Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 8)
D. PERANG BANJAR (1859-1905)
Perang Banjar adalah merupakan satu cetusan di dalam rangkaian perjuangan bangsa Indonesia menolak penjajahan dari bumi Indonesia.
Perang ini merupakan salah satu mata rantai sejarah perang kemerdekaan
utamanya pada abad ke-19, seperti peristiwa – peristiwa yang hampir
bersamaan kasusnya di daerah – daerah lain di Indonesia, misalnya di
Minangkabau dengan perang Paderinya, di Jawa dengan perang Diponegoro-nya, perang Bali, perang Aceh dan sebagainya. Perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajah telah terjadi sejak kedatangan bangsa asing yang ingin menjajah Indonesia
dengan berbagai dalih yang dilakukannya demi untuk mengeruk keuntungan
dari tanah jajahannya. Pertentangan pertama antara Belanda dengan
kerajaan Banjar, dalam hal ini Penambahan Marhum di satu pihak dan
Belanda di lain pihak telah terjadi pada tanggal 14 Februari tahun 1606
dengan terbunuhnya nakhoda kapal Belanda Gillis Michielzoon beserta anak
buahnya di Banjarmasin. Dalam rangka pembalasan dan memamerkan kekuatan
beberapa kapal Belanda pada tahun 1612 secara mendadak telah menyerang
dengan melakukan penembakan dan pembakaran di daerah Kuin. Dengan
demikian pusat pemerintahan kerajaan Banjar terpaksa dipindahkan ke
Martapura, ke kraton baru yang terkenal dengan sebutan Kayu Tangi.
Pertikaian bersenjata menghangat lagi pada tahun 1638, dimana di Banjar
Anyar telah terbunuh 64 orang bangsa Belanda di dalam satu penyergapan.
Untuk pembalasan terhadap ini Belanda mengirim 2 buah kapal menuju Banjarmasin
dan Kotawaringin. Mereka menahan perahu- perahu rakyat dan mengadakan
penganiayaan kejam sesuai dengan instruksi dari Batavia, membunuh dan
menyiksa tanpa pandang bulu, baik laki-laki maupun wanita atau anak-anak
suku Banjar, tanpa perikemanusiaan.
132 Abdurrahman, “Studi…, op.cit., hal. 109.
Kekejaman
ini tidak mudah dilupakan oleh rakyat di Kerajaan Banjar, dan sejak
tahun 1600 sampai abad ke-18, walaupun telah ada perjanjian, selalu
terjadi pertempuran-pertempuran antara orang-orang Banjar melawan
Portugis, Belanda dan Inggeris. Ketika Sultan Muhammad meninggal dunia
pada tahun 1761, ia meninggalkan 3 (tiga) orang anak yang belum dewasa,
yaitu Pangeran Rahmat, Pangeran Abdullah dan Pangeran Amir. Karena
ketiga orang anak Sultan Muhammad itu belum dewasa, maka tahta kerajaan
kembali ke tangan Mangkubumi, yaitu Sultan Tamjidillah, atau Pangeran
Sepuh, dan pelaksanaan pemerintahan dikuasakan kepada anaknya Pangeran
Nata. Dengan jalan menyuruh membunuh kedua kemenakannya, yaitu Pangeran
Rahmat dan Pangeran Abdullah, Pangeran Nata berhasil memindahkan
kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata
sebagai Sultan yang pertama sebagai Penambahan Kaharudin. Pangeran Nata
Dilaga yang Menjadi raja pertama dinasti Tamjidillah dalam masa kejayaan
kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772.
Anak Sultan Muhammad (almarhum) yang bernama Pangeran Amir, atau cucu
Sultan Tahmidillah melarikan diri ke Pasir, dan meminta bantuan pada
pamannya yang bernama Arung Tarawe. Pangeran Amir kemudian kembali dan
menyerbu Kerajaan Banjar dengan pasukan Bugis yang besar, dan berusaha
merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut
kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan
orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC
menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan
pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan
Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke Pasir. Beberapa waktu
kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para
bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda,
karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC.
Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke
Sailan. Sesudah itu diadakan perjanjian antara kerajaan Banjar dengan
VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah
VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah
Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC
yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat
mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putera Mahkota
dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat Kerajaan dalam bidang
ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang
Banjar.
Perjanjian
itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di
Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain
Sultan Adam Al Wasik Billah, perjanjian itu juga ditandatangani oleh
Paduka Pangeran Ratu, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran
Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang
menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kerajaan Banjar dengan
pemerintah Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kerajaan
Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat,
atau negeri pinjaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan
kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, Kekuasaan ke dalam tetap
berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen
politik Belanda.
Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :
a. Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
b.
Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah
menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Belanda. Wilayah-wilayah
itu seperti tersebut dalam Pasal 4 : - Pulau Tatas dan Kuwin sampai di
seberang kiri Antasan Kecil. - Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang
kanan sampai di Pantuil, - Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur
Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan
kampung di seberang Pulau Tatas. - Sungai Mesa di hulu kampung Cina
sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah, - Pulau Bakumpai mulai
dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri
ke hilir sampai Kuala Lupak, - Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa
kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan
hilir sampai di Kuala Marabahan, - Tanah Dayak Besar Kecil dengan semua
desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai
terus di daratan yang takluk padanya, - Tanah Mandawai, - Sampit, -
Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya, -
Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya. - Desa
Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan Timur sampai
batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai
Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung
Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan, - Negeri-negeri di
pesisir timur Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau
semuanya dengan yang takluk padanya.
c. Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
d. Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
e. Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Padang perburuan itu, meliputi :
- Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka,
- Padang Bajingah,
- Padang Penggantihan,
- Padang Munggu Basung,
- Padang Taluk Batangang,
- Padang Atirak,
- Padang Pacakan,
- Padang Simupuran,
- Padang Ujung Karangan.
Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya berburu manjangan.
f. Belanda
juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan
sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4
karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu,
sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda. Gambaran umum abad ke-19 bagi
kerajaan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah
dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan
perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh,
tetap berdauat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan.
1. Situasi Politik Abad ke-19
Abad
ke-18 diakhiri dengan pemerintahan Sultan Tahmidullah II yang dikenal
dengan gelar Susuhunan Nata Alam. Sultan ini meninggal tahun 1801, dan
diganti oleh puteranya Sultan Suleman al Mutamidullah (1801-1825).
Sultan Nata dikenal sangat licik menghadapi Belanda, Sultan ini berhasil
mengelabui Belanda, sehingga tidak memperoleh keuntungan dari
perjanjian yang dibuatnya, bahkan mengalami kerugian. Selama Sultan
Nata, Kerajaan Banjar dapat mempertahankan kedaulatan ke dalam dan
keluar. Akhirnya Belanda meninggalkan Banjarmasin
tahun 1809. Abad ke-19 dimulai dengan pemerintahan Sultan Suleman al
Mutamidullah. Setelah Sultan dilantik, Belanda mengadakan perjanjian
dengan Sultan pada 19 April 1802. Perjanjian hanya mengingatkan kembali
bahwa Kerajaan Banjar telah diserahkan kepada pemerintah Belanda seperti
Perjanjian 1787. Dalam perjanjian itu ditambahkan bahwa Sultan berusaha
menangkap dan menghukum potong kepala orang-orang Dayak yang telah
melakukan pemotongan kepala. Hukuman potong kepala terhadap orang Dayak
itu harus dilakukan dimuka loji Belanda. Selebihnya dalam perjanjian itu
pemerintahan Belanda mengharapkan agar Sultan dapat memelihara
kebun-kebun lada agar hasil lada menjadi lebih baik. Sebelum Belanda
meninggalkan Banjarmasin
tahun 1809, Belanda kembali membuat perjanjian dengan Sultan.
Perjanjian ini hanya lebih menitikberatkan pada usaha pemeliharaan kebun
lada, agar lada dapat berproduksi sebagaimana diharapkan oleh Belanda.
Dalam perjanjian itu Belanda tetap mengakui kedaulatan Sultan dan tidak
menyinggung tentang masalah pemerintahan termasuk hubungan dagang ke
luar negeri. Dengan demikian selama Sultan Suleman al Mutamidullah
kerajaan Banjar tetap mempunyai kedaulatan secara utuh ke dalam dan
luar. Belanda meninggalkan Banjarmasin sebelum Belanda menyerahkan Batavia
kepada Inggeris. Dalam perebutan kekuasaan dan perebutan jalan
perdagangan di Laut, Belanda kalah menghadapi Inggeris dan pada tahun
1811 Belanda menyerahkan Batavia kepada East India Company (EIC) kompeni perdagangan Inggeris. East India Company (EIC)
mengadakan pernjanjian persahabatan dengan kerajaan Banjar. Dalam
perjanjian itu EIC Inggeris tidak menyinggung masalah kedaulatan
pemerintahan Sultan tetapi lebih banyak masalah perdagangan. EIC
Inggeris, menduduki beberapa daerah yang dulu pernah diduduki Belanda
seperti pulau Tatas, Kuin, Pasir, Pulau Laut, Pagatan, Bakumpai.
Selanjutnya EIC Inggeris mempertahankan dan melindungi hak-hak Sultan
dan kekuasaan Sultan begitu pula hak milik Sultan terhadap serangan
orang Eropah lainnya dan terhadap musuh bangsa Asia.
Perjanjian itu selain Sultan juga ditanda tangani oleh para bangsawan
kerajaan lainnya yaitu : Pangeran Panambahan Adam. Pangeran Aria Mangku
Negara, Pangeran Kasuma Wijaya dan Pangeran Achmad, sedangkan dari pihak
EIC Inggeris diwakili oleh Commissioner D. Wahl. Kalau Sultan
Tahmidullah atau Panambahan Adam menjadikan Martapura sebagai ibu kota
kerajaan dengan keratonnya yang diberi nama Bumi Kencana,maka Sultan
Suleman memindahkan keraton kerajaan ke Karang Intan. Kubur Sultan
Suleman juga terletak di Karang Intan. Perjanjian antara Belanda dan
Inggeris memutuskan bahwa Belanda diperbolehkan kembali menduduki bekas
kekusaannya dan dengan perjanjian ini EIC (Inggeris) terpaksa melepaskan
kembali Batavia
pada tahun 1816. Kerajaan Banjarpun ditinggalkan EIC Inggeris pada
tahun tersebut dan kembali Belanda menanamkan kuku penjajahannya dengan
cara kembali membuat perjanjian dengan Sultan. Untuk menanam pengaruh
Pemerintah Belanda membuat perjanjian dengan Sultan Suleman al
Mutamidullah pada tahun 1818 dan tahun 1823. Perjanjian-perjanjian itu
dibuat oleh Belanda
untuk lebih mengingatkan pada Sultan tentang keberadaan Belanda dalam wilayah Kerajaan Banjar.
Ada beberapa hal yang menarik dari perjanjian itu.
a. Kerajaan
Banjar itu dahulu yaitu selama abad ke-17 dan pertangahan abad ke-18
mempunyai wilayah pengaruh yang cukup luas meliputi Kerajaan Berau,
Kutai, Pasir, Dayak Besar, Sampit, Kotawarigin, Lawai. Dalam perjanjian
itu disebutkan bahwa daerah-daerah itu berada dalam wilayah pendudukan
Belanda.
b. Orang bukan bangsa Banjar adalah orang asing, seperti : Bugis, Makassar, Bali,
Mandar, Jawa, begitu pula Cina Eropah dan Arab. Semua orang asing
diperlakukan hukum Eropah oleh Belanda kalau mereka membuat tindak
pidana.
c. Atas
permintaan Belanda, Sultan berusaha menggalakkan tanaman kopi, dan
lada. Kopi dan lada merupakan jenis komoditi ekspor yang andalan saat
itu.
Sultan Adam Al Wasik Billah menggantikan Sultan Suleman al Mutamidullah pada tahun 1825 setelah Sultan Suleman meninggal dunia. Setelah
sultan dilantik Belanda memperbaharui perjanjian dengan sultan yang
baru. Perjanjian itu ditandatangani kedua belah pihak pada tahun 1826.
perjanjian ini menjadi dasar bagi Belanda untuk berpijak ke langkar
pengaruh yang lebih dalam untuk mencampuri urusan pemerintahan Sultan.
Pada abad ke- 18 Eropah mengalami Revolusi Industri. Dengan dimulai
Inggeris sebagai negeri yang mengalami revolusi akhirnya menjalar ke
Benua Eropah lainnya. Kapal uap ditemukan dan Belanda pada pertengahan
abad ke- 19 sudah menggunakan kapal uap sebagai pengganti kapal layar.
Mula-mula kapal uap yang memakai roda berputar di bagian sisi kiri
kananya, dan paling akhir memakai baling-baling biasa. Kapal-kapal uap
ini memakai batu bara sebagai sumber energi yang di impor dari Eropah.
Semakin banyak kapal uap yang menggunakan batu bara ini maka impor batu
bara bertambah besar. Belanda memperoleh informasi bahwa di daerah Riam
Kiwa ditemukan lapisan batu bara. Informasi ini menyakinkan Belanda dan
sejak itu perhatian terhadap Kerajaan Banjar lebih intensif. Belanda
menjalankan segala taktik dan strategi untuk memperoleh konsesi tambang
batu bara di daerah Kerajaan Banjar ini. Sebagai langkah awal dari
taktik memperoleh konsesi ini Belanda berhasil mengadakan perjanjian
tahun 1845 itu menetapkan batas-batas wilayahnya Kerajaan Banjar.
Wilayah ini dibanding dengan sebelumnya adalah lebih kecil tetapi
seluruhnya meliputi daerah inti dari Kerajaan Banjar yang asli. Meskipun
daerah ini paling kecil tetapi penduduknya paling padat.
Daerah Kerajaan Banjar ini terbagi sebagai berikut :
a. Daerah
Banjarmasin terletak di sebelah kanan Sungai Martapura sampai dengan
Sungai Kalayan, kemudian pinggir sebelah kanan Sungai Kuwin dan
sepanjang Sungai Barito. Di daerah ini terletak keraton kerajaan Banjar
yang mula-mula yang telah hancur karena serangan Belanda tahun 1612.
b. Daerah Martapura meliputi daerah Sungai Riam Kanan dan daerah Sungai Riam Kiwa.
c. Daerah
Banua Ampat yang meliputi daerah Banua Halat, Banua Gadung, Parigi dan
Lawahan-Tambaruntung. Di daerah Lawahan ini mengalir Sungai Muning.
d. Daerah Banua Lima yang meliputi daerah-daerah Negara, Amuntai, Alabio, Kalua dan Sungai Banar.133
Berdasarkan
perjanjian tahun 1826 dan 1845 maka daerah Kerajaan Banjar tidak
mempunyai jalan ke laut, karena semua daerah pesisir dikuasai oleh
Belanda. Hal ini mempunyai dampak yang nyata bagi pola hidup Orang
Banjar. Kalau dalam abad-abad sebelumnya Orang Banjar adalah bangsa
pelaut yang secara rutin pelayarannya sampai ke Cochin Cina dan Brunai,
dalam abad ke- 19 ketrampilan sebagai pelaut sudah banyak berkurang.
Pada tanggal 28 September 1849 Gubernur Jenderal Rochussen datang ke
Pengaron di dalam wilayah kerajaan Banjar untuk meresmikan pembukaan
tambang batu bara Hindia Belanda pertama untuk meresmikan pembukaan
tambang batu bara Hindia Belanda pertama di Indonesia, yang dinamakan Tambang Batu Bara Oranje Nassau. Melihat
kenyataan bahwa tambang batu bara ini mendatangkan keuntungan yang
banyak bagi Belanda, Belanda mempertajam permainan politiknya. Residen
yang berkedudukan di Banjarmasin
ditugaskan untuk memperoleh tenaga kerja dicari orang yang mempunyai
hutang dan ini dilakukan dengan muslihat agar orang berhutang. Memang
dalam hukum yang dianut dalam Kerajaan Banjar orang yang terhutang itu
adalah setengah budak. Demikian pula untuk mendapatkan pajak-pajak dan
uang cukai serta memindahkan ke tangan Belanda. Belanda merasa cukup
dengan uang ganti yang dibayar oleh Belanda. Bagi golongan bangsawan dan
para raja-raja yang besar jumlahnya perjanjian ini mengecilkan tanah
apanase, hal ini berarti berkurangnya penghasilan, dan bertambahnya
pajak yang mengikat rakyat. Bagi golongan menengah dan para saudagar
besar dan para pedagang perjanjian ini tidak mengurangi kemakmuran
mereka. Pada tahun 1860 sedikit sekali daerah-daerah di Nusantara yang
tingkat kemakmurannya sangat tinggi dan merata seperti di Banjarmasin,
dan diseluruh Nusantara jumlah orang yang naik haji ke Mekkah tidak ada
yang sebanyak dari Banjarmasin.
133 M. Idwar Saleh, “Pepper Trade and The Rulling Class of Banjarmasin in the Seventeenth Century”, Makalah pada Seminar Dutch – Indonesian Historical Conference, Leiden, 1978, hal. 18.
Pada
waktu Sultan Adam Al Wasik Billah menjadi Sultan, dia memerintah
didampingi oleh Sultan Muda Abdurrahman, yaitu putera mahkota calon
pengganti Sultan kalau Sultan mangkat. Untuk merukunkan keluarga
diantara keturunan Tamjidillah dengan keturunan Sultan Kuning (Sultan
Tahmidullah), maka Sultan Suleman al Mutamidullah sewaktu Sultan ini
masih hidup, mengawinkan cucunya Sultan Muda Abdurrahaman dengan Ratu
Antasari, adik dari Pangeran Antasari. Sayangnya isterinya ini meninggal
sebelum melahirkan seorang putera. Dalam tahun 1817 lahirlah seorang
putera Sultan Muda Abdurrahman dari seorang selir keturunan Cina
Pacinan, Nyai Besar Aminah yang diberi nama Pangeran Tamjidillah. Sultan
Muda Abdurrahman menghendaki agar Pangeran Tamjidillah diterima sebagai
raja penerus keturunan kerajaan. Sultan Suleman dan Sultan Adam menolak
usul ini sebab bertentangan dengan tradisi yang berlaku di dalam
kerajaan. Untuk mencari keturunan yang sah, Sultan Muda Abdurrahman
dikawinkan lagi dengan seorang bangsawan Ratu Siti, puteri Mangkubumi
Nata. Tahun 1822 lahirlah putera yang dinanti-nantikan, diberi nama
Pangeran Hidayatullah, 5 tahun lebih muda dari Pangeran Tamjidillah.
Kedua putera Sultan Muda ini berlainan watak dan tingkah lakunya dan
akan menimbulkan bibit pertentangan diantara keduanya. Pangeran
Tamjidillah sangat menyenangi pergaulan dengan orang-orang Belanda,
minum-minuman keras menjadi kebiasaannya. Pangeran Hidayat, seorang yang
taat menjalankan ibadah agama dan sangat disenangi oleh kaum ulama.
Malapetaka Kerajaan Banjar diawali dengan matinya secara mendadak Sultan
Muda Abdurrahman pada tahun 1852. Sejak meninggalnya Sultan Muda
Abdurrahman ini timbullah benih-benih pertentangan antara keluarga
bangsawan dan merupakan salah satu faktor hancurnya Kerajaan Banjar.
Sejak itu ada tiga golongan yang berebut kuasa dalam kerajaan, yaitu :
a. Pangeran Tamjidillah, putera Sultan Muda Abdurrahman dengan Nyai
Besar Aminah, seorang Cina Pacinan. Tingkah lakunya tidak disenangi para
ulama dan bangsawan, karena senang bergaul dengan Belanda dan senang
bermabuk-mabukan. Karena terbiasa membantu Pangeran Mangkubumi Nata
berurusan dengan Residen, karena itu ia dikenal dikalangan orang-orang
Belanda dan disenangi oleh kalangan tersebut. b. Pangeran Hidayatullah,
putera Sultan Muda Abdurrahman dengan seorang bangswan Ratu Siti, puteri
Pangeran Mangkubumi. Dia seorang yang taat beribadat, berakhlak terpuji
dan disenangi kalangan luas kaum ulama dan masyarakat Banjar. c.
Pangeran Prabu Anom, putera Sultan Adam Al Wasik Billah adik Sultan Muda
Abdurrahman. Ibunya Ratu Komala Sari yang sangat besar pengaruhnya di
kalangan Dewan Mahkota dan Sultan Adam. Ibunya sangat berambisi untuk
menjadikan Pangeran Prabu Anom menjadi Putera Mahkota. Prabu Anom
dikenal sebagai seorang yang bertindak sewenang-wenang dan tindakannya
sering menyakitkan hati masyarakat.
Selain
Sultan Muda Abdurrahman yang meninggal tahun 1852 juga Pangeran
Mangkubumi meninggal lebih dahulu. Kehilangan kedua pejabat teras
kerajaan ini merumitkan urusan politik kerajaan, disamping itu ada 3
kelompok yang bersaing memperebutkan kedudukan sebagai Sultan Muda dan
Mangkubumi. Baik Sultan Suleman al Mutamidillah, maupun Sultan Adam Al
Wasik Billah telah melihat pertentangan keluarganya yang terjadi
semenjak Susuhunan Nata Alam (1761-1801) yang kemudian dengan
perkawinan. Usaha ini juga dijalankan untuk menghadapi bahaya dari pihak
luar khususnya Belanda yang senantiasa mendesak kekuasaan dan
mempersempit ruang gerak Sultan. Belanda berusaha untuk selalu
menghidupkan pertentangan keluarga sesuai dengan politik dan strategi
penjajah divide et empera, pecah belah dan kuasai. Dari
pertentangan dan perebutan kekuasaan ini Belanda akan memperoleh
keuntungan. Pihak Belanda telah memperhitungkan bahwa dari ketiga
kelompok yang bersaing ini, hanya dari Pangeran Tamjidillah-lah yang
dapat diharapkan keuntungan itu, dan dari dialah diharapkan akan
memperoleh konsesi tambang batu bara “Oranje Nassau”. Oleh
karena itu, Residen van Hengst di Banjarmasin (1851-1953), Residen
Belanda yang berkedudukan di Banjarmasin mengusulkan pada Pemerintah
Belanda di Batavia agar Pangeran Tamjidillah diangkat sebagai Sultan
Muda. Dalam bulan April 1853, Sultan Adam telah mengirim utusan ke
Batavia untuk minta diberikan keadilan terhadap permintaannya menjadikan
Pangeran Hidayat sebagai Sultan Muda dan Pangran Prabu Anom sebagai
Mangkubumi dan menolak pengangkatan Pangeran Tamjidillah. Permintaan ini
ditolak oleh Belanda, bahkan utusannyapun tidak diterima secara resmi.
Yang dilakukan Belanda hanya mengganti Residen van Hengst dengan Residen
A. van der Ven. Tidak ada pilihan lain dari Sultan Adam, selain membuat
“Surat Wasiat” yang hanya dibuka dan dibaca bila Sultan meninggal.
Isi surat wasiat (testamen) itu antara lain :
a. Sultan Adam Al Wasik Billah memberi gelar kepada Pangeran Hidayatullah dengan gelar Sultan Hidayatullah.
b. Sultan
Adam Al Wasik Billah mengangkat Pangeran Hidayatullah menjadi penguasa
agama, mewariskan semua tanah ke sultanan dan semua padang perburuan.
c. Sultan
Adam Al Wasik Billah memerintahkan kepada seluruh rakyat untuk mentaati
hal ini, dan jika perlu mempertahankannya dengan kekerasan.
Surat wasiat ini ditambah lagi dengan tiga ayat tambahan yang berbunyi :
a. Pangeran
Hidayatullah menggantikan Sultan Adam Al Wasik Billah bila ia meninggal
dunia, dan memerintahkan rakyat dengan penuh keadilan, dan benar-benar
mengikuti perintah agama Islam.
b. Sultan
Adam Al Wasik Billah memerintahkan kepada semua Pangeran lainnya untuk
mengikuti Pangeran Hidayatullah sebagai sultan, dan mengutuknya sampai
anak cucunya bila hal ini dilanggar.
c. Perintah yang sama kepada para haji, ulama dan tetuha kampung.
Pada
tanggal 8 Agustus 1852 Pangeran Tamjidillah diangkat menjadi Sultan
Muda oleh Pemerintah Belanda, disamping tugasnya sebagai Mangkubumi, dan
ia bertempat tinggal di Banjarmasin. Terhadap pengangkatan ini Sultan
Adam telah melaporkan kepada Pemerintah Belanda di Batavia tentang
tindakan ketidakadilan ini, tetapi tidak diperhatikan oleh Belanda. Ratu
Komala Sari, permaisuri mengajukan puteranya Pangeran Prabu Anom
sebagai Mangkubumi, yang juga ditolak oleh Belanda. W.A. van Rees dalam De Bandjermasinsche Krijg melukiskan sebagai berikut : “Menurut
adat yakni menurut norma-norma hukum yang umum dimana-mana pengganti
raja berdasarkan garis keturunan yang lurus, tidak ada orang lain yang
berhak dapat menjadi pengganti raja selain Hidayat. Tamjidillah walaupun
anak yang lebih tua dari Hidayat, tetapi ia adalah darah campuran tidak
“tutus” yang tidak akan mungkin memangku sebagai sultan selama masih
ada turunan yang berhak menurut undang-undang. Selain dari hak turun
temurun yang tidak dapat diganggu gugat, tampaknya Hidayat mendapat
anugerah untuk menduduki kedudukan yang paling tinggi itu dari sifatnya
yang wajar. Sejalan dengan kesetiaan taat bertakwa menjalankan ibadah
agama, Hidayat adalah pencinta tanah air (patriot) yang bernyala-nyala,
suka memberikan pertolongan dan seorang budiman, sehingga dihormati oleh
tiap-tiap orang, juga oleh Sultan Adam” 134Situasi makin bertambah
buruk sehingga menyulitkan pemerintah Belanda sendiri, akhirnya Belanda
merubah sikapnya dengan mengangkat Pangeran Hidayat sebagai Mangkubumi
pada 9 Oktober 1856. Dalam surat pengangkatannya tertulis sebagai
berikut : “Hadjrat Annabi Salalahu alaihi wassalam seribu dua ratus
tudjuh poeloeh tiga pada kesembilan hari boelan Sjafar kepada hari
Chamis djam poekoel sepoeloeh pagi-pagi.” Mendjadi hadjrat Almasih
kesembilan hari boelan Oktober tahoen seriboe delapan ratoes lima
poeloeh enam maka desawa itoelah sahaja Pangeran Hidayat Allah jang
dengan permintaan Sri Padoeka Toean Sultan Adam Al Wasik Billah yang
mempoenyai tahta keradjaan Bandjarmasin beserta moefakatan dengan Sri
Padoeka Toean van de Graaf Residen Bandjarmasin jang memegang koesa atas
tanah sebelah selatan dan timoer poelaoe Borneo soedah terima oleh Sri
Paduka Jang Dipertoen Besar Gurnadoer Djenderal dari tanah Hindia
Niderland jang bersemajang di Betawi. Mendjadi Mangkoeboemi di Keradjaan
Bandjarmasin bepersembahan soerat persoempahan ini dichadirat Goebermin
Hindia Nederland pada menjatakan: Ha Mim Allah wal Rasoel”
134 Gusti Mayur, Perang Banjar, CV. Rapi, Banjarmasin, 1979, hal. 10.
Surat
pengangkatan itu dilanjudkan dengan sumpah kesetiaan kepada Sultan, Sri
Paduka Tuan Sultan Banjarmasin, dan kesetiaan kepada Goebernemin Hindia
Nederland. Pengangkatan Pangeran Hidayatullah sebagai Mangkubumi
dilakukan oleh Belanda setelah sebelumnya Belanda dengan licin menekan
Sultan menandatangani persetujuan pemberian konsesi tambang batu bara
kepada Belanda 30 April 1856. Pangeran Hidayat menyadari bahaya
pemberian konsesi tambang batu bara ini, tetapi dia tak berdaya
menghadapinya apalagi setelah Belanda menempatkan serdadunya di
pusat-pusat tambang batu bara mereka. Selain menetapkan Pangeran
Tamjidillah sebagai Sultan Muda, pengangkatan Pangeran Hidayat sebagai
Mangkubumi, Belanda juga menahan Pangeran Prabu Anom di Banjarmasin
bertempat tinggal di rumah menantunya Pangeran Syarif Hussein. Daerah
itu sekarang menjadi Kampung Melayu. Oleh karena tindakan Belanda ini,
Sultan Adam yang sudah tua dan hampir putus asa oleh hal-hal tersebut di
atas telah membuat testamen yang diberikan kepada Mangkubumi Pangeran
Hidayat, Kadhi di Martapura dan Kadhi di Amuntai. Situasi ini
menyebabkan dia sakit. Sebelum dia meninggal dia minta dibawa kembali ke
Martapura dan minta dikuburkan di sana. Pada tanggal 30 Oktober 1857
Sultan Adam sakit keras, maka dia dibawa ke Martapura dan meninggal
tanggal 1 November 1857. Sebelum Sultan Adam Al Wasik Billah mangkat,
Pangeran Tamjidillah mengirim surat rahasia kepada Gubernur Jenderal
Rochussen, melalui Residen di Banjarmasin. Isi surat itu bahwa ia akan
mengusahakan segala kemungkinan supaya kelak tanah konsesi tambang batu
bara Oranje Nassau menjadi milik Pemerintah Hindia Belanda.
Selanjutnya dikatakannya bahwa dia akan melaksanakan segala keinginan
yang dikehendaki oleh Pemerintah Hindia Belanda di Betawi asal ia akan
mengganti ayahnya sebagai sultan di Kerajaan Banjar, apabila Sultan Adam
wafat. Pemerintah di Betawi menyetujui usul itu. Ketika Sultan Adam Al
Wasik Billah meninggal pada tanggal 1 November 1857 karena sakit, tanpa
sepengetahuan Dewan Mahkota, yaitu sesudah dua hari pemakaman almarhum
Sultan, pemerintah Belanda menobatkan Pangeran Tamjidillah sebagai
Sultan. Prabu Anom putera Sultan Adam dengan Ratu Komala Sari ditangkap
oleh Belanda, karena menurut pertimbangan Belanda kalau Pangeran Prabu
Anom berada di Banjarmasin akan membahayakan, dan dia dibuang ke
Jawa.135 Pengangkatan Sultan Tamjidillah itu membuat kalangan kaum
bangsawan merasa tidak puas, karena pengangkatan ini sangat melanggar
tradisi Istana, melanggar surat wasiat Sultan Adam Al Wasik Billah,
disamping, tingkah laku Sultan Tamjidillah yang sejak semula tidak
disenangi oleh kaum bangsawan dan rakyat Banjar. Sultan lebih
mendahulukan kepentingan pemerintah Belanda dari kepentingan dan nasib
rakyat. Kebiasaan minum-minuman keras sangat menjengkelkan kalangan
agama dan kaum ulama. Antara Sultan dengan Mangkubumi Pangeran
Hidayatullah yang berkedudukan di Martapura tidak terdapat kerjasama dan
saling curiga mencurigai. Dalam situasi demikian Sultan Tamjidillah
mencoba memikat Mangkubumi Pangeran Hidayatullah dengan cara mengawinkan
puterinya puteri Bulan dengan putera Mangkubumi, Pangeran Amir.
Perkawinan politik ini dimaksudkan agar terjadi keakraban dan dapat
menghasilkan kerjasama dalam pemerintahan kerajaan. Namun usaha ini
tidak menghasilkan apa-apa, bahkan kecurigaan makin menjadi lebih tebal,
sebab sejak kecil sudah dipupuk dengan rasa benci satu sama lain.
Apalagi siasat dari Sultan Tamjidillah untuk menjatuhkan Mangkubumi
dengan cara tipu muslihat makin mengeruhkan suasana. Tindakan pertama
yang menyakitkan hati rakyat setelah pengangkatan Pangeran Tamjidillah
menjadi Sultan tanggal 3 November 1857, ialah (4 November 1857) Residen
mengizinkan dengan bantuan serdadu yang ada di Martapura untuk menangkap
Pangeran Prabu Anom, pamannya sendiri. Pangeran Prabu Anom pergi ke
Martapura lari dari tahanannya di Banjarmasin karena mengurusi pemakaman
ayahnya Suldan Adam al Wasik Billah. Alasannya dan tuduhan yang
dikenakan pada dirinya ialah bahwa Pangeran Prabu Anom membahayakan
tahta, tetapi penangkapan itu tidak berhasil. Rakyat menjadi saksi atas
tindakan Sultan baru ini dalam usahanya menangkap pamannya Pangeran
Prabu Anom. Lima hari setelah pemakaman Sultan Adam Al Wasik Billah yang
sangat dicintai rakyat, keraton Martapura ditembaki serdadu Belanda
untuk menangkap anak raja. Prabu Anom akhirnya ditangkap dengan tipu
muslihat pada permulaan tahun 1858 dan di buang ke Jawa. Rakyat umum
berpendapat, seperti kata Residen J.J. Meijer kemudian, bahwa dengan
pengangkatan Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan yang ke-13 akan timbul
bermacam bala bencana karena kelahirannya dan perbuatannya sama sekali
bertentangan dengan adat tradisi yang berlaku dan bertentangan dengan
agama Islam. Dia lahir dari tindakan di luar nikah menurut agama Islam.
135 A.Gazali Usman, “Pangeran Hidayatullah”, dalam Kalimantan Scientie, No. 17, Tahun VII, Banjarmasin, 1988, hal. 4.
Pengangkatan
Pangeran Tamjidillah itu diteruskan walaupun bertentangan pula dengan
kehendak kaum ulama, para kaum bangsawan serta harapan-harapan rakyat
kecil. Dalam tahun 1858 perasaan tidak puas rakyat ini menjadi lebih
besar, karena pemerintahan makin lama makin kacau dan tidak bisa
berjalan sebagaimana mestinya. Pemerintahan penuh dengan fitnah dan
banyak yang suka mengambil muka menjilat raja. Ketidak puasan terhadap
Sultan Tamjidillah dan campur tangan Belanda terhadap pemerintahan
kerajaan Banjar menimbulkan keresahan dan ketegangan dalam masyarakat,
dan hal inilah yang ikut melahirkan gerakan-gerakan Muning, yakni sebuah gerakan sosial masyarakat tani yang kemudian menjadi motor dalam Perang Banjar (1859-1905).
Residen Belanda tidak menginsafi dan menyadari perasaan kebanyakan para
bangsawan dan rakyat, perasaan yang membara laksana api didalam sekam
terhadap penjajah Belanda.136 Tindakan-tindakan kebijaksanaan sehingga
yang telah diambil pada tanggal 28 Oktober 1858 yaitu perkawinan antara
putera Mangkubumi dengan puteri Sultan adalah salah satu usaha yang
telah dijalankan untuk menentramkan suasana. Pada tanggal itu pula telah
diumumkan pernyataan pemberian kekuasaan pelaksanaan (uitvoerende macht) kepada
Mangkubumi Pangeran Hidayatullah sesuai dengan pasal 13 perjanjian 4
Mei 1828. Begitu pula pada Pengeran Aria Kasuma, saudara Sultan
Tamjidillah atau usul Mangkubumi Pangeran Hidayatullah telah diangkat
menjadi Pangeran Adipati yang memerintah di Banua Lima. Residen Belanda
menduga dengan perkawinan dan pengumuman pemberian kekuasaan tersebut
suasana hangat menjadi lebih dingin. Namun hakekatnya pemberian
kekuasaan kepada Mangkubumi Pangeran Hidayatullah dan pengangkatan
Pangeran Adipati Aria Kasuma hanya pengumuman kosong belaka, sebab
Belanda tetap berdaya upaya memegang sendiri tampuk pemerintahan sedang
adipati Pangeran Aria Kasuma walaupun dijadikan adipati di Banua Lima,
tetapi tidak pernah datang di Amuntai sebagai tempat memegang kekuasaan.
Banua Lima adalah dalam kerajaan Banjar yang meliputi : Negara, Alabio,
Sungai Banar, Amuntai, dan Kalua. Kedudukan Pangeran Hidayatullah
menjadi lebih kuat karena mendapat dukungan dari segala lapisan,
terutama kalangan bangsawan yaitu ketika Nyai Ratu Komala Sari, isteri
almarhum Sultan Adam Al Wasik Billah dan tiga orang puteri beliau, Ratu Kasuma Negara, Ratu, Ratu Aminah dan Ratu Keramat
memberi surat kuasa dan penyerahan Kerajaan Banjar kepada Pangeran
Hidayatullah, dengan alasan bahwa keluarga istana tidak dapat
membenarkan pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan sebab
bertentangan dengan tradisi dan surat wasiat Sultan Adam Al Wasik
Billah. Dengan dasar surat itu Pangeran Hidayatullah telah mengadakan
pertemuan yang dihadiri oleh kaum bangsawan dan pemuka rakyat di
Martapura, diantaranya Pangeran Surya Mataram, Pangeran Wijaya Kusuma,
dan Kiai Patih Guna Wijaya.
136 Gusti Mayur, op.cit., hal. 13.
Dua
hari setelah rapat ini diadakan lagi rapat yang merundingkan rencana
penyusunan kekuatan di Banua Lima. Disamping itu Pangeran Hidayatullah
nampak diminta rakyat sebagai pemimpin yang sah dan sesuai dengan Sultan
Adam Al Wasik Billah, bahwa dia sebagai orang yang berhak mendapat
tahta kerajaan. Karena itu Pangeran Antasari berusaha keras membantu
Pangeran Hidayat untuk menggerakkan rakyat melawan Belanda.137Pangeran
Hidayatullah sebagai Mangkubumi telah memberi kepercayaan kepada
Pangeran Antasari untuk menjalin kerjasama dengan Panembahan Muda Datu
Aling pemimpin Gerakan Muning di daerah Muning. Untuk daerah
Banua Lima yang dipimpin oleh Jalil, Mangkubumi Pangeran Hidayatullah
sendiri langsung menanganinya. Jalil, tokoh Balangan yang memimpin
rakyat didaerah Banua Lima dalam bulan September 1958 dengan
terang-terangan memberontak tidak mau membayar pajak kepada Adipati Danu
Raja, kepala daerah di Banua Lima. Pangeran Hidayatullah sebagai
Mangkubumi diperintahkan menangkap Jalil, tetapi Mangkubumi Pangeran
Hidayatullah setelah tiba di Amuntai bukan menangkap Jalil, tetapi
justru menyusun kekuatan dan memperkuat kedudukan Jalil. Jalil diberi
gelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja. Sebagai tindak lanjut dari
pemberian gelar ini, Mangkubumi mengukuhkan jabatan tersebut dengan
memberikan tanda kebesaran kerajaan berupa bendera kuning, payung
kuning, sebuah tombak balilit dan sebuah pedang.138 Dengan demikian
Jalil telah menjadi pengikut Mangkubumi Pangeran Hidayatullah. Setelah
kejadian itu Pangeran Hidayatullah sering pula mengadakan rapat rahasia
bersama-sama pemimpin gerakan yang menentang Belanda. Ia juga sering
pergi ke daerah pertambangan batubara Belanda di Mangkau dan Kalangan.
Kegiatan Pangeran Hidayatullah telah diketahui oleh Belanda berdasarkan
laporan dari Akhmad bahkan Gerakan Muning sebenarnya bersumber
dari Mangkubumi Pangeran Hidayatullah, dan Sultan Kuning sebagai raja di
Muning adalah atas perintah Pangeran Hidayatullah. Pangeran
Hidayatullah sebagai pewaris tahta yang sah dan terikat dengan surat
wasiat Sultan Adam al Billah telah diikuti Belanda. Sebab taktik itu
disamping bersifat tertulis dan rahasia, juga dilakukan secara lisan
yang bagi rakyat Banjar keduanya sama kuatnya. Di Masjid Batang Balangan
Amuntai ditempatkan pengumuman yang menyebutkan bahwa rakyat Kesultanan
Banjar sebagai domba-domba dan sultan sebagai harimau pemeras.
137
Tamny Ruslan, “Gerakan Muning: Gerakan Sosial di Dalam Perang Banjar”,
Tesis pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1981, hal. 76.
Dinyatakan
pula hanyalah di Banua Lima sajalah hukum Islam yang berjalan dengan
sempurna, sedangkan di lain tempat sudah kabur. Pangeran Hidayatullah
dan Surya Mataram dinyatakan sebagai pelindung hukum dan agama, dan agar
rakyat mengadu kepada mereka apabila mendapat kesulitan. Pengumuman ini
dibubuhi cap Pangeran Singasari, saudara almarhum Sultan Adam Al Wasik
Billah dan dibacakan pula oleh Penghulu Abdul Gani di hadapan khalayak
ramai yang berkumpul di masjid Amuntai.139Bulan April 1859 adalah bulan
yang paling panas suhu politiknya dalam seluruh wilayah kerajaan Banjar.
Sultan Tamjidillah bersama pihak Belanda; Pangeran Hidayat, Pangeran
Antasari dan rakyat saling beradu siasat untuk memperoleh kemenangan.
Hal ini terlihat dari fakta dibawah ini :
a) Tanggal
2 April 1859 Sultan Tamjidillah melaporkan situasi kerajaan kepada
Residen, bahwa Gerakan Muning bersumber dari Pangeran Hidayatullah yang
menjabat sebagai Mangkubumi.
b) Tanggal
4 April 1859 atas desakan Sultan Tamjidillah Pangeran Hidayatullah
sebagai Mangkubumi pergi ke Banjarmasin menemui Residen dikatakan
sehubungan dengan tugasnya ke Banua Lima.
c) Tanggal
6 April 1859 Mangkubumi Pangeran Hidayatullah pulang ke Martapura dam
menolak usul Residen untuk pergi ke Banua Lima dengan alasan karena saat
itu bulan suci Ramadhan, bulan puasa.
d) Minggu
kedua bulan April 1859 terjadi banyak surat menyurat antara Sultan
Tamjidillah dengan Mangkubumi Pangeran Hidayatullah, antara lain tentang
penangkapan Pangeran Antasari, Jalil, Datuk Aling, Sultan Kuning dengan
anak buahnya : Pangeran Mangku Kesuma Wijaya, Bayan Sampit, Garuntung
Manau, Khalifah Rasul, Panglima Juntai di Langit, Garuntung Waluh,
Panimba Sagara, Pembelah Batung, Kindue Mui, Kindue Aji dan lain-lain.
e) Pada
11 April 1859 sebagai Mangkubumi Pangeran Hidayatullah bersama Pangeran
Jaya Pemenang, Pangeran Antasari dan sejumlah anak raja pergi ke
Pengaron . Perjalanan ini sangat mencurigakan pihak Belanda.
f) Karena
kegagalan pihak Belanda untuk memaksa Mangkubumi Pangeran Hidayatullah
ke Banua Lima, Residen meminta Qadhi Pangeran Penghulu Mohammad Seman ke
Banua Lima. Residen heran ketika mendapat laporan bahwa dalam rombongan
itu ikut pula Ratu Syarif Husin bersama Ratu Komala Sari permaisuri
Sultan Adam almarhum, Ibu dari Pangeran Prabu Anom yang telah dibuang ke
Jawa.
138 A.Gazali Usman, “Pangeran…, op.cit., hal. 6. 139 A.Gazali Usman, ibid., hal. 7.
g) Belanda
dengan Sultan Tamjidillah sudah merencanakan penangkapan terhadap
Pangeran Hidayatullah tetapi pembicaraan itu bocor dan diberitahukan
oleh Pangeran Akhmid adik Sultan Adam (17 April 1859).
h) Pada
tanggal 20 April 1859 , dua orang cucu Kiai Adipati Anom Dinding Raja
menjumpai Pangeran Hidayatullah dirumahnya di Antalangu (Martapura).
Mereka kemudian membawa perintah Pangeran Hidayatullah untuk Jalil gelar
Kiai Adipati Anom Dinding Raja, yaitu agar penduduk Batang Balangan dan
Tabalong segera turun ke Martapura sejumlah kira-kira 2.000 orang.
Tetapi mereka tertangkap oleh Belanda. Pangeran Hidayatullah telah
menyusun kesatuan kekuatan rakyat untuk mengadakan perlawanan terhadap
Belanda secara menyeluruh. Pada bulan April 1859 Pangeran Hidayatullah
mengunjungi kembali Muning tempat Gerakan Muning dibawah pimpinan
Panembahan Muda Datuk Aling dan Sultan Kuning. Persiapan penyerangan
hanya tinggal menunggu perintah saja menunggu waktu yang tepat. Pangeran
Hidayatullah melarang mengadakan penyerbuan pada bulan April. Selain
itu pangeran Hidayat memperhitungkan kekuatan Belanda dan kekuatan
rakyat. Untuk itu perlu diimbangi dengan taktik perang secara
menyeluruh. Pada pertengahan bulan April 1859, Sultan Kuning mengutus 4
orang utusan menghadap Pangeran Hidayatullah untuk meminta izin
menyerang tambang batu bara Oranje Nassau di Pengaron. Kali ini Pangeran
Hidayatullah telah mengijinkan apapun yang akan terjadi. Pihak Belanda
telah mendapat informasi bahwa gerakan rakyat akan menyerang
tempat-tempat strategis, karena itu Belanda menyiapkan dan memperkuat
pos-pos pertahanannya dan minta bantuan dari Jawa.
2. Pemberontakan Banua Lima
Banua
Lima merupakan sebuah propinsi dari Kerajaan Banjar yang meliputi
daerah Amuntai, Alabio, Sungai Banar, Kelua dan Negara yang diperintah
oleh seorang yang berpangkat Adipati saat itu dijabat Kiai Adipati
Danuraja. Ayah Danuraja adalah seorang kelahiran dan penduduk asli
Amuntai, bernama Karim. Karena jasa-jasanya pada kerajaan Karim diberi
jabatan sebagai Pembakal dan dikenal sebagai Pembakal Karim. Kemudian
Pembakal Karim kawin dengan salah seorang saudara perempuan Nyai Komala
Sari, permaisuri Sultan Adam. Nyai Ratu Komala Sari juga penduduk asli
Amuntai dan dari kalangan rakyat biasa, karena itulah setelah menjadi
permaisuri diberi gelar Nyai di muka namanya.
Kedudukan
Pembakal Karim menjadi lebih terhormat setelah menjadi ipar Sultan dan
sebagai ipar Sultan, pembakal Karim diberi gelar Kiai Ngabehi Jaya
Negara. Puteranya yang bernama Jenal hasil perkawinan Kiai Ngabehi Jaya
Negara dengan ipar Sultan kemudian diberi gelar Kiai Tumenggung.
Kemudian oleh Sultan kepada Kiai Tumenggung diberi jabatan Adipati untuk
daerah Banua Lima yang kemudian bergelar Kiai Adipati Danuraja. Kiai
Adipati Danuraja dan Kiai Ngabehi Jaya Negara-lah orang yang paling
berkuasa dan memerintah di Banua Lima. Dalam menjalankan pemerintahan
kedua orang anak beranak ini berbuat sewenang-wenang dan melampaui
kewenangannya seperti menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang yang
bersalah yang semestinya adalah kewenangan Sultan. Tindakan lain yang
menyakitkan hati rakyat Banua Lima adalah perbuatannya mengorganisir
perampokan di daerah kebun lada penduduk dan mengorganisir penjualan
budak ke kerajaan Pasir dan perampokan di sungai oleh keluarganya.
Tindakan sewenang-wenang inilah yang menyebabkan pemnerintahan tidak
disenangi rakyat Banua Lima, tetapi rakyat tidak berani melawan karena
mereka keluarga Sultan. Yang berani melawan aadalah iparnya sendiri yang
bernama Jalil. Dalam bulan Agustus 1854 Jalil melaporkan kejahatan yang
dilakukan oleh Kiai Adipati Danuraja kepada Sultan tetapi laporannya
tidak mendapat perhatian dari pihak kerajaan. Kebencian Jalil kepada
Kiai Adipati Danuraja bukan saja karena Kiai Adipati ini melakukan
tindakan yang sewenang-wenang, tetapi juga karena ayah Jalil dihukum
mati oleh Kiai Adipati Danuraja. Pangeran Hidayat juga bermusuhan dengan
Kiai Adipati Danuraja karena Pangeran Hidayatullah menuduh Kiai Adipati
Danurajalah sebagai penyebab kematian ayahnya Sultan Muda Abdurrahman.
Dalam usaha Mangkubumi Pangeran Hidayatullah untuk melemahkan kekuasaan
Sultan Tamjidillah di Banua Lima, maka kekuasaan Kiai Adipati Danuraja
harus dikeluarkan dari percaturan politik di Banua Lima. Jalil yang pada
mulanya diberi gelar oleh Sultan Tamjidillah Tumenggung Macan Negara
akhirnya berpihak pada Mangkubumi Pangeran Hidayatullah untuk
menyingkirkan Kiai Adipati Danuraja. Jalil bertindak sebagai pelaksana
dari kekuasaan Mangkubumi di Banua Lima dan menyusun kekuatan sebagai
usaha menyingkirkan Kiai Adipati Danuraja. Dalam bulan September 1858
Kiai Adipati Danuraja melakukan penarikan pajak atau uang kepala kepada
penduduk Batang Balangan. Dengan dipimpin oleh Jalil yang bergelar
Tumenggung Macan Negara, rakyat menolak membayar uang kepala tersebut.
Kiai Adipati melaporkannya kepada Sultan dan Sultan memerintahkan agar
Jalil menghadap Sultan di Banjarmasin. Jalil tidak datang meskipun dua
kali dipanggil Sultan. Wakil Kiai Adipati adalah Tumenggung Ngebehi Jaya
Negara mengancam akan mengambil tindakan kekerasan kalau Jalil tetap
menolak. Ancaman itupun gagal.
Salah
seorang penduduk Banua Lima yang bernama Kuncir melaporkan kepada
Sultan untuk menyanggupkan diri untuk melakukan tindakan membantu
kerajaan menangkap Jalil. Kuncir beserta enam orang kawannya berangkat
ke Batang Balangan untuk menangkap Jalil. Kiai Adipati berangkat dengan
2000 orang pasukannya untuk menghukum perbuatan Jalil yang melawan dan
memberontak pada Kerajaan. Tindakan Kiai Adipati ini dicegah oleh
Residen di Banjarmasin karena menyalahi Perjanjian tahun 1828. Dalam
Perjanjian itu disebutkan bahwa pemberontakan dalam negeri adalah
kewenangan Belanda untuk menumpasnya. Perintah residen untuk
menghentikan ekspedisi menumpas Jalil ini diterima saat dia akan
menyerang Batang Balangan. Kiai Adipati tunduk pada perintah Residen
dengan penuh kejengkelan dan dia kembali ke Banjarmasin. Dalam masalah
ini terlihat bahwa rakyat berpihak pada Jalil Tumenggung Macan Negara.
Seluruh rakyat mengakui Mangkubumi Pangeran Hidayatullah dan Pangeran
Surya Mataram sebagai pelindung mereka dan sebagai pelindung hukum dan
agama. Pengakuan ini diumumkan oleh Penghulu Amuntai Abdul Gani, di muka
masjid Amuntai. Situasi politik di Banua Lima sangat mengkhawatirkan
apalagi setelah Kiai Adipati Danuraja pergi ke Banjarmasin. Terjadi
kekosongan pemerintahan, tetapi situasi tetap tenang karena Jalil
Tumenggung Macan Negara dengan pasukannya bertindak memelihara keamanan
sebagai pelaksana Mangkubumi Pangeran Hidayatullah. Melihat situasi yang
buruk ini. Mangkubumi Pangeran Hidayatullah melaksanakan perintah
Sultan dan pergi ke Amuntai. Sesampainya di Amuntai Mangkubumi bermalam
di rumah Jalil dan menerima pengaduan rakyat khususnya tindakan dan
perbuatan Kiai Adipati Danuraja. Kebencian rakyat terhadap Kiai Adipati
yang pro Sultan mempermudah Mangkubumi untuk memperkuat pengaruh dan
memperoleh pengikut. Tindakan yang dilakukan Mangkubumi sesuai dengan
perintah Sultan untuk mengamankan situasi yang buruk ialah dengan
memberi kepercayaan kepada Jalil Tumenggung Macan Negara dengan gelar
dan pangkat Kiai Adipati Anom Dinding Raja, diberi atribut Mantri berupa
sebuah pedang dan tombak “balilit”. Selanjutnya diperkuat dengan surat
perintah agar ia bertindak atas nama Mangkubumi serta diberi sebuah cap
Mangkubumi. Setelah selesai melantik Kiai Adipati yang baru, Mangkubumi
kembali ke Martapura serta melaporkannya kepada Sultan. Situasi yang
sudah berjalan aman tenteram dan tertib menjadi terganggu karena sikap
dan keputusan Sultan yang bertentangan dengan keinginan dan aspirasi
rakyat. Pada tanggal 28 Oktober 1858 Sultan mengangkat saudaranya
Pangeran Aria Kesuma sebagai Kepala Banua Lima yang baru untuk
menjalankan kekuasaan eksekutif dibawah Mangkubumi. Pengangkatan ini
tidak sepengetahuan Mangkubumi, dan sikap ini dilakukan Sultan agar
adiknya dapat mengawasi tindak tanduk Mangkubumi.Untuk mendiskreditkan
peranan dan kekuasaan Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja, pada tanggal
26 Januari 1859 Sultan mengangkat Danuraja sebagai Kepala Sungai Banar,
dan anaknya Tumenggung Jaya Negara sebagai Kepala Sungai Tabalong Kanan
dan Kiri. Semua pengangkatan ini tidak setahu dan seizin Mangkubumi.
Pengangkatan ini bertentangan dengan ketentuan hak eksekutif Mangkubumi
serta bertentangan dengan aspirasi rakyat yang menginginkan hilangnya
pengaruh Danuraja dan di Banua Lima. Akibatnya Kiai Adipati yang baru,
diangkat Sultan serta Danuraja tidak dapat menjalankan tugasnya dan
tidak berani menduduki posnya yang baru, maka untuk daerah Banua Lima
tidak terdapat penguasa eksekutif yang definitif sebab Kiai Adipati Anom
Dinding Raja (Jalil) hanya pejabat yang mendapat restu Mangkubumi dan
menjalankan kekuasaan atas nama Mangkubumi pula. Pada pertengahan bulan
Maret 1859, penduduk daerah Para sampai Belimbing, Balangan dan Tabalong
mengakui kekuasaan Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja yang bertindak
atas nama Mangkubumi. Situasi ini menunjukkan bahwa pengaruh Mangkubumi
Pangeran Hidayat sangat besar, sedangkan pengaruh Sultan Tamjidillah
tidak ada sama sekali. Sultan kehilangan kewibawaannya dan hal ini
berarti suatu sikap rakyat menentang atau anti Sultan yang diangkat
Belanda. Suasana ini akan segera berubah menjadi sikap anti Belanda,
tetapi Belanda tidak menginsafinya. Ketika kapal perang Arjuna pada
tanggal 3 Februari 1859 dari Batavia tiba di Banjarmasin dengan membawa
pasukan tambahan, residen berpendapat bahwa tambahan kekuatan ini belum
diperlukan sebab tidak ada gejala yang menunjukkan keresahan rakyat
apalagi sikap pemberontakan. Seorang kaki tangan Sultan dari daerah
Muning, yaitu Kiai Gangga Suta memberi informasi kepada Sultan bahwa
perkembangan politik lebih hangat dan situasi lebih buruk pada bulan
Februari 1859. Dari dua orang cucunya Kiai Gangga Suta memperoleh
informasi bahwa Ratu Komala Sari dan anak-anaknya telah menyerahkan
kekuasaan kepada pewarisnya Mangkubumi Pangeran Hidayat, sesuai dengan
Surat wasiat Sultan Adam Al Wasik Billah. Setelah penyerahan seluruh
Kerajaan itu, Mangkubumi Pangeran Hidayatullah mengadakan rapat-rapat
kerajaan yang dihadiri oleh pejabat-pejabat kerajaan antara lain
Pengeran Suria Mataram dan Pangeran Wiria Kesuma. Rapat ini bersifat
rahasia. Rapat rahasia itu menghasilkan keputusan untuk menentukan sikap
bersama untuk menghadapi kedatangan kapal perang Arjuna. Untuk menambah
kekuatan dalam menghadapi situasi yang memburuk itu Mangkubumi Pangeran
Hidayatullah menugaskan kepada Pangeran Suria Mataram untuk membantu
Jalil dan mempersenjatainya dan mengirimkan sejumlah senapan dan meriam
ke Amuntai. Untuk membuktikan situasi ini Sultan pergi ke Martapura
ibukota Kerajaan. Sultan memperhatikan sikap rakyat terhadap Sultan,
bahwa kedatangan Sultan tidak mendapat sambutan sebagaimana layaknya dan
tidak ada ucapan salam untuk Sultan. Pasukan perahu penyambut Sultan
pun tidak tampak. Begitulah situasi politik yang makin panas mulai
pertengahan bulan Februari 1859.
KELUARGA PANEMBAHAN ALING ( DATU ALING ) Berasal
dari kampung Pematang Kumbayau dan setelah gerakan perlawanan
berkembang kampung tersebut dinamai Tambai Mekkah disekitar Lawahan
sekarang didaerah Muning. ALING GELAR PANEMBAHAN MUDA SAMBANG (Sultan
Kuning) NURAMIN (Ratu Keramat) KHALIFAH RASUL USANG (Kindu Mui) DULASA
(PGR. SurianataSURANTI (Puteri Junjung Buih) Catatan : 1. Saranti
(Puteri Junjung Buih) dikawinkan dengan Gusti Muhammad Said (in
absensia) anak Pangeran Antasari setelah cerai dengan Dulasa. 2.
Kumbayau dinamai Tambai Mekkah atau Serambi Mekkah.
(Bersambung ke Bagian 9)
Sumber : Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar