Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 7)
a. Beberapa Versi dan Latar Belakang dari Undang-undang Sultan Adam
Naskah
asli yang ditulis dengan tulisan tangan dengan huruf Arab-Melayu
menurut penelitian Eissenberger yang pernah menjabat sebagai Controleur van Banjarmasin en Marabahan pada
tahun 1936, tidak pernah ditemukan lagi. Eisenberger pernah menemukan
sebuah naskah tulisan tangan di Martapura yang diperkirakan ditulis
tahun 1880 tetapi itu pun kemudian tidak dapat ditemukan lagi. Pada
tahun 1885 Eisenberger menemukan naskah yang disimpan dalam arsip Kantor
Residen Banjarmasin yang ditulis oleh Tumenggung Soeri Ronggo tahun
1885. Publikasi pertama dari naskah Undang-undang Sultan Adam ini dilakukan oleh A.M. Joekes yang pernah menjabat sebagai Gubernur Borneo (1891-1894) di dalam Majalah Indische Gids tahun
1891. Naskah itu ditulis dengan huruf Latin bahasa Melayu Banjar
disertai dengan terjemahannya dalam bahasa Belanda. Naskah ini kemudian
diolah kembali oleh Komisi untuk Hukum Adat Koninklijke Instituut Voor de Taal, Land en Volkenkunde van Nederlands Indie di Negeri Belanda yang kemudian dipublikasikan di dalam Adatrecht Bundels,
jilid XIII tahun 1917.121Selain naskah yang telah dipublikasikan
sebagai hasil penelitian dari Eisenberger dan Komisi Hukum Adat,
terdapat lagi versi Amuntai yang ditulis oleh Asisten residen Amuntai
Helderman pada tanggal 16 April 1910. Perbedaan kedua macam versi ini
ialah setelah pasal 30. Pasal 1 sampai 30 sama bunyinya, tetapi Pasal 31
berbeda sekali sampai Pasal 38 dan ditutup dengan kata-kata penutup.
Untuk mengetahui bagaimana latar belakang dan tujuan dikeluarkannya
Undang-Undang ini dapat kita baca pada bagian Mukaddimah dari
Undang-Undang itu yang secara pendek tertulis sebagai berikut : “Pada
hejrat sanat 1251 pada hari Chamis yang kalima belas hari bulan
Almuharram djam pukul sembilan pada ketika itulah aku Sultan Adam
memboeat Undang-undang pada sekalian ra’jatku supaja djadi sempurna
agama rakjatku dan atikat mereka itu supaja djangan djadi banyak
perbantahan mereka itoe dan soepaja djadi kamudahan segala hakim
menghukumkan mereka itu aku harap djuga bahwa djadi baik sekalian hal
mereka itu dengan sebab undang-undang ini maka adalah undang-undang ini
maka undang-undangku beberapa perkara”
121 Abdurrahman, “Studi…, op.cit., hal. 44.
122 Undang-undang
ini ditetapkan pada kamis 15 Muharram 1251 Hijriah pukul 09.00 pagi
oleh Sultan Adam. Undang-undang ini dibuat oleh sebuah Tim dengan
pimpinan oleh Sultan sendiri dan dibantu oleh anggota antara lain
menantu Sultan sendiri Pangeran Syarif Hussein. Mufti H. Jamaluddin dan
lain-lain. Maksud dan tujuan dari Undang-Undang
ini dikeluarkan jelas tertulis dalm konsiderannya yaitu : - untuk
menyempurnakan agama dan kepercayaan rakyat - untuk mencegah jangan
sampai terjadi pertentangan rakyat, dan - untuk memudahkan bagi para
hakim dalam menetapkan hukum agar rakyatnya menjadi baik.
b. Sistematika Undang-undang Sultan Adam
Perkataan
undang-undang memang sudah lama dikenal oleh masyarakat dalam bahasa
Banjar dan dengan demikian Sultan menggunakan istilah itu dalam
undang-undang yang dikeluarkannya. Sedang pengertian hukum dalam
Udang-undang ini lebih mengacu kepada dalam pengertian hukum agama
dengan kata lain apa yang disebut dengan istilah hukum dalam artian
kewajiban agama Islam Undang-undang ini mempunyai sistematika tersendiri
sesuai dengan pola pikir pada saat itu, dengan sebutan Perkara untuk
menyebut pengertian Pasal.
Materi Undang-undang ini dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Masalah-masalah agama dan peribadatan,
mencakup : Pasal 1 - Masalah kepercayaan Pasal 2 - Mendirikan tempat
ibadah dan sembahyang berjemaah Pasal 20 - Kewajiban melihat awal bulan
Ramadhan puasa
2. Masalah Hukum Tata Pemerintahan, mencakup : Pasal 3 - Kewajiban tetuha kampung Pasal 21 - Kewajiban tetuha kampung Pasal 31 - Kewajiban lurah dan Mantri-Mantri
3. Hukum Perkawinan,
mencakup : Pasal 5 - Syarat nikah Pasal 4 - Syarat nikah Pasal 6 -
Perceraian Pasal 18 - Barambangan Pasal 25 - Mendakwa isteri berzina
Pasal 30 - Perzinaan
122 Amir Hasan Kiai Bondan, op.cit., hal. 151.
4. Hukum Acara Peradilan,
mencakup : Pasal 7 - Tugas mufti Pasal 8 - Tugas mufti Pasal 9 -
Larangan pihak yang berperkara datang pada pejabat Pasal 10 - Tugas
hakim Pasal 11 - Pelaksanaan putusan Pasal 12 - Pengukuhan keputusan
Pasal 13 - Kewajiban bilal dan kaum Pasal 14 - Surat dakwaan Pasal 15 -
Tenggang waktu gugat menggugat Pasal 19 - Larangan raja-raja atau
mantri-mantri campur tangan urusan perdata, kecuali ada surat dari hakim
Pasal 24 - Kewajiban hakim memeriksa perkara
5. Hukum Tanah,
mencakup : Pasal 17 - Gadai tanah Pasal 23 - masalah daluarsa Pasal 26 -
Masalah daluarsa Pasal 27 - Sewa tanah Pasal 28 - Pengolahan tanah
Pasal 29 - Menterlantar tanah
6. Peraturan Peralihan, mencakup pasal 16.
1) Masalah Agama dan Peribadatan
Tiga
pasal yang disebutkan adalah yang paling penting dan menonjol
menyangkut masalah agama. Suatu kewajiban bagi setiap penduduk untuk
berpegang pada itiqad ahlus sunnah wal jamaah. Pasal ini sebagai
reaksi dari adanya berbagai aliran dari sufi yang mengajarkan berbagai
ajaran yang sementara pihak dinilai bertentangan dengan ahlus sunnah wal jamaah.
Selanjutnya memuat kewajiban bagi Tetuha kampung untuk membuat
masjid/langgar dan ajakan untuk melaksanakan sembahyang berjamaah,
sedang pada hari Jum’at diperintahkan untuk sembahnyang Jum’at.
Selain
itu juga suatu perintah untuk menjaga melihat bulan pada tiap awal
bulan Ramadhan dan akhir Ramadhan awal bulan Haji dan awal bulan
Ramadhan.
1) Hukum Tata Pemerintahan
Tetuha
kampung diwajibakan selalu mengadakan musyawarah untuk menghindarkan
terjadinya perselisihan dan perbantahan. Disini prinsip musyawarah
sangat ditekankan. Selanjutnya menyebutkan beberapa jabatan dalam
struktur pemerintahan jaman Sultan Adam seperti : Lalawangan, Lurah, Pambakal dan Mantri.
Mantri merupakan pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan
berjasa diantaranya ada yang mempunyai daerah kekuasaan sama dengan
Lalawangan. Suatu tata cara pelaksanaan pemerintahan yang diwajibkan
pada Lelawangan, Lurah dan Mantri selalu selalu mengadakan musyawarah
dan mencari kemupakatan dalam setiap persoalan. Akhirnya pada bagian ini
terdapat adanya pembagian wewenang antara pejabat-pejabat pemerintah
dan tugas peradilan, bahkan harus menguatkan putusan pengadilan
tersebut. Jadi ada semacam koordinasi dalam pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan.
2) Hukum Perkawinan
Para pejabat yang berwenang untuk masalah yang menyangkut perkawinan agama, yaitu : Mufti : Hakim tertinggi pengawas pengadilan umum, dan Penghulu : Hakim yang lebih rendah yang mendapat piagam atau cap dari Sultan. Disamping hakim ada lagi jabatan yang disebut Qadi, yang bertugas sebagai pelaksana hukum dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berlaku dengan wajar. Perbedaan Qadhi dengan Penghulu adalah,
bahwa Qadi, menetapkan hukum bila terjadi sengketa yang kemudian
berkembang menjadi pelaksana peradilan Islam. Pasal-pasal pada bagian
ini menyangkut tata cara nikah, larangan nikah bagi yang tidak
bermadzhab Syafei, mengenai pembatalan perkawinan, masalah orang yang “barambangan”, masalah suami yang menuduh isterinya berzina, dan kewajiban melapor kalau ada orang berzina.
3) Hukum Acara/Peradilan
Pasal-pasal
pada bagian ini menjelaskan tentang larangan bagi seorang Mufti untuk
memberi fatwa kepada seseorang yang sedang berperkara, begitu pula
sebaliknya larangan bagi orang tersebut untuk meminta fatwa dari Mufti.
Pasal ini menjamin kebebasan peradilan, dimana hakim tertinggipun tidak
diperkenankan turut campur tangan dalam penyelesaian suatu perkara.
Juga
larangan bagi pejabat pemerintah, seperti : Raja, Mantri, Pambakal
ataupun Panakawan untuk mencampuri urusan orang yang berperkara. Suatu
kewajiban hakim apabila telah selesai melakukan pemeriksaan perkara dan
bersoal jawab dengan saksi-saksi, diperintahkan untuk mufakat terlebih
dahulu dengan Khalifah dan Lurah sebelum putusan dijatuhkan. Segala putusan yang dijatuhkan harus diserahkan pada Mangkubumi untuk memperoleh cap kerajaan. Pasal 11 “Lamoen soedah djadi papoetoesan itoe, bawa kajah ading-ading dahoeloe mantjatjak tjap didalam papoetoesan itoe” Pasal 12 “Siapa-siapa
yang kalah bahoekoem maka anggan ia daripada kalahnya itoe, serahkan
kajah ading papoetoesannya itoe jang mengoeroeskannya” Para Bilal
dan Kaum merupakan bagian dari aparat pelaksana hukum, karena kedua
jabatan ini dapat diminta oleh hakim untuk membantu melaksanakan
keputusan pengadilan yang bertindak atas nama Sultan. Surat gugatan yang
harus diserahkan dulu kepada tergugat dan tergugat harus menjawabnya.
Kalau dalam tempo 15 hari dia tidak menjawabnya, maka hakim berhak
memutuskan perkaranya.
5) Hukum Tanah
Pasal-pasal
dalam bagian ini adalah : Setiap transaksi tanah diharuskan untuk
didaftar atau setidak-tidaknya diketahui oleh hakim dan ada suatu tanda
pendaftaran tertulis yang dibuat oleh hakim. Setiap orang menjual sawah
kebun sudah lebih dari 20 tahun, kemudian terjadi gugatan dengan alasan
seperti bahwa sawah itu harta warisan yang belum dibagi, gugatan itu
tidak berlaku. Disini digariskan adanya tenggang waktu daluwarsa dalam
berbagai transaksi tanah yaitu selama 20 tahun, baik pemilik asal maupun
pihak ketiga tidak dapat menuntut kembali tanah yang dijualnya. Tidak
ada larangan bagi setiap golongan untuk menggarap tanah. Disini tidak
dikenal semacam hak ulayat menurut ciri-ciri umum. Tanah bekas
ladang yang ditinggalkan orang kira-kira dua musim atau lebih akan
kembali jadi padang tidak ada pemiliknya, kalau di tanah tersebut tidak
ada tanda-tanda hak milik berupa tanaman atau galangan. Bisanya tanah
yang berasal dari “tanah wawaran”.
6) Ketentuan Peralihan Sebagaimana peraturan-peraturan jaman sekarang, Undang-undang Sultan Adam ini
mengenal semacam peraturan peralihan, meskipun tempatnya tidak pada
bagian akhir, yang dalam UU ini dalam pasal 16, yang berbunyi : “Mana-mana
segala perkara yang dahulu dari zamanku tiada kubariakan dibabak lagi
dan mana-mana segala perkara pada zamanku nyata salahnya boleh aja
dibabak dibujurkan oleh Hakim”
7) Penjelasan Undang-Undang Sultan Adam Pasal demi Pasal
Perkara 1 : “Adapoen
perkara jang pertama akoe soeroehkan sekalian ra’jatkoe laki-laki dan
bini-bini beratikat dalal al soenat waldjoemaah dan djangan ada seorang
baratikat dengan atikat ahal a’bidaah maka siapa-siapa jang tadangar
orang jang beratikat lain daripada atikat soenat waldjoemaah koesoeroeh
bapadah kapada hakimnja, lamoen benar salah atikatnja itoe koesoeroehkan
hakim itoe menobatkan dan mengadjari atikat jang betoel lamoen anggan
inja dari pada toebat bapadah hakim itu kajah diakoe”. Pasal
ini menetapkan kepada sekalian penduduk seluruh Kerajaan Banjar agar
berpegang pada itiqad Ahlussunah wal Jamaah, berdasarkan mazhab Syafei
seperti yang diajarkan oleh Syekh Abu Hasan al Asy’ari dan al Maturidi.
Pasal ini sebagai reaksi dari adanya berbagai aliran sufi yang
mengajarkan berbagai ajaran yang bertentangan atau menyimpang dari Faham
Ahlussunah wal Jamaah, seperti ajaran Wahdatul Wujud yang
pernah menghebohkan Kerajaan Banjar yang dibawa oleh Syekh Abdul Hamid
Abulung. Kalau ada orang yang menganut Faham yang bertentangan dengan
Faham Ahlussunah wal Jamaah supaya segera dilaporkan kepada Hakim dan
Hakim wajib membetulkan itiqadnya dan seandainya orang tersebut tidak
mau bertobat, supaya dilaporkan kepada Sultan.
Perkara 2 : “Tiap-tiap
Tatoeha kampoeng baoelah langgar soepaja didirikan mereka itoe
sembahjang bardjoemaah pada tiap-tiap waktoe dengan sekalian anak
boeahnja dan koesoeroeh meraka itoe membawai anak-anak boeahnja
sembahjang berjoemaah dan sembahjang djoemaat pada tiap djoemaat lamoen
ada njang anggan padahkan kajah diakoe”.
Pasal
ini memuat kewajiban bagi tetuha kampung untuk membuat langgar atau
surau tempat Shalat berjamaah dan diwajibkan bagi setiap warga kampung
untuk melaksanakan Shalat Jumat berjamaah. Dan bagi mereka yang ingkar
dilaporkan pada Sultan. Pasal ini menunjukkan bagaimana pelaksanaan
hukum Islam itu dijalankan, sebab Sultan juga campur tangan dalam hal
masalah warga kampung yang ingkar Shalat berjamaah dan ingkar Shalat
hari Jumat. Perintah kerajaan untuk menjalankan shalat Jumat ini memang
sejak zaman Sultan Tahmidillah bin Sultan Tanjidillah. Sanksi bagi
mereka yang tidak Shalat itu adalah denda. Masalah denda ini cukup berat
hingga pernah dipermasalahkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
dengan guru beliau Syekh Muhammad Sulaiman al Kurdi di Madinah sewaktu
beliau menuntut ilmu agama di sana. Hasil pembicaraan itu melahirkan
sebuah kitab yang bernama “Fatawa”.
Perkara 3 : “Tiap-tiap
Tetoeha kampoeng koesoeroehkan memadahi anah boeahnja dengan
bermoefakat, astamiwah lagi antara berkarabat soepaja djangan djadi
banjak bitjara dan pembantahan” Suatu
kewajiban pula bagi Tetuha kampung untuk saling menasihati khususnya
keluarganya dan anak buahnya agar selalu bermufakat dan bermusyawarah
supaya jangan terjadi perselisihan dan percekcokan. Sangat jelas disini
Sultan menekankan prinsip musyawarah sebagai salah satu prinsip untuk
mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Perkara 4 : “Siapa-siapa
jang hendak nikah kepada hakim koesoeroeh orang jang terlebih adil
didalam kampoeng itoe membawanja kepada hakim sekoerangnja doea orang
lamoen kadada seperti itoe djangan dinikahkan” Pasal
ini mengatur masalah perkawinan. Barangsiapa yang ingin nikah harus
datang kepada hakim dengan membawa dua orang dari warga kampungnya yang
dianggap adil. Kalau tidak ditemukan persyaratan itu maka tidak dapat
dinikahkan. Kedua orang yang adil itu fungsinya menjadi saksi sesuai
dengan ketentuan Hukum Islam. Dalam kerajaan Banjar terdapat jabatan
yang mengatur masalah perkawinan dan juga berwenang dalam masalah
pengadilan. Pada masa pemerintahan Sultan Adam Jabatan : Mufti : Hakim tertinggi, pengawas pengadilan umum Qadhi : Pelaksana hukuman dan pengatur jalannya pengadilan agar hukum berjalan dengan wajar. Penghulu :
Hakim yang kebanyakan, mendapat cap atau piagam dari Sultanh. Penghulu
adalah petugas y ang menjalankan pelaksanaan perkawinan menurut hukum
Islam. Pada waktu itu Penghulu juga merupakan hakim pada tingkat rendah.
Perkara 5 : “Tiada
koebarikan sekalian orang menikahkan perempoean dengan taklik kepada
moejahab jang lain dari pada jang moejahab Sjafei maka siap jang sangat
berhadjatkan bataklid pada menikahkan perempoean itoe bapadah kajah
diakoe dahoeloe”. Pasal
ini juga mengatur tentang masalah perkawinan. Dalam pasal ini dijelaskan
bahwa seseorang tidak boleh berlainan mazhab kecuali hanya mazhab
Syafei. Kalau juga terjadi sebelumnya harus dilaporkan kepada Sultan.
Dalam hal ini jelas bahwa mazhab Syafei adalah mazhab kerajaan dan
penyimpangan dari mazhab Syafei, berarti tidak sahnya perbuatan hukum
yang bersangkutan.
Perkara 6 : “Mana-mana
perempoean jang hendak minta pasahkan nikahnja lawan lakinja maka hakim
koesoeroeh mamariksa apa-apa ekral bini-bini itoe padahakan kajah
diakoe”. Pasal itu masih
mengatur tentang perkawinan. Pasal ini menyebutkan bahwa bagi setiap
perempuan yang ingin membatalkan nikahnya dengan suaminya, maka
diperintahkan agar hakim memeriksa apa ekral perempuan itu dan
melaporkannya kepada Sultan.
Perkara 7 : “Tiada
koeberikan moefti membari pidatoe hendak berhoekoem atau orang jang
dalam tangan berhoekoem dan tiada koebariakan orang itoe maminta pitoea
hakim hanja djoea mamintakan pitoeanja”. Mufti adalah
hakim tertinggi selaku pengawas peradilan umum. Meskipun demikian dia
dilarang untuk memberikan fatwa perkara atau orang yang sedang
berperkara begitu pula bagi orang yang sedang berperkara dilarang
meminta fatwa kepada mufti dan hanya hakim yang dibolehkan untuk meminta
fatwa kepada mufti. Jadi mufti hanya bisa memberikan fatwa kalau
diminta oleh hakim yang sedang memeriksa dan mengadili suatu perkara.
Perkara 8 : “Siapa-siapa
jang datang kepada mufti memadahkan soeroehankoe meminta pitoea, tiada
koebariakan moefti memberi pitoea lamoen tiada lawan tjapkoe”. Sebagai
kelanjutan dari pasal sebelumnya, pasal ini memperingatkan kepada
mufti, bahwa mufti dilarang membawa kepada seseorang dengan meminta
fatwa Sultan, kecuali dia membawa tanda-tangan Sultan dengan cap
kerajaan.
Perkara 9 : “Siapa-siapa jang berhoekoem tiada koebariakan masoek pada radja-radja atau mantri atau pambakal atau panakawan” Pasal
memuat larangan bagi pejabat pemerintah Kerajaan seperti para raja,
mantri, pambakal atau panakawan untuk mencampuri urusan orang-orang yang
saling berperkara. Tentang jabatan panakawan disini adalah orang-orang
yang menjadi suruhan raja atau kepala-kepala dibebaskan dari segala
pekerajaan negeri dan dari segala pembayaran pajak.
Perkara 10 : “Sekalian
hakim lamoen soedah habis periksanja kedoea pihak perkara da’wa dan
djawab dan saksi djaerah koesoeroehkan moefakat mamoetoeskan itoe lawan
chalifahnja dan toean loerahnja”. Pasal
ini memuat kewajiban bagi para hakim setelah selesai melaksanakan
pemeriksaan perkara dakwaan dan jawaban serta saksi-saksi diperintahkan
untuk mufakat dengan khalifah dan lurah. Sistem pengadilan seperti ini
memberi gambaran bahwa sistem peradilan pada masa Sultan Adam mirip
dengan Peradilan di negeri Anglo Saxon yang mengenal sistem Yuris.123
Perkara 11 : “Lamoen soedah djadi papoetoesan itoe bawa kajah ading-ading dahoeloe mantjatjak tiap didalam papoetoesan itoe”. Menurut
pasal ini bilamana keputusan sudah selesai harus dibawa lebih dahulu
kepada ading-ading. Ading disini yaitu adik, maksudnya adik Sultan yang
saat itu menjabat sebagai Mangkubumi, karena semua putusan harus dicap
oleh Mangkubumi. Mangkubumi memegang wewenang sebagai pelaksana
administrasi tertinggi.
Perkara 12 : “Siapa-siapa
jang kalah bahoekoem maka enggan ia dari pada kalahnja itoe sarahkan
kajah ading papoetoesannja itoe ading jang mengaraskannja”
123 Abdurrahman, “Studi…, ibid., hal. 89.
Pasal
ini menyebutkan bahwa barangsiapa yang kalah dalam berperkara dan tidak
mau menerima atas kekalahannya itu, putusannya itu diserahkan pada
Mangkubumi untuk mengatakannya.
Perkara 13 : “Sekalian
bilal-bilal dan kaoem-kaoem ada hakim mengoeroes bitjara pahakoemen
djangan ada jang enggan karena itoe perintah joea”. Pasal
ini menjelaskan bahwa para bilal, kaum diberi tugas oleh hakim untuk
menyelesaikan masalah suatu perkara mereka tidak boleh menolak. Para
bilal, kaum pada waktu Kerajaan Banjar merupakan bagian dari aparat
pelaksaaan hukum karena kedua jabatan itu dapat diminta oleh hakim untuk
membantu melaksanakan keputusan Pengadilan yang bertindak atas nama
Sultan.124
Perkara 14 : “Kalau
ada orang jang naik hoekoeman kajah hakim endada lawan soerat da’wah
dan djawab tiada koebariakan hakim membitjarakannja. Menurut
pasal ini bilamana ada orang yang hendak berperkara kepada hakim harus
dengan surat gugatan dan jawaban tertulis bila tidak demikian hakim
tidak dibolehkan untuk memeriksanya. Ini merupakan ketentuan yang lebih
maju didalam hukum acara bilamana dibandingkan dengan perkara di muka
hakim Gubernemen Belanda yang waktu itu dibolehkan gugatan secara lisan,
sedangkan disini disyaratkan dengan tertulis.125
Perkara 15 : “Lamoen
ada menda’wi mandjoeloeng soerat da’wi kajah hakim koesoeroeh djoeloeng
menda’wi alaihi maka lamoen soerat anggan menda’wi alahi daripada
mendjawab da’wi itoe pada hal sampai lima belas hari anggannja itoe
koesoeroehkan hakim memoetoeskan hoekoemnya dengan woekoelnja”. Pasal
ini menjelaskan bahwa suatu gugatan yang masuk harus diserahkan dulu
kepada tergugat dan tergugat harus menjawabnya. Apabila dalam waktu 15
hari ia belum mengajukan jawaban maka Hakim diperintahkan untuk
memutuskan perkaranya.
124 A. Gazali Usman, op.cit., hal. 102. 125 Abdurrahman, op.cit., hal. 89.
Perkara 16 : “Mana-mana
segala perkara jang dahoeloe daripada zamankoe tiada koebariakan
dibabak dan mana-mana segala perkara zamankoe lamoen njata salahnja adja
dibabak diboejoerakan oleh hakim”. Pasal ini menjelaskan bahwa
segala peraturan dan perundangan yang berlaku sejak dahulu sebelum
Sultan Adam tetap diberlakukan sampai saat itu tidak dibenarkan untuk
diubah, dan sebaliknya segala peraturan sejak zaman Sultan yang ternyata
salah, bertentangan terutama dengan hukum syariat Islam hakim boleh
memperbaikinya.
Perkara 17 : “Siapa-siapa
jang baisi tanah pahoemaan atau doekoeh atau djenis milik lain daripada
itoe jang bersanda pada waktoe ini atau handak mendjandakan jang
terdjoeal atau handak mandjoeal atau tersewakan atau handak menjewakan
atau jang terkadoeakan atau handak mengadoeakan atau jang terindjamkan
atau handak maindjamkan datang kepada hakim bersaksi dan hakim itoe
koesoeroeh baoelah soerah besar milik dan hakim soerah besar tempat
segala tarich itoe soepadja digadoeh oleh Hakim-Hakim ganti berganti dan
apabila taboes manaboes datang djoea kepada hakim boleh memboeang
kadoeanja tarich itoe maka ampoenja milik dan orang saorang orangnja
memberi kepada hakim lima doeit.” Pasal
ini mengatur tentang masalah tanah yang selengkapnya berbunyi :
siapa-siapa yang mempunyai sawah atau tanah kering atau jenis hak milik
lainnya yang digadaikan atau hendak menjual disewakan atau hendak
menyewakan, meminjam dengan syarat bagi hasil (mangdoeakan) harus
melapor kepada Hakim dengan membawa saksi-saksi, dan hakim membuatkan
surat pengesahannya dua rangkap, satu rangkap bagi pemilik asal dan satu
rangkap untuk pihak kedua. Hakim harus membuat buku besar yang berisi
tentang masalah-masalah seperti itu supaya dapat diketahui bagi hakim
selanjutnya ganti berganti. Biaya untuk pembuatan surat menyuratnya
sebesar lima duit. Disini terlihat adanya aturan yang jelas karena semua
harus didaftar pada Hakim atau ada tanda pendaftaran dari hakim.
Perkara 18 : “Mana-mana
orang jang barambangan laki-laki sebab perbantahan ataoe lainnja tiada
koebariakan itoe lakinja memegang bininja hanja koesoeroeh segala
berkebaikan maka hakim serta kerabat kedoea pihak koesoeroeh memadahi
dan membaikkan dan apa-apa kesalahan kedoea pihak dan apabila anggan
menoeroet hoekoem dan adat serta hadjat minta baikan pada hal perempoean
itoe keras tiada maoe berkebaikan lagi maka padahakan kajah diakoe.” Pasal
ini mengatur masalah perkawinan dan secara lengkapnya berbunyi :
Siapa-siapa suami isteri sedang dalam pertengkaran dan pisah tidur
(berambangan), suaminya jangan-jangan mempersulit posisi isterinya
dengan cara tidak berkumpul tetapi juga tidak dicerai, dan pihak
keluarganya dan hakim berkewajiban merukunkan kembali suami isteri
tersebut, dan apabila keduanya tidak mau, maka masalahnya harus
dilaporkan kepada Sultan untuk menyelesaikan tingkat akhir.
Perkara 19 : “Tiada koebariakan orang menjarahkan batagihan kepada radja-radja atau mantri-mantri atawa lamoen tiada soerat hakim.” Pasal
ini mengatur hukum peradilan dan hukum acara, seseorang dilarang untuk
menyerahkan penagihan piutang kepada pejabat-pejabat kerajaan tanpa ada
surat perintah dari hakim. Dalam hal ini terlihat dengan jelas bahwa
kerajaan Banjar tidak membenarkan perlakuan sewenang-wenang kalau tidak
ada kerajaan tertulis tentang perintah dari hakim, hal ini berlaku untuk
semua orang termasuk anak-anak raja atau para bangsawan.
Perkara 20 : “Sekalian
banoea tiap-tiap tatoeha kampoeng koesoeroehkan mendjaga boelan pada
tia-tiap awal boelan Ramadhan dan achirnja dan tiap-tiap boelan hadji
dan awal boelan Moeloed maka siapa-siapa jang melihat boelan lekas-lekas
bapadah kapada hakimnja soepaja hakimnja lekas-lekas bapadah kajah
diakoe maka mana banoca jang dilaloeinja ilir itoe ikam kabari
samoeanja”. Pasal ini
diwajibkan setiap kampung untuk menjaga dan melihat bulan pada tiap-tiap
awal bulan Ramadhan, akhir Ramadhan, pada tiap-tiap awal bulan Zulhijah
(bulan Haji). Pada tiap-tiap awal bulan Rabiul Awwal (bulan Maulud
Nabi) dan bilamana melihat sesegeralah melapor pada Hakim dan Hakim
melapor pada Sultan agar dapat diumumkan keseluruh kerajaan. Pasal ini
mengatur masalah yang bersangkutan dengan peribadatan khususnya ibadah
puasa pada bulan Ramadhan. Dalam hal ini kerajaan Banjar memegang teguh
prinsip ru’yatul hilal dalam penetapan awwal Ramadhan, Idhul
Fitri dan Idhul Adha adalah dasar yang diamalkan Rasullah saw dan
khulafaur Rasyidin dan yang dipegangi oleh seluruh ulama Madzahibil Arba’ah.
Sedangkan dasar hisap falak untuk menetapkan tiga hal tersebut adalah
dasar yang tidak pernah diamalkan oleh Rasulullah saw dan Khulafaur
Rasyidin serta diperselisihkan keabsahannya dikalangan para ulama.
Perkara 21 : “Tiap-tiap
kampoeng kaloe ada perbantahan isi kampoengnja koesoeroehkan
membitjarakan dan mamatoetkan moefakat lawan jang toeha-toeha
kampoengnja lamoen tiada djoea dapat membicarakan ikam bawa kepada
hakim” Menurut pasal ini
bilamana terjadi di sengketa didalam kampungnya maka diperintahkan untuk
mendamaikan (mamatut) dengan tetuha kampung, bilaman tidak berhasil
barullah dibawa kepada Hakim. Dalam masayarakat Banjar sampai sekarang
masih menjadi suatu tradisi ‘mematut” yaitu mendamaikan antara
kedua belah pihak yang bersengketa, seperti kasus pelanggran hukum
seperti perkelahian. Jadi terdapat lembaga hukum secara tradisi dalam
menyelesaikan persengketaan untuk dirukunkan kembali, sehingga tidak
terjadi timbulnya perasaan dendam antara kedua belah pihak ‘Lembaga Bapatut”
ini dihadiri oleh kedua belah pihak dan seluruh kerabat keluarga
terdekat yang bersengketa yang dipimpin oleh tetuha kampung. Kalau tidak
terdapat penyelesaian, barulah dibawa kepada hakim. Kalau ini yang
terjadi maka kerukunan bermasyarkat membahayakan sebab perasaan dendam
tidak terhapuskan. Pasal ini menunjukkan bahwa kerajaan Banjar
menerapkan hukum Islam sesuai dengan ketentuan dalam Al Qur’an Surat al Hujarat ayat 10, yang berbunyi: “Sesungguhnya
orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat
selamat”.
Perkara 22: “Sekalian
orang jang berhoeboengan jang telah dihoekoemkan oleh hakim-hakim tiada
koebariakan lari kepada siapa-siapa dan tiada koebariakan siapa-siapa
jang mengeia-i orang jang dihoekoemkan hakim itoe mana-mana orang jang
enggan dari pada perintahan ini maka lari djoea ija kepada siapa-siapa
akoe hoekoemkan”. Pasal
ini melarang bagi orang yang telah divonis oleh hakim untuk meminta
bantuan hukum kepada orang lain atau menggunakan kenalan atau kerabat
dekat dengan kerajaan untuk meringankan atau membebaskan.
Perkara 23 : “Sekalian
orang jang telah berdjoeal tanah pahoemaan ataoe doekoeh ataoe
lain-lainja pada zaman dahoeloe sama ada soedah tardjoealnja kalain lain
benda itoe ataoe tatap adja didalam tangannja maka manoentoet
karabatnja nang mandjoeeal itoe menda’wi berserikat lawan diija lagi
baloem dibagi banda itoe dan djikalaoe moefakat jang manda’wo berserikat
dengan jang mandjoeal itoe sekalipoen apdahal lawannya banda jang
didalam tangan jang manoekar itoe doea poeloeh tahoen ataoe lebih maka
anjar menda’wi pada hal hidoep kadoeanja lagi hadir kadoeanja
didalam
masanja jang tersebut itoe didalam tangan jang manoekar maka tiada
koebariakan jang mandjoeal itoe ataoe jang manda’wa berserikat itoe
manaoetoet kepada hakim-hakim dan segala hakim-hakim tiada djoea
koebariakan membitjarakan djoea sebab karena lawas”. Menurut
ketentuan pasal ini bahwa setiap yang menjual sawah atau kebun dan
lainnya pada masa lampau, baik barang yang dijual itu tetap berada
ditangan sipembeli maupun sudah berpindah tangan, timbul tuntutan dari
salah seorang keluarga bahwa barang yang dijual itu adalah miliknya
bersama atau harta warisan yang belum dibagi paraid, pada terjualnya
sudah lebih 20 tahun, pada masa hidupnya ia bersama-sama tetapi baru
saja dia menggugat maka tuntutan itu tidak berlaku dan para hakim
dilarang memeriksa perkara itu.
Perkara 24 : “Ikam
sekalian hakim-hakim kaloe ada orang jang mandjoeloeng da’wa dan
djawabnja ikam oelahkan tarieh tatkala ia mandjoeloeng da’wa dan
djawanja itoe maka mana-mana jang berkahandak kepada saksi ikam pinta
saksinja itoe didalam sakali hadja inja jang boleh maadakan saksi itoe
didalam masa saboelan adja inja maingat-ingatan saksinya maka kalaoe
soedah habis segala bitjaranja jang masoek kepada hakim ikam poetoeskan
adja djikalaoe maadakan poelang saksi jang lain daripada jang
diseboetnya dahoeloe djangan ikam tarima lagi”. Ada
dua hal yang diatur dalam pasal ini. Yang pertama adalah kewajiban para
hakim untuk menerima gugatan dan jawaban, sedangkan yang kedua adalah
mengenai saksi dalam suatu perkara. Barangsiapa dalam satu perkara
mengajukan saksi, maka ia diberi waktu satu bulan untuk mengingat-ingat
siapa saksi, yang akan diajukannya, tetapi kalau lewat maka hakim dapat
memutuskan perkaranya. Bilamana yang bersangkutan akan mengajukan saksi
berbeda dengan saksi terdahulu, maka saksi tersebut harus ditolak oleh
hakim.
Perkara 25 : “Mana-mana
laki-laki jang berbini boedjang kamudian maka manda’walakinja itoe akan
bininja tiada berdara serta diwantar-wantarkanja kepada setengah
manoesia jang djadi aib perempuan itoe jaitoe bapadah kajah diakoe
karena inja menda’wa dengan tiada saksi”. Pasal
ini mengatur tentang masalah seorang laki-laki yang kawin dengan
perawan akan tetapi menuduh istrinya tidak perawan lagi dan menyebar
luaskannya (mewantar-wantarkan) kepada orang lain sehingga isteri
menjadi malu atau aib, supaya dilaporkan kepada Sultan karena ia menuduh
tanpa saksi. Sultan akan menetapkan hukuman apa yang dijatuhkan
padanya.
Perkara 26 : “Mana-mana
pahoemaan dan doekoeh jang soedah dijoeal ataoe soedah dibagi oleh
orang toenja ataoe oleh hakim pada hal masyhoer wantar didjoeal
toekarnja atauoe bahagianja itoe apalagi djika ada saksi kerabat ataoe
pasah sekalipoen maka soedah sepoeloeh tahoen atawa lebih maka tiada
boeleh anak tjoetjoenja dan karabatnja membabak manoentoet kepada hakim
kamoedian daripada soedah mati jang mendjocal ataoe jang manarima
bahagi”. Dalam pasal ini
disebutkan bahwa apabila sawah atau kebun yang sudah dijual atau sudah
dibagi oleh orang tuanya dan umumnya mengetahuinya apalagi ada saksi
dari kerabatnya sendiri, anak cucunya tidak diperkenankan membatalkan
sawah atau kebun yang telah dijual atau telah dibagi itu.
Perkara 27 : “Siapa-siapa
jang menang bahoekoem tiada boleh orang jang menang itoe menoetoet sewa
tanahnja itoe pada jang kalah bahoekoem selama perhoemaan didalam
tangannja itoe adanja”. Dalam
pasal ini dijelaskan bahwa barang siapa yang menang dalam perkara
sengketa tanah, yang menang tidak boleh menuntut sewa tanah kepada yang
kalah. Jadi maksdunya meskipun tanah itu beberapa tahun berada ditangan
pengusaha yang tidak berhak, tetapi apabila tanah itu kembali kepada
yang berhak sebagai akibat menang perkara, si pemenang tidak boleh
menuntut sewa tanah kepada yang kalah selama tanah itu dikuasai oleh
yang kalah. Pasal-pasal 23, 26 dan 27 meskipun tidak dicantumkan
hukumnya dalam kitab fiqih, namun Agama Islam memberikan wewenang kepada
setiap penguasa atau kerajaan untuk menentukan yang mana yang baik demi
terjaminnya keadilan dan ketertiban. 126
Perkara 28 : “Siapa-siapa
jang handak bahoema didalam watas Halabioe ataoe Negara ataoe lainnja
maka jaitoe boeleh orang mangakoei watas jang tiada dioesahanija dan
perhoemaannja dan tiada boleh orang maharoe biroe”. Pasal
ini menjelaskan tentang kebebasan bagi setiap warga dalam wilayah
kerajaan untuk mengerjakan sawah khususnya di daerah Alabio, Negara
lainnya, tidak diperbolehkan penduduk lainnya untuk melarangnya dan
tidak boleh seseorang mengakui batas sebidang tanah yang tidak
dikerjakan. Dari pasal ini dapat dilihat bahwa pada waktu dahulu
khususnya pada masa kerajaan tidak ada keutamaan penduduk disuatu daerah
tertentu atas tanah yang didalam wilayahnya sehingga ia dapat melarang
orang dari daerah lain yang akan mengerjakan tanah itu, hal ini juga
menunjukkan bahwa didaerah ini khususnya wilayah kerajaan Banjar tidak
dikenal semacam hak ulayat menurut ciri-ciri umum.127
126 M. Asywadie Syukur, “Perkembangan…, op.cit., hal. 7.
Perkara 29 : “Mana-mana
padang jang ditinggalkan orang kira-kira doea moesim ataoe lebih maka
kembali mendjadi padang poelang dan tiada tanda milik djadi tattamanja
atawa galangan ataoe sungai jang menghidoepi tanahnja itoe maka diganai
poela oleh jang lannja itoe serta ditetapinja maka tiada koebarikan
orang jang dahoeloe itoe menghendaki lagi atas menoentoet kepada
hakim-hakim.” Pasal ini
mengatur tentang tanah bekas ladang yang ditinggalkan oleh penggarapnya
selama dua tahun atau lebih, kembali menjadi padang atau tanah yang
tidak ada yang memilikinya dengan syarat tidak ada bekas-bekas tanda
yang memilikinya seperti “galangan” atau tanggul, sungai yang
digali untuk mengairi sawah itu. Pasal ini mengatur kebiasaan penduduk
yang mengerjakan tanah secara berpindah (shifting cultivation)
dan kemungkinan membuka tanah yang belum pernah dibuka yang lebih subur.
Bekas tanah garapan ini apabila ditinggalkan selama dua tahun tidak ada
yang memiliki dan tidak boleh menuntut kalau orang lain yang
mengerjakannya. Pasal-pasal 28 dan 29 tentang pengolahan tanah dan
mentelantarkan tanah diatur sesuai dengan hukum Islam yang dalam ilmu
Fiqih disebut “hakut tahjir”128 tetapi menurut Adijani Al Alabi disebut “Ihyanul Mawat”, yaitu
menghidupkan tanah yang sudah mati.129Pasal-pasal yang menyangkut
tentang masalah pola penguasaan, pemilikian dan penggunaan tanah
tertuang dalam pasal 17, 23, 26, 27, 28 dan pasal 29 dari Undang-undang
Sultan Adam. Meskipun Undang-undang Sultan Adam tersebut sudah dihapus
sejak Belanda menguasai Kerajaan Banjar tahun 1860, tetapi sampai
sekarang pola penguasaan, pemilikian dan pola penggunaan tanah seperti
tercantum dalam pasal-pasal itu tetap berlaku secara tradisional
dikalangan masyarakat Banjar. Segala permasalahan yang timbul dari
akibat penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah ini selalu hukum atau
undang-undang adalah merupakan jalan terakhir yang ditempuh. Dalam hal
ini peranan Kepala Desa atau Pembakal sangat besar. Pembakal yang
menandatangani segel tanah yang sampai sekarang merupakan bukti yang
dipercaya dalam masalah pemilikan tanah.
127 A. Gazali Usman, op.cit., hal. 102. 128 M. Asywadie Syukur, “Perkembangan…, op.cit., hal.
7. 129 Adijani Al Alabij, “Interaksi Antara Hukum Islam dengan Hukum
Adat di Kalimantan Selatan”, Makalah pada Seminar Sejarah Perkembangan
Hukum Islam di Kalimantan Selatan, Fakultas Hukum UNLAM, Banjarmasin,
1989, hal.10.
Berlakunya
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 dan Undang-undang
no. 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa hampir tidak menimbulkan
permasalahan dengan adat yang menyangkut penguasaan, pemilikan dan
penggunaan tanah (Land Tenure) di desa. Segel tanah yang
merupakan bukti pemilikan tanah secara adat, disamping ditandatangani
Pembakal juga dikuatkan oleh Camat sebagai Kepala Pemerintahan
Kecamatan. Sebagai bukti hak milik secara adat sudah sah. Untuk hal-hal
yang bersifat resmi bukti hak milik secara adat sudah tidak berlaku,
karena berdasarkan UUPA tersebut harus berbentuk sertifikat tanah yang
dibuat oleh Kepala Pertanahan Kabupaten.130 Setelah Kerajaan Banjar
kalah dalam Perang-Banjar (1859-1905) melawan kolonialisme Belanda,
Belanda menghapuskan Kerajaan Banjar. Dengan hapusnya Kerajaan Banjar
tersebut maka Undang-undang Sultan Adam juga tidak berlaku lagi, tetapi
sampai sekarang Pola Penguasaan, Pemilikan dan Penggunaan tanah (Land Tenure) masih hidup dikalangan masyarakat dan dihormati secara tradisi.
Perkara 30 : “Mana-mana orang kababaran jang tiada mengakoe jaitoe padahkan kajah diakoe”. Pasal
ini mengatur tentang wanita yang melahirkan tanpa suami dan tidak
mengaku bahwa dia berzina, harus dilaporkan pada Sultan untuk mentapkan
jenis hukumannya. Melahirkan kababaran juga diartikan dengan melahirkan
secara paksa atau digugurkan sebagai akibat hubungan tanpa nikah atau
akibat kumpul kebo.
Perkara 31 : “Mana-mana
Loerah dan Mantri-Mantri Oeloe Soengai dan lainnja tiada koebariakan
masoek bitjara dan mengganggoe kepada segala perintah jang koetentoekan
kepada sekalian Hakim-hakim dan Khalifahnja dan toean Loeranja tida
koebariakan loempat dan ganggoe kepada sekalian perintah jang
koebariakan loempat dan ganggoe kepada sekalian perinat jang
koententoekan kepada segala Lalawangan dan Loerah dan Mantrinja maka
adalah perintah jang koetentoekan kepada sekalian Hakim itoe mana-mana
sekalian bitjara Hakim menghoekoem perbantahannja sekalian ra’jatkoe dan
perintah yang koetentoekan kepada sekalian ra’jatkoe moefakat dan
misiwarat Hakim-Hakim dan Lalawangan dan Loerah Mantrinja Koesoeroeh
mengeraskan hoekoem Allah Taala jang dihoekoemkan oleh Hakim jaitoe
sekalian Lalawangan dan Loerahnja dan Mantrinja Koesoeroeh mengraskan
hoekoem itoe djikalaoe berkata seorang kepada saoempama Lalawangan
oeloen redha bernadzar adja adja doea real setali tiba-tiba orang sampai
batagih nadzar dan batin maka taloempat orang itoe ditagih wang
panahoernja itoe tiada halal karena nadzar itoe pasid tiada sahkarena
ketiadaan aldzam jang mewajibkan membajar dia dan djika diperoleh
sjaratnja sekalipoen jaitoe tiada dikanai segala gawi dan poepoe pinta
dan tiada dikanai gawi dan poepoe pinta dan tiada hiaroe biroe hak milik
oeloen wadjib atas oeloen maatoeri kepada tiap-tiap moesim doea rial
setali maka apabila diperoleh syaratnya itoe wadjiblah atas mambajar dan
tiada halal pembajarannja. Sekalian kepada kepala djangan ada jang
menjalahi apabila ikam tiada kawa manangat lekas-lekas bapadah kajah
diakoe”.
130
A. Gazali Usman, “The Influence of Sultan Adam’s 1835 Act on the
Traditional Land Tenure in Banjarese Region South Kalimantan”, a Paper
Presented at Borneo Research Biennial International Conference, Kinibalu
Sabah Malaysia, 13-17 July 1992, hal. 18.
Pasal
ini merupakan pasal terakhir dari versi Martapura, sedangkan versi
Amuntai bersambung beberapa pasal lagi sampai pasal 38. Pada pasal ini
dapat dipelajari beberapa hal tentang Kerajaan Banjar ialah tentang
nama-nama pejabat kerajaan, petunjuk pelaksanaan menjalankan perintah
kerajaan, tentang kewajiban pembayaran nadzar dan baktin, tentang
kewajiban mamatuhi fatwa Mufti H. Jamaluddin.
Nama-nama pejabat kerajaan yang disebutkan dalam Undang-Undang ini ialah :
1) Pembakal adalah kepala dari sebuah kampung yang meliputi beberapa buah anak kampung.
2) Lurah adalah
pembantu Lalawangan yang mengamati pekerajaan beberapa pembakal dan
dalam melaksanakan tugasnya Lurah dibantu oleh Khalifah, bilal dan kaum.
3) Lalawangan adalah kepala distrik yang membawahi bebrapa Lurah.
4) Mantri adalah
pangkat kehormatan untuk orang-orang yang berjasa kepada kerajaan.
Beberapa diantara Mantri itu juga menjabat sebagai Lalawangan.
Petunjuk pelaksanaan untuk menjalankan tugas perintah dari kerajaan, dalam Pasal ini disebutkan bahwa :
a.
Pejabat-pejabat kerajaan tidak boleh mencampuri urusan peradilan. Tugas
peradilan adalah menetapkan hukum dalam beberapa perkara. Dalam hal ini
terlihat adanya semacam jaminan kebebasan peradilan seperti pada masa
sekarang.
b. Pejabat-pejabat kerajaan harus mendukung dan menguatkan apa-apa yang telah menjadi keputusan Hakim.
Tugas tersebut didasarkan atas permusyawarahan, (moefakat dan misiwarat).
Dalam hal ini terlihat adanya semacam koordinasi pelaksanaan tugas
seperti pada masa sekarang. Dalam hal pelaksanaan tugas kerajaan ini
terlihat adanya pembagian tugas dan wewenang antara pejabat-pejabat
kerajaan dan tugas peradilan yang dilakukan oleh para Hakim. Pejabat
kerajaan tidak boleh mencampuri Urusan peradilan bahkan harus menguatkan
putusan pengadilan itu.131 Pasal itu mengatur pula tentang kewajiban
seorang warga kerajaan. Kewajiban itu ada tiga jenias berdasarkan pasal
ini yaitu kewajiban membayar nadzar dan baktin dan kewajiban berbakti untuk kerajaan melaui tenaga yang disebut “gawi” dan “pupuan pinta”. Kewajiban “gawi” dan “pupuan pinta”
ini merupakan kewajiban bagi setiap warga sesuai dengan ketentuan yang
sudah ditentukan. Bagi warga penduduk kerajaan yang dikenakan uang
baktin yaitu dibayar dengan tenaga yaitu bekerja untuk kepentingan
kerajaan tetapi dapat juga diganti dengan sejumlah uang yang besarnya
sudah ditetapkan. Uang nadzar adalah kewajiban membayar dengan
uang tanpa dapat diganti dengan bekerja untuk kerajaan. Kewajiban “gawi”
dan “pupuan pinta” semacam pekerajaan gotong royong yang diwajibkan
bagi setiap warga kerajaan. Masalah selanjutnya dari Pasal ini adalah
kewajiban bagi semua warga kerajaan untuk tunduk pada fatwa Haji
Jamaluddin yang menjadi Mufti Kerajaan, cucu dari Syekh Muhammad Arsyad
Al Banjari. Fatwa yang bersifat dan menyangkut masalah agama terhimpun
dalam Perukunan yang merupakan petunjuk praktis untuk menjalankan
ibadah. Tetapi dalam pasal ini adalah kewajiban taat pada fatwa Haji
Jamaluddin Mufti Kerajaan tentang uang nadzar yang sah dan yang tidak
sah. Nadzar yang sah adalah yang dinyatakan secara tegas dengan
berbagai persyratannya, sedangkan nadzar yang tidak mencukupi
persyaratannya adalah tidah sah Kalau ada yang tidak taat pada fatwa
itu, penyelesaiannya diserahkan pada Sultan. Pasal 32 menurut catatan
Biro Hukum adalah teks dari Pasal 33 menurut versi Amuntai.
Undang-undang Sultan Adam menurut versi Amuntai tersebut Pasal 1 sampai
pasal 30 isinya sama. Pasal 31 agak berbeda isinya, selanjutnya
Undang-undang Sultan Adam versi Amuntai dilanjutkan dengan Pasal 33
sampai Pasal 38.
Perkara 33 : “Sekalian
orang yang handak bahoekoem kepada Kadhi di Boemi Selamat jaitoe naik
dahoeloe kepada si Boetoeh atawa kepada Mangkoebumi, maka ia berdoea
itoe koesoeroeh mamariksa serta memoetoeskan mesjawaratnya, kemoedian
bawa poetoesannja kepada diakoe dan barang jang berkehandak kepada
Kadhi, maka si Boetoeh koesoeroeh memberi tjap soepaja diterima oleh
Kadhi”. Pada Pasal ada dua istilah yang perlu diketahui terlebih dahulu yaitu “Boemi Selamat” dan “Si Boetoeh”. Bumi Selamat adalah untuk keraton Sultan di Martapura. Nama Keraton Bumi 131 A. Gazali Usman, op.cit., hal. 100.
Selamat
baru dipergunakan sejak tahun 1806, sedangkan sebelumnya disebut
Keraton Bumi Kencana. Tentang nama Keraton Bumi Selamat dapat dibaca
pada perjanjian antara Kerajaan Banjar dengan Belanda tahun 1806 tanggal
11 Agustus. “Ini hormat sudah kita sempurnakan serta kita patrikan
tiap-tiap dimana tempat paseban dalam negeri Bumi kintjana jang sekarang
ganti nama Bumi Selamat . Sebelas hari dari bulan Agustus tahun seribu
delapan ratus enam”. Sebutan “si Butuh” adalah sebutan untuk putera mahkota yaitu anak dari Sultan sendiri yang saat itu adalah Sultan Muda Abdurrahman. Sedang sebutan “ading-ading” dalam
Pasal 11 maksudnya adalah Mangkubumi atau Perdana Mantri yang saat itu
dijabat oleh adik Sultan sendiri, yaitu Mangkubumi Kencana. Dalam pasal
ini disebutkan bahwa barangsiapa yang hendak berperkara kepada Kadhi di
Bumi Selamat terlebih dahulu harus datang kepada putera Mahkota Sultan
Muda dan Mangkubumi dan kedua pejabat kerajaan itu harus diberi cap
kerajaan dan selanjutnya dibawa kepada Sultan. Barangsiapa yang ingin
meneruskannya kepada Kadhi maka putera mahkota Sultan Muda harus memberi
cap kerajaan agar perkaranya diterima oleh Kadhi.
Perkara 34 : “Akan
Kadhi Bumi Selamat telah moefakat sama diakoe, jang ia tiada manarima
chal-chal orang melainkan jang ada tjap si Boetoeh dan tjap
Mangkoeboemi, dan lagi apabila ada jang anggan daripada poetoesan Hakim
jang soedah tjadi tjap Mufti, Mangkoeboemi jang koesoeroeh mengarasi
dengan mengikat atawa marantai”. Menurut
pasal ini bahwa Kadhi telah bermufakat dengan Sultan bahwa ia tidak
menerima persoalan-persoalan melainkan yang ada cap dari Sultan Muda dan
Mangkubumi. Kalau orang tetap enggan atau menolak putusan itu, maka
Mangkubumi diperintahkan menghukumnya dengan hukuman mengikat atau
dirantai.
Perkara 35 : “Apabila
Kadhi Boemi Selamat mendapat kenjataan orang jang melanggar
oendang-oendang atawa orang jang mendjoeal namakoe atawa nama di Boetoeh
atawa nama Mangkoeboemi atawa jang mentjampoeri pekerdjaan si Boetoeh
atawa pekerdjaan Mangkoeboemi. Kadhi Boemi Selamat, koe-idzinkan
mahoekoem orang itoe sekoerang-koerangnja setahoen”. Pasal
ini menegaskan sanksi hukuman bagi orang yang melanggar Undang-Undang
menjual nama Sultan, Sultan Muda atau menjual nama Mangkoeboemi, Kadhi
Bumi Selamat diperintahkan untuk menghukum orang tersebut dengan hukuman
setahun. Pasal ini merupakan satu-satunya pasal
yang
memuat sanksi hukuman kurungan sekurang-kurangnya setahun. Di dalam
pasal ini diatur adanya beberapa tindak pidana yang diancam dengan hukum
kurungan sekurang-kurangnya setahun, yaitu : a. Melanggar Undang-undang
Sultan Adam. Memang tidak jelas jenis melanggar Undang-Undang Pasal
berapa yang kena sanksi hukuman kurungan setahun itu. Dalam pasal-pasal
sebelumnya, hanya disebutkan “bapadah kajah diakoe”, artinya
laporkan kepada Sultan. Dalam hal ini jenis hukumannya terserah pada
Sultan. b. Menipu atau perbuatan tertentu dengan menggunakan nama Sultan
untuk kepentingan keuntungan pribadi. c. Menipu atau melakukan
perbuatan tertentu dengan menggunakan nama Sultan Muda, untuk
kepentingan pribadi. d. Menipu atau perbuatan tertentu dengan
menggunakan Mangkubumi, untuk kepentingan pribadi. e. Mencampuri
pekerajaan Sultan Muda, Mangkubumi, maksudnya mengganggu dengan
perbuatan, tindakan atau ucapan kelancaran tugas dari pejabat kerajaan
tersebut.
Perkara 36 : “Barangsiapa
ada kedapatan moefakat pekerdjaan kadhi dahoeloe dari pada menjampaikan
kepada si Boetoeh atawa kepada Mangkoeboemi maka orang itoe koehoekoem
dengan hoekoeman jang telah koeizinkan kepada Kadhi itoe jaitoe jang
diseboet dalam perkara jang ketiga poeloeh lima”. Pasal
ini merupakan kelanjutan dari pasal 35, bahwa seseorang yang berperkara
itu harus terlebih dahulu mengajukan kepada si Butuh dan Mangkubumi
jangan langsung kepada Kadhi. Kalau diketahui menyalahi prosedur maka
dikenakan hukuman seperti pasal 35.
Perkara 37 : “Hendaklah sekalian ra’jatkoe ingat-ingat akan sekalian oendang-oendangkoe ini”. Pasal
ini mempertegas bahwa semua rakyat kerajaan harus memperhatikan apa
yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini, dengan kata lain harus
mematuhinya.
Perkara 38 : “Ini
oendang-oendang kepada sekalian kepala-kepala baik radja-radja atawa
mantri, pambakal lainnja apabila ia koesoeroeh maka didjalankannja
apa-apa jang terseboet di dalam tjapkoe itoe, maka ada jang melawan,
jaitoe djikalaoe ia memboenoeh, maka tiadalah koebarikan hoekoem boenoeh
kepada orang jang mendjalankan perintahkoe itoe”.
Pasal
ini merupakan ketentuan kepada pejabat-pejabat kerajaan seperti
Raja-Raja, Mantri, Pambakal atau lainnya yang menjalankan tugas kerajaan
atas perintah Sultan, maka ada yang melawan dan si Penjabat itu
terpaksa membunuh orang yang melawan itu, maka si Penjabat tersebut
tidak dikenakan sanksi hukuman. Undang-undang Sultan Adam versi Amuntai
ini ditutup dengan kata-kata yang berbunyi : “Maka ini
oendang-oendang telah moefakat akoe dengan Mangkoeboemi dan sekalian
radja-radja dan Mantri-Mantri Pembakal dan Toean-Toean Haji dan sekalian
Kepala-Kepala adatnja”. Pasal penutup ini, menjelaskan bahwa
Undang-undang Sultan Adam ini telah mendapat persetujuan dari segala
lapisan pejabat Mangkubumi, Raja-Raja, Mantri-Mantri, Pambakal dan Tuan
Haji itu maksudnya adalah para alim ulama.132
(Bersambung ke Bagian 8)
Sumber : Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar