Basyair Melayu Banjar juga hadir di Youtube, Kunjungi kami di https://www.youtube.com/channel/UC7DD_EHfum0_OPl-pAxI-bw dan subcribe untuk mendapatkan upload terbaru dari kami, atau Search Ketik " Syair Banjar " di Youtube

Senin, 06 Februari 2017

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 9)

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 9)


1. Pangeran Antasari dan Kerajaan Muning
Pangeran Antasari adalah seorang putera hasil perkawinan antara Pangeran Masohut dengan Gusti Hadijah puteri Sultan Suleman. Kakeknya adalah Pangeran Amir yang dibuang ke Srilangka akibat dari pertentangan antara Pangeran Amir yang ingin mengambil hak atas tahta yang sah dengan pihak Sultan Nata Alam. Dengan bantuan Belanda, Pangeran Amir dikalahkan dan mengalami nasib dalam pembuangan ke Srilangka (1787). Kematian Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bergelar Ratu Anom (1759-1761) pada saat Pangeran Amir salah seorang puteranya masih belum dewasa. Pangeran Amir berserta saudara-saudaranya Pangeran Abdullah dan Pangeran Rahmat ditinggalkan orang tuanya dalam status belum dewasa. Sesuai dengan tata aturan kerajaan saat itu pemerintahan dipegang oleh Wali Sultan oleh pamannya Pangeran Nata Alam. Ambisi untuk merebut kekuasaan dari keturunan yang sah menyebabkan ketiga bersaudara putera-putera Sultan Muhammad Aliuddin tersingkir. Untuk merukunkan kedua pihak keluarga ini dilakukan oleh Sultan Suleman dengan cara mengawinkan puterinya dengan Pangeran Masohut anak dari Pangeran Amir. Pangeran Masohut juga dijadikan anggota dari Dewan Mahkota yang berfungsi sebagai Dewan Penasihat terhadap Sultan. Disamping itu juga Pangeran Masohut diikut sertakan dalam berbagai kegiatan politik seperti ikut menanda tangani beberapa perjanjian politik dengan pihak Belanda. Selanjutnya Sultan Suleman mengawinkan cucunya Sultan Muda Abdurrahman dengan Ratu Antasari adik dari Pangeran Antasari. Sultan Muda Abdurrahman adalah putera mahkota, calon sultan kalau nanti Sultan Adam meninggal. Seandainya Ratu Antasari ini panjang umurnya, maka generasi yang sah dari keturunan Sultan Kuning atau Sultan Hamidullah akan berlanjut kembali, tetapi kenyataannya berbeda karena Ratu Antasari lebih dahulu meninggal sebelum memberi keturunan. Pangeran Antasari tinggal di kampung Antasan Senor Martapura. Dia adalah seorang sederhana yang tidak terpandang sebagai layaknya seorang bangsawan. Sebagai bangsawan yang tidak dikenal dia hanya memiliki tanah lungguh (apanage) di daerah Mangkauk sampai daerah Wilah dekat Rantau yang berpenghasilan hanya f.400 setahun. Penghasilan ini tidak mencukupi keluarganya sebagaimana seorang bangsawan saat itu. Ia dianggap sebagai orang yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa tanpa penonjolan sifat-sifat yang menunjukkan ia seorang pemimpin, hidup terlupakan ditengah-tengah rakyat biasa dan saat itu telah berumur sekitar 50 tahun. Tetapi pada saat yang paling menentukan,saat situasi sewenang-wenang, campur tangan Belanda yang menodai tradisi, serta masuknya budaya barat yang merusak norma-norma agama Islam, ternyata Pangeran Antasari adalah seorang tokoh yang paling diharapkan. Dia ternyata seorang ahli siasat dan strategi, kecerdasan otak yang tinggi dan memiliki keberanian yang tinggi dan memiliki keberanian yang mengagumkan. Gerakan Muning yang muncul kemudian erat sekali dengan kepemimpinannya dan Pangeran Antasari pula yang memberi semangat patriotisme untuk mengusir penjajah Belanda yang mencampuri urusan dalam Kerajaan Banjar. Gerakan Muning muncul di daerah Banua Ampat di kampung Kumbayau dekat Lawahan sekarang. Daerah Muning terdapat sepanjang Sungai Muning dan induk sungainya bermuara di Sungai Negara atau Sungai Bahan. Sungai Tapin yang ada sekarang saat itu belum dikenal. Selain Banua Lima, maka daerah Banua Ampat ini merupakan gudang padi Kerajaan Banjar. Daerah ini, merupakan daerah rawa daerah aliran pasang surut. Rakyatnya hidup dari hasil sawah disamping mencari ikan air tawar. Daerah Muning pada mulanya adalah tanah lungguh apanase yang dimiliki Pangeran Prabu Anom putera Sultan Adam tetapi setelah Pangeran ini dibuang ke Jawa, daerah Muning dirampas oleh Sultan Tamjidillah. Di daerah yang berawa-rawa inilah terletak kampung Kumbayau yang saat itu hanya terdiri kurang lebih 23 buah rumah. Disalah sebuah rumah tersebut tinggalah seorang tua yang bernama Aling. Pada masa mudanya Aling merupakan perampok sungai yang paling ditakuti. Namun sekarang dia telah tobat, menjalankan amal kebaikan dan menjadi seorang yang saleh dan taat pada ajaran agama Islam. Akhirnya dia dikenal karena kesalehannya. Ketika Belanda melantik Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan kerajaan, Pangeran Antasari meminta kepada Aling yang saleh itu untuk melakukan tapa dan mohon kepada Allah SWT agar diberi petunjuk apa yang akan terjadi dan bagaimana harus berbuat menghadapi Kerajaan yang tidak menentu itu. Sejak itu Aling melakukan tapa dengan berpuasa, berzikir, dan shalat terus menerus agar diberi petunjuk oleh Allah Yang Maha Kuasa, selama 9 bulan, 9 hari. Khalwat atau tapa ini dimulai sejak akhir bulan April 1858 dan berakhir pada awal Februari 1859. Aling dalam melakukan shalat dan zikir tersebut dengan menggunakan 5 buah mata uang yang sama besarnya dan nilainya dan dipindah-pindahkannya antara kedua tangannya berganti-ganti. Pada 10 Rajab 1275 Hijriah atau 2 Februari 1859 Aling menerima petunjuk dengan mendengar suara yang tidak diketahui dari mana datangnya. Ceritera tentang Aling diinformasikan oleh anaknya Sambang kepada Residen J.J. Meijer yang waktu itu menjadi Residen di Banjarmasin. Suara itu berbunyi dalam bahasa Banjar sebagai berikut : “Ikam nang baamal dengan kesukaan aku, akan parmintaan ikam mandapat nagri dan pagustianikam batatap, kardjaakan, barbunyian, mau raja-raja gaib manolong ikam, sakira-kira jadi salamat nagri dan rajapun tatap. Tatapi Pangeran Antasari ikam aturi ka Muning”.140 Dalam bahasa Indonesia berarti : “Engkau yang melakukan amalan zikir, Shalat serta puasa dengan kesukaan atau izinku, akan segala permintaan engkau untuk mendapat negeri dan raja-raja yang bertahta, bunyikanlah bunyi-bunyian. Anakmu yang bisa menari gandut, suruh menarikan gandut dilaksanakan, maka raja-raja gaib akan menolong kamu, sehingga menjadi selamatlah negeri, dan rajapun akan duduk di atas tahta. Tetapi Pangeran Antasari kamu mohon datang ke Muning”. 141
140 J.J. Meijer, Voor Beratib Jaren te Bandjermasin, Iets Over Panembahan Moeda, Sultan Kuning en Goesti Kasran, Figuren Uit Den Bandjermasinchen Opstand 1859, I.G. Tijrib I, 1899, hal. 66-67. 141 M. Idwar Saleh, Pangeran Antasari dan Gerakan Muning, dalam Kalimantan Scientiae, No. 17 Th. VII, Januari 1988, hal. 29.
Perintah dari suara halus itupun segera dilaksanakan. Bunyi-bunyian dengan tarian gandut dilaksanakan pula. Pada tanggal 13 Rajab 1275 atau 17 Pebdruari 1859, anak Aling yang perempuan bernama Saranti kesurupan. Dalam keadaan kesurupan itu Saranti mengaku sebagai Puteri Junjung Buih, yaitu Ratu Mitos dalam periode Negara Dipa. Dia mengeluarkan suara : “Apakah ayahnya ingin anaknya selamat atau mati. Kalau ayahnya ingin supaya anaknya selamat, kawinkanlah dia dengan Dulasa, sebab dia akan dijadikan Ratu Junjung Buih dan suaminya akan menjadi Pangeran Suryanata”. Puteri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata adalah pasangan Raja dan Ratu pada periode Negara Dipa, cakal bakal dari raja-raja Banjar. Perintah ini segera dilaksanakan. Saranti dikawinkan dengan Dulasa dan dijadikanlah sebagai Puteri Junjung Buih dan suaminya menjadi Pangeran Suryanata. Maka terbentuklah “Kerajaan Muning”. Selanjutnya Ratu mengorganisir pemerintahan “Kerajaan Muning”. Ayahnya Aling diangkat dengan Gelar Panambahan Muda, kakaknya yang paling tua yang bernama Sambang mendapat gelar Sultan Kuning. Sultan Kuning adalah gelar dari Sultan Hamidullah. Raja Banjar abad ke- 17 dan periode Sultan ini dikenal sebagai masa yang paling aman, dan kemakmuran meningkat, disamping itu Sultan Kuning adalah nenek moyang garis keturunan yang sah dalam tradisi raja-raja Banjar, dan Muning dari Pangeran Antasari. Saudara perempuan Saranti yang tertua bernama Nuriman diberi gelar Ratu Keramat sedangkan suami Nuriman diberi gelar Khalifah Rasul. Anak laki-laki Aling yang kedua bernama Usang diberi gelar Kindu Mui, yaitu nama salah seorang Mantri yang terkenal dalam pemerintahan Ratu Anum dalam Keraton Negara Daha. Saudara sepupunya yang laki-laki diberi gelar Pangeran Mangkubumi Kesuma Wijaya, sedangkan sepupunya yang perempuan diberi gelar Siti Fatimah. Ratu Puteri Junjung Buih juga mengangkat empat orang Mantri baru dengan gelar-gelar yang dikenal pada masa Keraton Negara Daha, Pangaruntun Manau, Pangaruntun Waluh, Panimba Sagara dan Pambalah Batung. Selain itu ada lagi Mantri yang bergelar : Mindu Aji, Kindu Sara dan Bayan Sampit.
Sebagai Panglima ditunjuk Panglima Sijuntai Langit dan wakilnya Siti Fatimah. Kemudian desa Kumbayau diganti menjadi Tambai Mekkah atau Serambi Mekkah. Setelah aparat kerajaan terbentuk dan semua Mantri sudah lengkap dari “Kerajaan Muning”, maka Panambahan Datu Aling mengibarkan dua buah bendera kuning dan memakai sebuah payung kuning kebesaran. Panambahan Muda Datu Aling dikenal sebagai orang yang seringkali dimasuki muakal dan pengikutnya menyebutnya sebagai “Raja Keramat”. Datu Aling telah dikirim Tuhan untuk menyelamatkan Kerajaan Banjar dari ketidakadilan dan kemungkaran, dan akan menyerahkan tahta kerajaan Banjar kepada yang berhak. Tugas ini harus dilaksanakan dalam waktu tiga bulan. Setelah tugas itu selesai maka semua unsur pejabat kerajaan yang telah dibentuk tidak berfungsi lagi dan mereka kembali menjadi orang Kumbayau seperti semula. Dalam proses penyerahan tahta ini menurut Datu Aling, Orang Belanda tidak perlu dibunuh sebab mereka nantinya akan keluar dari Kerajaan Banjar dengan sendirinya. Keluarga “kerajaan” ini memang memperlihatkan kesaktiannya, sehingga dengan cepat dikenal oleh seluruh desa dan bahkan desa-desa yang jauhpun ikut mengatur sembah ke Kumbayau. Ratu Keramat mengancam kepada mereka yang tidak mau tunduk kepada perintah “Kerajaan” akan ditimpa penyakit kuning dan marabahaya, terutama penyakit kena wisa. Tuhan telah memberi kekuatan pada Datu Aling, sehingga dapat menguasai hidup dan mati orang, dan bagi mereka yang menjadi pengikutnya akan menjadi kebal tubuhnya. Begitu pula Tuhan memberikan tenaga gaib kepada Puteri Junjung Buih yang dapat menghidupkan kembali orang yang mati dengan menyentuh jakunnya. Orang yang telah dihidupkan kembali ini adalan Muna, Andin, Lanting, dan Belakup. Untuk melengkapi sarana ibadah, Datu Aling yang juga bergelar Raja Keramat memerintahkan mencari sebidang tanah untuk mendirikan sebuah masjid. Tanah yang telah dipilih untuk dijadikan lokasi masjid itu adalah sangat suci dan dapat dijadikan untuk keperluan sesuai dengan tujuan yang diinginkan, umpama dijadikan jimat. Pembukaan masjid akan dilakukan pada tanggal 1 Ramadhan atau 04 April 1859 dan akan diresmikan oleh Raja Keramat sendiri.
Berita tentang Kerajaan Muning ini tersebar luas dalam waktu yang singkat dan hampir semua desa dalam daerah Banua Ampat bahkan Di luar Banua Ampat juga mengakui kekuasaan Kerajaan Muning, antara lain : Banua Gadung, Banua Atas, Rantau, Banua Padang, Batang Hulu, Kandangan, Jambu, Amandit, Bamban dan Pangambau. Daerah-daerah ini memberi upeti kepada Kerajaan Muning dan mengatur sembah kepada Raja Keramat. Raja Keramat melarang kepada semua rakyat membayar pajak kepada Sultan Tamjid. Dalam tahun 1858 hasil padi dari pertanian rakyat sangat baik, sehingga rakyat merasa kehidupannya tenteram tidak terganggu dengan masalah makan. Saat itu harga beras juga murah hanya f.4 untuk 100 gantang dan satu gantang garam bisa ditukar dengan lima gantang beras. Dengan demikian tentang masalah kehidupan rakyat tidak terganggu khususnya di daerah Muning dan sekitarnya, akan tetapi rasa tidak puas terhadap pemerintahan Sultan Tamjid semakin meningkat dan dalam diri rakyat timbul gejala untuk memberontak. Situasi seperti ini diketahui oleh Residen dan Residen pada 2 April 1859 mengutus jaksa kepala Pangeran Suryawinata dan Penghulu Kepala Pangeran Muhammad Seman pergi ke Muning untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Utusan ini diikuti oleh 120 orang pengikut dan beberapa diantaranya orang Haji. Sultan Kuning menunggu tamunya 700 orang pengikut sebagian besar dengan senjata terhunus. Kedua Pangeran utusan Residen Belanda itu harus merelakan kedua pengawalnya yang membawa tombak untuk menyembah kepada Sultan Kuning. Kemudian terjadi dialog antara Sultan Kuning dengan Pangeran Suryawinata, Sultan Kuning berkata : “Apakah kalian orang Eropah (Orang kafir) dan apa tujuan kesini, tujuan baik atau tujuan jahat?” Kedua utusan Residen itu menjawab bahwa mereka Orang Islam dan tujuan kesini untuk menemui Panambahan Muda Datu Aling. Sultan Kuning mengantarkan utusan ke tempat tinggal Panambahan Muda Datu Aling.di tengah perjalanan terjadilah insiden kecil. Wakil Panglima pasukan Kerajaan Muning Siti Fatimah mencoba merampas senapan pengawal utusan, terjadilah pergumulan perebutan senjata itu.
Pangeran Suryawinata sudah mencabut keris, untung akhirnya dapat diselesaikan secara damai. Pengikut Panambahan Datu Aling makin bertambah besar dan bertambah kuat karena semua rakyat datang mengatur sembah kepadanya. Dulasa yang bergelar Pangeran Suryanata setiap hari menerima sembah dari seluruh rakyat yang datang. Dulasa suami Saranti atau suami Puteri Junjung Buih, merasa dirinya tidak pantas mendapat peghormatan tinggi dari semua orang, dia adalah orang desa yang terbiasa sebagai orang kecil. Perasaan ini pada suatu hari mencapai puncaknya dan akhirnya dia lari dari lingkungan yang penuh penghormatan lari ke daerah tambang batu bara Oranje Nassau di Pengaron. Kalau kita memperhatikan unsur-unsur yang mendominasi gerakan Muning ini maka jelas bahwa Gerakan Muning ini termasuk Gerakan Nativistis.
Unsur-unsur nativisme ini dapat diketahui dari hal-hal berikut :
a. Gerakan ini berusaha untuk memperbaiki adat lama kerajaan dan segala kebiasaan sebagai kebudayaan kerajaan asal Banjar.
b. Menghapuskan segala dominasi Barat yang masuk, baik politis, ekonomis, dan kultural.
c. Pemerintahan harus dipegang oleh dinasti lama, dan diberikan kepada keturunan yang berhak.
d. Pemerintahan yang sekarang dipandang sebagai pemerintah dominasi Belanda.
Gerakan ini sangat diwarnai oleh unsur-unsur magis, pemujaan nenek moyang, kultus kekebalan dan sebagainya. Gerakan ini juga bersifat messianistis, karena Datu Aling sebagai orang yang diutus Tuhan bertugas untuk memperbaiki ketidak adilan. Akan tetapi Datu Aling bukanlah messias yang ditunggu atau sebagai Ratu Adil yang dinanti-nantikan. Keinginan seperti suasana dinasti lama rupanya berhubungan langsung dengan harapan, keadilan, keamanan, dan kemakmuran seperti terdapat dalam periode Sultan Kuning dalam abad ke- 17. Unsur-unsur agama Islam juga mendominasi dalam Faham yang timbul dari gerakan ini, seperti pergantian nama Kumbayau dengan Tambai Mekkah atau Serambi Mekkah. Nama Serambi Mekkah mengandung anggapan bahwa desa ini adalah desa yang suci. Pimpinan gerakan ini adalah Datu Aling yang dikenal sebagai orang saleh, melakukan ibadah Shalat, puasa, dan berzikir dan memimpin kegiatan di masjid yang dibangunnya. Ajaran Islam yang mempengaruhinya adalah ajaran bahwa perang menghadapi Orang Belanda adalah perang melawan Orang kafir dan mati dalam perang itu adalah mati syahid. Mati syahid adalah sorga balasannya dan perangnya adalah perang sabil.
Jadi Gerakan Muning ini ada dua faktor yang mempengaruhinya yaitu :
a. Faktor Mitos yang bersifat historis-legendaris dan
b. Faktor agama Islam yang keduanya saling mengisi.
Suatu petunjuk dari suara gaib memberitahu kepada Datu Aling bahwa Datu Aling harus memohon kepada Pangeran Antasari untuk datang ke Muning. Berita ini disampaikan Lurah Kitting kepada Pangeran Antasari pada sekitar bulan Maret 1859, meskipun tidak jelas apakah Lurah Kitting utusan dari Datu Aling. Situasi yang menghangat ini akhirnya Residen memerintahkan kepada Sultan dan Mangkubumi Nata Pangeran Hidayat untuk memeriksa soal Muning. Mangkubumi Nata Pangeran Hidayat mengutus Pangeran Antasari, Pangeran Jantera Kusuma, Pangeran Syarif Umar beserta 10 orang pengikutnya ke Muning. Ketika rombongan sampai di Tambai Mekkah terjadilah pembicaraan empat mata antara Pangeran Antasari dengan Panambahan Muda Datu Aling. Dalam pembicaraan itu Pangeran Antasari akan mengawinkan anaknya Gusti Muhammad Said dengan Saranti puteri Datu Aling, inkarnasi Puteri Junjung Buih dengan mahar 4 ringgit. Perkawinan itu terjadi tanpa kehadiran Gusti Muhammad Said. Dengan terjadinya perkawinan ini, resmilah Datuk Aling dan keluarganya masuk keluarga raja-raja Banjar dan tak seorangpun petugas Sultan berani untuk menangkapnya. Pengaruh dari hak legitimasi kerajaan ini sangat besar dan sangat ditakuti oleh rakyat biasa. Dengan Muning sebagai pusat kegiatan dan pengumpulan kekuatan, Pangeran Antasari bekerjasama dengan Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja yang merupakan wakil Mangkubumi Pangeran Hidayat di Banua Lima pengaruhnya sangat luas. Penduduk Tanah Laut dan Tumenggung Surapati dari Dusun Atas, serta kepala-kepala dusun yang berpengaruh memperkuat kesatuan dan persiapan untuk suatu perang besar.
Anak buah Pangeran Antasari dan Tumenggung Jalil mengusir semua pegawai Sultan yang menduduki posisi tempat penerimaan pajak dan cukai di Martapura, serta menahan pengiriman beras dan makanan lainnya ke Banjarmasin, Pangeran Antasari kemudian memaklumkan kepada semua rakyat bahwa pajak dipungut atas nama Mangkubumi Nata Pangeran Hidayat. Pangeran Hidayat memerintah atas wasiat Sultan Adam dan sebagai Kepala Agama. Ketika Pangeran Antasari dan Panambahan Muda Datu Aling bertemu kembali di Tambarangan 30 hari kemudian, Pangeran Antasari berkeyakinan bahwa tanpa perkawinan politikpun sebetulnya rencana perang besar sudah matang dan akan segera meletus. Pangeran Antasari telah menjadikan Gerakan Muning yang mulanya sebagai gerakan lokal di Banua Ampat menjadi sebuah gerakan regional di daerah kekuasaan Sultan dan daerah yang dikuasai Belanda. Gerakan Muning ternyata dapat mengobarkan nyala pemberontakan di seluruh daerah Kerajaan dengan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dari semua kegiatan menghadapi Belanda yang mendukung pemerintahan Sultan. Pada tanggal 6 April 1859 Mangkubumi mendapat surat dari Sultan dengan cap dan tandatangan Sultan Tamjid. Surat itu bersifat perintah kepada Kiai Bagus dan Kiai Kartawinata agar pengikutnya lebih banyak membuat kekacauan di Muning seperti yang ia lakukan beserta Kiai Dipati melakukan sebelumnya. Segala kekacauan yang timbul sebagai rekayasa Sultan itu, seakan-akan Mangkubumi sebagai penyebabnya. Dalam bulan Maret 1859 sebetulnya Sultan sudah panik dengan siasatnya. Atas nasihat Residen Sultan disarankan untuk menempati istananya di Keraton Bumi Selamat di Martapura, agar dia berada di tengah-tengah rakyatnya dan mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sebelum berangkat ke Martapura Sultan meminta kepada Residen bantuan persenjataan sesuai dengan perjanjian tahun 1826 berupa : 2 pucuk meriam, peluru selengkapnya, 40 senapan, 4 tong mesiu serta sebuah kapal jaga di muka keraton di Martapura. Semua permintaan itu ditolak Residen, karena dianggap belum perlu, dan juga tidak dengan cara demonstratif memusuhi rakyatnya sendiri. Selama sepuluh hari di Martapura, Sultan kelihatan bertambah panik. Di muka istana diperkuatnya dengan 500 pasukan bersenjata dan dipasangnya sebuah meriam. Untuk menenangkan pikirannya dia menghabiskan beberapa peti cognac sehingga raja peminum itu makin dibenci rakyatnya yang taat pada ajaran agama Islam. Selama di Martapura Sultan memanggil Pangeran Antasari dan mempertanggungjawabkan missinya ke Muning, dengan ancaman hukuman berat kalau tidak diindahkan. Perintah itu tidak dihiraukan Pangeran Antasari. Selanjutnya Sultan memerintahkan agar Mangkubumi berangkat ke Muning dan menentramkan keadaan. Pada tanggal 4 April 1859 Mangkubumi berangkat ke Banjarmasin dan melaporkan pada Residen bahwa tugas ke Muning tidak dapat dilaksanakan, berhubung bulan puasa. Dalam bulan suci Ramadhan ini orang hanya mengkhususkan beribadah menjalankan puasa dan menghindarkan diri dari pekerajaan dunia yang tidak berguna. Akibatnya usaha untuk mengamankan Banua Lima dan Banua Ampat gagal. Sementara itu di Banua Lima dan Banua Ampat terjadi pengumpulan kekuatan dan kebencian terhadap Belanda sudah mencapai puncaknya. Sementara Mangkubumi di Banjarmasin, pada tanggal 4 April1859 itu, adik Sultan Pangeran Adipati Aria Kasuma datang membawa surat Sultan memohon bantuan dengan dasar Pasal 13 Kontrak 1826. Ini adalah permintaan yang kedua kalinya. Permintaan yang kedua ini diajukan Sultan dengan dasar laporan dari Kiai Gangga Suta tentang rencana penyerbuan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau oleh Pangeran Antasari dengan kekuatan 3.000 orang prajurit. Bila Pengaron jatuh serbuan diarahkan ke Martapura. Permintaan inipun tidak disetujui Residen. Residen hanya memberi nasihat pada Sultan agar kembali ke Banjarmasin, sebab di Martapura bagi Sultan tidak aman, Permintaan bantuan ini tetap tidak dikabulkan Belanda, hanya Residen meminta nasihat pada Mangkubumi bagaimana mangatasi keadaan yang gawat ini.
Pada tanggal 6 April 1859 Mangkubumi memberi jawaban pada Residen tentang usaha yang harus ditempuh untuk mengatasi keadaan yaitu, jika :
a. Mangkubumi diperintah dari Residen untuk menyelidiki kekacauan,
b. Mangkubumi dapat memberi jaminan kepada rakyat Martapura dan seluruh kerajaan, bahwa segala keluhan dan keberatan-keberatan mereka akan didengarkan serta keinginan-keinginan mereka dipertimbangkan dengan adil dan bijaksana.
c. Dari Sultan ia mendapat pernyataan yang tuntas bahwa hanya Mangkubumi semata yang bertanggung jawab atas kekuasaan eksekutif, diperkuat dengan persetujuan dan tanda tangan Residen.
142 Situasi dalam bulan April 1859 merupakan kondisi politik yang makin memanas, gambaran suasana perang sudah diambang pintu, hanya menunggu saat yang tepat. Keadaan wilayah sangat kritis. Tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin rakyat menunjukkan gejala kewaspadaannya yang cukup tinggi. Tumenggung Surapati tokoh pimpinan Dusun Atas dari kelompok Dayak, Pangeran Kasuma yang diangkat menjadi Sultan Kerajaan Pasir, rakyat Marabahan memihak pada gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Pengikut Pangeran Antasari semakin hari semakin bertambah besar dan menjadi 6.000 orang banyaknya. Pangeran Ahmid saudara Sultan Adam dan kakek dari Pangeran Hidayatullah juga merupakan tokoh yang sangat menentang Sultan Tamjidillah. Pangeran ini dengan tergesa-gesa pergi dari Banjarmasin ke Martapura memberi kabar bahwa Belanda akan menangkap Mangkubumi bila dia ke Banjarmasin. Dengan berita ini Mangkubumi tidak pergi ke Banjarmasin hanya menulis surat pada Residen bahwa dia keberatan pergi ke Banua Lima untuk menyelesaikan kekacauan di sana. Surat itu ditulisnya pada tanggal 18 April 1859. Pada tanggal 18 April 1859 Pangeran Aminullah bertemu dengan Residen dan Pangeran ini berhasil meyakinkan Residen bahwa situasi dapat diselesaikan asal Residen mengirim dia ke Martapura untuk menyelesaikannya. Salah satu cara yang akan dilakukan Pangeran Aminullah, membujuk para pimpinan-pimpinan dan tetuha-tetuha rakyat dengan hadiah-hadiah asal Residen bersedia memberinya uang sebesar F.5.000,- Uang sebesar itu akan digunakan untuk menyenangkan hati para tetuha masyarakat itu, agar mereka dapat ditarik berpihak pada Sultan. Residen juga menugaskan pada Pangeran Aminullah agar Pangeran ini berusaha menangkap Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja. Tugas ini disampaikan oleh Commies van Volden.
142 M. Idwar Saleh, “Papper…, op.cit., hal. 43.
Selanjutnya Pangeran Aminullah memberi nasihat pada Commies van Volden sebagai berikut :
a. Bahwa seluruh lapisan rakyat membenci pada Sultan yang peminum dan pemabuk itu.
b. Ia menginginkan dikirimkannya utusan ke Muning untuk menghalangi usaha Datu Aling memperbesar pengikutnya.
c. Ia sangat tidak setuju kalau jaksa sebagai pegawai Belanda dikirim kesana, karena hal itu berarti campur tangan Belanda terhadap urusan Kerajaan.
d. Pangeran juga menasihatkan agar Residen meminta bantuan serdadu ke Jawa sebab dalam bulan Mei atau April mungkin akan terjadi pemberontakan besar untuk menurunkan Sultan Tamjidillah, serta mengangkat Pangeran Hidayat sebagai penggantinya.
143 Pada tanggal 20 April 1859 Pangeran Aminullah ke Martapura melaksanakan tugas yang dibebankan Residen kepadanya. Tetapi setelah sampai di Martapura Pangeran ini bukan menjalankan tugas yang dibebankan Residen, melainkan menyelesaikan rencana terakhir rencana pemberontakan besar dan pemusnahan tambang batu bara Kalangan. Pada tanggal yang sama di Banjar tertangkap dua orang cucu Kiai Adipati Anom Dinding Raja. Kedua orang ini telah menjumpai Mangkubumi di rumahnya di Antalanggu. Mereka menerima surat dari Mangkubumi yang ditujukan kepada Kiai Adipati Anom Dinding Raja, menugaskan pada Kiai Adipati untuk membawa turun 2.000 orang prajurit dari Batang Balangan dan Tabalong ke Martapura. Di samping itu Pangeran Antasari dengan pasukan dari Muning telah berkumpul dan siap siaga di sekitar Gunung Pamaton. Tanggal 28 April 1859 tambang batu bara “Oranje Nassau” dikepung, maka dengan demikian pecahlah Perang Banjar.
4. Perang Banjar Meletus
143 M. Idwar Saleh, ibid., hal. 47.
Pada bulan September 1858 Pangeran Aminullah telah mengirim utusan dan surat menyurat dengan tokoh-tokoh suku di Banjar di daerah kerajaan Kalimantan Barat. Salah satu diantara surat itu jatuh ke tangan Belanda. Surat berbunyi, memanggil orang-orang Banjar yang berada di luar Kerajaan Banjar untuk pulang ke negeri Banjar untuk ikut membantu perang sabil menentang pemerintahan Belanda dan Sultan Tamjidillah. Pada awal tahun 1859 berita itu tersebar luas dan diketahui oleh pemerintah Belanda di Batavia. Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan Pemerintah Belanda mengirim Kapal perang “Arjuna” lengkap dengan persenjataannya ke Banjarmasin, dan tiba di Banjarmasin pada tanggal 2 Februari 1859. Residen E.P. Graaf van Bentheim Teeklenburg Rhede berpendapat bahwa situasi tidak ada yang mengkhawatirkan, karena itu tiga hari kemudian kapal perang Arjuna di kembalikan ke Batavia. Residen berpendapat bahwa pertentangan yang ada semata-mata pertentangan dalam keluarga Sultan. Residen telah berusaha mengatasi masalah ini dan telah berhasil merukunkan kedua keluarga itu dengan cara mengawinkan putera Pangeran Hidayat dengan Puteri Bulan. Residen menganggap pertentangan telah selesai dan situasi telah normal kembali, itulah sebabnya kapal perang Arjuna dikembalikan. Setelah beberapa hari kemudian. Residen menerima laporan dari Administrator tambang batu bara Oranje Nassau, bahwa telah berkumpul 4.000 orang untuk mengangkat Sultan yang baru di Muning atau di Gunung Pamaton. Pengangkatan Sultan baru itu akan dilaksanakan pada ke 14 hari puasa atau 17 April 1859. Residen juga memperoleh laporan dari Kiai Gangga, bahwa Pangeran Hidayat telah menerima pernyataan Nyai Ratu Komala Sari, isteri Sultan Adam, yanng bunyinya mempercayakan sepenuhnya Kerajaan Banjar pada Pangeran Hidayat, karena pengangkatan Sultan Tamjid bertentangan dengan keinginan keluarga. Pangeran Hidayat beberapa kali mengadakan rapat keluarga. Dalam rapat itu dijelaskan bahwa Gerakan Muning perlu dihubungi, dan Pangeran Antasari ditugaskan untuk melaksanakannya. Pangeran Antasari diberi kepercayaan oleh Mangkubumi Pangeran Hidayat untuk menjalin kerjasama dengan Sultan Kuning dan Gerakan Muningnya, sedangkan Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja diberi kepercayaan atas pemerintahan Banua Lima. Pangeran Hidayat juga telah melakukan kegiatan mengumpulkan para tetuha masyarakat di Mangkauk dan Kalangan agar rakyat mengerti perjuangan yang dihadapi. Pangeran Hidayat telah berhasil mengumpulkan kekuatan dari tiga komponen pimpinan masyarakat. Sultan Kuning seorang tokoh elite kultural, Pangeran Antasari seorang tokoh elite aristokratis sedangkan Tumenggung Jalil, Kiai Adipati Anom Dinding Raja adalah elite birokratis. 144Dalam perkembangannya masing-masing gerakan itu berdiri sendiri-sendiri, sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah masing-masing. Tetapi gerakan sosial itu dapat digerakkan secara bersama dengan membangkitkan sentimen yang paling sensitif dan mengarahkan pada tujuan yang sama. Sentimen yang paling sensitif itu ialah sentimen agama, bahwa perang menghadapi orang kafir adalah perang sabil, perang suci, dan berjihad di jalan Allah berperang melawan orang kafir (Belanda) adalah berjuang di jalan Allah. Mati dalam membela agama melawan orang kafir (Belanda) adalah mati syahid. Mati syahid balasanya hanya sorga. Tujuan perang mengusir Belanda dan menggantikan pemerintahan yang ada (Sultan Tamjid) dengan pemerintahan yang berhak. Disamping itu kerjasama ketiga pimpinan ini adalah kerjasama yang saling menguntungkan. Pangeran Antasari sebagai seorang bangsawan yang dilupakan, hidup sederhana di tengah-tengah masyarakat kaum jaba. Berkepribadian luhur muncul sebagai pimpinan yang ditakuti Belanda dan ditaati perintahnya oleh suku Banjar dan Dayak. Sultan Kuning pimpinan Gerakan Muning yang sedang termasyhur dengan pengikut yang banyak mempunyai semangat juang yang tidak kenal menyerah, merasa beruntung dapat bekerjasama dengan Pangeran Antasari. Kerjasama ini dapat mengangkat wibawa dan kharismanya sebagai pimpinan tradisional yang baru. Pangeran Antasari juga merasa beruntung dapat bekerjasama dengan Pangeran Kuning, karena pengikut Gerakan Muning dapat digerakkan untuk mencapai tujuan bersama, mengusir Belanda dan mengganti pemerintahan Sultan Tamjidillah.
144 Tamny Ruslan, op.cit., hal. 84.
Bergabungnya Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja karena Jalil berada di pihak Mangkubumi Pangeran Hidayat, untuk bersama-sama melancarkan serangan terhadap Belanda dan menggantikan Sultan Tamjidillah. Dengan meningkatnya pergolakan rakyat Banjar, akhirnya Belanda menyadari akan bahaya yang akan menimpa. Usaha Belanda dengan melalui Mangkubumi Pangeran Hidayat, ternyata juga gagal, karena Pangeran Hidayat sebetulnya berpihak pada rakyat. Salah satu usaha Belanda untuk menyelesaikan masalah adalah dengan mendatangkan bantuan dari Jawa. Kolonel Andresen memimpin bantuan dan langsung mengambil alih pemerintahan Residen Beinthein yang dianggap terlalu lemah dalan menjalankan tugasnya. Pengaruh golongan ulama sangat besar dalam membangkitkan semangat berjuang menghadapi Belanda sebagai berjihad di jalan Allah. Seluruh rakyat taat pada petuah kaum ulama, bahwa perang menghadapi Belanda adalah perang suci. Kefanatikan terhadap agama Islam ini menjadikan orang tidak takut mati. Para ulama memberikan doa-doa untuk keselamatan, jimat-jimat pelindung dari bahaya, dan para ulama bersatu menghadapi orang kafir (Belanda). Kemana pun para ulama ini pergi mereka diterima oleh rakyat, dan mereka mengerjakan shalat berjamaah. Selanjutnya para ulama ini memberikan doa-doa, syair memuji Allah dan ungkapan-ungkapan yang memberi semangat juang. Mereka selalu mengadakan shalat berjamaah, berzikir, berdoa yang akhirnya menimbulkan semangat juang dan keberanian yang mengagumkan. Mereka para pengikut yang akan berjihad fisabilillah ini berpakaian kuning dan putih, memakai jimat ditutup kepala, dengan parang bungkul dan tombak yang tajam. Disamping melakukan, shalat, berpuasa, berzikir dan berdoa, mereka juga melakukan latihan perang-perangan. Dengan mata tajam, mereka berdiri di depan bayonet dan di medan pertempuran dengan tombak yang panjang. Hanyalah kematian yang dapat menahan semangat juang mereka.145
145 Gids, De Bandjarmasinsche: Oorlog tot de Indische Kijgeschedenis, 1866, hal. 278, terjemahan Tunjung, “Perang Banjarmasin”.
Inilah gambaran Gerakan Muning dalam membangkitkan semangat juang menghadapi orang kafir (Belanda) menjelang penyerbuan terhadap benteng tambang batu bara Oranje Nassau.
5. Penyerbuan Terhadap Benteng Oranje Nassau
Pangeran Hidayat telah menyusun kekuatan rakyat untuk menghadapi Belanda secara menyeluruh. Pada bulan April 1859 ia menghubungi lagi Gerakan Muning. Gerakan Muning ini merupakan gerakan yang terbesar jumlah pengikutnya karena itu menjadi perhatiannya. Sementara Mangkubumi Pangeran Hidayat memperhitungkan kekuatan Belanda yang dalam bidang teknik dan persenjataan lebih unggul, Gerakan Muning mempersiapkan latihan perang-perangan dan kekuatan mental spiritual untuk menghadapi kekuatan Belanda yang dalam segi teknik lebih unggul tersebut. Siasat lain yang dipergunakan Pangeran Hidayat untuk mengimbanginya ialah dengan menggunakan teknik perang secara menyeluruh. Sekitar bulan April 1859 yaitu pada minggu pertama, Sultan Kuning mengirim 4 orang utusan menghadap kepada Mangkubumi Pangeran Hidayat untuk meminta izin menyerang benteng tambang batu bara Oranje Nassau di Pengaron. Pangeran Hidayat mengizinkannya, apa pun yang akan terjadi. Residen memperoleh informasi ini dari Ahmad yang melaporkan pada Residen tentang kegiatan Sultan Kuning yang merencanakan menyerang Oranje Nassau, berdasarkan informasi dari Lurah Dadang di Marampiau. 146Untuk mengantisipasi situasi ini Residen merasa kurang mampu. Residen hanya memiliki sebuah garnizun dibawah pimpinan Kapten L.Uhalan. Residen Andresen berusaha untuk memperoleh bantuan dari Jawa. Bantuan itu datang secara bergelombang dan diantaranya ditempatkan di Pengaron serta pos-pos yang diperkirakan dapat memperkuat pertahanan. Langkah lain yang dilakukan Belanda ialah menangkapi tokoh-tokoh yang mencurigakan gerak geriknya khususnya yang tinggal di Banjarmasin.
146 Tamny Ruslan, op.cit., hal. 88.
Mengalirnya bantuan fihak Belanda, mempercepat meletusnya pertempuran. Pangeran Hidayat memerintahkan pada Sultan Kuning dan Pangeran Antasari mempercepat serangan terhadap benteng batu bara Oranje Nassau Pengaron. Serangan ini diikuti oleh gerakan-gerakan sosial lainnya yang tersebar di seluruh Kerajaan Banjar. Pada hari Kamis 24 Ramadhan 1215 H bertepatan dengan tanggal 18 April 1859 Perang Banjar, meletus. Pada pagi hari itu sejumlah 50 orang Muning yang datang terlebih dahulu sangat bernafsu menyerbu benteng tersebut. Serangan itu semacam serangan pancingan dan kemudian mundur. Pada malam harinya yaitu malam Jumat 19 April 1859, pasukan Muning yang datang kemudian telah tiba, jumlah ribuan banyaknya. Pasukan ini bertambah besar setelah pasukan Riam Kiwa, pimpinan Pangeran Antasari tiba. Pasukan ini sebagian dikirim ke Martapura untuk memperkuat pertahanan di Martapura, sebagian lagi menyerbu benteng Belanda di Kalangan dan Tabanio. Pasukan Muning dan Riam Kiwa yang bertahan menyerbu benteng Oranje Nassau berjumlah 500 orang pasukan. Pasukan ini bertambah dengan bergabungnya 165 buruh tambang batu bara. Pasukan Belanda yang kecil jumlahnya bertahan dalam benteng. Di dalam pertempuran yang berlangsung beberapa hari jumlah korban berjatuhan diantara kedua belah pihak. Usaha menyerbu benteng itu tidak berhasil, karena itu pasukan Muning dan Riam Kiwa berusaha mengurung benteng itu dari luar, sampai persediaan bahan makanan mereka habis. Salah seorang Belanda yang berusaha keluar untuk pergi mencari bantuan ke Banjarmasin, dibunuh di desa Sungai Raya. Perhitungan ternyata meleset, sebab Belanda mampu bertahan dalam benteng sementara menunggu bantuan datang. Sementara itu pasukan Muning yang menyerbu benteng Belanda di Kalangan, Gunung Jabok, Sungai Durian dan Tabanio sebagian berhasil menghancurkan kekuatan Belanda. Semua orang Belanda di benteng Kalangan dan Tabanio dibunuh, begitu pula seorang opsir kesehatan Diepenbroek dibunuh.147
147 Gids, op.cit., hal. 279.
Untuk menghadapi serangan ini Pemerintah Belanda mengadakan konsolidasi. Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah sipil diganti dengan pemerintahan militer dan dipegang oleh Kolonel Andresen. Kolonel Andresen memerintahkan Kapten Uhalan menyerbu Martapura, sedangkan Letnan Beekman bertugas mempertahankan pos-pos yang ada. Pangeran Antasari.148 Setelah 6 minggu bertahan dalam benteng Oranje Nassau, bala bantuan Belanda tiba. Pada tanggal 15 Juni datang 250 pasukan Belanda, pasukan artileri , pasukan zeni dengan beberapa pucuk meriam untuk menolong Oranje Nassau. Kemudian dalam bulan Juni itu pula datang 9 batalyon infantri, 43 artileri dengan 4 pucuk meriam, 2 pucuk meriak kecil dan 2 montir. Selanjutnya Kolonel Andresen diangkat menjadi Panglima. Mangkubumi Pangeran Hidayat masih tinggal di Martapura dan Kolonel Andresen telah berusaha memulihkan keadaan. Siasat yang dilakukan Andresen ialah dengan menempatkan Pangeran Hidayat pada kedudukan yang sewajarnya sebagai Sultan dan menurunkan Pangeran Tamjidillah. Meskipun Andresen yakin bahwa penyerbuan terhadap kalangan dan pembunuhan terhadap 20 orang Belanda termasuk anak-anak dan wanita adalah kesalahan dan atas perintah Pangeran Hidayat, tetapi kesalahan itu dimaafkan demi terciptanya ketenteraman negeri. Andresen yakin suasana akan tenteram kembali kalau Pangeran Hidayat dijadikan Sultan, meskipun Andresen telah memperoleh 2 lembar surat perintah yang ditandatangani Pangeran Hidayat dan ditujukan kepada kaum ulama untuk bangkit melawan Belanda. Andresen selanjutnya mengadakan rapat-rapat dengan pimpinan-pimpinan rakyat agar mereka tidak memihak Pangeran Antasari yang oleh Belanda dianggap sebagai pemberontak. Andresen selanjutnya akan melaksanakan taktik dan strateginya dengan melantik Pangeran Hidayat sebagai Sultan pada tanggal 25 Juni 1859. Penyerangan terhadap Oranje Nassau dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari dibantu oleh Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan Sultan Kuning.
148 Gids, loc.cit.
Pada tanggal 30 April 1859 kekuatan rakyat telah berkumpul di sekitar Sungai Durian dekat Kalangan. Penyerbuan Kalangan, Banyu Irang dan Bangkal dilaksanakan pada 1 Mei 1859 dibawah pimpinan Pangeran Ardhi Kasuma, paman Pangeran Hidayat. Benteng Kalangan dihancurkan dan 20 orang Belanda yang menjadi korban diantaranya Wijnmalen direktur tanbang batu bara Kalangan, Ir. Motley, Opzichter School Boodt dan lain-lain. Sepasukan dari Muning yang menyerbu tambang batu bara Hermina di Sungai Durian, dan tambang batu bara di Gunung Jabok berhasil menewaskan pegawai Belanda yang bekerja di tambang itu. Sementara itu pasukan yang menyerbu benteng Tabanio bersama rakyat dibawah pimpinan Haji Buyasin telah menewaskan pejabat Gezaghebber Maurits dengan anak buahnya. Mereka menduduki benteng Belanda yang dibangun pada tahun 1790 itu.
6. Sultan Tamjidillah Turun Tahta
Rakyat mengangkat senjata secara serempak di seluruh Kerajaan Banjar. Pertempuran terjadi di Martapura, Tanah Laut, Margasari, Bakumpai dan Banua Lima. Begitu pula rakyat di Pulau Telu di sepanjang Sungai Kapuas dibawah pimpinan Pambakal Sulil. Di Pulau Petak dalam pertempuran yang sengit menewaskan 9 orang Belanda, 4 orang diantaranya pendeta Belanda. Sebagai akibat dari serangan serentak ini, maka hampir seluruh kekuatan Belanda di daerah Banjar dapat dilumpuhkan. Kaki tangan Belanda di Banua Lima, yaitu di Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua dibersihkan oleh Tumenggung Jalil bersama Pambakal Gapur, Duwahap, Dulahat, dan Panghulu Abdul Gani, sehingga Belanda kehilangan jalur komunikasi dan sulit mengetahui kekuatan rakyat. Kolonel Andresen berusaha untuk memikat hati Pangeran Hidayat. Andresen mengutus Haji Isa dan Pangeran Syarif Husein menemui Pangeran Hidayat. Usaha ini gagal. Ratu Siti Ibu Pangeran Hidayat, Pangeran Citra paman Pangeran Hidayat dan Pangeran Ardhi Kesuma, tidak setuju kalau Pangeran Hidayat memenuhi panggilan Kolonel Andresen ke Banjarmasin. Sementara itu Kolonel Andresen berusaha agar Pangeran Hidayat tidak melakukan kegiatan memimpin rakyat melawan pemerintah Belanda. Untuk menekan perjuangan rakyat Pemerintah Belanda memaklumkan keadaan perang (in Staat van Oorlog en Verzet). Pengumuman ini diperkuat dengan datangnya kapal perang Arjuna, Celebes, Montrado, Bone dan Van Os. Meskipun demikian semangat juang rakyat malah bertambah tinggi dan tidak takut menghadapi musuh yang memiliki persenjataan yang lebih baik dari mereka. Sebagai jawaban atas tekanan Belanda ini Pangeran Antasari menempatkan 500 orang prajurit di sekitar Masjid, 250 orang di sekitar rumah Residen dan sekitar 3000 orang di sekitar Keraton Bumi Selamat. Para pejuang ini didatangkan dari Banua Lima, Tanah Laut atas permintaan Pangeran Hidayat pada Tumenggung Jalil dan Demang Lehman. Usaha terakhir Kolonel Andresen dengan mengutus Penghulu Mohammad Seman untuk mengundang Pangeran Hidayat dan Pangeran Aminullah berunding di kapal perang Celebes sebagai usaha untuk mengatasi kemelut yang telah terjadi. Menyadari akan hal yang mungkin akan terjadi Pangeran Hidayat tidak bersedia datang dan dia bersama isteri, Pangeran Antasari dan isteri, Pangeran Aminullah, Pangeran Wijaya Kesuma serta pimpinan rakyat lainnya pergi ke Pengaron. Kolonel Andresen sangat marah sebab siasatnya untuk menangkap Pangeran Hidayat beserta Pangeran Aminullah telah bocor. Pada hari itu pula Andresen mengundang 80 orang bangsawan yang ada di ibukota kerajaan Martapura. Kepada para bangsawan dijelaskannya keinginannya agar Pangeran Hidayat bersedia kembali ke Martapura. Berdasarkan informasi yang diperolehnya di Martapura, bahwa rakyat tidak menyenangi pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan. Pengangkatan itu selain bertentangan dengan tradisi dan ahli waris tahta yang sebenarnya, tetapi juga melanggar wasiat Sultan Adam Al Wasik Billah yang dianggap rakyat keramat. Karena itu Andresen berkesimpulan bahwa sumber kekacauan itu berasal pada pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan.
Dengan dasar inilah Sultan Tamjidillah dengan secara paksa diturunkan dari tahta Kerajaan Banjar dan untuk sementara dipegang oleh Komisi Pemerintah Kerajaan (25 Juni 1859).
Proklamasi turunnya tahta dari Kerajaan Banjar, raja terakhir, Sultan Tamjidillah dengan alasan sebagai berikut :
1. Bahwa Kerajaan Banjar amat menderita akibat pemberontakan terhadap mahkota dan Pemerintah Belanda.
2. Agar rakyat kembali tunduk dan patuh kepada pemerintah yang sah, dengan ini Sultan menyatakan berhenti memerintah dan menyerahkan kekuasaan ke tangan Kolonel Andresen, Komisaris Gubernemen dan komandan tentara afdeling Selatan dan Timur Borneo, atas kemauan sendiri tanpa paksaan apa-apa.
3. Atas jaminan Gubernemen Hindia Belanda, bahwa bila keamanan telah kembali, mahkota akan diberikan kepada dia yang menurut hukum sebenarnya berhak atas itu dan dianggap Pemerintah Belanda sesuai pula untuk jabatan itu.
4. Sebagai hadiah kepada raja disebutkan dua helai tikar rotan, untuk patuh dan menurut kepada kekuasaan yang sah agar tenteram, aman, dan kemakmuran datang kembali.
Sementara Sultan baru belum dilantik, pemerintah kerajaan dipegang oleh sebuah Komisi Pemerintah Kerajaan yang dipimpin oleh Pangeran Surya Mataram, anak Sultan Adam, paman dari Pangeran Hidayat, dan Pangeran Muhammad Tambak Anyar, putera dari Ratu Anom Mangkubumi Kencana, sepupu Pangeran Hidayat.
Anggota Komisi Pemerintah Kerajaan itu terdiri dari :
- Pangeran Hamim
- Pangeran Ahmid
- Pangeran Dulah
- Raden Ardi Kesuma
- Pangeran Jaya Sumitra
- Kiai Patih Guna Wijaya
- Kiai Wira Yuda
- Kiai Rana Manggala
- Kiai Mangun Rasmi.
Meskipun Sultan Tamjidillah sudah diturunkan dari tahta, namun Pangeran Hidayat tidak mau kembali ke Martapura. Hal itu berarti siasat dan strategi Kolonel Andresen keliru. Suasana bukan bertambah tenang, tetapi sebaliknya serangan rakyat bertambah berani. Perang meluas ke seluruh pelosok Kerajaan Banjar. Karena itulah Kolonel Andresen digantikan oleh Mayor G.M. Verspyck yang diangkat menjadi Panglima dan Residen. Rakyat bukan saja tidak menyukai Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan, tetapi kebencian rakyat ditujukan terhadap Belanda yang mencampuri urusan pemerintahan Kerajaan. Orang Banjar lebih mencintai kemerdekaan dan kebebasan, karena itu mereka berjuang mengusir penjajah dengan semboyan “Waja Sampai Kaputing”.
7. Sultan Kuning di Sekitar Muning
Sejak pecahnya perang Banjar, tokoh pimpinan perang yang disebut-sebut dan dikenal oleh Belanda adalah Sultan Kuning dan Pangeran Antasari. Pangeran Hidayat sebagai pucuk pimpinan yang menggerakkan rakyat untuk bangkit melawan Belanda belum diketahui pihak Belanda aktivitasnya, sehingga pihak Belanda belum menaruh curiga terhadap Pangeran Hidayat. Apa yang dilakukan oleh Tumenggung Jalil di daerah Balangan adalah atas perintah Pangeran Hidayat. Pembersihan terhadap kaki tangan Sultan Tamjidillah di daerah Balangan adalah atas perintahnya pula tetapi Belanda belum merasa curiga terhadap loyalitas Pangeran ini. Pada awal perang Banjar kekuatan yang diperhitungkan oleh pihak Belanda adalah kekuatan Sultan Kuning dan Pangeran Antasari. Setelah Sultan Kuning dan Pangeran Antasari secara berurutan menghancurkan kekuatan Belanda di daerah Kalangan, Tanah Laut, Gunung Jabok, Sungai Durian dan Martapura. Belanda melakukan aksi serangan balasan. Untuk menghindarkan korban yang lebih besar, Pangeran Antasari dengan pasukannya mundur ke daerah Muara Tewe dan mengumpulkan kekuatan di daerah itu untuk kembali menyerang kekuatan Belanda. Sultan Kuning dan pasukannya tetap bertahan di daerah Muning, yaitu di daerah Tambarangan. Munggu Thayor, Margasari, Beras Kuning, Sungkai dan Banua Padang. Daerah-daerah ini adalah pusat pertahanan Sultan Kuning yang sukar ditembus Belanda. Pasukan Muning pada mulanya berkumpul di Sungkai tetapi kemudian mundur sampai di Muning. Pada akhir tahun 1859 Pasukan Belanda dipimpin oleh Kapten Benshop dan Kapten Grass menuju Muning. Daerah Muning yang terletak ditepi rawa, penuh parit terlindung hutan yang lebat menyebabkan pasukan Belanda sulit menuju sasaran. Sebaliknya bagi pasukan Sultan Kuning, kondisi alam seperti ini menguntungkan mereka sebab mereka telah menguasai medan dan mudah menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda. Pasukan Sultan Kuning berpakaian serba putih dan mereka berkeyakinan bahwa perang melawan Belanda adalah perang sabil dan berjihad di jalan Allah. Anggota pasukan ini juga memakai azimat dan minyak untuk memperoleh kekebalan dan agar terhindar dari peluru Belanda. Ketika pasukan Belanda pada tanggal 16 November 1859 tiba-tiba memasuki benteng pertahanan Sultan Kuning, pasukan Belanda kucar-kacir karena serangan yang mendadak dari pasukan Sultan Kuning. Dengan teriakan yang dahsyat dengan sebutan Allahu Akbar yang bergema di daerah hutan itu, pasukan Belanda kehilangan komando. Mula-mula muncul 20 orang berpakaian putih-putih di sela-sela semak belukar kemudian muncul 100 orang dengan teriakan Allahu Akbar menyerang pasukan Belanda. Perkelahian ini berlangsung berhadap-hadapan sehingga senjata senapan yang bawa Belanda tidak berperan. Komando pasukan Belanda Kapten Benschop tewas tertusuk tombak dalam perang berhadap-hadapan ini. Bantuan pasukan Belanda yang datang menyusul satu peleton, menyebabkan pasukan Sultan Kuning mundur dari medan pertempuran untuk menyusun pertempuran untuk menyusun kekuatan baru bersembunyi di balik pepohonan yang lebat. Pada waktu itulah kampung Muning pusat pertahanan Sultan Kuning dibakar Belanda. Meskipun demikian Belanda menghadapi perlawanan yang gigih dari Panembahan Muda Datu Aling bersama pengikutnya. Banyak rakyat yang tidak berdosa menjadi korban dari keganasan pasukan Belanda, termasuk diantaranya Panembahan Muda Datu Aling, anaknya Nuramin dan adiknya Mangkubumi Kesuma Wijaya menjadi korban terbakar. Belanda kecewa karena Sultan Kuning dan Pasukannya lolos dari pengepungan Belanda. Sultan Kuning beserta pasukannya lari ke utara dan membuat benteng pertahanan di kampung Cambooi dekat Tambarangan. Pertahanan ini diketahui Belanda dan akhirnya diserang Belanda dari tiga penjuru, dibawah pimpinan Kapten Schiff, Cochen, dan Blondeu. Serbuan pertama dilakukan oleh kapten Blondeu, tetapi pasukan Muning berhasil memukul Mundur pasukan Blondeu, bahkan Kapten Blondeu tewas kena dua buah tusukan tombak di dadanya. Serbuan kedua juga gagal begitu pula serbuan Belanda yang ketiga kalinya. Baru serbuan yang keempat yang dilakukan dari segala penjuru, berhasil menerobos pertahanan pasukan Muning. Dalam pertempuran yang cukup sengit ini dikabarkan bahwa Sultan Kuning Tewas, sebetulnya tidak. Residen G.M. Verspyck menginstruksikan pada pasukannya agar Sultan Kuning ditangkap hidup-hidup, tetapi dengan berita bahwa Sultan Kuning sudah tewas, G.M. Verspyck meminta bukti dengan membawa mayatnya ke Banjarmasin. Terbunuhnya Controleur Fuijck pada 16 Desember 1861 juga dilakukan oleh pengikut Sultan Kuning, sehingga Belanda berusaha keras untuk menangkap Sultan Kuning hidup-hidup. Melalui pejabat-pejabat agama Tuan Guru dan alim ulama yang memihak Belanda disebarkan kontra propaganda bahwa bagi mereka yang melindungi, membantu dalam bentuk apapun terhadap pasukan Muning dan Sultan Kuning akan mendapat hukuman yang keras. Selanjutnya Belanda mewajibkan pada Lurah, Pembakal, Pangeran dan seluruh penduduk untuk membantu agar dapat menangkap Sultan Kuning. Dengan cara ini Belanda berhasil menangkap Sultan Kuning pada tanggal 19 Oktober 1863 di kampung Kulur daerah Tambarangan. Sultan Kuning setelah di bawa ke Rantau, terus dibawa ke Banjarmasin. Sultan Kuning diadili dan mendapat hukuman kerja paksa selama 10 tahun.
8. Pertempuran Sekitar Benteng Munggu Thayor
Munggu Thayor (Munggu Dayor) adalah sebuah benteng yang dibangun oleh rakyat dibawah pimpinan Demang Lehman, Mohammad Aminullah dan Antaluddin serta pasukan Sultan Kuning. Benteng cukup kuat dan sangat sulit ditempuh, terletak antara Tambarangan dan Sungkai. Di dalam benteng hanya dipertahankan oleh pasukan Antaluddin, sedangkan pasukan lainnya berada di luar benteng. Demang Lehman dengan pasukannya mengintai dan memancing ketika pasukan Belanda memulai mengadakan serangan ke benteng ini. Mengetahui bahwa benteng sulit ditempuh pasukan Belanda memulai serangan ke Sungkai. Pada tanggal 28 Desember 1859, pasukan Belanda dengan 200 orang personil infantri, prajurit pendukung dengan 2 buah meriam, 2 mortir menyerang pertahanan rakyat di Sungkai. Setelah Sungkai di serang Belanda, Belanda bergerak mendekati benteng Munggu Thayor. Benteng itu mempunyai tempat pengintaian terletak di atas bukit Thayor, melalui kaki bukit itu mengalir sebuah sungai.149 Demang Lehman memancing dengan lemparan api, dan segera terjadi pertempuran yang sengit. Tiang bendera patah kena tembakan pasukan Belanda, dan kemudian disusul dengan tembakan meriam. Tembakan meriam dijawab dengan tembakan senapan yang terus menerus. Serang menyerang terhenti, karena pasukan Belanda mendapat bantuan dibawah pimpinan Kapten Grass. Pasukan lainnya dibawah pimpinan Letnan Verstege dan Epke mengitari sekitar benteng. Ternyata hanya sekitar 200 orang yang bertahan dalam benteng sedangkan pasukan yang lebih besar berada di luar. Benteng Munggu Thayor berhasil diduduki Belanda selanjutnya dijadikan Belanda sebagai benteng pertahanannya. Selanjutnya pada tanggal 30 Desember 1859, pasukan Belanda dengan 80 orang personil serdadunya menyerbu Banua Padang. Serbuan pertama gagal karena hujan turun dan penuh lumpur menyebabkan pasukan Belanda bergerak sangat lambat, disamping harus bertahan terhadap serangan rakyat. Besok harinya ketika langit cerah Kapten Schiff mengerahkan 300 orang personil serdadu dengan 3 pucuk meriam mengulangi penyerbuannya terhadap Banua Padang, Teluk Pagat, dan Banua Halat. Dalam pertempuran yang terjadi di tiga buah tempat ini pasukan Belanda mendapat serangan yang gencar dari rakyat menyebabkan Kapten Schiff harus mengambil siasat mundur dan bersembunyi diantara pepohonan yang rimbun. Hujan yang deras membantu kemenangan rakyat dimana pasukan Belanda dalam keadaan yang sangat lemah dan kekurangan bahan makanan. Kekalahan pada pertempuran di tiga buah tempat menyebabkan Kapten Schiff yang telah menduduki Munggu Thayor juga mengundurkan diri.150
149 Gids, op.cit., hal. 284. 150 Gids, loc.cit.
9. Demang Lehman dan Pangeran Hidayatullah
Demang Lehman adalah seorang panakawan Pangeran Hidayat sejak tahun 1857. dia lahir di Martapura pada tahun sekitar 1837, mula-mula bernama Idis. Oleh karena kesetiaan dan kecakapannya dan besarnya jasa sebagai Panakawan Pangeran Hidayat, dia diangkat menjadi Kiai sebagai Kepala Distrik Riam Kanan. Pada awal tahun 1859 Nyai Ratu Komala Sari, permaisuri Sultan Adam, telah menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayat, bahwa kerajaan Banjar diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan memberi bantuan kepada Tumenggung Kiai Adipati Anom Dinding Raja berupa 20 pucuk senapan. Sementara itu Pangeran Antasari dan Demang Lehman mendapat tugas yang lebih berat yaitu mengerahkan kekuatan dengan menghubungi Tumenggung Surapati dan Pembakal Sulil di daerah Barito, Kiai Langlang dan Haji Buyasin di daerah Tanah Laut. Pada awal Perang Banjar yaitu sekitar akhir bulan April 1859 Belanda memimpin kekuatan dan penggempuran di sekitar Martapura dan Tanah Laut, bersama-sama Kiai Langlang dan Penghulu Haji Buyasin. selanjutnya Demang Lehman diperintahkan mempertahankan kota Martapura, karena pusat pemerintahan Kerajaan oleh Pangeran Hidayat dipindahkan ke kota Karang Intan. Bersama-sama Pangeran Antasari, Demang Lehman menempatkan pasukan disekitar Masjid Martapura dengan kekuatan 500 orang dan sekitar 300 orang disekitar Keraton Bumi Selamat. Pada akhir tahun 1859 pasukan rakyat yang dipimpin oleh Demang Lehman, Pangeran Antasari, Tumenggung Antaluddin, Pambakal Ali Akbar berkumpul dibenteng Munggu Thayor. Demang Lehman terlibat dalam pertempuran sengit di sekitar Munggu Thayor. Belanda menilai tentang Demang Lehman sebagai musuh yang paling ditakuti dan paling berbahaya dan menggerakkan kekuatan rakyat sebagai tangan kanan dari Pangeran Hidayat. Demang Lehman menyerbu Martapura dan melakukan pembunuhan terhadap pimpinan militer Belanda di Martapura. Pada tanggal 30 Agustus 1859 Demang Lehman berangkat menuju Keraton dengan 3000 kekuatan dan secara tiba-tiba mengejutkan Belanda karena melakukan serangan secara tiba-tiba, menyebabkan Belanda kebingungan menghadapinya, hingga hampir menewaskan Letnan Kolonel Boon Ostade.151 Dalam serangan tiba-tiba ini Demang Lehman menunggang kuda dengan gagah berani mengejar Letnan Kolonel Boon Ostade. Serbuan ke Keraton Bumi Selamat ini gagal karena berhadapan dengan pasukan Belanda yang sedang berkumpul melakukan inspeksi senjata. Pertempuran sengit terjadi, sehingga anggota Demang Lehman kehilangan 10 orang yang menjadi korban, begitu pula pihak Belanda berpuluh-puluh yang jatuh korban. Sementara itu kapal perang Bone dikirim Belanda ke Tanah Laut untuk merebut kembali benteng Tabanio yang telah dikuasai Demang Lehman dalam sebuah pertempuran yang mengerikan Belanda. Ketika pasukan Letnan Laut Cronental menyerbu benteng Tabanio, 9 orang serdadu Belanda tewas, dan terpaksa pasukan Belanda sisanya mengundurkan diri dengan menderita kekalahan. Serangan kedua oleh Belanda dilakukan, tetapi benteng itu dipertahankan dengan gagah berani oleh Demang Lehman, Kiai Langlang, dan Panghulu Haji Buyasin. Karena serangan serdadu Belanda didukung oleh angkatan laut yang menembakkan meriam dari kapal perang, sedangkan pasukan darat menyerbu benteng Tabanio, Demang Lehman berserta pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan korban. Belanda menilai bahwa kemenangan terhadap benteng Tabanio ini tidak ada artinya, kalau diperhitungkan dengan jumlah sarana yang dikerahkan. 15 buah meriam, dan sejumlah senjata yang mengkilap, ternyata tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Demang Lehman. Selanjutnya Demang Lehman memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan Gunung Lawak (Tanah Laut). Benteng itu terletak di atas bukit, di setiap sudut benteng dipersenjatai dengan meriam. Pertempuran memperebutkan benteng ini terjadi pada tanggal 27 September 1859. Dalam pertempuran yang sengit dan pasukan Demang Lehman mempertahankan benteng Gubung Lawak dengan gagah berani, akhirnya mengorbankan lebih dari 100 tewas dalam pertempuran ini.
151 Gids, ibid., hal. 281.
Belanda sangat bangga dengan kemenangannya ini sehingga dilukiskannya sebagai “salah satu pertempuran yang indah di tahun 1859”. Kekalahan ini tidak melemahkan semangat pasukan Demang Lehman, sebab mereka yakin bahwa berperang melawan Belanda adalah perang sabil, dan mati dalam perang adalah mati syahid. Bahkan pasukan Kolonel Andresen banyak korban dalam perjalanan naik perahu ketika menuju ke Banjarmasin, bahkan Kolonel Andresen sendiri hampir tewas dalam serangan mendadak ini. Pangeran Antasari dan Demang Lehman mencoba mendatangkan senjata dengan cara mengirim utusan ke Kerajaan Kutai, Pasir dan Pagatan. Tetapi rupanya sudah diketahui oleh Belanda, sehingga Belanda menekan semua raja-raja yang membantu Pangeran Antasari dan Demang Lehman. Meskipun demikian Demang Lehman memperoleh sebanyak 142 pucuk senapan dan beberapa buah meriam kecil (lila), tetapi sayang ketika senjata ini dalam perjalanan diangkut dengan perahu dirampas oleh Belanda di tengah laut. Pada akhir tahun 1859 medan pertempuran terpencar dalam 3 lokasi, yaitu di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah Laut dan di sepanjang Sungai Barito. Medan pertempuran di sekitar Banua Lima dibawah pimpinan Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja, medan yang kedua dibawah pimpinan Demang Lehman, sedangkan medan ketiga dibawah pimpinan Pangeran Antasari. Pada bulan September 1859 Demang Lehman, bersama pimpinan lainnya seperti Pangeran Muhammad Aminullah, Tumenggung Jalil berangkat menuju Kandangan untuk merundingkan bentuk perlawanan terhadap Belanda dan sikap serta siasat yang ditempuh selanjutnya. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh pejuang dari segala pelosok. Dari pertemuan itu menghasilkan kesepakatan, bahwa pimpinan-pimpinan perang menolak tawaran Belanda untuk berunding.
Pertemuan menghasilkan pula bentuk perlawanan yang terarah dan meluas dengan cara :
a. Pemusatan kekuatan di daerah Amuntai.
b. Membuat dan memperkuat pertahanan di daerah Tanah laut, Martapura, Rantau dan Kandangan.
c. Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di Dusun Atas.
d. Mengusahakan tambahan senjata. Suatu sikap yang keras telah diambil bahwa para pejuang tersebut bersumpah mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar.
Mereka akan berjuang tanpa kompromi “Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing”, berjuang sampai titik darah yang penghabisan. Untuk melumpuhkan perjuangan rakyat Belanda mendirikan benteng-benteng. Di daerah Tapin, diperkuat Belanda benteng Munggu Thayor yang telah direbutnya dari pasukan Demang Lehman. Di daerah Kandangan, didirikan pula benteng dikenal sebagai benteng Amawang. Demang Lehman dan pasukannya merencanakan untuk menyerang benteng Belanda di Amawang ini. Demang Lehman berhasil menyelundupkan dua orang kepercayaannya ke dalam benteng sebagai pekerja Belanda. Informasi dari kedua pekerja ini Demang Lehman bertekad akan menyerbu benteng Belanda tersebut. Pihak Belanda memperoleh informasi bahwa rakyat telah berkumpul di Sungai Paring hendak menyerbu benteng Amawang. Dengan dasar informasi ini, pasukan Belanda dibawah pimpinan Munters membawa 60 orang serdadu dan sebuah meriam menuju Sungai Paring. Saat pasukan tersebut keluar dan diperkirakan sudah mencapai Sungai Paring, Demang Lehman menyerbu benteng Amawang pada sekitar jam 02.00 siang hari tanggal 31 Maret 1860. dengan 300 orang pasukannya Demang Lehman menyerbu benteng tersebut. Ketika pasukan Demang Lehman menyerbu, kedua orang kepercayaan yang menjadi buruh dalam benteng tersebut mengamuk dan menjadikan serdadu Belanda menjadi kacau dibuatnya. Kedua orang yang mengamuk tersebut tewas dalam benteng dan sementara itu pertempuran sengit terjadi. Pasukan Munters ternyata kembali ke benteng sebelum sampai di Sungai Paring. Datangnya bantuan kekuatan ini, menyebabkan Demang Lahman dan pasukannya mundur. Demang Lehman mundur di sekitar Sungai Kupang dan Tabihi bersama Pangeran Muhammad Aminullah dan Tuan Said. Pasukan Belanda menyusul ke Tabihi dan terjadi pertempuran. dalam pertempuran itu komandan pasukan Belanda Van Dam van Isselt tewas dan beberapa orang serdadu menjadi korban keganasan perang. Demang Lehman meneruskan ke daerah Barabai membantu pertahanan Pangeran Hidayat dan pengiringnya. G.M. Verspyck berusaha keras untuk menghancurkan kekuatan Pangeran Hidayat dan Demang Lehman yang berkedudukan di sekitar Barabai. G.M. Verspyck mengerahkan serdadu dari infantri batalyon ke 7, batalyon ke 9 dan batalyon ke 13. Batalyon ke 13 berjumlah 210 orang serdadu dibawah pimpinan Kapten Bode dan Rhode. Pasukan ini diikutkan pula 100 orang perantaian yang bertugas membawa perlengkapan perang dan makanan. Pengepungan terhadap kedudukan Pangeran Hidayat ini disertai pula kapal-kapal perang Suriname, Bone, Bennet dan beberapa kapal kecil. Kapal-kapal perang ini pada tanggal 18 April 1850 telah memasuki Sungai Ilir Pemangkih. Karena banyak rintangan yang dibuat, maka kapal-kapal perang tidak dapat memasukinya, serdadu Belanda terpaksa menggunakan perahu-perahu. Iringan perahu ini mendapat serangan dari kelompok Haji Sarodin yang menggunakan Lila dan senapan lantakan. Dalam pertempuran ini Haji Sarodin tewas, tetapi dia berhasil menewaskan beberapa serdadu Belanda. Pertempuran terjadi pula di Walangku dan Kasarangan dan Pantai Hambawang. Dengan teriakan “Allahu Akbar”, rakyat menyerbu serdadu Belanda yang bersenjata lengkap. Mereka tidak takut mati, karena mereka yakin mati dalam perang melawan Belanda adalah mati syahid. Demang Lehman dan Pangeran Hidayat berusaha keras dan penuh keberanian menahan serangan serdadu Belanda. Tetapi karena jumlah personil Belanda lebih besar dan perlengkapan perang lebih unggul, maka diambil suatu siasat mundur. Pangeran Hidayat mengundurkan diri ke Aluwan, sedangkan Demang Lehman bertahan di Pajukungan. Akhirnya Belanda berhasil menduduki Barabai setelah meninggalkan banyak korban.152 Belanda berusaha keras untuk memutuskan hubungan Pangeran Hidayat yang berada di Aluwan dengan pasukan Demang Lehman yang berada di sekitar Amawang. Usaha Belanda untuk melemahkan kekuatan rakyat ternyata tidak berhasil, karena rakyat menggunakan taktik gerilya dalam serangannya.
152 Gusti Mayur, op.cit., hal. 54.
10. Pertempuran di Gunung Madang
Pangeran Hidayat dan Demang Lehman meminta pada Tumenggung Antaluddin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Pasukan Pangeran Hidayat, Demang Lehman dan pasukan Tumenggung Antaluddin terkumpul di sekitar benteng ini. Persiapan benteng ini diketahui oleh Belanda sehingga datanglah serangan Belanda secara mendadak pada 3 September 1860, sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda menyelusuri Karang Jawa dan Ambarai dan langsung menuju Gunung Madang. Serdadu Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu serangan mendadak menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya, sehingga tentara Belanda mundur kembali ke benteng Amawang. Keesokan harinya tanggal 4 September 1860 pasukan infantri dari batalyon ke 13 mengadakan serangan kedua kalinya. Serdadu Belanda ini dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian untuk membawa perlengkapan perang dan dijadikannya umpan dalam pertempuran. Serdadu Belanda melemparkan 3 biji granat tetapi tidak berbunyi, dan disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Di dalam benteng itu terdapat pula beberapa orang perantaian yang lari memihak pasukan Pangeran Hidayat ketika terjadi pertempuran di Pantai Hambawang. Ketika Letnan de Brauw dan Sersan de Vries menaiki kaki Gunung Madang, dia hanya diikuti serdadu bangsa Eropah sedangkan serdadu bangsa bumi putera membangkang tidak ikut bertempur Letnan de Brauw kena tembak di pahanya, dan 9 orang serdadu Eropah terkapar kena tembak dari dalam benteng. Setelah Letnan de Brauw kena tembak, serdadu Belanda mundur dan kembali ke benteng di Amawang. Serangan ketiga dilakukan beberapa hari kemudian setelah Belanda memperoleh bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai. Pada tanggal 13 September 1860 Belanda melakukan kembali serangannya terhadap benteng Gunung Madang. Serangan ini dipimpin oleh Kapten Koch dengan perlengkapan meriam dan mortir. Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin mempersiapkan menunggu serangan Belanda sedangkan Pangeran Hidayat mengatur strategi untuk menghadapinya. Pertempuran ini terjadi dalam jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin dengan gagah berani menghadapinya. Ketika bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda meriamnya hancur kena tembakan. Kapten Koch mempertimbangkan untuk mundur kembali ke benteng Amawang. Kegagalan serangan Kapten Koch ini tersebar sampai ke Banjarmasin, sehingga G.M. Verspyck memerintahkan Mayor Schuak menyiapkan pasukan infantri dari batalyon ke 13 yang terdiri dari 91 opsir bangsa Eropah. Tanggal 18 September 1860 Mayor Schuak membawa pasukan dengan dibantu Kapten Koch menyerang Gunung Madang. Belanda membawa sebuah howitser, sebuah meriam berat dan mortir. Menjelang pukul 11.00 siang hari Demang Lehman memulai menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. G.M. Verspyck yang berani mendekati benteng dengan pasukannya, kena tembak oleh anak buah Tumenggung Antaluddin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu, dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju, kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Mereka dengan bergegas menggotong mayat Koch dan berlari meninggalkan medan pertempuran, langsung mengundurkan diri kembali ke benteng Amawang. Setelah serangan keempat ini gagal, Belanda mempersiapkan kembali untuk penyerangan yang kelima Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin juga mempersiapkan siasat apa yang diambil untuk menghadapi serangan secara besar-besaran keluar dan tidak terpusat bertahan dalam benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari Kiai Cakra Wati pahlawan wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari daerah Gunung Pamaton. Serangan kelima terjadi pada 22 September 1860. Belanda mempersiapkan dengan teliti, belajar dari kegagalan empat kali penyerangannya. Belanda mempersiapkan mendirikan bivak-bivak dan perlindungan pasukan penembak meriam dengan sistem pengepungan benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi keesokan harinya dengan tembakan meriam dan lemparan granat. Pada pagi hari itu pertempuran tidak begitu seru, tetapi menjelang pukul 11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin mengadakan serangan besar-besaran dengan meriam dan senapan. Tembakan itu terus menerus bersahutan sampai menjelang subuh. Karena serangan yang gencar itu Belanda kehilangan komando apalagi malam hari yang gelap gulita. Pasukan Belanda kucar kacir. Situasi yang tegang ini dipergunakan Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin beserta pasukannya keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng, dan selanjutnya berpencar. Kiai Cakrawati meneruskan perjalanan ke Gunung Pamaton yang kemudian terlibat pula dalam pertempuran disini. Alangkah kecewanya Belanda ketika dengan hati-hati memasuki benteng untuk menghancurkan kekuatan Demang Lehman dan pasukannya ternyata benteng sudah kosong, hanya ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.
11. Pertempuran di Sekitar Martapura dan Gunung Pamaton
Dalam bulan Juni 1861 Pangeran Hidayat berada di Gunung Pamaton. Rakyat Gunung Pamaton menyambut kedatangan Pangeran Hidayat dan rakyat membuat benteng pertahanan sebagai usaha mencegah serangan Belanda yang akan menangkap Pangeran Hidayat. Sementara itu Pangeran Hidayat berunding dengan Mufti di Martapura. Perundingan pertama diadakan di Kalampayan dan yang kedua di dalam Pagar. Dalam perundingan itu disepakati rencana akan melakukan serangan umum terhadap kota Martapura. Para penghulu dan alim ulama akan mengerahkan seluruh rakyat melakukan jihad perang sambil mengusir Belanda dari bumi Banjar. Serangan umum ini direncanakan dilakukan pada tanggal 20 Juni 1861, tetapi rencana itu bocor ke tangan Belanda. Oleh karena itu sebelum tanggal 20 Juni Belanda secara tiba-tiba menyerang benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan Pangeran Hidayat. Serangan Belanda itu dapat digagalkan dengan banyak membawa korban di pihak Belanda. Sementara itu di kampung Kiram, tidak jauh dari Gunung Pamaton dan di daerah Banyu Irang Pambakal Intal dan pasukan Tumenggung Gumar telah berhasil menghancurkan kekuatan Kopral Neyeelie. Mayat-mayat pasukan Belanda ini dihanyutkan di sungai Pasiraman. Pambakal Intal berhasil menguasai senjata serdadu Belanda ini. Untuk menghadapi serangan umum terhadap Martapura ini Assisten Residen Mayor Koch yang merangkap menjadi Panglima di daerah Martapura meminta bantuan kepada Residen G.M. Verspyck di Banjarmasin. Residen segera mengirimkan bantuan dengan mengirimkan kapal perang van Os yang mengangkut meriam dan perlengkapan perang lainnya. Serangan selanjutnya dilakukan oleh Mayor Koch secara besar-besaran terhadap benteng Gunung Pamaton, mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang bocor ke pihak Belanda. Rakyat seluruh daerah Martapura dan sekitarnya bangkit melakukan serangan sehingga hampir di seluruh pelosok terjadi pertempuran. Pertempuran terjadi pula di Kuala Tambangan. Tumenggung Gamar yang akan membawa pasukannya memasuki kota Martapura ternyata tidak berhasil, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang lebih kuat. Pambakal Mail terlibat perang menghadapi serdadu Belanda di sekitar Mataraman, sementara di Gunung Pamaton pertempuran terus berkobar. Pasukan Belanda bukan saja menyerang benteng Gunung Pamaton yang belum berhasil dikuasainya, tetapi juga membakar rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa. Membinasakan kebun-kebun dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak. Dalam pertempuran di Gunung Pamaton tersebut banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm tewas kena tombak dan tusukan keris di perutnya. Serangan bulan Juni terhadap benteng Gunung Pamaton berhasil digagalkan oleh rakyat yang hanya memiliki persenjataan sederhana. Memang benteng Gunung Pamaton saat itu dipertahankan oleh pimpinan perang yang gagah berani, selain Pangeran Hidayat terdapat pula Demang Lehman, Tumenggung Gamar, Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara. Selain itu terdapat pula pahlawan wanita Kiai Cakrawati yang selalu menunggang kuda yang sebelumnya ikut mempertahankan benteng Gunung Madang, dan saat itu ikut mempertahankan benteng Gunung Pamaton. Dalam bulan Agustus 1861 Mayor Koch sekali lagi mengerahkan pasukannya menyerbu Gunung Pamaton. Sebelum serangan dilakukan. Mayor Koch menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan makanan, dan menghancurkan hutan-hutan yang dapat dijadikan benteng pertahanan. Mayor Koch gagal dalam usahanya untuk menangkap Pangeran Hidayat dan pimpinan perang lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah ditinggalkan, karena rakyat menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih baik. Perang gerilya adalah salah satu siasat untuk mengantisipasi musuh yang memiliki persenjataan yang lebih unggul.
12. Peristiwa Margasari
Pada saat sedang memuncak dan seluruh wilayah Kerajaan Banjar bergolak melawan Belanda, Belanda melakukan tindakan mengesahkan apa yang telah dilakukannya. Tindakan itu adalah mengeluarkan pengumuman penghapusan Kerajaan Banjar tertanggal 11 Juni 1860 yang ditanda tangani oleh Residen Surakarta F.N. Nieuwenhuijzen yang merangkap Komisaris Pemerintahan Belanda untuk afdeling Selatan dan Timur Kalimantan. Sejak itu Belanda seolah-olah menyelesaikan persoalan dalam negerinya sendiri bukan berhadapan dengan suatu bangsa yang berperang mengembalikan kemerdekaan bangsanya. Sejak itu Belanda mengatur aparat pemerintahannya di daerah Kerajaan Banjar. Daerah-daerah yang telah dikuasainya ditetapkan Kepala-Kepala Distrik baru. Salah satu distrik baru itu adalah di Margasari. Kepala Distriknya ialah Kiai Jaya Di Pura. Kiai ini banyak membantu perjuangan rakyat dengan cara membantu bahan makanan dan juga informasi tentang aktivitas serdadu Belanda.
Akhirnya sikapnya pro perjuangan rakyat ini diketahui Belanda dan dia diganti sebagai Kiai oleh Kiai yang mempunyai loyalitas tinggi terhadap Belanda. Tanggal 14 Desember 1861 dilakukan timbang terima jabatan Kiai Margasari dengan Kiai baru Kiai Sri Kedaton. Pada tanggal 14 Desember 1861 Controleur Fuijck datang ke Margasari dikawal 5 orang serdadu. Malam hari tanggal 16 Desember Controleur Fuijck dan pengawalnya dibunuh dan rumahnya dibakar. Mendengar berita yang menyedihkan ini Residen G.M. Verspyck mengirim Letnan Croes dengan 20 orang serdadu ke Margasari. Letnan Croes mengejar pembunuh dengan menggunakan 5 buah jukung (perahu) ke Sungai Jaya anak Sungai Negara. Mereka berangkat pukul 11.00 siang. Para pejuang dibawah pimpinan Tagah Obang sudah menunggu di sungai sempit itu. Letnan Croes disergap para pejuang dengan cara tiba-tiba dan terjadilah pergumulan di dalam perahu dan disekitar sungai sempit itu. Tiga jam kemudian perahu itu kembali dengan membawa mayat Letnan Croes dan 14 orang serdadunya yang telah menjadi mayat, 8 orang diantaranya orang Eropah. Letnan Croes terkulai tangannya kena parang bungkul dan kemudian ditombak dengan serapang. Berita duka ini sampai ketelinga Residen G.M. Verspyck pada saat ia sedang bergembira karena kemenangannya menghancurkan perjuangan rakyat di rumah Asisten Residen di Martapura. Residen G.M. Verspyck segera kembali ke Banjarmasin dan memerintahkan kapal perang Boni dan Celebes mengejar para pembunuh.
13. Tumenggung Jalil Gelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja
Sejak kecil dia diberi nama Jalil, penduduk kelahiran Pelimbangan Amuntai sekitar tahun 1840. dia seorang jaba bukan berdarah bangsawan. Sejak kecil dia dikenal pemberani dan pendekar dalam ilmu silat. Pada waktu berusia 20 tahun dia terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda di Tanah Habang dan Lok Bangkai. Karena kepahlawanannya dia dikenal sebagai “Kaminting Pidakan”. Pada tahun 1859, Jalil yang diberi gelar oleh Pangeran Hidayat, Kiai Adipati Anom Dinding Raja telah menyusun kekuatan di Banua Lima. Jalil membuat pos-pos penjagaan di sekitar Babirik, Alabio dan Sungai Banar. Di sekitar Masjid Amuntai didirikan benteng. Di sungai dibuat rintangan-rintangan sehingga mempersulit bagi kapal yang akan lewat. Pada awal Februari 1860, Belanda mengerahkan kapal-kapal perang Admiral van Kingsbergen dan kapal Bernet dengan beberapa ratus serdadu dan pasukan meriam dipimpin oleh Mayor G.M. Verspyck. Kapal perang itu akhirnya sampai di Alabio, dan seterusnya terpaksa menggunakan kapal atau perahu yang lebih kecil karena rintangan yang banyak di sungai. Pertempuran terjadi disekitar Masjid Amuntai. Dari masjid inilah keluar prajurit-prajurit rakyat yang tidak mengenal lelah menyerbu dengan hanya bersenjatakan tombak, parang bungkul dan mandau dengan meneriakkan “Allahu Akbar” menyerbu Belanda. Korban berjatuhan dan perang berhadapanpun terjadi. Semangat membela agama dan berjuang melawan Orang kafir dan mati dalam perang itu adalah semangat patriotisme yang tinggi yang mengisi dada setiap rakyat yang bertempur melawan penjajah Belanda. Benteng di sekitar masjid dipertahankan dengan kuat dibawah pimpinan Matia atau Mathiyassin pembantu utama Tumenggung Jalil dengan gagah berani mengamok menyerbu serdadu Belanda. Beratus-ratus yang menjadi suhada dalam pertempuran itu, 44 orang diantaranya dimakamkan di Kaludan. Rumah-rumah penduduk ikut menjadi korban terbakar serta kampung di sekitarnya menjadi saksi kepahlawanan rakyat Amuntai mempertahankan agama. Diantara kampung yang musnah adalah Kampung Karias, dan diantara rumah penduduk yang musnah terdapat rumah Tumenggung Jalil. Di bekas benteng yang hancur, dijadikan Belanda bivak, benteng baru terletak di pertemuan Batang Balangan dan sungai Tabalong. Pertempuran ini terjadi pada 9 Februari 1860. Pasukan-pasukan Pangeran Hidayat yang tersebar di sekitar Barabai bergabung dengan pasukan Tumenggung Jalil dan dapat menahan gerakan serdadu Belanda di sekitar Pantai Hambawang. Dalam pertempuran yang terjadi di Lampihong diantara serdadu Belanda yang menjadi korban adalah Kapten de Jong. Pertempuran ini menyebabkan serdadu Belanda mundur. Bantuan serdadu Belanda kemudian diangkut dengan kapal perang Boni pada tanggal 15 Mei 1860 menuju dan memudiki sungai Tabalong. Sebelum mencapai daerah Tabalong, serdadu Belanda menghadapi serbuan rakyat di sepanjang sungai yang dilewati. Sesampai di daerah Tabalong, terjadi pertempuran dengan Pasukan Tumenggung Jalil. Perlawanan rakyat cukup sengit menyebabkan serdadu Belanda terpaksa mundur ke daerah Kalua dan Amuntai. Baru bulan Juni 1860 Belanda berhasil menduduki daerah Tabalong. Serdadu Belanda menghadapi perlawanan dari pasukan Hidayat, pasukan Jalil dan pasukan Pangeran Antasari, Tumenggung Surapati yang berpusat di Tanah Dusun. Tumenggung Jalil kemudian membuat benteng di Batu Mandi dan dari benteng ini dapat memutuskan hubungan serdadu Belanda antara Barabai dan Lampihong. Benteng ini terletak di atas sebuah bukit dan di sekitarnya diberi rintangan-rintangan, seperti parit-parit, lubang perangkap, tali jerat dan potongan pohon kayu besar yang sewaktu-waktu dapat digulingkan dari atas bukit. Benteng ini dipercayakan kepada Penghulu Mudin. Ketika serdadu Belanda menyerbu dan menaiki bukit yang dijadikan benteng ini, banyak sekali korban dari pihak Belanda, karena jebak yang dibuat. Diantara yang jatuh korban adalah pimpinan penyerbuan ini Sersan van de Bosch. Karena gagal menaiki benteng tersebut, serdadu Belanda menembaki benteng ini dengan meriam dari bawah. Sementara itu Pangeran Antasari memperkuat benteng Tabalong. Pangeran Antasari menaikkan bendera di atas benteng itu, yaitu bendera merah dengan dua buah keris bersilang. Benteng Batu Mandi dipersiapkan dengan sungguh-sungguh oleh Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat. Disamping itu terdapat pula Pangeran Syarif Umar, ipar Pangeran Hidayat, Pangeran Usman kemenakan Pangeran Hidayat. Sedangkan Tumenggung Jalil mempersiapkan pertahanan di sepanjang sungai Balangan. Sebelum sampai ke benteng ini, terdapat kubu-kubu pertahanan di Batang Balangan. Di daerah Batang Alai terdapat kekuatan dibawah pimpinan Demang Jaya Negara Seman dan Kiai Jayapati. Pusat kekuatan telah dibagi dan dipencar-pencar Pangeran Antasari tetap bertahan di sekitar Amuntai, Kalua dan Tabalong, sedangkan Jalil berada di pusat kekuatan di Pasimbi, yang berusaha menghambat gerakan serdadu Belanda menuju Batu Mandi. Kubu-kubu pertahanan Jalil selain di Pasimbi, juga terdapat di Lampihong, Layap, Muara Petap dan lain-lain.
Ketika serdadu Belanda sampai ke benteng Batu Mandi pada tanggal 13 Oktober 1860 ternyata benteng itu telah dikosongi. Belanda sangat kecewa karena sebelum mencapai benteng Batu Mandi, serdadu Belanda menghadapi perlawanan yang gencar dari segala pelosok, ternyata benteng itu telah kosong. Garis pertahanan Pangeran Antasari antara benteng Pengaron, benteng Tundakan dan Gunung Tongka (di daerah Barito) merupakan basis perjuangan yang tak mudah ditaklukkan Belanda. Tumenggung Jalil setelah terpukul di Banua Lima, kemudian menggabungkan diri ke benteng Tundakan bersama-sama Tumenggung Baro dan Pangeran Maradipa. Ketika terjadi pertempuran menghadapi pasukan serdadu Belanda yang menyerbu benteng Tundakan, banyak korban berjatuhan kedua belah pihak. Benteng di dipertahankan dengan sekuat tenaga oleh para pejuang tak kenal menyerah. Mati syahid adalah idaman mereka dalam setiap pertempuran menghadapi Orang kafir Belanda. Pertempuran itu terjadi pada 24 September 1861. Tumenggung Jalil mempertahankan benteng itu bersama-sama Pangeran Antasari dan tokoh pejuang lainnya. Benteng Tundakan hanya dipertahankan dengan 30 pucuk meriam dan senapan jatuh lebih kecil dibanding dengan persenjataan Belanda. Meskipun dengan persenjataan yang kecil, tetapi dengan semangat juang tak kenal menyerah, akhirnya Belanda terpaksa mundur dan dapat dihalau dari tempat pertempuran. Dengan demikian benteng Tundakan dapat dipertahankan dan diselamatkan. Setelah usai ternyata Tumenggung Jalil tewas sebagai kesuma bangsa. Mayatnya ditemukan dalam tumpukan tumpukan bangkai-bangkai serdadu Belanda, jauh di luar benteng. Barulah diketahui bahwa ketika perang sedang berkecamuk, Tumenggung Jalil mengamok ke tengah-tengah musuh, dan dia korban bersama-sama serdadu Belanda yang dibunuhnya. Tumenggung Jalil menjadi Syahid, seorang putera bangsa terbaik telah hilang, namun semangat juang tidak pernah punah. Kebencian Belanda kepada Tumenggung Jalil sebagai musuhnya yang paling ditakutinya, berusaha mencari dimana kubur Tumenggung ini. Akhirnya penghianat perjuangan memberi tahu letak kubur tersebut. Kubur itu dibongkar kembali oleh kaki tangan Belanda, tengkoraknya diambil dan disimpan di Negeri Belanda, sisa mayatnya dihancurkan dan dia pejuang bangsa yang tidak mempunyai kubur.
14. Penghulu Rasyid dan Gerakan Beratib Baamal
Rasyid dilahirkan dikampung Telaga Itar, Kecamatan Kelua sekarang. Ayahnya bernama Ma’ali penduduk kampung Telaga Itar. Kapan Rasyid dilahirkan tidak diketahui, hanya dapat diperkirakan sekitar tahun 1815. Perkiraan ini didasarkan pada perkiraan bahwa pada waktu terjadi Perang Banjar dan perjuangan yang menghangat di seluruh Banua Lima tahun 1860 sampai tahun 1865, Rasyid berumur 50 tahun, sejak kecil ia mempunyai ciri-ciri kepemimpinan dan mempunyai kepribadian yang tinggi. Pengetahuan agama Islam yang dimilikinya disertai dengan alamiah yang kuat, maka Rasyid dijadikan sebagai pemimpin agama dengan sebutan Penghulu, maka selanjutnya ia dikenal sebagai Penghulu Rasyid. Penghulu Rasyid adalah salah seorang diantara sejumlah ulama yang bangkit bergerak berjuang mengangkat senjata melawan penjajah Belanda. Sebagai seorang pimpinan agama Penghulu Rasyid tergerak hatinya untuk patriotismenya untuk membela negara Kerajaan Banjar yang dijajah Belanda. Penghulu Rasyid dan para ulama lainnya mengorbankan semangat juang, sebagai gerakan Baratib Baamal. Gerakan Baratib Baamal ini meliputi hampir seluruh Banua Lima dan wilayah yang sekarang menjadi daerah Hulu Sungai Tengah dan Utara dengan pusat kegiatan di masjid dan langgar. Pimpinan dari gerakan ini para ulama yang dikenal dengan sebutan Tuan Guru. Secara etimologis kata Baratib Baamal terdiri dari dua kata, yaitu baratib yang berarti berdzikir dan Baamal yaitu melakukan perbuatan atau berdoa untuk memohon kebaikan. Berdasarkan kenyataan aksi Baratib Baamal lebih cenderung dianggap sebagai khalwat dalam usaha memohon keselamatan untuk memerangi Orang kafir.153
153 P.J. Veth, et al, Het Beratib Beamal in Bandjermasin, TNI Tweede Deel (Zalt-Bommel Bijjoh Noman en Zoon), 1869, hal. 200. Lihat pula A. Gazali Usman, “Pengaruh Pengajaran Tasawuf
Praktik Baratib Baamal dilakukan sebagai berikut : Pengikut yang terdiri dari kaum muslimin berkumpul di masjid atau langgar dengan dipimpin oleh seorang ulama, yang disebut Tuan Guru. Jamaah ini bersama-sama membaca dzikir ‘La ilaha illa Allah” disertai kalimat puji-pujian dan seterusnya diucapkan sebagai berikut :
La ilaha illa Allah, La ilaha illa Allah, dengan menadah tangan keatas, rizki minta dimurahkan, bahaya minta dijauhkan, umur minta dipanjangkan serta iman. La ilaha illa Allah, dengan menadah tangan keatas, rezeki minta dimurahkan, bahaya minta dijauhkan, umur minta panjangkan serta iman. La ilaha illa Allah, tumat di Mekkah ke madinah, di situ tempat rasulullah. La ilaha illa Allah, tumat di Mekkah ke Madinah, di situ tempat Siti Fatimah. La ilaha illa Allah, hati yang siddiq, ya maulana, ya Muhammad Rasul Allah. La ilaha illa Allah, hati yang mu’min bait Allah. La ilaha illa Allah, Nabi Muhammad hamba Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad sifat Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad aulia Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah. La ilaha illa Allah, maujud Allah.
154 Pratek berzikir itu berlangsung lama, berhari-hari. Dalam kehusyu’annya mereka tenggelam dalam keasyikan mengingat Allah. Puji-pujian itu diucapkan berirama, mula-mula bernada rendah, makin lama makin tinggi, dan keras berupa jeritan yang histeris. Dalam situasi yang demikian mental perjuangan berhasil ditingkatkan sehingga mereka siap untuk menyerbu musuh tanpa menghiraukan risiko maut yang dihadapi. Jamaah dzikir ini memakai seragam jubah putih kecuali pimpinanya Tuan Guru yang memakai jubah kuning. Pengaruh amaliah dzikir ini sangat mendalam dan mempengaruhi jiwa raga manusia yang melakukannya.
dan Dzikir terhadap Rakyat Banjar dalam Usaha Menghadapi Kolonialisme Belanda”, Makalah pada Seminar Sejarah Nasional ke III di Yogyakarta, 1985, hal. 98. 154 A. Gazali Usman, loc.cit.
Sangat mungkin sekali jamaah Baratib Baamal ini adalah salah satu jenis Tarikat yang memang sudah lama berkembang didalam daerah Kerajaan Banjar. Tarikat ini adalah Tarikat Naqsabandiyah.
Pelaksanaan khalwat tarikat ini dengan cara :
(1) menyendiri atau berkelompok ditempat yang sunyi dan sepi
(2) mengurangi nafsu makan / minum
(3) membaca dzikir
(4) meninggalkan nafsu birahi
(5) menjaga kesucian badan
(6) pakaian serba putih
(7) memotong rambut
(8) mengurangi tidur
(9) memperbanyak ibadah dan
(10) taat terhadap petunjuk pimpinan/Tuan Guru.
Dengan cara praktik khalwat ini membawa orang senantiasa mengingat Allah, lidah, hati, perasaan, pandangan, penglihatan dan seluruh tubuhnya tidak yang lain kecuali Allah. Dalam perasaan itu dirinya sudah tidak ada lagi, dia sudah fana. Hal ini berarti bahwa telah mampu menyatukan dirinya dengan Allah, dalam bentuk tauhidul af’al, sifat dan zat. Penaruh ajaran Syekh Abdul Hamid Abulung dengan aliran wahdatul wujud155 bukanlah yang tidak mungkin juga mempengaruhi gerakan Baratib Baamal ini karena ajaran ini membawa pikiran manusia dan dunia atau manusia dan Tuhan itu tidak terpisahkan menjadi satu, dalam kehidupan ruhani yang tinggi fana. Aliran Wahdatul wujud memang sudah berkembang dalam wilayah kerajaan Banjar sejak abad ke- 18.
15. Pertempuran di Banua Lawas
Pimpinan Baratib Baamal pimpinan Penghulu Abdul Rasyid dan Haji Bador di Banua Lawas pertama kali terlibat dalam pertempuran menghadapi serdadu Belanda di Habang pada tanggal 8 Oktober 1861, pertempuran kedua di Krimiang dan yang ketiga pada tanggal 18 Oktober 1861 di Banua Lawas. Anak buah Haji Bador di Banua Lawas memusatkan kekuatannya di Masjid, jumlah ratusan orang. Sambil mengucapkan dzikir dan parang di tangan mereka maju meyerbu sardadu Belanda tanpa ragu dan penuh keberanian. Setelah terjadi perang bergumul dan berhasil menewaskan 3 orang serdadu Belanda, Kapten Thelen mundur ke Kalua dan minta bantuan serdadu Belanda di Amuntai. Serdadu dari Amuntai datang menyerbu, tetapi setelah sampai di masjid Kalua, serdadu Belanda mendapat serangan gencar dengan tembakan senapan dan lila dari pengikut Haji Bador.
155 A. Gazali Usman, ibid., hal. 97.
Besok harinya terjadi lagi pertempuran di Banua Lawas. Pertempuran sengit ini mengakibatkan banyak jatuh korban. Tidak kurang dari 160 orang pengikut Haji Bador diantaranya tewas sebagai suhada. Pertempuran terakhir di Banua Lawas terjadi pada 15 Desember 1865. Belanda mengepung Pasar Arba Banua Lawas dengan menggunakan kapal perang Van Os melalui Sungai Anyar. Serdadu dari Amuntai mengepung dari segala penjuru. Belanda menggunakan segala cara untuk menaklukkan dan melumpuhkan perjuangan Penghulu Abdul Rasyid. Diantara cara itu adalah dengan mendatangkan pasukan Dayak Maanyan dari Tamiang Layang dibawah pimpinan Tumenggung Jailan yang bergelar Tumenggung Jaya Kanti. Tumenggung Jailan ini terkenal berani seperti juga Suta Ono yang berjasa membantu Belanda untuk melumpuhkan perjuangan Pangeran Antasari. Taktik lain adalah dengan memberi pengumumam kepada barang siapa yang berhasil memotong kepala Penghulu Abdul Rasyid dengan imbalan hadiah f 1.000,- disamping pembebasan pajak 7 turunan. Kubu pertahanan Penghulu Abdul Rasyid dibumi hanguskan oleh Belanda. Banyak sekali korban berjatuhan gugur sebagai kesuma bangsa menjadi suhada. Penghulu Abdul Rasyid tumitnya kena tembak sehingga dia terpaksa menghindarkan diri dari medan pertempuran. Dalam persembunyiannya dia masih sempat membunuh beberapa orang serdadu Belanda dan pengikutnya yang tersesat. Tergiur hadiah f 1.000,- dan pembebasan pajak semalam 7 turunan, teman seperjuangan dan keluarganya sendiri Teja Kusuma menghianati perjuangan bangsanya dan memenggal kepala Penghulu Abdul Rasyid yang sudah tidak berdaya lagi. Menurut penuturan orang-orang setempat yang mengetahui dari cerita sebelumnya menjelaskan bahwa puteri Penghulu Abdul Rasyid sendiri membela kematian ayahnya dan berhasil menembak mati Teja Kusuma sehingga berhasil merebut kepala ayahnya yang hanya kepalanya saja. Tetapi setelah kepala tersebut diambilnya dia pingsan melihat ayahnya yang hanya kepalanya saja. Akhirnya Kepala Penghulu Abdul Rasyid tersebut berhasil direbut oleh orang-orang yang menginginkan hadiah f 1.000,- dan menyerahkannya kepada Belanda. Jenazah Penghulu Abdul Rasyid dimakamkan tanpa kepala di dekat Masjid Pasar Arba. Masjid ini termasuk yang tertua dan didirikan oleh Penghulu Abdul Rasyid semasa hidupnya bersama 4 orang tokoh masyarakat saat itu masing-masing bernama Datuk Seri Panji. Datuk Langlang Buana dan Datuk Sari Negara.156
16. Pertempuran di Teluk Selasih
Kalau di Banua Lawas Gerakan Baratib Baamal dipimpin oleh Penghulu Abdul Rasyid dan Haji Bador, maka di Kampung Teluk Selasih tidak jauh dari Amuntai gerakan itu dipimpin oleh Penghulu Buyasin dan Abdul Gani. Sebagaimana Gerakan Baratib Baamal pimpinan Penghulu Abdul Rasyid, maka di Kampung Teluk Selasih pun mempunyai tujuan yang sama, membangkitkan semangat juang fi sabilillah, perang sabil dan cita-cita mati syahid. Pakaian mereka berjubah putih kecuali pimpinannya berjubah kuning. Setelah Belanda mencium adanya gerakan ini, Belanda merundingkan dengan Regent Amuntai Danuraja. Regent Amuntai Danuraja menyanggupi akan menyelesaikannya. Regent membawa 300 anak buah bersenjatakan senapan dan lila dan akan berusaha menangkap Penghulu Suhasin. Pada tanggal 9 November 1861 jam 02.00 petang Regent mendekati Teluk Selasih dan sambut dengan tembakan oleh pengikut Penghulu Suhasin. Diantara pengikut Abdul Gani ada yang menyusup dari belakang sehingga terjadi pergumulan. Salah seorang diantaranya melompat menombak Regent Danuraja. Regent tewas di tempat kejadian, begitu pula anak buah Regent juga juga kena tombak. Dengan kematian Regent Danuraja yang sudah tua ini maka pertempuranpun usailah. Belanda kemudian mengangkat Tumenggung Jaya Negara sebagai Regent yang baru.
156 Anggraini Antemas, Orang-Orang Terkemuka dalam Sejarah Kalimantan, B.P. Anggraini Features, Banjarmasin, 1971, hal. 51.
17. Pertempuran Jatoh
Gerakan Baratib Baamal di daerah Jatoh dipimpin oleh Penghulu Muda yang selalu berbaju jubah kuning sedangkan anak buahnya yang menjadi jamaah dzikir memakai jubah putih. Ketika Belanda memperoleh informasi tentang Gerakan Baratib Baamal di Jatoh, pada tanggal 5 Desember 1861 Belanda menyerbu Jatoh dibawah pimpinan Van der Heyden, Koch dan opsir lainnya. Ketika serdadu Belanda sampai di Jatoh, mereka disambut dengan serangan secara tiba-tiba dari pasukan Penghulu Muda. Dengan pekik dan dzikir “Allahu Akbar’ mereka menyerbu dengan parang terhunus. Serbuan pertama ini yang keluar secara tiba-tiba dari semak-semak kebun lada, jatuh menjadi syahid ketika Belanda memuntahkan meriamnya. Tetapi sangat mengejutkan serangan selanjutnya berdatangan juga secara tiba-tiba seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan teman mereka sebelumnya yang telah menjadi syahid. Pergumulan terjadi. Penembak meriam kena tombak begitu pula Van Haldren luka parah dan beberapa serdadu Belanda bergelimpangan kena tombak dan parang. Penghulu Muda yang berjubah kuning dan memakai serban putih mengayunkan tombak ke arah Van der Heyden, dapat diselamatkan oleh Koch. Tetapi justeru Koch yang kena tombak dan keris dari Penghulu Muda, Koch tewas. Pertempuran usai setelah kedua belah pihak berjatuhan korban. Pertempuran selanjutnya terjadi pada 26 Desember 1861, dan dalam pertempuran ini Van Haldren tewas. Gerakan Baratib Baamal berkembang dengan pesat di daerah Amuntai – Balangan – Tabalong dan menjadi pusat perlawanan yang sangat ditakuti Belanda. Untuk mengantisipasi gerakan ini Belanda mengirim para ulama dan mufti yang memihak kepada Belanda untuk mencegah agar rakyat jangan ikut melawan terhadap pemerintah Belanda. Tetapi justeru sebaliknya karena ulama-ulama yang dikirim oleh Belanda ini justeru memberi restu dan doa terhadap mereka yang berjuang melawan Belanda.
18. Perang Barito Sampai Hancurnya Pagustian
Hasil pertemuan bulan September 1859 antara Pangeran Hidayat, Pangeran Antasari, Kiai Demang Lehman dan tokoh perjuangan lainnya di daerah Kandangan menetapkan bahwa Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di daerah Dusun Atas, sedangkan Tumenggung Jalil memperkuat pertahanan di Banua Lima, bersama Pangeran Hidayat. Di daerah Martapura dibawah pimpinan Demang Lehman dan tokoh-tokoh pimpinan masyarakat lainnya. Pangeran Antasari bermukim di daerah suku Dayak Siung Dusun Atas mendampingi Pimpinan suku Dayak Siung Tumenggung Surapati. Komandan kapal “Onrust” Van del Velde mengantarkan Surapati melihat-lihat meriam, begitu pula anak buah Surapati diajak melihat-lihat kapal perang itu. Menurut kesaksian Haji Muhammad Talib yang selamat dengan melarikan diri bersembunyi menceritakan bahwa kejadian terjadi pada siang hari 26 Desember 1859. Serdadu Belanda tidak merasa curiga dan mereka tidak mempunyai senjata, kecuali Van del Velde yang memiliki pedang tetap dipinggangnya. Letnan Bangert juga tidak bersenjata. Anak buah Surapati sudah tidak sabar lagi dan ketika Gusti Lias dengan perahu berada disisi kapal, Ibon putera Surapati menghunus mandaunya sambil berteriak teriakan perang dan ini berarti perang ‘amok” dimulai. Mandau Ibon mengenai Letnan Bangert dan jatuh tersungkur. Surapati menghunus mandaunya terhadap Van der Velde dan pertarungan pun terjadi dan berakhir dengan menjadi mayat Van der Velde. Selanjutnya kesaksian Haji Muhammad Thalib mengatakan bahwa teriakan perang itu menyebabkan anak buah Surapati berdatangan dengan perahunya mendekati kapal “Onrust”. Dalam waktu sekejab sekitar 400-500 orang anak buah Surapati telah berada di atas kapal dan pergumulan perkelahian terjadi. Dalam hal ini meriam dan senapan tidak berbunyi karena perkelahian terjadi dalam jarak dekat. Para pemimpin perang lainnya seperti Tumenggung Aripati, Tumenggung Maas Anom, Tumenggung Kertapati ikut mengamok di atas kapal Onrust tersebut. Perkelahian itu berlangsung hampir satu jam. Semua opsir dan serdadu Belanda yang berjumlah 90 orang berhasil ditewaskan dan kapal perang “Onrust” berhasil ditenggelamkan. Yang kemudian diketahui selamat adalah penghubung perundingan Haji Muhammad Thalib yang kemudian menceritakan apa yang terjadi atas kapal “Onrust” dan baru 31 Desember 1859 sampai Banjarmasin. Semua isi kapal perang itu sebelum ditenggelamkan diangkut, senapan, lila, meriam dan mesiu yang kemudian digunakan Tumenggung Surapati dan Pangeran Antasari untuk menembaki kapal-kapal Belanda yang lewat. Menurut catatan perang Belanda, bahwa kerugian yang paling besar diderita Belanda adalah dalam Perang Banjar, karena kapal perang berisi senjata beserta serdadunya terkubur bersama-sama ke dasar sungai Barito. Tenggelamnya kapal perang “Onrust” sangat mengejutkan dan menggemparkan pihak Belanda, sebaliknya menimbulkan semangat juang yang tinggi. Tumenggung Surapati adalah seorang putera suku Dayak Siung dilahirkan dilembah Sungai Kahayan, sekarang termasuk wilayah Kalimantan Tengah. Sebagai seorang kepala suku, dia terkenal dengan gelar Kiai Tumenggung Pati Jaya Raji. Tumenggung Surapati berjuang bersama-sama Pangeran Antasari dan dibantu oleh tokoh-tokoh pejuang lainnya seperti Tumenggung Singapati, Tumenggung Kartapata, Tumenggung Mangkusari dalam perang Barito untuk menghancurkan kekuasaan kolonialisme Belanda di daerah itu. Merekalah tokoh-tokoh pejuang yang menggerakkan rakyat Barito melawan Belanda dalam Perang Barito (1865-1905).157
157 Anggraini Antemas, ibid., hal. 61.
(Bersambung ke Bagian 10)

Sumber : Sejarah
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar