Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 2)
3. Terbentuknya Kerajaan Banjar dan Lahirnya Kota Banjarmasin
a. Lahirnya Kerajaan Banjar dan Bandar Patih Masih 2840
Maka tersebut Patih Masih orang besarnya di Banjar itu. Maka bernama Banjarmasin
karena nama orang besarnya di Banjar itu nama patih masih itu. 2910
Maka ditarik sekalian kaluwarganya sakalian sahabat yang berhimpun sama
minum itu oleh Patih Masih itu, kira-kira orang limaratus itu, sama
mufakat handak menjadikan raja itu : “Dari pada kita masih menjadi
desa, senantiasa kena sarah dengan pupuan maantarkan kahulu, hangir kita
berbuat raja, kalau ia ini yang saparti kabar orang itu cucu Maharaja
Sukarama yang diwasiatkannya Menjadi raja”. 2915 Maka Patih Masih berkata, serta Patih ampat orang itu sama berkata : “andika Kaula jadikan raja”. 2930 Kata Patih lainnya itu : “Sukarela kaula mati mangarjakan kerajaan andika itu”. 2935
Segala orang itu sama menyambah mewastukan Raden Samudera itu Menjadi
raja. Maka disebut orang Pangeran Samudera. 2940 Kata Patih Masih : “Ini
bicara kaula kita kajut mudik ka Marah Bahan, kita rabut bandar itu,
maka segala orang dagang itu bawa hilir dan orang yang diam di Muara
Bahan itu bawa hilir. sudah itu kita berbuat Bandar pula disini.33 Raden Samudera adalah cikal bakal raja-raja Banjarmasin. Dia adalah cucu Maharaja Sukarama dari Negara Daha. Raden Samudera terpaksa melarikan diri demi keselamatan dirinya dari ancaman pembunuhan pamannya Pangeran Tumenggung raja terakhir dari Negara Daha.
Awal dari kebencian Pangeran Tumenggung pada kemenakannya sendiri itu
ialah ketika Maharaja Sukarama masih hidup mewasiatkan bahwa yang kelak
akan Menjadi raja kalau dia mangkat adalah cucunya Raden Samudera.
Umurnya waktu itu baru tujuh tahun, pada saat Maharaja Sukarama mangkat.
Oleh Mangkubumi Aria Taranggana dinasihatkan agar Raden Samudera melarikan diri ke daerah menghilir sungai melalui Muara Bahan ke Serapat, Balandian, Banjarmasin atau Kuwin.
32 J.J. Ras, op.cit., hal. 426-440.
Aria Tranggana membekali Raden Samudera dengan sebuah perahu, sebuah jala bekal makanan dan pakaian. “...
Aria Taranggana itu maka dicarinya Raden Samudera itu dapatnya maka
dilumpanya arah perahu tangkasyu maka diberi jala kecil sebuah, parang
sabuting, pisau sabuting, pengayuh sabuting, bakul sabuah, sanduk
sabuting, pinggan sabuting, mangkuk sabuah, baju salambar, salawar
salambar, kalambu sabuting, tapih salambar, tikar salambar, kata Aria
Taranggana Raden Samudera tuan hamba larikan dari sini karena tuan
hendak dibunuh oleh Pangeran Tumenggung, tahu-tahu menyamar diri, lamun
tuan pigi beroleh menjala ...34 Ketika Raden Samudera menyembunyikan
diri ke daerah sunyi di daerah Muara Barito, dari Muara Bahan sebagai
bandar utama Negara Daha, telah terdapat sejumlah kampung di
daerah-daerah muara seperti Balandean, Sarapat, Muhur, Tamban, Kuwin, Balitung dan Banjar. Kampung Banjarmasin atau kampung Melayu merupakan kampung yang khusus karena dibentuk oleh lima buah sungai yakni sungai Pandai, sungai Sigaling, sungai Karamat, Jagabaya dan sungai Pangeran
(Pageran) yang kesemuanya anak sungai Kuwin. Kekhususan kedua dari
Banjarmasin ini merupakan kampung dari orang Melayu yang pertama dari
kampung atau di tengah-tengah kampung Oloh Ngaju di daerah Barito Hilir.
Marabahan atau Muara Bahan yang merupakan kampung pemukiman Oloh Ngaju, didirikan oleh Datuk Bahendang Balau, ketua suku Oloh Ngaju
yang turun dari Barito. Seperti yang disebut oleh J.J. Ras yang telah
mentranskrip Hikayat Banjar, mengapa kampung orang Melayu disebut
Banjarmasin. “Maka bernama Banjarmasin karena nama orang basarnya itu nama Patih Masih itu”. Patih
Masih adalah Kepala dari orang-orang Melayu atau Oloh Masih dalam
Bahasa Ngaju. Sebagai seorang Patih atau kepala suku, tidaklah
berlebihan kalau dia sangat memahami situasi politik Negara Daha,
apalagi juga dia mengetahui tentang kewajiban sebagai daerah takluk dari
Negara Daha, dengan berbagai upeti dan pajak yang harus diserahkan ke
Negara Daha. Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin
untuk mencari jalan agar jangan terus-menerus desa mereka menjadi desa.
Mereka sepakat mencari Raden Samudera cucu Maharaja Sukarama yang
menurut sumber berita sedang bersembunyi di daerah Balandean, Sarapat,
karena Pangeran Tumenggung yang sekarang Menjadi raja di Negara Daha
pamannya sendiri ingin membunuh Raden Samudera.
33 J.J. Ras, op.cit., hal. 398-404. 34 Depdikbud, “Hikayat Banjar”, Seri Penerbitan Museum Negeri Lambung Mangkurat, Banjarbaru, 1981, hal. 70.
Tindakan
yang dilakukan ialah memindahkan bandar atau pelabuhan perdagangan,
karena ini sangat penting dari segi ekonomis negara. Patih Masih berkata
: “Kita kajut ke Muara Bahan, kita rabut bandar itu. Sudah itu kita berbuat bandar pula disini”. Pangeran Samudera dirajakan di kerajaan baru Banjar
setelah berhasil merebut bandar Muara Bahan, bandar dari Negara Daha
dan memindahkan bandar tersebut ke Banjar dengan para pedagang dan
penduduknya. Bagi Pangeran Tumenggung sebagai raja Negara Daha, hal ini
berarti suatu pemberontakan yang tidak dapat dimaafkan dan harus
dihancurkan, perang tidak dapat dihindarkan lagi. Tentara dan armada
sungai dari Pangeran Tumenggung bergerak ke hilir ke sungai Barito dan di hujung Pulau Alalak terjadilah pertempuran sungai besar-besaran yang pertama
antara kedua belah pihak dengan kekalahan pihak Pangeran Tumenggung.
Sejak itu terjadilah penarikan garis demarkasi dan blokade ekonomis oleh
pantai terhadap pedalaman, mulai dari Muara Bahan. Pengalaman dalam
pertempuran pertama ini masing-masing pihak mengatur siasat untuk dapat
mengalahkan lawannya. Pangeran Tumenggung mempersiapkan pasukan lebih
besar lagi, begitu pula Raden Samudera atau Pangeran Samudera berusaha
mencari bantuan dari pelosok wilayah Sambas, Lawai,
Sukadana, Kotawaringin, Pambuangan, Sampit, Mendawai Sanggauh,
Karasikan, Berau, Kutai, Asam-asam, Kintap, Sawarangan, Takisung dan Tabaniau dan berhasil terkumpul pasukan sebesar 40.000 orang. Bantuan terbesar dan mengandung arti yang lebih penting adalah bantuan dari kerajaan Demak,
kerajaan Islam terbesar di pantai utara Jawa. Bantuan kerajaan Islam
Demak mempunyai pengaruh besar bagi Kalimantan Selatan, sebab bantuan
Demak hanya diberikan kalau raja dan seluruh penduduk memeluk agama
Islam. Sultan Demak mengirim bantuan seribu orang pasukan dan diiringi
oleh seorang Penghulu Islam yang akan meng-Islamkan raja dan penduduk.
Dengan kekuatan yang besar tentara berangkat menyongsong air mengalir,
sedang gamelan dipalu dengan gembira. Pangeran Samudera turut pula
berangkat dengan berkedudukan di dalam sebuah gurap yang diperhiasi
dengan tanda-tanda kebesaran diiringi oleh Patih Masih, Patih Balit,
Patih Muhur, Patih Balitung dan Patih Kuwin masing-masing dengan lencana
kebesaran. Pertempuran terjadi di dekat Rantau Sangyang Gantung.
Pasukan Pangeran Samudera dapat menembus pertahanan musuh dan
menimbulkan korban yang sangat besar. Pangeran Tumenggung kalah, mundur
dan bertahan di muara sungai Amandit dan Alai. Kemenangan demi
kemenangan berada di pihak Pangeran Samudera dan bendera Tatunggul Wulung Wanara Patih,
bendera Pangeran Samudera selalu berkibar. Akhirnya Mangkubumi Negara
Daha Aria Taranggana menyarankan kepada rajanya daripada rakyat kedua
belah pihak banyak yang mati, lebih baik kemenangan dipercepat dengan
mengadakan perang tanding antara kedua raja yang bermusuhan, hal mana
kemudian disetujui oleh kedua belah pihak. “... Lamun masih baadu
rakyat satu tahun tiada bartantu yang manjadi raja itu. rakyat juga yang
binasa karana orang Negeri Daha ini bassuluk barkaluarga itu sampian
jua manjadi raja lamun tiada barbanyak tiada barguna sakalian kula,
siapa hidup manjadi raja, sudah itu kula lawan Patih Masih”.35 Dengan
berperahu ketangkasan, masing-masing dikemudikan Mangkubumi kedua belah
pihak, masing-masing berpakaian perang, berpedang, memakai perisai,
sumpit tambilahan, keris dan talabang, dengan disaksikan rakyat kedua
belah pihak, raja-raja berjumpa di atas sungai Parit Basar. Pangeran
Samudera tidak mau melawan, karena melawan Pangeran Tumenggung berarti
melawan ayah bundanya sendiri dan mempersilahkan Pangeran Tumenggung
membunuhnya tetapi ternyata Pangeran Tumenggung lemah hatinya timbul
kasih sayangnya pada kemenakannya sendiri, dan keduanya berpelukan.
Pangeran Tumenggung rela menyerahkan kekuasaan dan segala tanda
kebesaran kepada kemanakannya sendiri, dan keduanya berpelukan.
Terjadilah penyerahan regalita kerajaan terhadap Pangeran Samudera. Pangeran Tumenggung diperintahkan berkuasa di Batang Alai
dengan 1.000 orang penduduk. Negara Daha ditinggalkan, menjadi kosong
karena semua penduduknya diangkut ke Banjarmasin. Negara Daha lenyap
dari sejarah dan tinggal bekas-bekasnya di daerah Pematang Patung di
Parit Basar Garis, km 21 sekarang.36 “... Kata Pangeran Samudera
merakak andika Tumenggung tombak kula atau pedang kula, karana dahulu
sampiyan kasini, sampian masih handak membunuh kula, sakian ulun
tuluskan karsa andika, tapi kula tiada handak durhaka pada andika, karna
kula tiada lupa akan andika itu akan ganti ibu bapa kula, sekarang mau
andika bunuh kalaf, maka Pangeran Tumenggung mendengar demikian itu
maras hatinya serta ia menangis pedang dan perisai dilepaskannya, maka
ia lumpat pada perahu Pangeran Samudera itu serta mamaluk mencium
Pangeran Samudera.37 Dengan kemenangan Pangeran Samudera atas
Pangeran Tumenggung dan diangkutnya rakyat Daha ke Banjarmasin, maka
muncullah kota baru di Banjar. Pangeran Samudera yang sebelumnya telah
memeluk agama Islam sebagai suatu persyaratan atas bantuan kerajaan
Islam Demak, telah mengganti namanya menjadi Sultan Suriansyah, yang
makamnya terletak di Kuwin Banjarmasin. Setelah meninggal terkenal
namanya sebagai Penambahan Batu Habang.
35 J.J. Ras, op.cit., hal. 430. 36 M. Idwar Saleh, Banjarmasih, Museum Negeri Lambung Mangkurat, Banjarbaru, 1981/1982, hal. 24. 37 Depdikbud, op.cit., hal. 96.
Timbul
pertanyaan kapan Banjarmasin didirikan ? Beberapa sarjana mencoba
menjawab pertanyaan ini. Dr. Eisenberger menyebutkan tahun berdirinya
Banjarmasin tahun 1595. Encyclopaedie van Nederlands-Indie menyebutnya tahun 1520. Colenbrander dalam bukunya “Koloniale Geschiedenis” juga
menyebutkan tahun 1520. Sedangkan J.J. Ras menegaskan bahwa Banjarmasin
sebagai keraton ke-3 yang didirikan dengan bantuan Demak, terjadi
sebelum abad ke- 16.38 Pendapat Dr. Eisenberger bahwa Banjarmasin
didirikan dalam tahun 1959, tidak dapat diterima, karena historis tidak
mendukung, dengan alasan sebagai berikut :
a. Apabila
kerajaan Islam Demak dianggap sebagai kerajaan yang membantu berdirinya
kerajaan Banjarmasin, maka tak mungkin tahun berdirinya Banjarmasin
tahun 1588, tauhn itu kerajaan Demak sudah tak ada lagi.
b. Menurut
sumber Belanda, bahwa Belanda menyerang Banjarmasin dalam tahun 1612
dan membakar Banjarmasin, mengakibatkan pusat kerajaan dipindah ke
Kuliling Benteng, kemudian ke Batang Mangapan dan ke Batang Banyu hulu
sungai Martapura. Peristiwa penyerangan ini menurut Hikayat Banjar
terjadi pada saat pemerintahan Sultan Musta’in Billah, sultan ke-4 dari
kerajaan Banjarmasin.
c. Kalau
pendapat Dr. Eisenberger itu benar maka antara tahun 1588 sampai tahun
1612, yaitu selama 24 tahun ada empat orang raja yang memerintah
Banjarmasin, yaitu : Sultan Suriansyah, Sultan Rahmatullah, Sultan
Hidayatullah dan Sultan Musta’in Billah.
Jangka
hanya 24 tahun tidak mungkin hidup antara datu dengan buyut, dimana
buyut sudah dewasa dan sudah menjadi Sultan.39 Ketika tahun 1511 Malaka
jatuh ke tangan Portugis, maka muncullah kerajaan Islam Aceh, Demak dan
Ternate sebagai lawan baru Portugis. Kerajaan Islam Demak memahami
bahaya datangnya Portugis ini, karena itu pada tahun 1524 dikirim
pasukan ke Jawa Barat dibawah pimpinan Falatehan dan berhasil
menaklukkan Banten Girang dan selat Sunda dikuasai. Pada tahun 1527
Falatehan merebut Sunda Kelapa serta memukul mundur Portugis, dan
timbullah kenyataan bahwa Portugis tidak berani berlayar melalui jalur
Laut Jawa. Tahun 1527 didirikan kota Jakarta oleh Falatehan. Baru ketika
Sultan Trenggana tewas pada tahun 1546 ketika mengepung Pasuruan,
Portugis kembali menggunakan jalan lama ke Maluku dan berkedudukan di
Gresik.
40 38 M. Idwar Saleh, loc.cit. 39 M. Idwar Saleh, ibid., hal. 80-81. 40 BHM. Vlekke, Nusantara, A History of Indonesia, Les Editins A Manteau SA. Bruxelles, 1961, hal. 88.
Apabila
tahun 1521 Demak menyerang Majapahit, 1524 menyerang dan menaklukkan
Banten Girang, 1527 menyerang dan menaklukkan Sunda Kelapa, maka
pengiriman armada bantuan pasukan ke Banjarmasin, harus terjadi pada
tahun 1526.41Berdirinya Banjarmasin pada tahun 1526 hal itu berarti pula :
a. Hari kemenangan Sultan Suriansyah, cakal bakal raja-raja kerajaan Banjar.
b.
Hari diserahkannya regalita kerajaan Daha, dan dirajakannya Pangeran
Samudera atau Sultan Suriansyah oleh Pangeran Tumenggung.
c. Hari
ketentuan Banjarmasin menjadi ibu kota seluruh kerajaan Banjar, sebagai
pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat penyiaran agama Islam dan
mata rantai baru dalam menghadapi penetrasi Portugis di Laut Jawa.
Seluruh
penduduk Negara Daha diangkut ke Banjarmasin, kecuali 1.000 orang yang
tinggal menjadi rakyat Pangeran Tumenggung dan berdiam di daerah Alai.
Negara Daha kosong dan hilang ditelan masa, dilupakan orang tempat
pusatnya yang sebenarnya dan sungaipun mati tertutup lumpur. Perubahan
kebudayaan yang hebat lebih terasa dengan masuknya agama Islam. Kerajaan
Banjar sebagai kerajaan yang rakyatnya beragama Islam, berhasil
menghancurkan kerajaan Hindu dari Negara Daha. Agama Hindu runtuh dan
agama Islam menggantikannya. Candi Agung dan Candi Laras
dihancurkan, kebudayaan Hindu lenyap sebagai tak pernah ada kebudayaan
itu di Kalimantan Selatan sebelumnya. Banjarmasin didirikan di daerah
suku Ngaju, sebagian pegawai kerajaan adalah orang Ngaju. Amalgamasi
kebudayaan Banjar sesudah itu menjadi lebih luas dengan perpaduan inti
kebudayaan Ngaju, Melayu, Jawa, Maanyan, Bukit Akulturasi ini berjalan dengan damai dan melahirkan kelompok Banjar yang bercirikan agama Islam, bahasa Banjar sebagai pengganti bahasa ibu dengan adat istiadat walaupun masih bersifat tradisional, menganggap diri superior dari kebudayaan Kaharingan
yang ada. Banjarmasih atau kampung suku Melayu (banjar = kampung; masih
= orang Melayu) sebenarnya terletak diantara sungai-sungai : - Sungai
Barito dengan anak sungai Sigaling, sungai Pandai dan sungai Kuyin,
dengan, - Sungai Kuyin dengan anak-anak sungai Karamat, Jagabaya dan
sungai Pangeran (Pageran). Sungai-sungai Sigaling, Karamat, Pangeran
(Pageran), Jagabaya dan sungai Pandai ini pada hulunya di darat pada
bertemu, membuat danau kecil bersimpang lima, daerah inilah yang nanti
menjadi ibu kota kerajaan Banjar.
41 M. Idwar Saleh, op.cit., hal. 25-26.
42 Sebagai tempat pemerintahan yang pertama
ialah rumah Patih Masih di daerah perkampungan suku Melayu yang
terletak di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuyin
sebagai induk Daerah ini yang pada mulanya berupa sebuah banjar atau
kampung, berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara
mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun 1526.
Menurut Hikayat Banjar, rumah Patih Masih kemudian dijadikan keraton.
Rumah tersebut diperluas dengan dibuat Pagungan, Sitiluhur dan Paseban.
J.J. Ras berpendapat bahwa Banjarmasin itu berarti “Banjar on the coast”,43 tetapi M. Idwar Saleh berbeda pendapat, bahwa Banjarmasin itu jelas berarti “Kampung Oloh Masih” atau
kampung Orang Melayu.44Gambaran tentang kota Banjarmasin sebagai ibu
kota Kerajaan Banjar menurut hasil penelitian M. Idwar Saleh adalah
sebagai berikut : Kompleks keraton terletak antara sungai Keramat dengan sungai Jagabaya, daerah itu sampai sekarang masih bernama kampung Keraton. Istana Sultan Suriansyah berupa rumah bubungan tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk betang dengan
bahan utama dari pohon ilayung. Antara istana dengan sungai terletak
jalan, dan dipinggir sungai terdapat tumpukan bangunan di atas air yang
dijadikan sebagai kamar mandi dan jamban. Di sebelah sungai Keramat
dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur. Mendekati sungai Barito dengan
Muara Cerucuk terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw seorang Gujarat yang bergelar Ratna Diraja. Di seberang sungai Jagabaya dibuat masjid yang pertama, yang sekarang dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.
Pada tempat dekat pertemuan sungai Karamat dengan Sungai Sigaling,
terdapat pasar di atas air tebing, di samping pasar yang umum saat itu
di atas air. Pasar di atas air merupakan ciri-khas dari perdagangan
Orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air. Menyeberang
sungai Singgaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang
berpagar ilayung, merupakan alun-alun besar tempat mengadakan latihan
berkuda dan perang-perangan tiap tahun Senin atau Senenan. Di Sungai
Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap.
Di seluruh Sungai Kuyin, sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal
di lanting-lanting, dan sebagian lagi tinggal di betang didarat. Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah. Jumlah penduduk mencapai 15.000 orang setelah orang-orang Daha diangkut ke ibu kota kerajaan.45
42 M. Idwar Saleh, ibid., hal. 40. 43 J.J. Ras, op.cit., hal. 533. 44 M. Idwar Saleh, op.cit., hal. 2. 45 J.J. Ras, op.cit., hal. 438.
Menurut
berita dinasti Ming tahun 1618 menyebutkan bahwa terdapat rumah-rumah
di atas air yang dikenal sebagai rumah lanting atau rumah rakit hampir
sama dengan apa yang dikatakan Valentijn. Di Banjarmasin banyak sekali
rumah dan sebagian besar mempunyai dinding terbuat dari bambu atau
pelupuh dan sebagian dari kayu. Rumah-rumah itu besar sekali, dapat
memuat 100 orang, yang terbagi atas kamar-kamar Rumah besar ini dihuni
oleh satu keluarga dan berdiri di atas tiang yang tinggi.46 Kedua macam
berita ini menjelaskan kepada kita bahwa, apa yang diberitakan masa
dinasti Ming adalah rumah-rumah penduduk di atas rakit yang banyak
terdapat di sepanjang sungai. Sedangkan apa yang diberikan oleh
Valentijn adalah rumah-rumah betang dari suku Dayak Ngaju. Menurut Willy
kota Tatas terdiri dari 300 buah rumah. Bentuk rumah hampir bersamaan
dan antara rumah satu dengan lainnya dihubungkan dengan titian.
Alat angkutan utama adalah jukung atau perahu. Selain rumah-rumah
panjang di pinggir sungai terdapat lagi rumah-rumah lanting sepanjang
sungai. Rumah lanting itu diikat dengan tali rotan pada sebuah pohon
besar di tepi sungai.47 Hal-hal ini semua menggambarkan tentang
kebudayaan sungai dan rawa di sekitar kota Banjarmasin. Gambaran
kebudayaan sungai dan rawa ini dimulai sejak abad ke- 16 dan masih
terlihat sampai abad ke- 20.
b. Raja-Raja Kerajaan Banjar
Sejak berdirinya kerajaan Banjar pada 24 September 1526 sampai berakhirnya perang Banjar yang merupakan saat lenyap kerajaan Banjar tahun 1905, terdapat 19 orang raja
yang pernah berkuasa. Sultan pertama adalah Sultan Suriansyah
(1526-1545), raja pertama yang memeluk agama Islam, dan raja terakhir
adalah Sultan Mohammad Seman yang meninggal dalam pertempuran melawan
Belanda di Menawing – Puruk Cahu dalam tahun 1905. Kerajaan Banjar
runtuh sebagai akibat kalah perang dalam Perang Banjar (1859-1905), yang
merupakan perang menghadapi kolonialisme Belanda. Sultan Suriansyah
sebagai sebagai raja pertama berkeraton di Kuwin Utara sekarang yang
dijadikannya sebagai pusat pemerintahan dan pusat perdagangan, sedangkan
raja terakhir Sultan Mohammad Seman berkeraton di Menawing-Puruk Cahu
sebagai pusat pemerintahan pelarian dalam rangka menyusun kekuatan untuk
melawan kolonialisme Belanda.
46 M. Idwar Saleh, op.cit., hal. 42. 47 M. Idwar Saleh, loc.cit.
Raja-raja Banjar sejak berdirinya kerajaan Banjar sampai lenyapnya secara terperinci adalah sebagai berikut :
1. 1526 – 1545 Pangeran Samudera yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah, raja pertama yang memeluk agama Islam.
2. 1545 – 1570 Sultan Rahmatullah.
3. 1570 – 1595 Sultan Hidayatullah.
4. 1595
– 1620 Sultan Mustain Billah, Marhum Penambahan, yang dikenal sebagai
Pangeran Kacil. Sultan inilah yang memindahkan keraton ke Kayutangi
Martapura, karena keraton di Kuwin hancur di serang Belanda pada tahun
1612.
5. 1620 – 1637 Ratu Agung bin Marhum Penembahan yang bergelar Sultan Inayatullah.
6. 1637 – 1642 Ratu Anum bergelar Sultan Saidullah.
7. 1642
– 1660 Adipati Halid (Pangeran Tapesana) memegang jabatan sebagai Wali
Sultan, karena anak Sultan Saidullah, Amirullah Bagus Kesuma belum
dewasa.
8. 1660
– 1663 Amirullah Bagus Kesuma memegang kekuasaan, 1663. Pangeran
Adipati Anum (Pangeran Suriansyah) merebut kekuasaan dan memindahkan
pusat pemerintahan ke Banjarmasin, sekitar Sungai Pangeran sekarang,
Pemerintahan Martapura dipegang kembali oleh Adipati Tuha samapi 1666.
9. 1663
– 1679 Pangeran Adipati Anum setelah merebut kekuasaan dari Amirullah
Bagus Kesuma dan memindahkan keraton ke Banjarmasin bergelar Sultan
Agung.
10. 1680
– 1700 Amirullah Bagus Kesuma merebut kekuasaan dari Amirullah Bagus
Kesuma dan memindahkan keraton ke Banjarmasin bergelar Sultan Agung.
11. 1700 – 1734 Sultan Hamidullah gelar Sultan Kuning.
12.
1734 – 1759 Pangeran Tamjid bin Sultan Amirullah Bagus Kesuma bergelar
Sultan Tamjidillah menggantikan Pangeran Muhammad Aminullah anak Sultan
Kuning yang belum dewasa.
13. 1759 – 1761 Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Kuning.
14.
1761 – 1801 Pangeran Nata Dilaga sebagai wali putera Sultan Muhammad
Aliuddin yang belum dewasa tetapi memegang pemerintahan dan bergelar
Sultan Tahmidullah.
15. 1801 – 1925 Sultan Suleman Almutamidullah bin Sultan Tahmidullah.
16. 1825 – 1857 Sultan Adam Al Wasik Billah bin Sultan Suleman.
17. 1857 – 1859 Pangeran Tamjidillah.
18. 14-03- 1862 Pangeran Antasari yang bergelar Panembahan Amir Oeddin Khalifatul Mu’mina.
19. 1862 – 1905 Sultan Muhammad Seman.
c. Kerajaan Banjar, Urang dan Bahasa Banjar
Sultan
Suriansyah adalah raja pertama dari Kerajaan Banjar dan raja pertama
yang memeluk agama Islam. Agama Islam merupakan agama negara dan
menempatkan kedudukan para ulama pada tempat yang terhormat dalam
negara. Kedudukan agama Islam sebagai agama negara terlihat dengan jelas
pada masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah yang mengeluarkan Undang-Undang negara pada tahun 1835 yang kemudian dikenal sebagai Undang-undang Sultan Adam. Dalam
Undang-undang itu jelas terlihat hampir pada setiap pasal-pasalnya
bahwa sumber hukum yang dipergunakan adalah hukum Islam. Karena itulah
kerajaan Banjar disebut sebagai kerajaan Islam, karena itu pulalah urang
Banjar dikenal sebagai orang yang beragama Islam. Kerajaan Banjar
adalah kerajaan terakhir yang pernah ada di daerah Kalimantan Selatan.
Kerajaan tertua yang pernah ada adalah kerajaan Tangjungpura atau Tanjungpuri,
sebuah kerajaan migrasi orang-orang Melayu dengan membawa unsur
kebudayaan Melayu dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa
komunikasi. Banyak pendapat yang berbeda tentang dimana lokalisasi
kerajaan Tanjung Pura ini. Salah satu diantara pendapat itu adalah bahwa
pusat kerajaan Tanjungpura itu adalah kota Tanjung ibu kota Kabupaten
Tabalong sekarang.48 J.J. Ras menyebutkan bahwa Tanjung merupakan sebuah
daerah tempat migrasi melayu yang pertama ke Kalimantan. Mpu Prapanca
menyebutkan dalam Negarakartagama (1365) dengan nama Nusa Tanjung Negara
dan ini identik dengan Pulau Hujung Tanah, dengan kota terpenting
adalah Tanjungpuri. Pada bagian lain Mpu Prapanca menyebutkan pula nama
Bakulapura adalah nama lain dalam bahasa Sanskerta untuk menyebutkan
nama Tanjungpura. Kalau kerajaan Tanjungpura merupakan migrasi Orang
Melayu Sriwijaya, hal ini berarti pula bahwa ke daerah ini telah masuk
unsur kebudayaan agama Budha sebagai agama dari kerajaan Sriwijaya.
Migrasi Melayu ke Kalimantan diperkirakan antara abad ke- 12 – 13
Masehi. Pada abad ke- 13 muncul pula kerajaan Negara Dipa yang kemudian diganti oleh Negara Daha. Negara Dipa berlokasi di sekitar Amuntai sedangkan Negara Daha berlokasi sekitar Negara sekarang. Kedua kerajaan ini bercorak Hindu dengan peninggalan Candi Agung dan Candi Laras. Negara Dipa merupakan kerajaan migrasi dari Jawa Timur sebagai akibat dari peperangan antara Ken Arok dengan raja Kertajaya
yang dikenal dengan Perang Ganter.49Dalam abad ke- 16 muncul
perkembangan baru dengan lahirnya kerajaan Banjar yang bercorak Islam di
Kalimantan Selatan. Kerajaan Banjar berkembang pesat sampai abad ke- 19
merupakan kerajaan Islam merdeka dengan nation baru bangsa Banjar
sebagai sebagai warganegara dari sebuah kerajaan (1859 – 1915) maka
bangsa Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan merdeka juga ikut
lenyap, dan turun derajatnya menjadi bangsa jajahan dan kemudian
dikenal sebagai Urang Banjar atau Orang Banjar.
48 J.J. Ras, op.cit., hal. 191.
50 Urang
Banjar atau Orang Banjar atau etnik Banjar adalah nama untuk penduduk
yang mendiami daerah sepanjang pesisir Kalimantan Selatan, Tengah, Timur
dan Barat.51 Memang masih menjadi permasalahan apakah Urang Banjar itu
merupakan etnik atau hanya group saja. Urang Banjar itu setidak-tidaknya
terdiri dari etnik Melayu sebagai etnik yang dominan, kemudian ditambah dengan unsur Bukit, Ngaju dan Maanyan. Perpaduan etnik lama kelamaan menimbulkan perpaduan kultural. Unsur Melayu tampak sangat dominan dalam bahasa Banjar, bahasa yang dipakai oleh Urang Banjar. Kata “Banjarmasin” sendiri
berasal dari unsur bahasa Melayu yaitu banjar berarti kampung dalam
bahasa Melayu, dan kata masih, adalah sebutan terhadap Orang Melayu
dalam bahasa Ngaju. Jadi “Banjarmasih” adalah sebutan perkampungan Orang Melayu dalam ucapan bahasa Ngaju.
Kata Banjarmasih inilah yang kemudian menjadi Banjarmasin.
Sekurang-kurangnya ada dua hal yang perlu disimak dari kesejarahan
kerajaan Banjar:
(1)
Bahwa jauh sebelum abad ke- 16 sebelum kerajaan Banjar berdiri,
masyarakat Banjar telah terbentuk bersamaan dengan terbentuknya kerajaan
Tanjungpura. Masyarakat Banjar telah melembaga sebagai sebuah kelompok
sosial budaya.
(2)Kedua, bahwa dalam tata kehidupan masyarakat Banjar telah dikenal sistem kehidupan politik.
Urang Banjar sebagai sebuah kelompok sosial budaya menggunakan bahasa Banjar sebagai
bahasa kelompok. Bahasa Banjar mengambil sebagian besar kosa katanya
dari kosa kata bahasa Melayu. Disamping itu dijumpai pula sejumlah kata
yang sama atau mirip dengan bahasa Jawa dan bahasa-bahasa Dayak seperti
bahasa Ngaju, Maanyan dan Deyah dan hanya sedikit kosa
kata yang tidak dapat dikembalikan ke bahasa lain dianggap unsur asli.
Oleh karena secara kwantitatif kosa kata Melayu lebih menonjol pada
bahasa Banjar maka ia digolongkan dialek Melayu.52 Para peneliti Belanda
dan Jerman, istilah Melayu untuk penduduk Kalimantan dioposisikan
dengan istilah Dayak, dengan dasar pengelompokan “Islam” dan “Non Islam”. Kelompok Islam diidentifikasikan sebagai Melayu. Dengan dasar ini bahwa Urang Banjar dengan bahasa Banjarnya adalah kelompok campuran unsur Melayu, dan suku-suku Dayak yang ada di daerah ini. Peranan dan fungsi bahasa Banjar sebagian lingua franca bagi
para penutur puluhan bahasa daerah di wilayah Kalimantan bagian
selatan, tengah, timur dan barat sudah lama dikenal. (Dr. Durdje
Durasid, paper). Secara diagronis bahasa Banjar dan bahasa Dayak Ngaju
sudah lama diketahui para linguis sebagai anggota kerabat rumpun
Astronesia, sub-sub kelompok Austronesia Barat yang dihipotesikan
berbeda.
49 A. Gazali Usman, Urang Banjar Dalam Sejarah, Lambung Mangkurat University Press, Banjarmasin, 1989, hal. 35. 50 A. Gazali Usman, ibid., hal. 3. 51 J. Mallinckrodt, Het Adatrecht van Borneo,
2 vols, Dubbeldeman, Leiden, 1928, hal. 48. 52 Djantera Kawi, “Kata
Kognat Banjar- Jawa Kuno”, Makalah pada Diskusi Panel Bahasa Banjar,
FKIP Unlam, Banjarmasin, 24 Oktober 1992.
Sub-sub kelompok yang menurunkan bahwa Banjar dihipotesikan sebagai proto Bahasa Barito.53
Proto bahasa Melayu menurunkan Bahasa Seloka, Minangkabau, Jakarta dan
Serawak. Proto bahasa Barito selain menurunkan bahasa Dayak Ngaju, juga
menurunkan bahasa Maanyan, Pasir dan Tunjung. Penduduk Propinsi
Kalimantan Selatan 90% penutur bahasa Banjar. Kebanyakan penutur bahasa
Banjar merupakan ekabahasawan. Penutur bahasa Dayak Ngaju merupakan
penutur bahasa tersebar dari beberapa bahasa yang ada di Propinsi
Kalimantan Tengah diperkirakan 50% dari jumlah penduduk. Bahasa Dayak
Ngaju tersebar luas di propinsi itu terjadi karena bahasa Dayak Ngaju
merupakan lingua franca bagi beragam bahasa Dayak yang ada di
Kalimantan Tengah. Bahasa Banjar tersebar luas di Kalimantan Tengah
sebagai bahasa ketiga yang sangat dikenal mengikuti penyebaran Orang
Banjar yang hampir dapat dijumpai di semua pelosok Kalimantan Tengah
sebagai pedagang ulet dan perantau yang tangguh (budaya madam).
Bahasa Banjar menjadi bahasa kedua hampir pada semua ibukota kabupaten
termasuk ibukota propinsi Palangkaraya. Bahasa Banjar dipakai sebagai
bahasa berkomunikasi di pasar-pasar dan juga dalam pertemuan resmi.
Situasi ini menimbulkan kedwibahasaan bagi penutur bahasa Dayak. Sikap
penutur bahasa Dayak berbeda dengan sikap penutur bahasa Banjar yang
kebanyakan ekabahasawan (hanya menguasai
bahasa Banjar saja). Dalam penutur bahasa Bakumpai dan penutur bahasa
Baamang (Sampit) terdapat penggunaan bahasa yang bersifat diglosia, yaitu
masyarakat penutur bahasa itu menggunakan bahasa Banjar dan bahasa
daerahnya dalam pilihan situasi tertentu. Bahasa Banjar digunakan dalam
hubungan dagang di pasar dan bersifat resmi dan antar suku, sedangkan
bahasa daerah, Bakumpai dan Baamang digunakan pada situasi yang bersifat
kekeluargaan dan tradisional. Situasi diglosia itu dalam masyarakat
penutur bahasa Bakumpai dan Baamang seimbang bahkan menurut pengamatan
Dr. Durdje Durasit penutur bahasa Bakumpai lebih lancar berbahasa Banjar
dari pada berbahasa Bakumpai. Kedudukan bahasa Banjar cukup istimewa
dalam masyarakat penutur bahasa Dayak di Kalimantan Tengah dan Selatan
menjadi sangat penting.
53 Alfred B. Hudson, Padju Epat, The Ethnography and Social Structrure of a Maanyan Dayak Group in South Eastern Borneo,
1967 ; Durdje Durasit, “Bahasa Banjar dan Bahasa Dayak Ngaju”, Makalah
pada Diskusi Panel Bahasa Banjar, FKIP Unlam, Banjarmasin, 24 Oktober
1992.
Begitu
pula pemakaian bahasa Banjar di Propinsi Kalimantan Timur karena bahasa
Banjar dikenal luas di Samarinda, Balikpapan, Tenggarong dan sebagian
penduduk Kabupaten Kutai.54 Dalam kedudukannya sebagai bahasa daerah,
bahasa Banjar seperti bahasa daerah lainnya di Indonesia, berfungsi
sebagai :
a. lambang kebangsaan daerah,
b. lambang identitas daerah,
c. alat perhubungan di dalam keluarga, dan
d. alat berkomunikasi dengan pelbagai masyarakat yang ada di Kalimantan Selatan, Tengah dan Timur.
Penutur
bahasa Banjar pada umumnya juga penutur bahasa Indonesia yang kebetulan
struktur dan kosa katanya memiliki banyak persamaan.55
4. Sistem Pemerintahan Kerajaan Banjar
a. Sistem politik dan pemerintahan pada masa pertumbuhan kerajaan Banjar.
Masyarakat
Banjar sebagaimana masyarakat tradisional lainnya memiliki/ mengenal
dua tingkatan kelas dalam masyarakat. Kelas atau golongan mayoritas
dalam masyarakat merupakan kelas yang terbawah terdiri dari : petani,
nelayan, pedagang dan sebagainya yang disebut : orang jaba. Golongan
terkecil adalah merupakan kelas penguasa yang memiliki semua hak, yaitu
hak dalam politik, mereka terdiri dari famili kerajaan, keluarga dari
raja yang dikenal sebagai golongan bangsawan. Golongan ini menempati posisi teratas dalam struktur sosial. Termasuk dalam golongan ini adalah para bangsawan rendahan. Pemimpin-pemimpin
agama Islam, juga merupakan kelompok penguasa tingkat atas yang
mengatur semua kegiatan para pedagang, rakyat umum dan para petani di
dalam negeri. Penempatan golongan pemimpin agama pada tempat teratas ini
didasarkan pada ketetapan bahwa agama Islam merupakan agama resmi dari
negara yang memimpin manusia ke jalan yang benar. Ketika Pangeran
Samudera pertama kali mengatur organisasi kerajaan/negara, kegiatan
pertama yang dilakukannya ialah tidak memilih jabatan mangkubumi dari
golongan bangsawan 54 Durdje Durasit, loc.cit. famili kerajaan, tapi dipilih orang biasa yang cakap dan mempunyai kemampuan dan dedikasi yang tinggi terhadap negara.
55
Darmansyah, “Bahasa Banjar dan Bahasa Maanyan”, Makalah pada Diskusi
Panel Bahasa Banjar, FKIP Unlam, Banjarmasin, 24 Oktober 1992.
Orang
pertama yang dipilih ialah dari dari rakyat umum ialah Patih Masih.
Patih Masih menjabat jabatan yang tertinggi dalam negara sebagai
mangkubumi. Dalam perjalanan sejarah raja-raja di Kalimantan Selatan,
bila diteliti dengan seksama nampak bahwa pergantian raja-raja dari
negara Daha sampai Banjarmasin dari :
1. Sekar Sungsang
2. Sukarama, mertua Ratu Lemak.
3. Pangeran Mangkubumi/Raden Manteri
4. Pangeran Tumenggung
5. Raden Samudera
Bukan
pergantian yang lumrah dari ayah kepada anak tapi dari tangan musuh
yang satu ketangan musuh yang lain, melalui revolusi istana. Raden Sekar
Sungsang usurpator pertama adalah pembangunan dinasti Negara Daha, dan Raden Samudera usurpator kedua
adalah pembangun dinasti Banjarmasin. Dalam hal ini jabatan Mangkubumi
yang biasanya dijabat oleh seorang keluarga paling dekat dari raja yang
biasanya mendatangkan malapetaka bagi kerajaan. Mangkubumi biasanya
adalah saudara raja, mertua, paman dan mertua raja sekaligus juga adalah
paman dari raja. karena jabatan mangkubumi merupakan jabatan tertinggi
dalam negara dan mempunyai kedudukan dalam struktur keluarga tertinggi,
sehingga mangkubumi mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam segala
tindak tanduk raja. Dalam hal ini kalau raja lemah, adalah mudah sekali
terjadi kup. Inilah suatu pengalaman yang dialami oleh Raden Samudera
oleh pamannya sendiri Pangeran Tumenggung, yaitu mulanya menjabat
mangkubumi.
Patih sebagai mangkubumi dibantu oleh 4 orang deputi, yaitu :
a) Pangiwa,
b) Panganan,
c) Gampiran atau Gumpiran, dan
d) Panumping Dibawah Gampiran,
Panumping terdapat 30 wilayah Mantri (captain). Keempat
deputi ini juga berwenang sebagai hakim. Dalam usaha untuk
mengembangkan pelabuhan dan berusaha menjadikan Banjarmasin menjadi
sebuah bandar, raja mengangkat seorang penguasa pelabuhan, sebagai
kepala bea cukai dengan jabatan yang disebut Kiai Palabuhan.
Jabatan ini kemudian berbeda dengan jabatan syahbandar yang mempunyai
fungsi yang sangat besar yang dapat bertindak sebagai wakil raja dalam
kegiatan perdagangan dengan pedagang-pedagang luar negeri.
Masa-masa
Sultan Suriansyah, Kiai Palabuhan yang disebut sebagai Mantri Bandar
mempunyai anak buah 100 (seratus) orang untuk menjalankan kegiatan
pemungutan bea cukai pelabuhan. Mantri Tuhabun dengan gelar pangkatnya :
andakawan (The Captain of The Tuhabun corps) mempunyai
anggota 40 orang. Tugasnya untuk melayani raja, para famili raja seperti
antara lain sebagai regu pengayuh perahu ketangkasan raja. Untuk
menjaga keamanan terdapat dua orang kepala Singabana yang terdiri dari :
a) Singantaka, dan
b) Singapati.
Pada masa Sultan Suriansyah, jabatan tertinggi adalah Mangkubumi yang dijabat oleh Patih Masih. Panganan dijabat oleh Patih Balitung, Pangiwa dijabat oleh Patih Balit, Gumpiran atau Gampiran oleh Patih Kuin, dan Panumping dijabat oleh Patih Muhur. Sesudah
lenyapnya Negara Daha raja Banjar mengangkat patih tertua Aria
Taranggana dari Negera Daha sebagai Mangkubumi. Mangkubumi mempunyai
wewenang dalam masalah administrasi negara untuk mengurusi seluruh
wilayah negara, dan mempunyai wewenang untuk menentukan keputusan
terakhir terhadap seseorang yang dijatuhi hukuman mati. Disamping itu,
Mangkubumi juga mempunyai wewenang dari segala hak penyitaan segala
harta benda yang dijatuhi hukuman. Wewenang seperti ini berlaku sampai
permulaan abad ke-17. Keempat deputi yang terdiri dari Panggiwa, Panganan, Gampiran dan Panumping, yang masing-masing dijabat oleh : Patih Balit, Patih Balitung, Patih Kuin dan Patih Muhur
berwenang juga sebagai jaksa dan hakim, tetapi segala keputusan mereka
benar atau salah selalu berdasarkan pada peraturan hukum yang berlaku
saat itu yang terhimpun dalam sebuah kodifikasi hukum yang disebut Kutara,
yang disusun oleh Aria Taranggana ketika dia menjabat Mangkubumi
kerajaan. Disamping jabatan-jabatan di atas terdapat lagi jabatan : Mantri Besar yang
mempunyai tugas khusus yaitu bertugas sebagai duta kerajaan di daerah
ataupun ke luar daerah kerajaan. Dari periode raja pertama Sultan
Suriansyah sampai dengan Sultan Inayatullah atau Ratu Agung (1620-1637),
orang-orang yang pernah menjabat sebagai mangkubumi adalah :
1. Patih Aria Taranggana.
2. Kiai Anggadipa
3. Kiai Jayanegara, dan
4. Kiai Tumeggung Raksanegara
Suatu
tradisi sejak raja pertama kerajaan Banjar, raja diganti oleh
puteranya, sedangkan jabatan mangkubumi, sebagai jabatan tertinggi
setelah raja, tidak dari darah bangsawan, tapi dari rakyat umum, yang
bertindak sebagai “King viceregent”. Mangkubumi juga sebagai
hakim tertinggi yang keputusan tertinggi dalam seluruh wilayah kerajaan
dalam segala hal masalah. Saudara raja dapat menjadi : adipati dan
menyertai raja atau membantu raja, tapi mereka adalah orang kedua
setelah Mangkubumi. Pada masa pemerintahan Marhum Panambahan Kacil
(1595-1620) kaum bangsawan mempunyai gelar Raden dan Pangeran dan selalu
ikut serta dalam segala sidang negara membicarakan masalah negara. Pada
masa itu jabatan-jabatan dalam negara terdapat jabatan : Mangkubumi,
Mantri Pangiwa-Panganan, Mantri Jaksa, Tuan Panghulu, Tuan Khalifah,
Khatib, Para Dipati, Para Pryai. Masalah-masalah
yang menyangkut bidang agama Islam dibicarakan dalam suatu
rapat/musyawarah yang terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah
dan Penghulu yang memimpin pembicaraan adalah Penghulu. Masalah-masalah
yang menyangkut hukum sekuler yang disebut hukum dirgama, dibicarakan
oleh rapat yang terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa. Yang
memimpin adalah Jaksa. Masalah yang menyangkut tata urusan kerajaan
merupakan pembicaraan raja, Mangkubumi dan Dipati. Jabatan Panghulu
mempunyai status yang tinggi dalam negara. Dalam hierarki struktur
negara, kedudukan Panghulu adalah dibawah Mangkubumi, dan jabatan Jaksa
adalah di bawah Panghulu. Hal ini berlaku pula dalam tata aturan negara
dalam suatu sidang negara. Urutannya adalah Raja, Mangkubumi, kemudian
Panghulu dan setelah Panghulu adalah Jaksa. Hal ini berlaku pula kalau
Raja berjalan. Dalam suatu urutan kalau Raja berjalan, setelah raja
adalah Mangkubumi, dibelakang Mangkubumi adalah Panghulu dan kemudian
Jaksa. Kewenangan Panghulu adalah lebih tinggi dari Jaksa, karena
Panghulu mengurusi masalah yang menyangkut agama, sedangkan Jaksa
mengurusi masalah yang menyangkut dunia. Para Dipati, yang biasanya
terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi
mereka adalah kedua setelah Mangkubumi.
Sistem
politik dan pemerintahan seperti ini berlangsung sejak pemerintahan
pertama dari kerajaan Banjar sampai masa Sultan Musta’in Billah pada
permulaan abad ke- 17. Secara lengkap Sistem Politik dan Pemerintahan
kerajaan Banjar itu adalah sebagai berikut :
1. Raja, bergelar Sultan atau Panambahan.
2. Mangkubumi. Anggota dibawah Mangkubumi : Panganan, Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, Seorang Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
3. Lalawangan, kepala distrik, kedudukannya sama dengan kepala distrik pada masa penjajahan Belanda.
4. a. Sarawasa, b. Sarabumi (Kepala Urusan keratin) c. Sarabraja
5. a. Mandung, b. Raksayuda (Kepala Balai Longsari, Bangsal dan Banteng)
6. Mamagarsari , Pengapit raja duduk di Situluhur
7. a. Parimala , Kepala urusan dagang dan pakan (pasar). b. Singataka , Pembantu c. Singapati , Pembantu
8. a. Sarageni , Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur) b. Saradipa duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
9. Puspawana , Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, berburu
10. a. Pamarakan ) Pengurus umum tentang keperluan pedalaman b. Rasajiwa ) dan pedusunan
11. a. Kadang Aji ) Ketua Balai petani dan Perumahan b. Nanang , Pembantu
12. Wargasari , Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
13. Anggarmarta , Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
14. Astaprana , Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
15. Kaum Mangkumbara , Kepala urusan upacara
16. Wiramartas , Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.
17. Bujangga , Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
18. Singabana , Kepala ketenteraman umum.
Sistem
pemerintahan ini mengalami perubahan khususnya pada masa pemerintahan
Sultan Adam Al Wasik Billah pada permulaan abad ke-19. Perubahan itu
meliputi jabatan :
1. Mufti , Hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
2. Qadi , Kepala urusan hukum agama Islam
3. Penghulu , Hakim rendah
4. Lurah ,
Langsung sebagai pembantu Lalawangan dan mengamati pekerajaan beberapa
orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, bilal dan Kaum.
5. Pambakal , Kapala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
6. Mantri ,
Pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, diantaranya
ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
7. Tatuha Kampung , orang yang terkemuka di kampung.
8. Panakawan , orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.
56Jabatan
Mangkubumi adalah jabatan urutan kedua setelah Sultan. Pada abad ke- 18
jabatan Mangkubumi disebut pula dengan sebutan Perdana Mantri yaitu pada masa pemerintahan Sunan Nata-Alam (Sultan Tahmidullah), tetapi disebut pula dengan sebutan Wazir. Jadi Mangkubumi, Perdana Mantri dan Wazir adalah jabatan eselon yang sama. Putera Mahkota yang
merupakan calon resmi pengganti Sultan kalau sultan meninggal atau
mengundurkan diri, pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah disebut Ratu Anum, dan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah disebut Sultan Muda. Sebutan
Ratu Anum kadang-kadang juga dikacaukan dengan sebutan untuk
Mangkubumi, seperti Pangeran Dipati Ratu Anum Ismail, adalah seorang
Perdana Mantri pada masa pemerintahan Sultan Tahmidullah. Sebutan
kehormatan untuk Sultan, disebut : Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan, sedang untuk sebutan Gubernur Jenderal VOC hanya disebut dengan : Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal. Sebutan untuk permaisuri hanya disebut Ratu. Sebutan Sunan sebagai pengganti sebutan sultan hanya pernah dipakai oleh Sultan Tahmidullah dengan sebutan Sunan Nata Alam. Sebutan Ratu tidak selamanya harus permaisuri tetapi juga sebutan untuk sultan, seperti
56 Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Fadjar, Banjarmasin, 1953, hal. 149-150.
Sultan Inayatullah yang bergelar Ratu Agung (1620-1637). Sebutan Panembahan pernah diberikan kepada :
a. Sultan Suriansyah dengan gelar Panembahan Batu Habang
b. Sultan Rahmatullah dengan gelar Panembahan Batu Putih
c. Sultan Hidayatullah dengan gelar Panembahan Batu Irang
d. Sultan Musta’in Billah dengan gelar Panembahan Marhum
e. Sultan Tahlilullah dengan gelar Panembahan Tingi
f. Sultan Tahmidullah yang bergelar Susuhunan Nata Alam, juga bergelar: Panembahan Batu, Panembahan Ratu, dan Panembahan Anum.
b. Pergeseran Sistem Politik dan Pemerintahan Dalam Abad ke-17
Selama
kekuasaan Sultan Musta’in Billah sistem politik dan pemerintahan negara
menjadi lebih kompleks. Seperti telah dijelaskan di muka, Mangkubumi
bertindak sebagai “King Viceregent” mempunyai 4 deputi dan 4
hakim untuk memecahkan masalah hukum. Dalam kasus masalah sekuler yang
mempunyai wewenang pertama adalah : para hakim, raja, para deputi dan
terakhir Mangkubumi yang memberikan pendapat. Dalam kasus masalah
negara, termasuk hubungan luar negeri, monopoli perdagangan, serta
mengadakan kontrak perdagangan dengan luar negeri, diselesaikan oleh
Mangkubumi dan para Dipati, dalam hal ini raja mempunyai kata terakhir.
Tradisi untuk menyelesaikan masalah negara berkembang menjadi suatu
sistem yang kemudian menjadi suatu institusi yang paling berwewenang
yang disebut Dewan Mahkota (The Royal Council). Sesudah kematian
Ratu Agung bin Sultan Musta’in Billah (1637), penggantinya adalah Ratu
Anum yang bergelar Sultan Saidullah. Selama masa pemerintahannya dia
sebetulnya Menjadi raja boneka belaka, sebab wewenang kekuasaan politik
negara dan pemerintahan dipegang oleh pamannya Pangeran Di Darat,
sebagai orang yang paling berkuasa yang menguasai seluruh pemerintahan,
Ketika Pangeran Di Darat meninggal, jabatan itu digantikan oleh Dipati
Tapesana yang mengambil gelar : Dipati Mangkubumi yang bertindak sebagai
raja (temporary-King). Sejak Pangeran Di Darat menjabat
Mangkubumi, sejak itu pula jabatan Mangkubumi, jabatan yang tertinggi
dalam negara tidak pernah lagi dijabat oleh rakyat umum, tetapi
merupakan jabatan monopoli oleh keluarga kerajaan, yaitu paman, saudara
tertua, mertua atau paman yang juga menjadi mertua dari raja. Sejak
pertengahan abad ke- 17, kita melihat pertumbuhan dari kekuatan baru
dalam konflik dengan elemen-elemen golongan kerajaan yang mendominasi,
yang mempunyai monopoli kekuasaan dalam bidang politik dan perdagangan,
yang mempengaruhi pada masa selanjutnya. Hal ini pertama kali dimulai
pada suatu gerakan yang tidak pernah berakhir pada golongan tingkat atas
dari masyarakat Banjar, yaitu perebutan perampasan kekuasaan (usurpation), persaingan kekuasaan, tipu daya (intrik) dan faham mengutamakan golongan sendiri (factinalism) menjadi
sangat lemah dan terjadinya kekacauan sebagai suatu akibat selanjutnya.
Abad ke- 17 adalah masa memuncaknya perdagangan lada. Pada masa abad
tersebut, perdagangan lada merupakan satu-satunya komoditi ekspor
kerajaan Banjar. Perkembangan perdagangan ini meyebabkan terjadinya
perubahan-perubahan politik dan pemerintahan. Para penguasa (the ruling class) berusaha
dengan cepat untuk memperoleh tanah yang lebih luas dalam bentuk tanah
apanase yang dijadikan wilayah penguasaan penanaman lada. Penanaman lada
ini dapat berkembang dengan didorong oleh kedatangan para pedagang dari
Jawa yang membawa kapal-kapal mereka dengan modal besar. Kedatangan
para pedagang ini menjadikan ramainya dunia perdagangan kerajaan Banjar.
Besarnya volume perdagangan lada menyebabkan kekayaan yang melimpah
bagi golongan penguasa politik dan perdagangan. Kekuasaan politik dan
perdagangan merupakan haknya golongan bangsawan dan bukan hak milik
rakyat. Kekayaan mendominasi karakteristik tingkah laku bagi golongan
penguasa, yang merupakan penguasa politik dan perdagangan dan penguasa
perkapalan. Kekayaan menyebabkan seseorang memperoleh kekuasaan politik
atau mempunyai pengaruh dalam bidang politik yang mempunyai golongan
penguasa, dan justru sebagai golongan penguasa akan menghasilkan
kekayaan, karena penguasalah yang mempunyai monopoli dalam bidang
perdagangan lada dan perkapalan. Perubahan ini menyebabkan pengaruh yang
besar bagi sistem politik dan pemerintahan, karena sejak itu golongan
bangsawan yang sangat kaya-kaya lebih berkuasa daripada raja. Para
bangsawan atau para Pangeran bertingkah laku terhadap rakyatnya dengan
menganggap dirinya sebagai penguasa raja, yang mempunyai kekuasaan
absolut dalam wilayahnya. Para pangeran juga mempunyai pengaruh besar
dalam perundingan-perundingan perdagangan dan kadang-kadang kepentingan
para pangeran ini lebih menonjol daripada kepentingan politik negara.
Bagi pedagang luar negeri terutama bangsa Belanda, kekuasaan absolut
dari golongan aristokrat ini sangat merugikan mereka. Dan itu
pula sebabnya Belanda tidak dapat memperoleh hak monopoli lada dalam
kontrak yang di buat saat itu. Dewan Mahkota (The Royal Council)
yang terdiri dari keluarga raja, golongan aristokrat, para pejabat
tinggi, pegawai rendahan seperti Kiai mempunyai kekuasaan besar untuk
menentukan situasi politik, ekonomi dan perdagangan negara. Raja tidak
dapat melakukan suatu tindakan atau langkah tanpa izin atau persetujuan
Dewan Mahkota terutama yang menyangkut pembicaraan dengan
pedagang-pedagang asing. Dalam abad ke-17 pedagang asing yang datang dan
meramaikan perdagangan kerajaan Banjar; orang Cina, Siam, Johor, Jawa,
Palembang, Portugis, Inggeris dan Belanda. Komoditi perdagangan terdiri
dari emas, permata, lada, cengkeh, pala camphor, kulit buaya, mutiara,
rotan, besi dan lain-lain. Kerajaan Banjar mengimpor; batu akik merah,
rantai akik merah, gelang, benda-benda porselen, beras, morphin, garam,
gula, tawas, pakaian dan sebagainya. Aktivitas pelayaran dan perdagangan
Banjar dalam abad ke- 17 melintasi sampai Cochin Cina dan Aceh.
Aktivitas pelayaran dan perdsagangan ini dibiayai dengan modal para
golongan penguasa (the ruling class). Dengan pertumbuhan
perdagangan dan adanya kontrak-kontrak dengan perdagangan luar negeri,
memerlukan orang asing untuk menduduki jabatan syahbandar. Syahbandar adalah
orang asing yang mengerti tata cara perdagangan dan memahami bahasa
asing. Syahbandar pertama dari kerajaan Banjar adalah seorang Gujarat;
Goja Babouw dengan gelar Ratna Diraja. Sebuah kontrak perdagangan yang
diadakan antara kerajaan Banjar dengan Belanda diselesaikan melalui
pengaruh tokoh Syahbandar Ratna Diraja Goja Babouw dan ditanda-tangani
oleh Sultan (1635).
c. Sistem politik dan Pemerintahan pada masa Sultan Adam Al Wasik Billah (1826-1857) 1) Pembagian Teritorial Kerajaan Banjar
Dalam
hal ini terlihat adanya tiga jenis pembagian dalam wilayah kerajaan
Banjar, meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik
dan pemerintahan dalam kerajaan. Tiga jenis teritorial itu adalah :
- Negara Agung
- Mancanegara dan
- Pasisir
Istilah
tanah seberang tidak dipergunakan dalam terminologi kerajaan Banjar,
tapi bagaimanapun juga pembagian dengan cara ini juga diterapkan.
Wilayah kerajaan Banjar, meliputi titik pusat, yaitu istana raja di
Martapura dan berakhir pada titik luar dari daerah Landak ke Berau. Daerah Martapura sebagai sebuah wilayah pertama
dan pusat pemerinahan di mana Sultan berada. Dalam perjalanan sejarah
dapat dipelajari bahwa ketetapan wilayah tidak dapat dilihat dengan
jelas dengan batas yang tetap. Ketetapan ini sangat dipengaruhi oleh
keadaan yang tidak stabil dan ketetapan batas yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya kekuasaan atau menurunnya kekuasaan Sultan dan juga pengaruh dari golongan penguasa (the ruling class) saat
itu. Ketika daerah kerajaan Banjar menjadi lebih kecil dalam tahun
1787, yang hilang direbut Belanda, dan daerah ini makin berkurang pada
tahun 1826 dibandingkan dengan wilayah kerajaan abad ke-17, hanya
tinggal wilayah yang dihuni oleh kelompok etnik suku Banjar di bawah
pemerintahan Sultan Adam Al Wasik Billah. Sejak setelah penyerangan
Belanda dalam tahun 1612 yang menyebabkan penghancuran Banjarmasin dan
istana Sultan, ibu kota pindah ke Martapura. Daerah pusat kerajaan
adalah Karang Intan dan Martapura, sebagai pusat Pemerintahan dan
keraton Sultan.
Wilayah teritorial yang kedua terdiri dari :
1) Tanah Laut atau tanah rendah, sebelah Barat Meratus, sebelah Selatan Banjarmasin.
2) Daerah Banjar Lama dengan Pelabuhan Banjarmasin.
3) Banua Ampat, yaitu daerah Banua Padang, Banua Halat, Parigi dan Gadung di daerah Rantau.
4) Margasari
5) Alai
6) Daerah Amandit
7) Banua Lima yang terdiri dari daerah Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua
8) Muarabahan dan
9) Dusun, nama umum untuk daerah atas Barito.
Teritorial ketiga terdiri dari :
1) Tanah Bumbu
2) Pulau Laut
3) Karasikan
4) Pasir,
5) Berau dan Kutai dan pantai Timur
6) Kotawaringin
7) Landak
8) Sukadana dan Sambas dan pantai sebelah Barat.
Ketiga
teritorial ini dikenal sebagai wilayah kekuasaan Kerajaan Banjar. Semua
wilayah tersebut membayar persembahan dan upeti. Semua daerah tersebut
tidak pernah tunduk karena ditaklukkan, tetapi daerah-daerah itu
mengakui di bawah kerajaan Banjar, kecuali Pasir yang ditaklukkan tahun
1636 dengan bantuan armada kapal Belanda. Penanaman pengaruh Banjar
terhadap daerah-daerah sebagian dilakukan melalui perkawinan politik
atau dengan kolonialisasi. Politik terakhir ini dilakukan terhadap
daerah Tanah Bumbu dan Kotawaringin. Dalam wilayah kerajaan Banjar
seperti daerah sungai, sungai dengan cabang-cabangnya, danau, sungai di
pedalaman, gunung-gunung, pegunungan. pulau di danau, sering di
pergunakan sebagai indikator untuk penentuan batas wilayah. Batas alam
seperti ini tetap dipergunakan dalam kontrak dengan Belanda dalam tahun
1826 (juga Contract 18 Maret 1845).
2) Struktur Politik dan Sistem Sosial
Sebagai sebuah masyarakat tradisional masyarakat Banjar, mengenal dua golongan besar. orang Jaba, yang
merupakan golongan terbesar dalam masyarakat, terdiri dari petani,
tukang, pedagang, nelayan sungai; golongan teratas adalah para bangsawan dan golongan pejabat birokrasi. Sultan
Adam yang berkuasa antara tahun 1826-1857 mempunyai hak prerogatif
dalam masalah-masalah politik dan agama. Hal ini tertulis dalam hukum
yang ditulis tahun 1835 yang dikenal sebagai Undang-undang Sultan Adam.
Dibawah Sultan Adam dan Sultan Muda atau Pangeran Ratu dari anggota
kelompok keturunan Sultan, hanya dua orang yang termasuk dalam
organisasi administratif, namanya Sultan Muda dan Pangeran Mangkubumi. Pangeran
Mangkubumi adalah kepala dari pusat birokrasi. Fungsi pengadilan agama
dijalankan oleh : Hakim Besar, yang terdiri dari : Kepala Qadi Kepala Mufti, dan Kepala Chalifah. Dibawah Mangkubumi adalah kelompok kepala yang dikenal sebagai Mantri yang memperoleh titel dalam tingkatan hierarkis seperti : Adipati Tumenggung Kiai Demang Aria Ngabehi Pembakal dan Neyarsa.
Menurut komisaris Belanda Van der Ven dalam tahun 1857, masyarakat Banjar terdiri dari 6 kelas :
1) Raja dan kaum bangsawan
2) Golongan ulama
3) Pemimpin rakyat
4) Rakyat umum
5) Orang berhutang
6) Budak
Raja merupakan hierarkis sosial yang
teratas, dan disamping sebagai kepala negara dan golongan bangsawan,
juga sebagai kepala golongan famili kerajaan yang disebut : Tutuha Bubuhan Raja-Raja. Dia menghadiahkan pada keturunannya gelar-gelar seperti : Pangeran, Gusti dan Ratu. Dia
juga memberi hak kepada mereka ini hadiah tanah dan sebagian besar dari
penghasilan yang diperoleh dari tanah apanase, disamping penghasilan
dari hak-hak istimewa lainnya dan hak dalam perdagangan. Bangsawan yang
lebih rendah menggunakan gelar seperti : Raden, Anden dan Nanang. Keturunan
Nanang dari Kiai Adipati Danurejo di Banua Lima mempunyai kekuasaan
besar selama pemerintahan dua sultan terakhir kerajaan Banjar dan
terakhir sebagai Regent Belanda selama permulaan abad ke-20. Orang-orang
pimpinan terkemuka dalam birokrasi yang terendah adalah pimpinan dari
rakyat, merupakan hierarkis politik yang terbawah adalah Pambakal
atau kepala kampung. Dia dibantu oleh Pangerak dan Panakawan. Beberapa
kampung dapat membentuk sebuah sub-distrik, yang dipimpin oleh Lurah dan
beberapa sub-distrik membentuk distrik yang dipimpin oleh Lelawangan.
Tiap-tiap penduduk kampung terdiri dari satu atau beberapa kesatuan
famili, yang disebut bubuhan. Ikatan adat adalah sangat kuat dan fungsi
bubuhan adalah berfungsi sosial ekonomi dan faktor pertahanan. Dalam
sistem bubuhan, tetuha-tetuha bubuhan adalah orang-orang pemimpin yang
sangat penting dan dia sebagai tetuha memikul tanggung jawab untuk
kepentingan dan kelakuan tidak senonoh dari anggota bubuhannya. Wibawa
kerajaan Banjar didasari pada sistem bubuhannya, disamping legitimasi,
penguasa warisan kekayaan, kehormatan dan kharisma.
3) Sistem Apanase dalam Kerajaan Banjar
Sultan
mempunyai hak umum terhadap tanah, dimana dia menentukan dengan
ketatapan hukumnya atas penguasaan pemilikan dan penggunaan atas tanah.
Sultan juga mempunyai hak untuk mengatur produksi yang dihasilkan dari
penggarapan tanah sesuai dengan adat kerajaan turun temurun. Hak untuk
menetapkan produksi tanah oleh raja tersebut, sesuai dengan hukum yang
tidak tertulis. Dalam hal tanah apanase yang diberikan raja, kepada
anak-anaknya, atau familinya, bahwa hak atas tanah yang diberikan raja,
harus dilihat sebagai pemberian-penggantian gaji dan tidak seperti
pengertian pembayaran keuangan atau gaji terhadap tugas mereka.
Raja
sebagai Tutuha Bubuhan mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk
kepentingan keluarga besarnya. Tanah sebagai pembayaran gaji orang Jawa
yang diberlakukan di Mataram yang kemudian disebut tanah bengkok, tidak
dikenal dalam terminologi ini. Sejak tahun 1826 kerajaan Banjar hanya
wilayah tanah tempat tinggal kelompok etnis suku Banjar, yang terdiri
dari daerah inti dan bagian dari daerah luar Hulu Sungai dan dusun
dengan pengunungan Meratus pada batas sebelah barat dan utara sejauh
sumber mata air sungai-sungai Paku, Sihong dan Nappo dan Gunung Luang.
Semua daerah ini yaitu daerah inti dan daerah luar dibagi dalam 2 (dua)
daerah teritorial. Sebagian adalah daerah pajak milik Sultan, dan bagian
lain dibagi atas daerah apanase kerajaan, diberikan kepada keluarga
dekat Sultan. Daerah Sultan tersebut adalah sebagian dari Banjar,
Martapura, Alai, Amandit, Benua Empat dan Banua Lima. Pajak merupakan
penghasilan negara (penghasilan raja pribadi) berupa : pajak pemberian,
bea, retribusi padi, pajak tanah, zakat, fitrah, retribusi emas dan
tambang intan, pembuatan perahu dan buruh kerja untuk keraton. Pajak ini
semua dapat dibayar dengan uang atau dalam bentuk natura. Pajak
pemberian (poll-tax) ada dua jenis : a) Baktin, yaitu pajak berupa buruh-kerja b) Nadar, yaitu
pajak tanpa buruh-kerja Jumlah uang nadar adalah f 5,60 untuk
pembayaran pajak yang sudah kawin, dan f 2,90 untuk yang tidak kawin
perorangan. Jumlah uang baktin f 2,60 untuk yang kawin. Di luar Banua
Lima pajak tersebut berjumlah f 2,-, kecuali orang-orang Martapura
adalah bebas dari jenis pajak (poll-tax) ini. Kampung-kampung
Dayak yang dihuni kelompok etnis suku Dayak berkewajiban membayar tiap
tahun berupa pembayaran upeti. Buruh-kerja tidak sama untuk kategori
tiap daerah, sebagai contoh : buruh-kerja untuk orang-orang Martapura
terdiri hanya tenaga kerja pengayuh “Perahu ketangkasan” raja
atau famili kerajaan. Banua Lima diperintahkan untuk menyampaikan tiap
tahun 200 orang laki-laki untuk kegiatan keraton dan tiap 40 orang
laki-laki dari jumlah tersebut akan melakukan kewajiban dua bulan
sebagai pengawal kehormatan keraton. Penduduk daerah Kandangan
bertanggung jawab untuk memelihara kuda-kuda Sultan, yang dipergunakan
pada musim perburuan tiap tahun dari perburuan kerajaan. Cukai retribusi
untuk barang-barang adalah sepersepuluh dari harga barang-barang
komoditi, kecuali garam. Retribusi padi tidak pernah dipungut tapi dalam
bentuk zakat. Seluruh daerah membayar zakat, kecuali kampung-kampung
suku Dayak.
( Bersambung ke Bagian 3 )
Sumber : Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar