak bebas dimana mereka suka. Bahkan pimpinan mereka di
Banjar, kapten Lim Kom Ko, sering diutus oleh para penguasa kerajaan
Banjar untuk ikut mewakili dalam perundingan-perundingan dengan
orang-orang Eropa.
b. VOC
Ketika
J.van Michelen dan P.der Vesten berlayar ke Banjar untuk mencari lada
pada tahun 1678, mendapat hasil yang jauh dari memuaskan. Oleh karena
itu beberapa waktu perhatian orang-orang Belanda tidak tertuju ke daerah
itu. Hubungan baru terjalin lagi pada tahun 1708 Lim Kim Ko, kapten
Cina Banjar, datang ke Batavia sebagai utusan dari Sultan Suria Alam.
Maksud kedatangannya itu adalah untuk menyampaikan kepada Pemerintah
Pusat di Batavia bahwa mereka ingin kembali menjalin hubungan dagang
dengan VOC. Dalam Perundingan itu penguasa Batavia menghendaki
dilaksanakannya perdagangan bebas antara orang-orang Banjar dan penduduk
Batavia. Mereka mengizinkan orang-orang Banjar untuk mengirim lada
mereka ke Batavia, dan juga memberikan kebebasan kepada orang-orang Cina
untuk membawa lada ke Batavia, dengan harga rata-rata 5 dolar Spanyol
untuk setiap pikul. Lancarnya perdagangan ini mengakibatkan bahwa
Pemerintah Pusat di Batavia lebih senang mempercayakan pembelian lada
kepada mereka dari pada kepada pegawai-pegawainya sendiri. Pada Februari
1711, Gubernur Jenderal Abraham van Riebeek mencabut kebijaksanaan yang
telah dijalankan sebelumnya. Diputuskan bahwa kapal The Peter and Paul akan
pergi ke Banjar untuk membeli lada dan emas. Beberapa alasan diajukan
untuk melakukan perubahan yang besar ini. Pertama jumlah lada yang
didapat dari perdagang-pedagang Cina dianggap kurang memuaskan. Pada
Tahun 1709, 850,000 pon lada dikirim oleh pedagang-pedagang Cina, namun
jumlah ini terus berkurang. Pada tahun berikutnya jumlah lada yang
diperoleh oleh para pedagang Cina yang pada bulan Agustus 1710
meninggalkan Banjar dengan 13 buah jung kedua, harga lada tidak lagi 5
dolar setiap pikul, tetapi menjual 7-8 dolar. Van Riebeeck melihat
kenyataan bahwa Sultan Banjar ingin sekali memperbaharui hubungan
Belanda-Banjar karena krisis politik yang sedang dialaminya. Untuk itu
maka VOC harus mengambil kesempatan untuk memasuki pasar lada di Tatas
dan Kayu Tangi, dan menghalangi Cina membeli banyak lada di sana.
Selama periode 1700-1725 Pemerintah Pusat VOC di Belanda menambah
permintaan ladanya untuk pasar di Eropa. Tetapi selama ini pemerintah di
Batavia
sukar untuk memenuhinya, maka hubungan baik dengan Banjar adalah
merupakan kesempatan untuk menambah ladanya. Pemerintah Pusat di Batavia
menyadari adanya desas-desus bahwa orang-orang Inggris bermaksud untuk
kembali berdagang di Banjar. Maka untuk menjaga kepentingannya di Banjar
para penguasa VOC bekerja keras untuk menghalangi kehadirannya. Antara
lain dengan memerintahkan kepada Gubernurnya di pantai timur Jawa untuk
menghalau kapal milik orang-orang Inggris yang bermaksud mengangkut
barang-barang seperti batu kapur, beras ke Banjar. Pelayaran yang
pertama dari VOC berhasil membawa sebanyak 826 2/3 pikul lada, jumlah
itu berkuran menjadi 586 1/2 pikul pada tahun 1712. N.V.D. Bosch dan I.
Indus, perusahaan yang mengelola Peter and Paul mengadakan
pendekatan kepada Sultan Suria Alam, agar bersedia memberi mereka muatan
lada untuk memenuhi kapalnya dengan harga 4 dolar per pikul. Dalam hal
ini karena VOC telah memberikan bantuan kepada para penguasa Banjar
untuk menumpas pemberontakan Biaju di Negara tahun 1711. Kurang dari
satu bulan Peter and Paul telah berangkat dengan muatan lada
penuh. Sangat disayangkan, kunjungan Belanda yang kedua pada Agustus
1712 tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dengan harapan memperoleh lada
yang lebih banyak berdasar persetujuan bersama 2 orang wakil Banjar R.
Aria dan Tanu Kati, yang datang ke Batavia pada awal 1712, Pemerintah
Pusat di Batavia menyediakan 10.000 dolar untuk perusahaan Bosch dan
Paul, yang menggantikan Indus, dan dikirim Luijtpol dan Jambl untuk menyertai Peter and Paul dalam
mengangkut lada. Namun ternyata perusahaan itu tidak segera dapat
membeli lada seperti dilakukan oleh para pedagang Cina yang bisa membeli
secara langsung dari orang-orang Banjar, dengan harga 6-7 real setiap
pikul. Akibatnya, hanya Peter and Paul yang bisa memperoleh muatan sebanyak 73.312 ½ pon atau 626 1/2 pikul. Para
penguasa Belanda yang kecewa dengan hasil yang tidak memadai itu
tiba-tiba memutuskan untuk menghentikan pengiriman kapal-kapalnya ke
Banjar. Sedang di Banjar, peperangan antara orang-orang Banjar dan Biaju
terus berlangsung yang mengakibatkan turunnya produksi lada. Maka
kemudian Sultan Aria Alam mengutus wakilnya untuk menyampaikan kepada
Gubernur Jenderal C. van Zwoll, bahwa Sultan akan memberikan monopoli
perdagangan lada kepada VOC, jika VOC bersedia untuk membantunya
menghadapai orang-orang Biaju dan Bugis. Pemerintah pusat di Batavia
bersedia kembali mengadakan hubungan dagang dengan Banjar karena
permintaan Pemerintah Pusat di Belanda semakin tidak dapat dipenuhi oleh
Banten dan Jambi yang saat itu produksi ladanya sedang merosot.
Demikianlah kemudian pada pertengahan 1727 Batavia kembali mengirim kapalnya dengan mendapatkan sebanyak 3.926 pikul. Ini adalah awal yang baik bagi perusahaan Landsheer and Bround dibandingkan perusahaan sebelumnya tahun 1727-1713. Pada tahun 1728 VOC mengirim 6 buah kapal yakni Miderbeek, Wolphardijk, Vol, Readhuis, Olifftak, dan Doonink, semua penuh dengan lada yang berjumlah 19785 pikul. Masih ditambah sebanyak 368.943 pon yang diangkut ke Batavia
dengan kapal-kapal pedagang Banjar. Hal ini selain panen lada yang
sedang baik, juga karena penguasa Banjar menekan para pedagang lada
untuk menjual ladanya kepada orang-orang Belanda. Untuk selanjutnya
hubungan perdagangan lada antara Belanda dan Banjar selalu mengalami
masa pasang surut. Tentu saja kondisi politik tidak bisa terlepas
mempengaruhi kebijaksanaan dalam bidang ekonomi.
c. Pedagang-pedagang Inggeris
Sejak
diusirnya pada 1707, orang-orang Inggeris mencoba datang kemabli ke
Banjar pada tahun 1713. Mereka mengharap bahwa kurangnya persediaan lada
dari Malabar bisa dipenuhi oleh Banjar. Mereka berusaha meyakinkan
Sultan Aria Alam atas kedatangannya untuk mengadakan kembali hubungan
perdagangan, dan tidak untuk membicarakan peristiwa tahun 1707. Dengan
muatan perak seharga masing-masing f 4,351 dan 4,313, Eagle Gallery dan Borneo berlayar
ke Banjar tahun 1713. Pada kedatangannya di Tatas, pedagang-pedagang
Inggeris menjumpai orang-orang Banjar yang tetap menyembunyikan
kemarahan. Sementara para bangsawan Banjar, Raden Tuka dan Kiai Chitra
Yuda dengan ragu-ragu menyambut kedatangan kapal itu sampai mereka yakin
bahwa yang datang itu adalah kapal-kapal pedagang individu bukan
orang-orang EIC. Pada mulanya kapal-kapal itu tidak bisa memperoleh
lada, karena Inggeris tidak menyetujui atas harga 15 dolar Spanyol untuk
setiap pikulnya. Demikianlah setelah diadakan perundingan, Inggeris
bersedia untuk menyerahkan 20 tahanan dan 2 drum serbuk mesiu kepada
Sultan untuk membantunya dalam perang Bugis-Banjar. Para penguasa Banjar kemudian mengirim sebanyak 4.000 pikul lada untuk Inggeris dengan harga 4 ½ dolar per pikul, ditambah sebesar suku atau
¼ real untuk pajak. Dalam transaksi perdagangan mereka, kapal-kapal itu
menyewa rumah kayu kecil sebagai gudang untuk menyimpan ladanya yang
dikirim oleh perahu-perahu Banjar sebanyak 4-5 pikul sekali angkut.
Alasan orang-orang Banjar untuk tidak memberikan lada sekaligus dalam
jumlah besar karena ketika itu dipedalaman sedang terjadi perang dengan
orang-orang Biaju dan Bugis, selain itu pada musim hujan produksinya
agak berkurang. Disamping itu kapal-kapal Inggeris masih mempunyai
kesulitan untuk mendapatkan lada karena persaingannya dengan pedagang
jung yang datang setiap bulan Maret dengan harga yang lebih tinggi. Pada
September 1714, tak lama sebelum Eagle Gallery dan Borneo sampai
di Tatas, pedagang-pedagang Inggeris hanya dapat mengumpulkan lebih
sedikit lada dari pada tahun muatan penuh ketika berangkat dari Banjarmasin
pada 10 Desember 1714. Pada waktu pelabuhan Tatas terancam serangan
orang-orang Bugis, para penguasa Banjar menghendaki agar kapal-kapal
Inggeris tidak meninggalkan pelabuhan, agar bisa membantu mempertahankan
pelabuhan itu. Namun Reid salah seorang wakil dari pedagang-pedagang
Inggeris menyatakan, bahwa mereka bersedia tetap menempatkan kapalnya di
pelabuhan Tatas jika mereka bisa membeli lada seharga 4 3/4 dolar per
pikul seperti Eagle dan Borneo.
Namun para pangeran Banjar mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai hak
kekuasaan untuk mengatur harga lada di pelabuhan bebas seperti Tatas.
Disamping itu mereka juga tidak bisa melarang para pedagang lada menjual
ladanya kepada pedagang individu maupun kepada perusahaan. Orang-orang
Biaju memberontak karena para bangsawan mencoba untuk mencampuri
pengiriman lada dan melakukan penarikan pajak. Para
pedagang Banjar menambahkan bahwa orang-orang Inggeris tidak dapat
mengatur harga seperti ketika mereka mempunyai kekuatan penuh di Banjar,
sekarang mereka hanyalah para pedagang yang harus tunduk kepada kondisi
yang ada, yakni membeli lada dengan harga yang ditetapkan oleh
pedagang-pedagang Banjar. Selanjutnya para bangsawan tidak mau lagi
membujuk Reid untuk membawa kapal-kapalnya ke Tatas. Disamping itu Reid
sendiri juga merasa tidak ada gunanya untuk mengadakan perundingan
dengan orang-orang Banjar mengenai pembelian lada, sejak seorang
pangeran yang berkuasa disitu memberitahukan bahwa pedagang - pedagang
jung telah mendapatkan kontrak untuk mendapatkan lada pada musim tahun
itu. Jadi kemungkinan untuk mendapatkan lada adalah sangat sedikit dan
harganya mahal. Reid merasa bahwa jika dia mau membayar harga yang sama
dengan orang-orang Cina yakni 9-10 dolar per pikul, dia juga sangsi
untuk bisa memperoleh lebih dari 20 pikul karena orang-orang Banjar
selalu menukarkan lada dengan barang-barang Cina, bukan dengan uang.
Setelah usahanya yang sia-sia untuk mengadakan perundingan dengan para
penguasa Banjar, Reid meninggalkan Banjar tanpa lada. Demikianlah bahwa
kepentingan Inggris atas lada di Banjar selalu harus berhadapan dengan
pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
d. Pertambangan
Kebijaksanaan
yang diambil pemerintah Belanda ialah menyewa tanah apanase milik
pangeran Mangkubumi Kencana. Mangkubumi pada masa Pemerintahan Sultan
Adam Al Wasik Billah, untuk membuka tambang batu-bara di daerah
Pengaron. Sewa tanah itu sebesar 10.000 Gulden setahun. Belanda
mengambil inisiatif untuk segera eksploitasi terhadap sumber batu bara
tersebut. Batu bara ketika sedang mempunyai banyak peminat di pasar
dunia dan sumber batu bara tersebut banyak ditemukan di daerah Kerajaan
Banjar. Pada tahun 1849 dibukalah di Pengaron oleh Gubernur Jenderal
J.J. Rochassen dengan nama tambang batu bara Oranje Nassau.
Tambang ini berproduksi 10.000 ton pertahun. Demikianlah optimisnya
pembukaan pertambangan itu dan diharapkan sukses seperti tambang yang
telah ditutup di Martapura, Julia Hermina dan Delft
karena beberapa pegawai Belanda terbunuh selama Perang Banjar
(1859-1905). Risiko seperti yang dihadapi oleh kedua pabrik di Martapura
itu tidak mengecilkan semangat para investor untuk menanamkan modalnya
pada usaha itu, karena prospeknya yang kelihatan cerah. Kompetisi di
pasaran terjadi dengan batu bara yang diproduksi Inggeris, karena
kemampuan kapal-kapalnya yang mempunyai daya angkut besar sehingga dapat
menekan harga angkutan dari Asia ke Eropa. Perusahaan batu baru Pulau Laut didirikan
pada 1903, sesudah dilihat adanya kemungkinan untuk mengeksploitasi
secara terbuka. Modal yang cukup besar dari rencana 180.000 menjadi 2
juta gulden, untuk membuat laporan tentang situasi geologi daerah itu.
Berdasarkan laporan inilah tidak kurang pemilik modal yang berminat
menanamkan modalnya di Pulau Laut. Persiapan cukup matang diperlukan
agar para investor dapat bekerja dengan baik di daerah itu, yakni
membangun jalan untuk mengangkut batu, penyediaan tenaga buruh dan
sebagainya. Sejumlah modal dan beratus-ratus kuli akan membawa perubahan
pada kehidupan ekonomi dan sosial di pulau yang sepi itu. Ketika
adminsitrator pertama J. Lousdorfer mendarat di Kota Baru pada 1908, dia
menjumpai keadaan masyarakat yang sama sekali asing dari
pengetahuannya, yakni mereka hidup dengan aturan yang sangat berbeda
dengan yang dikenalnya. Produksi dari pabrik di Pulau Laut sebanyak
80.000 ton per tahun 1905. Pada tahun 1908 kemampuan produksi maksimum
tercapai. Jumlah pegawai bertambah dari 150.000 orang kuli menjadi 2,300
orang kuli pada tahun 1910. Pulau Laut menjadi kekuatan ekonomi yang
besar, menjadi salah satu daerah tambang batu bara terbesar di wilayah
jajahan Belanda. Pada tahun 1912 pertambangan itu menghasilkan 165.000
ton. Namun pada tahun-tahun berikutnya hasil senantiasa mengalami pasang
surut karena adanya persaingan dari negara-negara produsen yang lain di
pasaran dunia.
e. Karet
Dengan
tidak menentunya pasaran batu bara, pemerintah Hindia Belanda yang
telah memberikan perhatian pada potensi daerah-daerah luar jawa mencoba
untuk mengusahakan jenis komoditi lain. Dengan suksesnya tanaman
tembakau di Deli, maka dicoba pula untuk mengembangkannya pula di daerah
Banjar, namun ternyata hasilnya jauh dari memuaskan. Bersamaan dengan
waktu pasar dunia sedang dibanjiri oleh permintaan komoditi jenis baru
yakni karet, yang diperlukan oleh industri mobil, yang baru mulai
berkembang saat itu. Untuk itulah para pengusaha swasta yang telah
diberi keleluasaan untuk menanamkan modalnya di wilayah tanah jajahan,
ada yang mencoba untuk membudidayakan karet di daerah Banjar. Para
pengusaha Eropa mulai membudidayakan karet di daerah Banjar pada tahun
1906. Terdapat tiga daerah perkebunan besar yakni Hayup di Tanjung,
Tanah Intan dan Danau Salak di Martapura. Ketiganya menggunakan tenaga
kuli kontrak dari Jawa maupun dari daerah sekitarnya. Jenis kuli yang
terakhir inilah yang nantinya akan menjadi pengusaha karet pribumi.
Setelah masa kontraknya, terutama yang dari Hayup selesai, mereka
kembali ke kampungnya dan menanam karet sendiri.Mereka sudah mendapat
cukup pengalaman dalam pengolahan karet selama bekerja di Perkebunan
Eropa. Harga karet yang tinggi sebelum Perang Dunia I mengakibatkan
perluasan perkebunan karet di sana,
terutama di daerah Hulu Sungai. Banyak tanah sawah yang dijadikan
perkebunan karet. Tidak kurang dari 40% kepala keluarga di Hulu Sungai
mempunyai perkebunan karet. Usaha budidaya karet di daerah Banjar
kemudian dipekuat oleh modal-modal asing di luar orang-orang Belanda.
Mulai dengan Hayup dan Tanah Intan yang dikelola oleh para pengusaha
Inggeris, sedangkan Danau Salak pada 1917 dipegang oleh Jerman. namun
setahun sejak menduduki daerah Banjar perusahaan-perusahaan perkebunan
karet itu dijual kepada orang-orang Jepang dan sebagian kepada
pemilik-pemilik modal Cina.
Salah
satu pusat budi daya karet yaitu Hulu Sungai terus menambah jumlah
pohon karetnya. Pada tahun 1924 terdapat sekitar 10 juta pohon yang
dimiliki oleh sekitar 3.000 orang (rata-rata setiap pemilik mempunyai
300 pohon). Jumlah itu terus bertambah sehingga pada tahun 1963 terdapat
tidak kurang dari 49 juta pohon dengan pemilik sekitar 12.000 orang,
dengan luas perkebunan sekitar 50.000 hektar. Kebanyakan pohon itu
ditanam pada waktu memuncaknya permintaan karet pada tahun 1920-an.
Salah satu keistimewaan dari budi daya karet di daerah Banjar, bahwa
pada mulanya mereka dipelopori oleh pengusaha-pengusaha asing, namun
pada masa kemudian justru yang memegang peran adalah para pemilik kebun
pribumi. Akibat dari naik turunnya produksi karet dan permintaan karet
pasar dunia, yang dapat mengikuti perkembangan harga hanyalah karet
rakyat, karena mereka menggunakan tenaga kerja mereka lebih banyak
memakai tenaga anggota keluarganya sendiri. Demikianlah berkembangnya
budi daya karet di daerah Banjar, maka pada sekitar tahun 1930-an
kesejahteraan penduduk meningkat dengan pesat. Hal ini ditunjukkan
antara lain dengan banyaknya rumah yang dibangun di daerah Hulu Sungai,
disamping itu permintaan daerah Banjar akan barang-barang impor sangat
meningkat, misalnya banyaknya permintaan akan sepeda, mobil dan
sebagainya. Demikianlah gambaran secara garis besar tentang perdagangan
di daerah Banjar, sejak dikenalnya daerah itu secara luas. Dari uraian
di atas dapat dilihat bahwa perkembangan bidang ekonomi daerah Banjar
sangat berlainan dengan pembabakan tentang sejarah ekonomi yang dikenal
secara umum yakni adanya periode Tanam Paksa, periode Politik Pintu
Terbuka dan periode Politik Etis. Ternyata bahwa pembabakan itu lebih
sesuai untuk daerah pulau Jawa sedang untuk daerah-daerah luar Jawa,
ternyata sangat berlainan. Bahkan dapat diperkirakan bahwa untuk setiap
daerah luar Jawa yang satu dengan yang lainnya pun tidak sama. Untuk
daerah Banjar atau sekarang dikenal denga nama Kalimantan Selatan
kiranya lebih baik untuk diadakan pembabakan seperti yang telah
diuraikan di muka yakni, periode kerajaan dan periode sesudah kerajaaan.
Dasar dari pembabakan ini adalah pemegang peranan dalam bidang
pereknomian bahwa pada masa kerajaan penduduk setempat lebih banyak
memegang peranan, sedang pada masa sesudahnya dipegang oleh orang-orang
asing, walaupun pada masa perkebunan karet penduduk juga ikut berperan
penting tapi itu hanya karena keadaan yang tidak menguntungkan di pasar
dunia, sehingga pengusaha asing enggan untuk melakukannya. Perekonomian
daerah Banjar dalam hal ini dapat diketahui, bahwa komoditi mereka
semuanya adalah komoditi pasar dunia. Oleh karena itu pasang surutnya
juga sangat tergantung pada permintaan pasar dunia, sehingga terjadi
diferensiasi jenis komoditi yang sangat besar, dari lada ke batu bara,
kemudian dari batu bara ke karet. Dan tentunya variasi yang lebih
beraneka ragam dari masa ke masa.
2. Kemelut Politik Abad ke-17
Panggung
sejarah Banjar pada abad ke-17 diwarnai dengan berbagai kemelut.
Kemelut bermula pada masa pemerintahan Sultan Hidayatullah, pemegang
pucuk pimpinan tertinggi kesultanan Banjarmasin
(1570-1595). Konflik politik terjadi antara kelompok etnis Biaju dan
Banjar. Saat itu dominasi politik dipegang etnis Biaju, dibawah pimpinan
permaisuri seorang Biaju-Islam, puteri Khatib Banun, seorang tokoh
Biaju. Ketika Sultan Hidayatullah mangkat, puteranya Mustain Billah dari
permaisuri seorang Biaju, yang berhasil berkuasa dengan bantuan
kelompok sukunya, melalui penyingkiran dan pembunuhan lawan politiknya.
Keadaan inhi seiring dengan mulai berkembangnya perdagangan lada. Pada
abad ke-17, lada meningkat produksinya dan omzet perdagangannya sangat
besar, begitu pula tambang emas terus meningkat. Hal ini menggerakkan
VOC untuk mencari cara monopoli potensi ekonomi kesultanan Banjarmasin tersebut. Demikian pula dengan Inggeris, juga berusaha untuk memperoleh hak monopoli di kesultanan Banjarmasin. Akibatnya kedua bangsa Eropa ini bersaing, untuk merebut posisi di hati aparat kesultanan Banjarmasin. Persaingan ini membawa keuntungan bagi kesultanan Banjarmasin, yang merupakan kesultanan yang berorientasi dagang. Karena dengan persaingan itu, kesultanan Banjarmasin dapat menetapkan harga yang lebih tinggi. Namun demikian, keadaan ini membawa dampak bagi politik kesultanan Banjarmasin,
artinya kemajuan ekonomi perdagangan dan beberapa kebijakan Sultan,
yang menimbulkan pro dan kontra, terutama dari Dewan Mahkota. Dewan ini
terdiri dari keluarga raja, para pangeran, Mantri, Kiai, sangat besar
pengaruhnya terhadap penentuan kebijaksanaan politik kesultanan, bahkan
hal inilah yang membatasi kekuasaan Sultan. Untuk menghadapi masalah
perdagangan terhadap pedagang asing terutama Inggeris dan Belanda
terdapat 4 kelompok yang saling bersaing dan bertentangan, karena
bangsawan itu, juga menguasai perdagangan secara pribadi.
Ada 4 kelompok yang saling bersaing, antara lain :
1. Kelompok
Sultan, Raja Itam, Adipati Anom dan Raja Mempawah adalah anggota Dewan
Mahkota, tetapi menginginkan perdagangan bebas dan memanggil VOC hanya
sebagai alat untuk menghadapi perluasaan kekuasaan Mataram atas wilayah
Banjarmasin.
2. VOC sebagai kelompok yang berusaha untuk dapat monopoli lada di Banjarmasin yang pada tahun 1638 mengalami kegagalan.
3. Golongan
bangsawan pengusaha, yaitu golongan bangsawan yang mempunyai usaha
perdagangan secara pribadi, menyokong Inggeris sebagai alat menghadapi
VOC.
4. Inggeris mengikuti VOC-Belanda, agar memperoleh hak monopoli dalam perdagangan lada di Banjarmasin yang disokong oleh golongan bangsawan pengusaha. Dan berusaha menghasut orang Makassar untuk menyerang Sultan.
Adanya
kelompok-kelompok tersebut membawa konflik terutama antara intern
kesultanan. Konflik ini memuncak tahun 1638. Raja Itam, anggota Dewan
Mahkota, secara terang-terangan tidak mengakui kontrak dagang tahun 1635
yang dibuat Ratna Diraja Gidja Babauw, syahbandar atas nama Sultan
dengan VOC, yang diwakili Henrick Bouwer, Anthonio van Diemen, Jan van
den Burgh dan Steven Barentz. Karena sikap anti VOC secara
terang-terangan, dan sifatnya menentang kebijaksanaan Sultan,maka Raja
Itam dipecat sebagai anggota Dewan Mahkota dan hak miliknya disita.
Konflik berawal dari sini. Raja Itam tidak tinggal diam, dan berusaha
mengembalikan kekuasaannya kembali lewat Pangeran Adipati Anom, yang
akan melakukan kudeta, jika loji VOC pindah ke tempat kedudukan Sultan
yang baru. Sultan Inayatullah menyerahkan kekuasaan dan digantikan
puteranya Ratu Anom dengan gelar Sultan Saidullah (1637-1642). Ratu Anom
adalah gelar Sultan Inayatullah dengan permasisuri dari suku Banjar.
Sebagaimana ayahnya, Sultan Saidullah juga seorang yang senang
beribadat, dan pemerintahan diserahkan kepada Mangkubumi Pangeran
Adipati Halid dengan gelar Pangeran Mangkubumi, yaitu saudara Sultan dan
Ibu suku Jawa.
Dengan
demikian, Sultan ini tidak terlalu berkecimpung dalam menangani
kesultanan, sehingga konflik politik makin keras, dan muncul kubu-kubu
yang saling bersaingan, antara lain:
1. Kubu
Pangeran Adipati Anom (Putera Sultan Inayatullah dari permaisuri
Biaju). Pangeran Adipati Anom atau Pangeran Suryanata adalah saingan
berat Sultan Saidullah. Ia pro Inggeris bersama Raja Itam dan benci VOC.
Ambisinya untuk berkuasa ini, nanti akan berhasil pada tahun 1663,
setelah berhasil merebut kekuasaan kemenakannya Amirullah Bagus Kesuma
(Putera Sultan Saidillah) atas bantuan kelompok etnis Biaju.
2. Kubu “swagers” (ipar)
Sultan Inayatullah, ialah kelompok raja Sukadana, Raja Marta Sahary,
Pangeran Antakusumah dan Adipati Halid (Pangeran Tapasena). Adipati
Halid mempunyai kekuasaan besar, menjabat Mangkubumi, memiliki prajurit
dan sangat menginginkan tahta. Kubu ini pro VOC.
3. Siasat
Sultan Inayatullah (sesudah turun tahta) untuk mengimbangi dua kekuatan
yang saling bersaing dan untuk menetralisir konflik, sebagai akibat
dari pemerintahan Sultan Saidaullah yang lemah, yaitu menghidupkan
golongan pro Inggeris dengan cara merehabilitasi Raja Itam, kliknya
Pangeran Adipati Anom (Pangeran Suryanata). Tujuannya untuk mengimbangi
Adipati Halid yang pro VOC.
Tahun
1673, adalah tahun yang penting dalam perjalanan sejarah Kesultanan
Banjarmasin. Tahun itu titik awal terjadinya revolusi istana, dan ini
berlangsung sepanjang abad ke-17, baru berakhir setelah Amarullah Bagus
Kesuma berhasil menghancurkan kekuasaan Sultan Agung (Pangeran Adipati
Anom atau Pangeran Suryanata) yang mengkudeta Amarullah Bagus Kesuma
tahun 1663. Kekuasaan Sultan Agung direbut kembali oleh Amarullah pada
tahun 1679, yang mengakhiri konflik politik pada abad ke-17. Pada tahun
1624 Sultan Saidullah meninggal, pada waktu itu Adipati Halid selaku
Mangkubumi yang otomatis menjadi wali Sultan, dari putera mahkota
Amirullah Bagus Kesuma yang belum dewasa. Tahun 1642 atau 1643 Pangeran
Adipati Halid mengangkat dirinya menjadi Sultan dengan gelar Sultan
Rakyatullah atau Pangeran Ratu, atau Sultan Tahlilullah. Pada tahun
1637, sebetulnya Pangeran Adipati Anom telah berusaha mengadakan kudeta
terhadap ayahnya Sultan Inayatullah dengan cara membunuh ayahnya melalui
dua orang Jawa sebagai pembunuh bayaran, tetapi gagal. Usaha kedua
tahun 1642, juga gagal karena Adipati Halid mendahului mengangkat
dirinya sebagai Sultan, pada saat putera mahkota belum dewasa. Kudeta
Adipati Halid ini mendapat dukungan dari golongan bangsawan. Pada tahun
1660 terjadi perkembangan politik baru, putera Mahkota Amirullah Bagus
Kesuma telah dewasa dan menuntut haknya sebagai Sultan yang sah.
Tuntutan itu didukung Pangeran Adipati Anom dan para bangsawan serta
kelompok Biaju yang menginginkan hak pemerintah itu diserahkan kepada
turunan yang sah sesuai dengan legitimasi. Amirullah berhasil berkuasa
tahun 1660-1663 dengan gelar Amirullah Bagus Kesuma. Kelompok Adipati
Halid tetap berusaha memperoleh kekuasaan dan berhasil denga bantuan
para bangsawan mengangkat puteranya Pangeran Aria Wiraraja sebagai
Mangkubumi. Dengan demikian klik Adipati Halid tetap berkuasa. Pada saat
berkuasa, Adipati Halid berhasil menjalin kontak dagang dengan VOC
tahun 1660-1661, sebagai kelompok pro Belanda, kontrak ini memberi hak
monopoli pada VOC. Dengan sendirinya Amirullah sebagai Sultan hanya
boneka dari taktik kelompok Adipati Halid (Pangeran Tapasena) dan
Mangkubumi Aria Wiraraja. Perjanjian yang dibuat pada saat Amirullah
Kesuma berkuasa ini, menyebabkan golongan bangsawan tidak menyenanginya.
Sebab, hak monopoli VOC, berarti tidak memberikan adanya kebebasan
dalam perdagangan, sedangkan golongan bangsawan juga adalah para
pedagang, yang memperoleh keuntungan dari perdagangan bebas. Karena itu
pula, golongan bangsawan mendukung Adipati Anom (Pangeran Suryanata)
mengadakan kudeta, merebut kekuasan dari Amirullah Bagus Kesuma.
Pangeran Adipati Anom didukung juga oleh golongan etnis Biaju. Sedangkan
Adipati Halid mendapat dukungan rakyat dan sebagian kaum bangsawan,
yang memperoleh keuntungan di bawah kekuasaan Adipati Halid. Dua kubu
yang bersaing ini, akhirnya di bawah kekuasaan Adipati Halid.
Dua kubu yang bersaing ini, akhirnya mengadakan kompromi :
1. Pangeran Adipati Halid atau Pangeran Tapasena tetap berkuasa di Martapura.
2. Pangeran
Adipati Anom atau Pangeran Suryanata berkuasa dan memindahkan kerajaan
di sungai Pangeran Banjarmasin dengan gelar Sultan Agung (1663-1679).
Pangeran
ini mengangkut 10 pucuk meriam dan 600 prajurit dari Kayutangi
Martapura. Adiknya, Pangeran Purbanegara menjadi raja Muda. Bagaimana
nasib Amirullah Bagus Kesuma? Sultan yang malang ini sempat lari ke Alai dan mengumpulkan kekuatan di sana.
Tahun 1666 Adipati Halid (Pangeran Tapasena) meninggal, menyebabkan
golongan legitimitas bertambah kuat, sehingga Amirullah mendapat
dukungan yang kuat pula. Pada tahun 1679, Amirullah menyerang
Banjarmasin dan berhasil membinasakan Sultan Agung beserta keluarganya,
dan sejak itulah Amirullah kembali dapat mengambil haknya sebagai Sultan
di Banjarmasin (1680-1700) sampai akhir abad ke-17. Motivasi perebutan
tahta, tidak terlepas dari percaturan politik, yang ada di belakang
layar, terutama golongan bangsawan. Golongan bangsawan terkadang penentu
dari keberhasilan suatu kudeta. Hal ini berkenan dengan
kepentingan-kepentingan golongan bangsawan itu sendiri. Abad ke-17
ditandai dengan berakhirnya pemerintahan Amirullah Bagus Kesuma, yang
berkuasa di kesultanan Banjarmasin untuk kedua kalinya (1680-1700). Sultan
ini telah keluar sebagai pemenang perebutan kekuasaan selama abad
ke-17, dengan mengalahkan saingannya, pamannya sendiri Pangeran
Suryanata atau Pangeran Agung dan anaknya Pangeran Dipati. Keberhasilan
Amirullah Bagus Kesuma tidak terlepas dari dukungan Bangsawan, yang
diambil alih oleh pamannya sendiri. Selama pemerintahannya, Amirullah
telah berhasil mempersatukan kembali kesultanan Banjarmasin yang terbagi dua, yaitu kesultanan Banjarmasin yang beribukota di Martapura dan kesultanan Banjarmasin yang beribukota di Sungai Pangeran Banjarmasin. Meskipun kesultanan Banjarmasin
secara intern mengalami perpecahan dan konflik-konflik, namun secara
ekstern tetap dipandang utuh, sehingga tidak ada campur tangan pihak
asing, baik dari segi ekonomi maupun politik. Ketika orang-orang
Makassar menyerbu Banjarmasin pada tahun 1681 dengan 5000 pasukan dan
bahkan membuat pertahanan di tepi sungai Martapura, kesultanan
Banjarmasin masih dapat menghancurkan dan mengalahkan pasukan Makassar.
Hal ini disebabkan persatuan dapat dipelihara terhadap unsur-unsur yang
mencoba menghancurkan kedaulatan kesultanan. Diduga serangan Makassar
ini akibat hasutan Inggris yang mencoba melemahkan kesultanan Banjarmasin, agar Inggris dapat lebih berperan dalam perdagangan lada di wilayah Banjarmasin.
Kekompakan kesultanan Banjarmasin dapat pula dilihat dari
keberhasilannya mengalahkan Portugis yang ingin mencoba menanamkan
ekspansi monopoli perdagangan tahun 1694, Inggris tahun 1707 juga
berhasil dikalahkan, sedangkan Belanda (VOC) telah mengalami kepahitan
pada tahun 1638. Abad ke-18 dimulai dengan masa pemerintahan Sultan
Hamidullah yang bergelar Sultan Kuning (1700-1734). Pemerintahan pada
masa Sultan tersebut dikenal dengan pemerintahan yang paling stabil,
tidak ada pertentangan dan perebutan kekuasaan, tidak ada campur tangan
bangsa asing baik politik maupun ekonomi, sehingga boleh dikatakan
kesultanan Banjarmasin mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan
Sultan ini. Rupanya, kepemimpinan Sultan Kuning yang cukup bijaksana,
dan “kepekaannya” terhadap segala situasi yang dihadapinya,
menyebabkan lawan-lawan politiknya tidak berani dan segan melakukan
makar-makar yang merusak jalannya stabilitas pemerintah. Karena situasi
ini telah mulai diciptakan oleh Amirullah Bagus Kesuma, ayah Sultan
Kuning. Kemangkatan Sultan Hamidullah tahun 1734, merupakan pertanda
awan mendung di kesultanan Banjarmasin.
Kembali muncul penyakit lama, pertentangan kepentingan perebutan
kekuasaan mulai terjadi lagi. Apalagi putra mahkotanya belum dewasa pada
saat Sultan mangkat. Sesuai dengan tradisi, maka wali dipegang oleh
pamannya atau adik Sultan Kuning yaitu pangeran Tamjidillah, sehingga
kelak jika putra mahkota telah dewasa, barulah tahta kerajaan akan
diserahkan. Pangeran Tamjidillah sebagai wali sultan mempunyai siasat
yang lebih jauh, yaitu berkeinginan menjadikan hak kekuasaan politk
berada dalam tangannya dan keturunannya. Untuk itu, Pangeran Mohammad
Aliuddin Aminullah yang telah dewasa menjadi menantunya. Dengan
perkawinan tersebut, putra mahkota tentunya tidak sampai hati meminta
bahkan merebut kekuasaan dari mertuanya, yang berarti sama dengan
ayahnya sendiri. Kenyataan memang demikian, sehingga putra mahkota tidak
begitu bernafsu, untuk meminta kembali hak atas tahta kesultanan Banjarmasin.
Oleh sebab itu, Pangeran Tamjidillah berhasil berkuasa selama 25 tahun
dan mengangkat dirinya menjadi Sultan dengan gelar Sultan Sepuh
(1734-1759). Tetapi bagaimanapun juga Pangeran Mohammad Aliuddin
Aminullah ingin mengambil kembali hak atas tahta kerajaan sebagai ahli
waris yang sah dari Sultan Kuning. Usahanya meminta bantuan VOC merebut
tahta dari pamannya, sekaligus juga mertuanya, tidak kunjung tiba,
karena itu dengan inisiatif sendiri, Pangeran Mohammad Aliuddin
Aminullah berhasil lepas dari kungkungan pamannya dan melarikan diri ke
Tabanio, sebuah pelabuhan perdagangan lada yang terpenting dari
kesultanan Banjarmasin. Putera mahkota menjadi bajak laut untuk
mengumpulkan kekuatan, dan menanti saat yang baik merebut kembali tahta
pamannya. Sementara itu Sultan Tamjidillah pada tahun 1747 membuat
kontrak dagang dengan VOC, yang merupakan dasar bagi VOC, untuk
mengadakan hubungan dagang dan politik dengan kesultanan Banjarmasin
sampai tahun 1787.
Perjanjian
itu tertanggal 18 Mei 1747 tertulis huruf Arab-Melayu dan bahasa Melayu
dan huruf Latin bahasa Belanda. Perjanjian yang tertulis dengan huruf
Arab-Melayu dan berbahasa Melayu itu antara lain berbunyi: “Bahwa
inilah surat perniagaan dan persahabatan yang telah dimufakatkan oleh
Sultan Tamjidillah serta Ratu Anum dan sekalian orang yang besar-besar
yang ada memerintahkan dalam negeri Banjar, maka sekalian itu mufakatlah
dengan Kompeni Wilandia titah dari pada Gurnadur Jenderal Gustap Wilem
Baron pan Imhoff serta dengan Raden pan India yang telah berbuat titah
perintah kepada tiga orang Wilandia dan yang menjadi kepala perintah itu
yaitu komandur Astipan Markus pan der Hiden dan dua orang pitur besar
yang seorang Yan pan Suchtelen dan yang seorang Danil pan der Beruh maka
yang tiga orang itu sama juga menanggung titah itu” “Syahdan
tersebutlah perjanjian yang telah lalu itu tatkala pada zaman itu adalah
Seri Sultan sangat kasih berkasihan dengan Kompeni Wilandia maka
tiba-tiba tiada orang Banjar menurut seperti perjanjian yang telah lalu
itu. Syahdan kemudian dari pada itu yang telah tersebut perlu Kompeni
Wilandia membuat surat perjanjian tatkala pada zaman Seri Sultan sangat
berkasih-kasihan dengan Kompeni Wilandia maka sekonyong-konyong tiada
orang Banjar mengikuti seperti perjanjian yang dahulu itu adalah
seolah-olah tiada surat perjanjian yang tinggal lagi pada sekarang ini.
Syahdan maka tersebutlah dalamnya Gurnadur Jenderal dan segala Raden pan
India dengan segalanya juga menitahkan tiga orang Wilandia akan
membaharui surat perjanjian yang lebih patut antara kedua pihak itu
supaya kekal berkekalan selama-lamanya dari pada sahabat bersahabat
tiada berubah-ubah dalam kedua pihak itu dan adapun titah Kompeni itu
tertanggung atas tiga orang Wilandia yaitu Komandir Astipan Markus pan
der Hiden dan dua orang pitur besar yaitu Yan pan Suchetelen dan Danil
pan der Beruh ialah yang akan membikin surat perjanjian yang baharu
ini”75Dari pendahuluan surat perjanjian ini tidak dapat diketahui bahwa
perjanjian yang telah dibuat sebelumnya, tidak ditaati oleh Orang
Banjar, karena Orang Banjar memang di kenal sebagai pedagang bebas tidak
mau terikat dengan aturan-aturan yang merugikan perdagangan mereka
sendiri. Perjanjian ini dibuat antara Kerajaan Banjar yang dilakukan
oleh Sultan Tamjidillah serta Ratu Anum dengan pihak VOC yang diwakili
Steven Marcus van der Heijden, Yan van Suchtelen dan Danil van der Burgh
atas perintah Gubernur Jenderal Gustaff Willem Baron van Imhoff.
75 Arsip Nasional, Surat-Surat
Perjanjian antara Kesultanan Bandjarmasin, dengan Pemerintahan VOC,
Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia Belanda 1835-1860, Jakarta, 1965, hal. 34.
Pasal-pasal
dalam perjanjian itu menyangkut perdagangan monopoli lada di dalam
Kerajaan Banjar. Dalam perjanjian itu disebutkan tentang harga patokan
lada dan larangan bagi bangsa kulit putih selain VOC mengadakan
perdagangan lada dengan kerajaan Banjar.
Pasal-pasal dari perjanjian itu antara lain adalah :
“Pasal
yang kelima adalah Seri Sultan dan Ratu Anum telah berjanji pada hal
memberi perniagaan dengan Kompeni Wilandia dan menjual sekalian lada di
dalam negeri Banjar maka sekalian lada itu sekali-kali jangan di jual
kepada tempat yang lain maka hendaklah Seri Sutan dan Ratu Anum
mengerasi atas rakyat sekalian dalam negeri Banjar supaya jangan ada
yang menjual pada lainnya selain Kompeni jua yang membeli lada itu.”
“Pasal
yang keenam adalah Seri Sultan dan Ratu Anum membuat perjanjian dengan
Wilandia dari pada melarang jenis orang putih yang datang berniaga ke
negeri Banjar dari pada menjual dagangan atau membeli dagangan dan
jikalau ada umpamanya melawan dari larangan itu hendak dihukumkan dengan
bagaimana patut hukuman atasnya.”
“Pasal
yang ketujuh mengikat juga kiranya Kompeni Wilandia seperti bicara Seri
Sultan dan Ratu Anum dari pada sebuah wangkang Cina yang supaya boleh
ia datang ke Banjar pada tiap-tiap tahun satu wangkang dan akan
dagangannya itu mana sekehendak orang memikili akan tetapi menjual lada
itu sekali-sekali tiada ia boleh orang Banjar menjual lada dengan orang
Cina dengan putus harga delapan real dalam sepikul.”
‘‘Pasal
yang kedelapan Kompeni Wilandia telah memutuskan harga lada dengan Seri
Sultan dan Ratu Anum yang dalam sepikul itu enam real putus harganya
selama-lama tiada berubah akan tetapi dalam sepikul itu adalah seratus
kati atau seratus dua puluh lima pun dacin. Kompeni yang dipakai dan
hendaklah lada itu kering dan bersih dalamnnya jangan ada seperti ciri
seperti pasir atau batu yang kecil-kecil dan jikalau menimbang lada itu
hendaklah ada dua orang pihak dari pada seri Sultan dan dua orang pula
dari pada pihak Kompeni ........”.
76Perjanjian
itu berisi dua belas pasal. Disamping ketentuan tentang harga yang
sudah pasti juga meliputi persyaratan tentang kualitas lada, bahwa lada
itu harus kering. Ketetapan monopoli tersebut juga menyangkut tentangnya
para pedagang ke negeri Banjar. Orang Cina tidak boleh membeli lada
kepada orang Banjar, tetapi harus membeli kepada kompeni. Kompeni
membeli lada kepada Orang Banjar seharga enam real sepikul sedangkan
Kompeni menjualnya kepada Orang Cina delapan real sepikulnya.
76 Arsip Nasional, ibid., hal. 36.
Monopoli
tersebut juga mengatur bahwa Orang Banjar tidak boleh berlayar ke
sebelah timur sampai ke Bali, Sumbawa, Lombok, batas kesebelah barat
tidak boleh melewati Palembang, johor, Malaka dan Belitung. Kata-kata
penutup dari perjanjian itu berbunyi : “Tamat surat ini perjanjian
yang telah jadi di dalam istana Seri Sultan dan Ratu Anum di Kayu Tangi
yang telahh mufakat dengan Kompeni Wilandia dalam hijrat seribu seratus
enam puluh tahun kepada tahun Ba dan kepada bulan Rabi’ulawwal dan pada
hari Chamis yaitu dua surat yang telah jadi dan dalam keduanya itu sama
serta dengan capnya dan tapak tangan dan satu surat yang tinggal dibawah
Seri Sultan dan Ratu Anum dan yang satu surat tinggal dibawah
Kompeni”.77Perjanjian itu ditandatangani oleh Sultan Tamjidillah,
dengan cap segi delapan di tengahnya tertera huruf Arab dan terbaca
Sultan Tamjidillah. Pada bagian yang ditandatangani Kompeni tertulis : “Terbuat
dan tersurat dalam bilik musyawarah kami dalam kota intan Batawiah pada
enambelas hari bulan Juni tahun seribu tujuh ratus empat puluh tujuh”. Secara
sepintas bahwa perjanjian itu mendudukkan pihak Kompeni Belanda pada
posisi yang lebih dominan, tetapi pada praktiknya kemudian perjanjian
itu hanya sekedar siasat bagi pihak kerajaan untuk melindungi terhadap
pengaruh pihak lain, karena Orang Banjar selalu mengadakan transaksi
perdagangan secara bebas dengan bangsa apa saja yang membeli lada.
Kenyataan ini dapat diketahui bahwa setelah sembilan tahun kemudian
diadakanlah perjanjian kembali sebagai usaha Kompeni Belanda untuk lebih
mengefektifkan perjanjian tahun 1747. Perjanjian baru itu
ditandatangani pada 20 Oktober 1756. Dalam pendahuluan dari surat
perjanjian itu sebagai konsideran dari diadakannya perjanjian disebutkan
bahwa : “Bahwa Tuan Yang Maha Mulia Gubernur Jenderal dan tuan-tuan
yang maha bangsawan Raden pan India dengan sangat kesusakaran memandang
dan beberapa kali telah mengetahui yang Sultan-Sultan Banjar dan
dahulu-dahulu selamanya tinggal dalam kekurangan pada memelihara akan
bunyi maksud waad perjanjian serta dengan adat yang tiada berpaut-pautan
pda orang yang baik...” Selanjutnya dapat dibaca dalam konsideran
perjanjian itu bahwa orang Banjar berdagang secara bebas dengan orang
Cina, sehingga bunyi dalam perjanjian tahun 1747 tidak pernah ditepati.
Konsideran itu berbunyi :
77 Arsip Nasional, ibid., hal. 37.
“.....Orang Cina sekarang lima tahun lamanya adalah membawa lada ke negeri Cina daripada yang telah dijanjikan dalam waad perjanjian.....” Larangan
berdagang dengan orang Cina lebih dipertegas lagi dalam Pasal yang
keenam, begitu pula larangan berdagang dengan orang Inggeris dan
Perancis. Perjanjian tersebut juga menyangkut komoditi lainnya seperti
sarang burung dan intan. Pasal yang kedua puluh dua dan yang ke dua
puluh tiga menyebutkan bahwa Kompeni Belanda akan membantu Seri Sultan
untuk menaklukkan kembali daerah kerajaan Banjar yang telah memisahkan
diri seperti : Berau, Kutai, Pasir, Sanggauh, Sintang dan Lawai serta
daerah taklukannya. Kalau berhasil maka Seri Sultan akan mengangkat
Penghulu-Penghulu di daerah tersebut dan selanjutnya Seri Sultan
memerintahkan kepada Penghulu-Penghulu tersebut untuk menyerahkan hasil
dari daerah tersebut setiap tahun kepada Kompeni Belanda dengan
perincian sebagai berikut : - Berau, dua puluh pikul sarang burung dan
20 pikul lilin. - Kutai, 20 pikul sarang burung dan 40 pikul lilin. -
Pasir, 40 tahil emas halus dan 20 pikul sarang burung, serta 20 pikul
lilin - Sanggauh, 40 tahil emas halus dan 40 pikul lilin - Sintang, 60
tahil emas halus dan 40 pikul lilin - Lawai, 200 tahil emas halus, dan
20 pikul sarang burung Perjanjian ini ditandatangani oleh Paduka Seri
Sultan Tamjidillah di Kayutangi dalam halaman kediaman Seri Sultan pada
tahun seribu tujuh ratus lima puluh enam hari Arba dua puluh hari bulan
Oktober. Seminggu kemudian terjadi lagi perjanjian yang dibuat oleh Tuan
Almusyarafat Pangeran Ratu Anum adalah gelar dari Pangeran Muhammad
Aliuddin Aminullah, menantu Seri Sultan Tamjidillah dan juga keponakan
Sultan dengan Kompeni Belanda. Perjanjian itu ditandatangani di benteng
Tatas pada 27 Oktober 1756. Perjanjian ini dibuat atas inisiatif sendiri
dari Ratu Anum dalam usahanya memperoleh tahta dari mertuanya, sesuai
dengan perjanjian bahwa Seri Sultan Tamjidillah sebetulnya hanya
berfungsi sebagai wali, sementara Ratu Anum belum dewasa. Pasal yang
kedua dari perjanjian yang dibuatnya, menjelaskan usahanya merebut
kekuasaan dan juga kekuasaan yang sekarang dipegang oleh Seri Sultan
Tamjidillah adalah perbuatan seorang jahil yang hendak melenyapkan asal
keturunan Sultan Banjar yang sah. Pasal yang kedua dari perjanjian itu
berbunyi :
“Tuan
Yang Maha Mulia yang tersebut sesungguhnya perikutan yang benar dan
betul dari tahta kerajaan Banjar dengan sangat kesukaran dipandang yang
kerajaan ini dengan tiada patut adalah memegang mana tahta tahta
kerajaan nenek moyangnya sampai bapanya yang telah wafat Paduka Seri
Sultan Chamidullah selama beberapa dalam suatu juga asal keturunan yang
benar dan diperintahkan maka pada sekarang ini telah diambil tahta
kerajaan Tuan Yang Maha Mulia oleh seorang jahil dengan tiada patut
serta memecahkan janjinya di atas bilik ketiduran bapa Tuan Yang Maha
Mulia tatkala pulang kerahmatullah, mana kala Tuan Yang Maha Mulia
digenapi umur delapan belas tahun akan menyerahkan tahta kerajaan
Banjar...” Kelanjutan dari
perjanjian yang dibuat bahwa nanti kalau berhasil Ratu Anum menjadi
Sultan dia berjanji akan menyerahkan Kerajaan Banjar kepada Kompeni
Belanda dan jabatannya sebagai Sultan merupakan kerajaan pinjaman dari
kompeni. Sebagai Kerajaan pinjaman Ratu Anum berjanji akan menyerahkan
tiap tahun pada kompeni berupa : 1000 pikul lada hitam, 10 pikul lada
putih, 11 karat batu intan, dan 100 real halus. Usahanya ini kemudian
ternyata tidak berhasil karena itulah Ratu Anum mencari jalan lain
dengan cara keluar dari ibukota Kerajaan, mengumpulkan kekuatan dan
pengikut untuk pada suatu waktu yang tepat akan menyerang Kerajaan dan
merebut tahta dari Seri Sultan Tamjidillah. Ratu Anum memilih Tabanio
yang pada saat itu merupakan pusat kegiatan perdagangan. Perdagangan
Muhammad Aliuddin Aminullah yang juga bergelar Ratu Anom tetap bermarkas
di Tabanio, yang menurut Onderkoopman Ring Holm78 merupakan pusat
perdagangan gelap yang paling ramai di Kalimantan. Setelah berhasil
mengumpulkan kekuatan dan pengikut yang besar, Pangeran Muhammad
Aliuddin Aminullah melaksanakan maksudnya semula yaitu merebut kembali
tahta kesultanan, dari tugas pamannya yang sekaligus mertuanya,
mengambil hak atas tahta sesuai dengan tradisi yang sah dari kesultanan
Banjarmasin. Menggunakan sejumlah perahu dengan pengikut yang besar,
Pengeran Mohammad Aliuddin Aminullah bertolak dari Tabanio menyusuri
Tanjung Silat yang berombak besar dan terkadang angin bertiup kencang,
kemudian memasuki sungai Barito, terus berbelok ke sungai Martapura,
akhirnya sampai ke Martapura. Berita kedatangan Pangeran Mohammad
Aliuddin Aminullah yang akan menyerang Martapura sempat menggemparkan
keluarga istana, tetapi Pangeran Tamjidillah tetap tenang atas situasi
yang gawat tersebut.
78 J.C. Noorlander, op.cit., hal. 38.
Dengan
dasar pertimbangan supaya jangan terjadi pertumpahan darah antar
keluarga sendiri, apalagi Pangeran Mohammad Aliuddin Aminullah adalah
kemenakan dan menantunya sendiri, Pangeran Tamjidillah menyerahkan tahta
kesultanan Banjarmasin, sehingga Pangeran Aliuddin berkuasa atas
kesultanan Banjarmasin. Secara lahiriah Pengeran Tamjidillah ikhlas,
menyerahkan tahta kepada keponakannya Pangeran Mohammad Aliuddin, tetapi
secara sembunyi Pangeran Tamjidillah tidak senang hati atas
berpindahnya tahta dari tangannya, apalagi sebetulnya sebagian besar
kaum bangsawan mendukungnya sebagai Sultan. Hal inilah yang menyebabkan
Pangeran Tamjidillah membuat siasat licik, untuk mengembalikan tahta ke
tangannya. Ketika Pangeran Tamjidillah menyerahkan tahta kepada Pangeran
Mohammad Aliuddin keponakannya, di hadapan para bangsawan dia
mengatakan : “Biarlah tahta direbut oleh Ratu Anom (gelar Pangeran Mohammad Aliuddin) sebentar lagi juga akan mati” Ucapan
ini lahir dari niat liciknya untuk melenyapkan Pangeran Mohammad
Aliuddin sebagai Sultan. Bagaimana caranya? Kenyataannya Ratu Anom atau
Sultan Mohammad Aliuddin Aminullah menderita sakit yang terus menerus
dan menyebabkan kesehatannya makin lama makin mundur dan pada tahun 1761
dia meninggal dengan meninggalkan putera mahkota yang masih kecil.
Diduga kematian Sultan ini akibat diracun. Meskipun pemerintahannya
hanya berlangsung 3 tahun, dia mempunyai sikap politik yang keras
terhadap VOC, sehingga lebih banyak berusaha menguntungkan perdagangan
Kerajaan, daripada harus tunduk pada kemauan Belanda. Pemimpin-pemimpin
VOC yang pernah berhubungan dengan Sultan Aminullah, harus sangat
berhati-hati, sehingga Sultan tidak merasa tersinggung, karena watak
Orang Banjar sangat keras kalau dia tersinggung. Hal ini dilaporkan oleh
VOC kepada Residen de Lilc79 yang berbunyi sebagai berikut : “Residen
jangan mengira bahwa di Banjar ini sama halnya dengan di Banten atau
Jawa. Orang Banten atau Orang Jawa walaupun dia dipukul kompeni dengan
cambuk di kepalanya, sekali-kali tak berani mengatakan bahwa pukulan itu
sakit, tapi orang Banjar mendengar kata-kata yang keras saja sudah
marah dan bila sampai terjadi begitu maka seluruh Banjar akan merupakan
buah-buahan yang banyak pada satu tangkai”. Siasat Pengeran
Tamjidillah berhasil, karena Sultan Muhammad Aliuddin meninggal, Putera
Mahkota masih kecil, karena itulah Mangkubumi kembali berada di
tangannya sebagai wali Sultan yang belum dewasa, dan dia menunjuk
anaknya Pangeran Nata Alam atau Natadilaga sebagai wali sultan yang
kemudian terkenal sebagai Susuhunan Nata Alam, raja dari kesultanan
Banjarmasin yang terbesar dalam abad ke- 18.
79 J.C. Noorlander, ibid., hal. 42, sebagaimana terjemahan M. Idwar Saleh.
Cerita
lama yang pernah dialami oleh Pangeran Aliuddin Aminullah setelah
ayahnya Sultan Kuning meninggal, kembali terulang setelah Sultan
Aminullah meninggal. Wali Sultan Nata Alam berusaha agar tahta tetap
dipegangnya dan ahli waris berada pada garis keturunannya. Nata Alam
mulai mengatur siasat untuk melaksanakan ambisinya. Pertama-tama dia
berusaha memperoleh dukungan kaum bangsawan, dan ternyata dukungan
dengan mudah diperolehnya. Selanjutnya dia mengangkat puteranya sebagai
penggantinya kelak dengan gelar Sultan Sulaeman Saidullah yang saat itu
baru berusia 6 tahun (1767). Limabelas tahun kemudian yaitu pada tahun
1782 kembali diangkatnya cucu yang baru lahir dengan gelar Sultan Adam
Al Wasik Billah. Tindakan ini merupakan realisasi dari siasatnya untuk
mengekalkan tahta atas garis keturunannya dan mendapat dukungan dari
kaum bangsawan yang memang dengang mudah diperolehnya.
Siasat selanjutnya ialah Nata Alam mengangkat dirinya sebagai Sultan Kerajaan Banjar (1787 – 1801) dengan gelar-gelar :
a. Panembahan Kaharuddin Halilullah
b. Alamuddin Saidillah
c. Abdullah
d. Amierilmu’minin Abdullah
e. Ami Ail Mu’minin Abdullah
f. Susuhunan Nata Alam
g. Pangeran Nata Dilaga
h. Pengeran Wiranata
i. Pangeran Nata Negara
j. Panembahan Batuah
k. Sultan Tahmidullah
Sultan
Muhammad Aliuddin meninggalkan putera-putera yang berhak menggantikan
kedudukan sebagai Sultan ketika dia wafat, yaitu Pengeran Abdullah,
Pangeran Rahmat dan Pangeran Amir. Anak-anak yang berhak atas tahta ini
satu persatu meninggal, Pangeran Abdullah meninggal, kemudian disusul
Pangeran Rahmad, keduanya mati dicekik. Sekarang menunggu giliran
pangeran Amir menyadari atas kejadian terhadap saudara-saudaranya,
karena itu sebelum terlambat dia meminta diizinkan meninggalkan
Kesultanan Banjarmasin dengan alasan untuk menunaikan ibadah haji ke
Mekkah. Sultan Nata Alam mengizinkan, karena berarti bahwa satu-satunya
pewaris tahta sudah tidak berada di tempat lagi. Ternyata Pangeran Amir
tidak berangkat menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji tetapi dia
singgah ke Pasir ke tempat pamannya Arung Tarawe. Arung Tarawe
menyanggupi memberi bantuan pada Pangeran Amir, untuk menyerang
Martapura, untuk merebut tahta dari Pangeran Nata Alam. Perjanjian ini
yang menyebabkan peperangan dan sebagai peristiwa yang terburuk bagi
Kesultanan Banjarmasin, sebab dalam peperangan perebutan tahta ini
bangsa Belanda dan orang-orang Bugis ikut campur tangan. Dengan demikian
peperangan ini melibatkan pertentangan antar suku, yaitu suku Banjar
dan suku Bugis, juga melibatkan orang Belanda sebagai bangsa yang “haus daerah”,
untuk dijadikan tanah jajahan. Pada tahun 1785 Pangeran Amir dengan
bantuan Arung Tarawe menyerang Martapura. Pasukannya dengan 3000 orang
Bugis dengan kekuatan 60 buah perahu berangkat dari Pasir melalui
Tanjung Silat mendarat di Tabanio, pelabuhan lada terbesar dari
Kesultanan Banjarmasin. Di Tabanio pasukan Bugis melakukan pembunuhan
terhadap rakyat yang tidak berdosa yang tidak mengerti persoalan dan
tidak mengerti perebutan tahta, pemusnahan kebun lada, sumber potensial
dari perdagangan Kesultanan Banjarmasin dan sumber penghasilan rakyat,
menawan rakyat dan selanjutnya dijadikan budak oleh orang Bugis, hal ini
menyebabkan terjadinya pertentangan suku, suku Bugis dan suku Banjar.
Hal ini pula menyebabkan hilangnya simpati rakyat Banjar terhadap
pangeran Amir, sehingga rakyat Banjar tidak ada yang membantu perjuangan
Pangeran Amir, suatu siasat yang merugikan Pangeran Amir sendiri.
Memang penyerangan Pangeran Amir ini, sebagai realisasi balas dendam
akan kematian ayahanda dan saudara-saudaranya. Penyerangan Pangeran Amir
ini menyebabkan Pangeran Nata Alam membuat kontrak baru dengan VOC pada
tahun 1787 untuk menjaga stabilitas kekuasaannya agar tetap berada di
tangannya dan garis keturunannya.
Hal-hal penting dari perjanjian itu ada 4 point :
1. Sultan menyerahkan daerah kekuasaannya atas Pasir, Laut, Pulo Tabanio, Mendawai, Sampit, Pambuang, Kotawaringin pada VOC.
2. Kerajaan Banjar adalah vazal VOC dan Sultan cukup puas dengan “uang tahunan”
3. Pengangkatan Sultan Muda dan Mangkubumi harus mendapat persetujuan VOC.
4. Kerajaan Banjar, hanyalah diperintah oleh keturunan Sultan Nata Alam.
Pangeran
Nata Alam menyadari bahwa atas serangan Pangeran Amir dengan pasukan
Bugis tersebut, dan hanya VOC yang dapat menyelamatkannya, karena itulah
tidak ada pilihan lain bagi Pangeran Nata, bahwa dia harus meminta
bantuan VOC untuk mengusir pasukan Bugis tersebut. Pangeran Nata Alam
mengatur siasat bahwa bagaimanapun juga Belanda harus dijadikan tameng
untuk melindungi kedaulatannya, tetap terikat daengan Kesultanan
Banjarmasin tetapi bukan sebagai penguasa.
Perjanjian yang diadakan oleh Sultan Nata Alam terdiri dari : Acte van Afstand 13 Agustus 1787, Tractaat 13 Agustus 1787, Proclamatie 1 Oktober 1787, dan Sep. Articul het Tractaat van 13 Agustus 1787, 22 April 1789. Perjanjian
ini tertulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Belanda dan bahasa Melayu
huruf Arab. Dalam isi perjanjian itu tergambar situasi politik yang
penting, yaitu saat serbuan orang-orang Bugis yang dipimpin oleh
Pangeran Amir. Nama Pangeran Amir memang tidak ditemukan dalam serbuan
yang menggoncangkan kerajaan tersebut tetapi serbuan orang Bugis
tersebut adalah bantuan Pangeran Tarawe, paman dari Pangeran Amir.
Kehadiran pasukan kompeni Belanda membantu Pangeran Nata, merupakan
pasukan juru selamat terhadap kehancuran pemerintahan Pangeran Nata.
Karena itulah dalam butir-butir isi perjanjian kedudukan Kompeni Belanda
menunjukkan posisi dominan. Lebih tragis lagi adalah posisi Kerajaan
Banjar hanya sebagai sebuah kerajaan pinjaman dari milik kompeni
Belanda. Dalam Acte van Afstand tersebut, kedudukan Kerajaan Banjar
sebagai kerajaan pinjaman, sebetulnya merupakan hasil dari
permusyawaratan seluruh pembesar kerajaan disebutkan bahwa : “.....akan
menjadi paedah serta selamat bagi negeri beserta rakyat maka setelah
aku bermusyawaratan timbang menimbang perkara-perkara itu bersama-sama
dengan anandaku yang sudah terpilih akan ganti kedudukanku Sultan
Soleman dan cucuncaku Sultan Adam dan Perdana Mantriku Ratu Anom Ismail
beserta sekalian raja-raja dan orang-orang besar dari istana tahta
kerajaan negeri Banjar maka kami sekalian kira-kira terbaiklah dan sudah
dihitung pada hati kami menyerahkan diriku beserta sekalian rakyat
tahta kerajaan negeri Banjar betul kepada perlindungan dan pernaungan
kompeni maka dari karena sebab itu juga dengan surat yang terbuka ini
aku mengaku dan mengatakan baik bagi diriku sendiri baik bagi
zuriat-zuriatku yang akan mengganti kedudukanku dan bagi waris-warisku
turun temurun aku menanggalkan sekalian pangkat-pangkat kerajaanku
dengan sekalian tanah-tanah dan negeri-negeri beserta pulau-pulau dan
teluk rantau dan sungai-sungai.80 Para pembesar kerajaan yang ikut
menyaksikan semua perjanjian yang dibuat dan ikut menandatangani selain
Sunan Nata Alam, Sultan Soleman dan Sultan Adam Al Wasik Billah adalah :
Pangeran Mangkudilaga, Pangeran Aria, Pangeran Isa, Pangeran Zainal,
Pangeran Marta, Gusti Tasan serta Perdana Mantri Kerajaan Ratu Anom
Ismail. Sedangkan para pembesar golongan Kiai, ikut pula menandatangani :
Kiai Surengrana, Kiai Tumenggung, Kiai Martadangsa, Kiai Maesa
Jaladeri, Kiai Rangga, Kiai Jayengpati, Kiai Durapati, Kiai Surajaya,
Kiai Jayadirana dan Kapitan Kartanegara.
80 Arsip Nasional, op.cit., hal. 84.
Kemenangan
diplomasi yang diperoleh Pangeran Nata Alam adalah bahwa kompeni
Belanda harus meminjamkan Kerajaan Banjar yang merupakan pinjaman abadi,
tidak boleh dibatalkan kepada Pangeran Nata dan keturunannya. ”.....wakil
Kompeni Kristopel Hopman menyerahkan kepada aku Sultan Soleman
Sa’isullah dari pihak mana kompeni Wilanduwi seperti barang yang diberi
pinjam yang baka tiada boleh mati agar supaya aku dan aku ampunya zuriat
yang mutachirin seperti anakndaku Pangeran Ratu Sultan Soleman dan
cucundaku Sultan Adam duduk memerintahkan dan menyelenggarakan kerajaan
beserta rakyat….81Kemenangan diplomasi lainnya adalah bahwa kerajaan
Banjar sebagai kerajaan pinjaman yang kedudukannya setengah jajahan,
tetapi persetujuan itu menghasilkan keputusan bahwa Kerajaan Banjar
menempati kedudukan sebagai kerajaan yang kedudukannya setarap dengan
Kompeni Belanda, sebagai kerajaan merdeka. Kedudukan sebagaimana sebuah
kerajaan merdeka itu dalam hal penghormatan terhadap wakil Kerajaan
Banjar yang akan menghadap Gubernur Jenderal di Batavia dengan
penghormatan sambutan tembakan meriam, sebagaimana sambutan terhadap
negara lainnya. Begitu pula sambutan yang sama diberikan apabila wakil
kompeni Belanda yang akan menghadap Sultan di Bumi Kencana Kerajaan
Banjar. Persetujuan tentang persamaan kedudukan itu terhadap pada pasal
31 : “Pasal tiga puluh asa. Adapun sebagaimana akan dihormati dengan
menembak kepada Paduka Seri Sultan ampunya surat-surat yang dibawa
datang di Banjar kepada pitor besar atau di Batavia kepada Paduka
Gurnadur Jenderal dan Raden van India maka begitu juga surat-surat yang
datang dari Batavia oleh Paduka Gurnadur Jenderal dan Raden van India
atau yang dibawa dari pitor besar yang dinegeri Banjar kepada Yang Maha
Mulia Paduka Seri Sultan itu hendaklah diberi hormat begitu juga
sebagaimana harus dan patut yakni surat-surat yang dari oleh Gurnadur
Jenderal dan Raden van India serta dari oleh Yang Maha Mulia paduka Seri
Sultan akan dihormati dengan tembak lima belas kali dan surat dari
pitor besar dengan tembak tujuh kali adanya….82
81 Arsip Nasional, ibid., hal. 85. 82 Arsip Nasional, ibid., hal. 104.
Panggilan
atau sebutan terhadap Sultan berbeda dengan sebutan terhadap Gubernur
Jenderal Belanda. Kalau terhadap Sultan disebut Yang Maha Mulia Paduka
Seri Sultan, tetapi sebutan untuk Gubernur Jenderal Belanda hanya
disebut paduka Gubernur saja. Kata-kata penghormatan ini menunjukkan
bahwa Kerajaan Banjar dipandang Belanda sebagai kerajaan besar yang
memperoleh kehormatan sebagai negara merdeka. Hal ini dibuktikan lagi
dengan penghormatan 15 kali tembakan meriam untuk wakil Sultan sedang
untuk wakil kompeni hanya dengan tujuh kali tembakan meriam. Acte van Afstand ini diperkuat lagi dalam Tractaat 13
Agustus 1787 yang berisi 36 pasal dan ditanda-tangani di ibukota
kerajaan, Bumi Kencana. Kemenangan diplomasi Pangeran Nata Alam bahwa
yang memerintah Kerajaan adalah keturunan Nata Alam, diperkuat lagi
dalam Proclamatie 1 Oktober 1787. Proklamasi itu selain
menyatakan bahwa Kerajaan Banjar merupakan kerajaan pinjaman dari
Kompeni Belanda, juga mempertegas lagi bahwa keturunan Nata Alam lah
yang berhak memerintah kerajaan itu. “......Lagipula tahta kerajaan
itu Tuan Yang Maha Bangsawan Gurnadur Jenderal dan Raden van Indie
menyerahkan pula dari pihak mana Kompeni Wilanduwi seperti ariyati
barang pinjaman yang baka tiada boleh mati kepada Tuan yang Maha Mulia
Paduka Seri Sultan Soleman Sa’idallah agar supaya diperintah dan
menyelenggarkan tahta kerajaan….83Dalam perjanjian yang dibuat ini
Pangeran Nata Alam menyebut dirinya sebagai Paduka Seri Sultan Soleman
Sa’idallah sedangkan cucunya Sultan Adam Alwasikubillah, kesemuanya ikut
menandatangani perjanjian yang dibuat. Perdana Mantri yang jabatan
Perdana Mantri kadang-kadang disebut pula sebagi Mangkubumi, tetapi
dalam Tractaat 1 Oktober sebagai penjelasan dari Proclamatie 1 Oktober,
disebut sebagai Wazir mu’adlam. Dalam Tractaat 13 Agustus 1787
yang terdiri atas 36 pasal kedudukan Kerajaan Banjar sebagai kerajaan
pinjaman lebih diperinci lagi, sehingga wilayah kerajaan Banjar tidak
sebesar wilayah sebelumnya. Dalam Tractaat itu dijelaskan bahwa Kerajaan
Banjar melepaskan negeri-negeri Pasir dengan daerah takluknya; Pulau
Laut beserta sekalian yang berwujud pada dekatnya; Tabaniau beserta
dengan pesisirnya, gunung-gunung serta separo dari dusun Tatas dan
Dayak-dayaknya dengan Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin. Orang
asing selain orang Eropah adalah orang yang bukan anak Banjar. Orang
Cina, Bugis, Makassar, Mandar dan Bali dalam perjanjian itu
dikelompokkan sebagai orang asing dan mereka tunduk pada Hukum Kompeni
Belanda.
83 Arsip Nasional, ibid., hal. 124.
Dengan
demikian kalau orang asing ini melakukan kejahatan, mereka dihukum
berdasarkan hukum Kompeni Belanda, meskipun tindakan mereka itu di dalam
negeri Kerajaan Banjar. Khusus untuk orang Cina yang telah melakukan
perniagaan dengan berniaga dengan orang Banjar dan dalam negeri Kerajaan
Banjar. Sedangkan bangsa asing lainnya harus mendapat persetujuan dari
Kompeni Belanda terlebih dahulu. Belanda mengirimkan bantuan dibawah
pimpinan Hoffman, disamping sebagai wakil Belanda dalam masalah kontrak
yang baru dibuat juga sebagai pimpinan bantuan untuk mengusir pasukan
Bugis dari Kesultanan Banjarmasin. Pasukan Pangeran Nata bersama rakyat
Banjar dan dibantu oleh pasukan VOC berhasil mengusir pasukan Bugis, dan
menangkap Pangeran Amir dan selanjutnya dibuang ke pulau Ceylon
(Srilangka). Kemenangan perang berarti kemenangan bagi Pangeran Nata
untuk memperoleh hak waris atas garis keturunan Sultan Kuning.
Berakhirnya perang melawan Pangeran Amir, berarti berakhir pula
pertentangan selama periode abad ke- 18 antara keturunan Sultan Kuning
dalam “Kesultanan Banjarmasin”. Kemenangan perang ini bagi
Belanda, juga merupakan keuntungan besar sebab, bantuan Belanda bukanlah
sia-sia dan hadiah dari kemenangan itu bagi Belanda sangat besar. Hak
politik berada dalam tangan Belanda atas Kesultanan Banjarmasin bahkan
Kesultanan Banjarmasin tak lebih dari sebuah vazal dari Belanda. Tetapi
kenyataannya bukanlah demikian, Belanda hanya memperoleh impian dari
kemenangan tersebut. Pangeran Nata sekarang mulai mengatur siasat untuk
mengusir kekuatan Belanda dari Kesultanan Banjarmasin. Tidak dengan
kekuatan bersenjata tetapi dengan taktik perdagangan. Sejak perjanjian
tahun 1787 sampai dengan 1797 merupakan sandiwara politik Kesultanan
Banjar yang terbesar dengan Sultan Nata Alam sebagai pemeran utamanya.
Segala rencana perdagangan VOC disabot, bajak laut diorganisir untuk
merampok kapal-kapal Belanda, perdagangan bebas dengan bangsa berjalan
dengan lebih ramai sehingga VOC tidak berhasil memperoleh monopoli
sebagaimana yang disebutkan dalam kontrak 1787. Siasat yang paling
berhasil yang dilakukan Sultan Nata Alam ialah menghancurkan kebun lada
sehingga populasi produksi lada berada dalam batas minimal. Menjelang
tahun 1793 perdagangan lada sangat merosot ditambah dengan bajak laut
yang menutup muara sungai Barito sehingga melumpuhkan perdagangan VOC.
Mengenai kegagalan perdagangan Belanda di Banjarmasin disebutkan sebagai
berikut : “Betul-betul licin orang-orang Banjar itu terhadap suatu
“Grootmacht” seperti VOC yang telah berpengalaman dua abad lebih
mengenai soal-soal Banjar, begitu lamanya mereka dengan diam-diam
menyembunyikan sebab-sebab sebenarnya daripada kegagalan pengluasan
kekuasaan VOC. Baru lama kemudian setelah perlawanan diam-diam ini tak
perlu dirahasikan lagi, VOC mengerti bahwa dia telah bertahun-tahun
ditipu”.84Bagi Belanda, Banjarmasin merupakan pos pengeluaran belaka
dan sama sekali tidak mendatangkan keuntungan, bahkan menimbulkan
kerugian, sehingga bagi Belanda mempertahankan melanjutkan hubungan
dengan Banjarmasin menjadi beban yang berat. Setelah melihat
keberhasilan politik yang dijalankan maka Pangeran Nata mengirimkan
utusan ke pulau Pinang, pusat perdagangan Inggris untuk bersama-sama
mengusir Belanda dari kerajaan Banjarmasin. Begitu pula dikirim utusan
ke Batavia, supaya VOC meninggalkan Banjarmasin. Belanda akhirnya tahun
1797 mengirim komisaris Boekholtz ke Banjarmasin dan membuat kontrak
tahun 1797 yang sangat memalukan VOC. Akhirnya VOC meninggalkan
Banjarmasin. Komisaris Francois van Boekholtz mengadakan pembicaraan
dengan Sultan, Sultan Adam dan Wazir Tuan Raden Dipati Anum Ismail
bertempat di istana Bumi Kencana Martapura mengenai masalah yang
menyangkut kontrak yang dibuat tahun 1787. Kedatangan Boekholtz ini
menemui Sultan dan pembesar istana kerajaan karena sebelumnya terdapat
beberapa issu yang negatif terhadap perjanjian tahun 1787 khususnya
pihak Kerajaan Banjar terdapat sikap mengabaikan semua isi perjanjian
dan sikap untuk membatalkan semua perjanjian itu. Selama sepuluh tahun
perjanjian itu ternyata Kompeni Belanda tidak memperoleh keuntungan sama
sekali.
Kegagalan perjanjian itu menurut penilaian Komisaris Francois van Boekholtz terdapat pada dua masalah pokok ialah :
a) Kegagalan
terhadap monopoli perdagangan lada yang sebelumnya diharapkan
medatangkan keuntungan yang sangat besar bagi Kompeni Belanda, dan yang
kedua.
b) Sikap
Sultan yang tidak tulus membalas budi Kompeni Belanda yang telah
membantu Kerajaan untuk menghancurkan serbuan Pangeran Amir dengan
pasukan Bugis Pasir.
Pembicaraan
dengan pembesar kerajaan itu menghasilkan kesimpulan bahwa Sultan dan
seluruh pembesar kerajaan mengusulkan agar Sultanlah yang memegang
seluruh wilayah kerajaan dan memerintah bukan atas dasar pinjaman dari
Kompeni. Dengan pertimbangan bahwa pelaksanaan perjanjian tahun 1787
mendatangkan kerugian bagi Kompeni Belanda, lagi pula banyak
kesukarannya bagi Orang Kulit Putih mengawasi pelaksanaan monopoli
perdagangan lada dan lainnya, kesulitan karena berbeda adat istiadat
apalagi terhadap Orang Dayak yang suka memotong kepala, disamping
perjalanan yang ditempuh sangat jauh, akhirnya Kompeni Belanda
mengadakan perjanjian tahun 1789 yang sangat merugikan dan menunjukkan
kekalahan diplomasinya.
84 J.C. Noorlander, op.cit., hal. 125, terjemahan M. Idwar Saleh.
Perjanjian
itu terdiri atas 13 pasal dan ditanda tangani di Bumi Kencana istana
Sultan dan di Batavia. Para pembesar istana yang ikut membubuhkan
tandatangan mereka terdiri dari : Sultan Soleman, Sultan Adam,
Penembahan Batu Ratu Anum Ismail, pangeran Ishak dan Pangeran Hasin.
Dari pihak Kompeni Belanda adalah : Van Boekholtz sebagai Komisaris,
A.W. Jorissen, Wm. Bloem, A.B. Dietz, S.H. Rose Seer dan P.G. van
Overstraten. Pasal yang ketiga dari perjanjian itu menyebutkan bahwa
Kompeni Belanda menetapkan Sultan Suleman Sa’idallah yang berkuasa
memerintah di atas sekalipun tanah Kompeni dan Sultan pulalah yang
memelihara Kerajaan itu sebagai kepunyaan sendiri. Segala keuntungan
dari hasil kerajaan termasuk segala jenis sarang burung dan semua
komoditi perdagangan yang sebelumnya menjadi hak Kompeni Belanda,
sekarang diserahkan kepada Sultan. “..... Maka dari itu sekarang
Kompeni tetapkan Tuan Sultan Suleman Sa’idallah yang kuasa memerintah di
atas sekaliannya tanah Kompeni serta Sultan Suleman pula yang kewakilan
dari Kompeni menjaganya dan memeliharanya seperti Tuan Suleman punya
sendiri. Tambahan lagi Tuan Suleman pula yang menerima hasil-hasil dari
sekalian negeri dan desa-desa. ......Lagi pula Kompeni kasihkan kepada
Tuan Suleman keuntungan dari barang yang dapat keluar dari jenis sarang
burung….”85Pasal keempat menetapkan bahwa kedaulatan atas daerah
Pasir dan Laut Pulau yang telah diambil Kompeni, dikembalikan kepada
Sultan. Inilah bukti kemenangan diplomasi Sultan Nata Alam yang
menyebabkan Sultan berkuasa atas kerajaan sebagaimana sebuah kerajaan
merdeka tanpa camput tangan kompeni Belanda. Biaya yang dikeluarkan
Kompeni Belanda untuk memenuhi isi perjanjian tahun 1787, tidak
sebanding dengan hasil yang diharapkan Belanda sebelumnya, dengan kata
lain mempertahankan kedudukannya terhadap Kerajaan Banjar, Kompeni
Belanda dihadapkan dengan risiko pengeluaran biaya yang sangat besar.
Kemerosotan ekonomi dan pendapatan Kompeni Belanda itu terlihat dari isi
Pasal 10 yang menyatakan bahwa kewajiban Kompeni Belanda untuk membayar
tiap-tiap tahun kepada Pangeran Prabu sebanyak 250 real dan kepada Ratu
Prabu sebanyak 50 real seperti ditetapkan dalam kontrak yang dibuat
oleh Komisaris Cr. Hoffman, Kompeni Belanda menyatakan tidak dapat
membayarnya.
85 Arsip Nasional, op.cit., hal. 148.
Sultan
Nata telah memainkan peranan yang sangat penting bagi politik kerajaan
Banjarmasin dan berhasil mempertahankan kedaulatan dan keutuhan kerajaan
Banjar dari dominasi kolonialisme Belanda. Tetapi kemenangan ini di
bayar mahal bagi Kesultanan Banjar. Perdagangan merosot akibat kebun
lada dihancurkan, sedangkan komoditi lada merupakan salah satu sumber
devisa yang terpenting bagi kesultanan Banjarmasin. Akibat dari
perdagangan merosot, maka kekayaan negara juga merosot dan akhirnya
lemah, sehingga menjelang abad ke-19 kerajaan Banjarmasin menghadapi
Belanda yang sudah cukup kuat, sedangkan kesultanan sudah sangat lemah.
Abad ke-18 ditutup dengan meninggalnya Sultan Nata Alam, Sultan terbesar
dalam kerajaan Banjar yang meninggal pada tahun 1801. Kepemimpinan
tradisonal memang diwarnai oleh faktor kharismatik, profil seorang
pemimpin tradisional, disamping memiliki darah bangsawan, tetapi juga
memiliki “olah batin” yang memadai. Olah batin Sultan
Banjarmasin, dilandasi agama Islam, yang dapat terefleksi lewat
kearifannnya dalam memimpin pemerintahan. Sultan Hamidullah (Sultan
Kuning) dan Nata Alam, profil pemimpin yang dapat menstabilkan
pemerintahan, sehingga kesultanan Banjarmasin pada waktu kedua
pemerintahan ini, mengalami kemajuan yang pesat dibidang ekonomi, pihak-pihak asing tidak dapat merongrong kesultanan.
( Bersambung ke Bagian 5 )
Sumber : Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar