Basyair Melayu Banjar juga hadir di Youtube, Kunjungi kami di https://www.youtube.com/channel/UC7DD_EHfum0_OPl-pAxI-bw dan subcribe untuk mendapatkan upload terbaru dari kami, atau Search Ketik " Syair Banjar " di Youtube

Senin, 06 Februari 2017

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 10)

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 10)


SILSILAH TUMENGGUNG SURAPATI
Keterangan: T = Tumenggung Rd. = Raden Ngabehi Tuha (Kepala orang Bakumpai) menjadi wakil Sultan Banjar didaerah dusun Hulu Ngabehi Lad. Wanita suku Dayak Silang Tumenggung Urgang Tumenggung Surapati Tumenggung Jang Pati Singaraja Pangeran Dipati Nyai ButuByai Ambun Kiai Demang T.Umar T.LadT.KerT.Ajidan RD.Dipati Kiai Jadi T.AtT.Jadan T.BangkinT.Ecot T.IburT.Lugi T.Basah T.Naum Pira Satia T.Jadan T.Jadan Kiai Azis
Tumenggung Surapati dengan anak buahnya suku Dayak Siung telah memeluk agama Islam. Kedua tokoh pimpinan perjuangan ini diikat dalam hubungan kekeluargaan dengan mengawinkan putera Tumenggung Surapati yang bernama Tumenggung Jidan dengan cucu Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati dengan anak buahnya bersama Pangeran Antasari telah mengangkat sumpah bersama-sama berjuang menghalau penjajah Belanda. Mereka akan berjuang tanpa pamrih dan tanpa kompromi dengan tekad : Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing. Belanda berusaha dengan segala taktik liciknya untuk memikat hati Tumenggung Surapati agar Tumenggung ini tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda dan bersedia membantu Belanda untuk menangkap Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati sebagaimana suku Dayak lainnya sangat setia pada sumpah yang telah diucapkannya dan apapun yang akan terjadi mereka tidak akan menghianati sumpah tersebut. Siasat licik Belanda akan dibalas dengan siasat licik pula, dimikian tekad Tumenggung Surapati dengan anak buahnya. Belanda mempunyai keyakinan bahwa siasatnya berhasil apalagi Tumenggung Surapati telah bersahabat dengan Belanda sebelumnya. Tumenggung Surapati pernah menjamu dengan segala kebesaran dan penuh keramahan terhadap rombongan Civiel Gezaghebber dan Komandan Serdadu Marabahan Letnan I Bangert dan stuurman kapal Cipanas J.J Meyer pada tahun 1857 dua tahun sebelum terjadinya Perang Banjar. Persahabatan dengan Belanda ini menimbulkan kebencian yang mendalam di hati Tumenggunng Surapati setelah serdadu Belanda membakar rumah dan kebun rakyat yang tidak berdosa setelah terjadi Perang Banjar. Kebaikan hati Belanda hanya tipu muslihat untuk memikat rakyat agar berpihak pada penjajah. Perang Barito terjadi di sepanjang Sungai Barito dan sekitarnya. Perang ini merupakan bukti kebencian seluruh rakyat dalam wilayah Kerajaan Banjar terhadap penjajah Belanda. Perang ini adalah Perang Banjar yang terjadi di sepanjang Sungai Barito, dan diawali dengan penyerbuan gudang garam Belanda di Pulau Petak, sebelah Hulu dari Kuala Kapuas. Gudang Pulau Petak terletak di tepi sungai sedikit lebih tinggi dari kampung di sekitarnya. Gudang garam ini dijaga oleh Letnan Bichon dengan 60 orang serdadu Belanda. Kapal perang “Monterado” ikut berjaga-jaga di sungai. Pada malam tanggal 24 ke 24 Agustus 1859 Pulau Petak diserbu oleh Tumenggung Surapati dan Pembakal Sulil. Letnan Bichon tewas kena tobak dalam penyerangan ini. Belanda berusaha membujuk Tumenggung Surapati agar membantu Belanda menangkap Pangeran Antasari. Setelah usaha pertama gagal, pada bulan Desember 1859 kembali kapal “Onrust” menuju Muara Teweh. Kapal Onrust berhenti di Lontotour sekitar 3 km sebelum sampai Muara Teweh, dan dari sini Belanda mengirim utusan agar Tumenggung Surapati berkenan datang di kapal “Onrust”. Pada tanggal 26 Desember 1859 dengan sebuah perahu besar dan diiringi dengan beberapa perahu kecil, Perahu-perahu tersebut tidak beratap. Surapati dengan 15 orang pengiring yang terdiri dari keluarga dan panakawan. Perahu-perahu lainnya berlabuh di sebelah hulu dari kapal Onrust. Surapati disambut oleh Letnan Bangert yang sudah lama kenal karena pernah menjadi tamu Surapati pada tahun 1857. Surapati masuk ke dalam kamar untuk berunding disertai 4 orang anak dan menantunya. Sepuluh panakawan lainnya beramah tamah bersama para opsir di atas dek kapal. Dalam perundingan itu Belanda menjanjikan hadiah-hadiah antara lain memperlihatkan surat pengangkatan sebagai Pangeran. Keramah-tamahan yang diperlihatkan dan sikap yang meyakinkan menyebabkan Letnan Bangert merasa puas akan keberhasilan misinya. Dalam perundingan itu Letnan Bangert didampingi oleh Haji Muhammad Thalib sebagai juru runding dan perantara yang menghubungkan pihak Belanda dengan Tumenggung Surapati. Haji Muhammad Thalib sebelumnya sudah curiga dengan perahu-perahu yang ditumpangi Surapati dengan pengikutnya. Perahu-perahu tersebut tidak memakai atap, sedangkan kebiasaannya perahu mempunyai atap. Tetapi pihak belanda tidak mengerti dengan kebiasaan orang-orang Dayak dengan perahu tanpa atap tersebut, karena Surapati dengan pengikutnya memperlihatkan keramah tamahannya. Perahu tanpa atas suatu pertanda sikap permusuhan dan sangat menggembirakan bagi seluruh rakyat yang berjuang melawan Belanda. Akibat kekalahan yang sangat memalukan ini pihak Belanda mengirim serdadu sebagai ekspedisi dengan perintah bunuh semua Orang Dayak dan Melayu (Banjar) yang membantu menenggelamkan kapal perang “Onrust”. Untuk keperluan ini G.M. Verspyck memberangkatkan kapal perang “Suriname”, “Boni” dan beberapa kapal pembantu pada tanggal 27 Januari 1860. Kapal ini membawa 300 serdadu bersenjata lengkap, diantaranya 10 serdadu Eropah, beberapa pucuk meriam dan mortir. Pimpinan ekspedisi Letnan Laut de Haes melaksanakan perintah dengan membabi buta, membakar semua kampung yang dilewati dan membunuh rakyat yang ditemukan. Ketika sampai di Lontotour ternyata kampung itu telah dikosongkan penduduk. Kapal terus berlayar ke arah hulu sambil menembaki tempat-tempat yang dicurigai. Kapal Suriname dan Boni melewati kampung Leogong yang letaknya agak rendah. Dengan tidak diduga Belanda, meriam yang beratnya 30 pond menembak ke arah lambung kapal Suriname. Korbanpun berjatuhan. Kapal itupun miring karena tembakan itu mengenai kedua ketel (boiler) sehingga mesin kapalpun mati. Baru menjelang tengah malam barulah kapal itu dihanyutkan dan ekspedisi itu pulang tanpa membawa hasil apa-apa. Pertempuran di Leogong ini terjadi pada 11 Februari 1860. Pada 22 Februari 1960, kembali kapal perang Celebes dan Monterado dikirim menyerang benteng Leogong. Benteng ini dikepung dengan dua buah kapal perang di hulu dan disebelah hilir serta 200 serdadu didaratkan. Pertempuran sengit pun terjadi sepanjang sungai Barito. Menyadari terhadap pengepungan ini Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati melakukan siasat mundur untuk menghindarkan banyaknya jatuh korban. Perang ini berakhir tanpa hasil yang memuaskan bagi Belanda. Untuk mengantisipasi kapal-kapal perang Belanda, Tumenggung Surapati dan Pangeran Antasari mengerahkan beratus-ratus perahu dengan sebuah perahu komando yang besar. Pada perahu besar ini dipancangkan bendera kuning. Armada perahu ini disertai pula dengan beberapa buah lanting kotta-mara (katamaran) semacam panser terapung. Bentuk kotta-mara ini sangat unik karena dibuat dari susunan bambu yang membentuk sebuah benteng terapung. Kotta-mara dilengkapi dengan beberapa pucuk meriam dan lila. Selain kapal perang “Onrust” yang berhasil ditenggelamkan pada 26 Desember 1859, sebelumnya yaitu pada bulan Juli 1859 juga ditenggelamkan kapal perang Cipanas dalam pertempuran di sepanjang Barito di sekitar pulau Kanamit.
19. Demam Lehman Dan Pangeran Hidayat Dalam Proses Penangkapan
Segala siasat dan cara telah dilakukan Belanda untuk memikat Pangeran Hidayat dan Demang Lehman agar menghentikan perlawanannya terhadap pemerintah Belanda, tetapi semua siasat itu tidak berhasil. Cara lain yang dilakukan Belanda adalah berusaha untuk menangkap kedua tokoh pejuang itu hidup atau mati, dan mengeluarkan pengumuman kepada seluruh rakyat agar dapat membantu Belanda menangkap kedua tokoh itu dengan imbalan yang menggiurkan. Imbalan yang dijanjikan adalah dengan mengeluarkan pengumuman harga kepala terhadap tokoh pejuang yang melawan Belanda. Harga kepala Pangeran Hidayat adalah sebesar f 10.000,- dan Demang Lehman sebesar f 2.000,- Nilai uang sebesar itu sangat tinggi dan dapat memikat hati setiap orang yang menginginkan kekayaan. Bagi pejuang yang memegang sumpah “Haram manyarah, waja sampai kaputing”, tidak tergoyah hatinya mendengar janji-janji seperti itu, kecuali bagi mereka yang mengingkari sumpah, menghianati perjuangan bangsa dan yang lemah imannya terhadap prinsip “perang sabil”. Meskipun segala usaha telah gagal, Belanda tetap berusaha untuk menangkapnya dengan cara apapun. Pemerintah Belanda mengutus Haji Isa seorang yang dekat dengan dan tahu Pangeran ini berada. Tugas Haji Isa adalah menyampaikan keinginan pemerintah Belanda terhadap Pangeran ini. Haji Isa tidak berhasil menemukan Pangeran Hidayat, tetapi dia bertemu dengan Demang Lehman. Ketika Haji Isa menyampaikan tugas misinya terhadap Demang Lehman. Demang Lehman langsung menjawab menolak segala macam perundingan dan akan terus berjuang sampai akhirnya memperoleh kemenangan. Laporan Haji Isa ini menimbulkan semangat Belanda untuk mengatur siasat baru. Mayor Koch Asisten Residen di Martapura mengatur dan mengadakan hubungan dengan Demang Lehman atas perintah Residen G.M. Verspyck. Pertemuan dengan Demang Lehman menghasilkan kesepakatan bahwa Demang Lehman bersedia menemui Pangeran Hidayat asal Belanda berjanji mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai Raja di Martapura. Demang Lehman selalu merasa curiga dengan keinginan Belanda untuk mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai raja di Martapura, karena itu Demang Lehman mengkonsolidasi pasukannya. Setelah terjadi hubungan surat menyurat antara Demang Lehman dengan Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang, Demang Lehman bersedia turun ke Martapura. Pada tanggal 2 Oktober 1861 Demang Lehman turun ke Martapura bersama tokoh-tokoh pejuang disertai 250 orang pasukannya. Anggota pasukannya ini akan menyusup ke seluruh pelosok Martapura dan akan mengamuk kalau Belanda menipu dan menangkap Demang Lehman. Tokoh-tokoh pejuang yang mengiringi Demang Lehman adalah : Kiai Darma Wijaya, Kiai Raksa Pati, Kiai Mas Cokro Yudo, Kiai Puspa Yuda Negara, Gusti Pelanduk, Pembakal Awang, Kiai Jaya Surya, Kiai Setro Wijaya, Kiai Muda Kencana, Kiai Surung Rana, Pembekal Noto, Pembekal Unus, Tumenggung Gamar dan lain-lain. Tanggal 6 Oktober 1861 Demang Lehman memasuki kota Martapura disertai 15 orang pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut rombongan ini dan langsung ke rumah Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam pertemuan empat mata dengan Demang Lehman, Residen berusaha memikat Demang Lehman dengan janji akan memberikan jaminan hidup setiap bulan kepadanya asal Demang Lehman berjanji menentap di Martapura, di Banjarmasin atau Pelaihari dan mengajak kepada seluruh rakyat kembali ke kampung mereka masing-masing dan bekerjsama seperti semula. Janji Residen itu tidak menarik perhatiannya, tetapi kesetiannya kepada perjuangan dan sumpah perjuangan lebih tinggi nilainya dari pada kepentingan diri sendiri. Disamping itu Demang Lehman tegas mengatakan bahwa mereka akan berjuang terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk kembali di Martapura memangku Kerajaan Banjar. Semboyan mereka huruf “Mim” (huruf Arab mim) yang berarti Martapura atau mati karenanya. Hasil pertemuan dengan Residen memaksa Demang Lehman mencari tempat persembunyian Pangeran Hidayat dan akan merundingkannya dengan lebih teliti dan segala akibatnya nanti. Tanggal 9 Oktober 1861 Demang Lehman berangkat ke Karang Intan dan kepergiannya ini memakan waktu hampir sebulan. Kepergian Demang Lehman ini mengkhawatirkan Belanda dan meminta agar Demang Lehman kembali ke Martapura. Tanggal 30 Desember 1861 Residen G.M. Verspyck tiba di Martapura dan perundingan dengan Demang Lehman dilangsungkan. Residen berjanji bahwa Pangeran Hidayat boleh tinggal dengan keluarganya di Martapura selama perundingan berlangsung dan jikalau perundingan gagal Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat pertahanannya dalam tempo sepuluh hari dengan aman. Tanggal 3 Januari 1862 Demang Lehman kembali berangkat mencari Pangeran Hidayat menuju Muara Pahu di daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa. Pada tanggal 14 Januari 1862 Demang Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di Muara Pahu. Demang Lehman menyampaikan surat Residen dan surat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam perjanjian itu Ratu Siti ibu Pangeran Hidayat dijemput dari tempatnya di Pa-auw Sungai Pinang, begitu pula keluarga Pangeran yang masih menetap di Tamanih. Pada 22 Januari 1862, rombongan Pangeran Hidayat berangkat dari Muara Pahu dengan rakit dan perahu, melewati Mangappan dan 3 hari kemudian sampai di Awang Bangkal dan baru tanggal 28 Januari tiba di Martapura. Rombongan ini disambut rakyat dengan suka hati di Martapura. Rombongan langsung menuju tempat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang yang masih hubungan paman dari Pangeran Hidayat. Perundingan dilangsungkan pada tanggal 30 Januari 1862, dimulai pada jam 10.30 pagi.
Pihak Belanda terdiri dari :
1. Letkol Residen G.M. Verspyck
2. Mayor C.F. Koch, Assisten Residen di Martapura
3. Lettu J.J.W.E. Verstege, Controleur afdeling Kuin
4. Lettu A.H. Schadevan, ajudan Koch
5. Pangeran Jaya Pemanang, Regent Martapura
6. Kiai Jamidin, Kepala Distrik Martapura
7. Kiai Patih Jamidin, Kepala Distrik Riam Kanan
8. Haji Isa
9. Tumenggung Jaya Leksana
Pihak Pangeran Hidayat terdiri dari 23 orang diantaranya adalah :
1. Pangeran Hidayat
2. Kiai Demang Lehman
3. Pangeran Sasra Kasuma, anak Pangeran Hidayat
4. Pangeran Sahel, anak Pangeran Hidayat
5. Pangeran Abdul Rahman, anak.
6. Pangeran Kasuma Indra, menantu
7. Gusti Ali Basah, menantu
8. Raden Jaya Kasuma, ipar
9. Gusti Muhammad Tarip.
Dalam perundingan itu Belanda mengatur siasat yang licik berpura berbaik hati dengan tujuan untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Hidayat keluar dari Bumi Selamat. Tujuan menghalalkan cara itulah yang dilakukan Belanda. Dalam situasi yang terjepit dan kondisi yang tidak memungkinkan Pangeran Hidayat terpaksa menandatangani Surat Pemberitahuan yang ditujukan kepada rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda sebelumnya. Surat Pemberitahuan itu ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap Pangeran tertanggal 31 Januari 1862.
Surat Pemberitahuan itu selengkapnya berbunyi :
1) Surat ini tidak berisikan perintah, karena saya telah meletakkan dengan sukarela hak itu. (hak sebagai Mangkubumi).
2) Karena mendengarkan nasihat yang salah, saudara-saudara memberontak terhadap pemerintah Belanda, saudara menempuh jalan yang salah.
3) Saudara telah melihat bahwa Pemerintah Belanda lebih kuat dari kita, bahwa ia tidak hanya mementingkan kemakmuran rakyat yang baik, tapi juga bersikap lembut dan satria terhadap musuh-musuhnya.
4) Kepada rakyat Banjar saya mohon supaya menghentikan segala permusuhan, saudara-saudara yang masih melawan kembalilah ke rumah saudara-saudara dan carilah mata pencaharian yang damai dan jujur, sehingga drama pembunuhan dan permusuhan dapat dihentikan.
5) Letakkan senjata saudara, mohonkan ampun dengan sungguh-sungguh dan saya yakin bahwa Pemerintah Belanda akan memberinya dengan jiwa besar.
6) Jangan sekali-kali mendengarkan perintah pemimpin-pemimpin yang terus berkeras meneruskan peperangan, baik perintah dari Pangeran Antasari, Pangeran Aminullah dan orang jahat lainnya.
7) Saya mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak mengerti kepentingan saudara-saudara, dan kepentingan mereka sendiri dan saudara-saudara untuk keselamatan saudara-saudara sendiri dan demi kecintaan kepada saya, berkewajiban untuk menangkapi dan menyerahkan pemimpin rakyat yang jahat itu kepada Gubernurmen.
8) Saya sendiri memberi saudara contoh penyerahan diri itu, saudara-saudara melihat bagaimana yang saya dapatkan.
9) Saya sudah mencoba supaya mereka yang masih melawan mau menyerah.
10) Semakin cepat bekas-bekas perang yang mencelakakan ini dapat dihilangkan, semakin cepat saudara-saudara mendapatkan pengampunan dari Allah Yang Maha Tinggi untuk bencana yang selama lebih dua tahun melanda penduduk Banjar.
11) Allah Yang Maha Tinggi dan arwah-arwah nenek moyang (raja-raja) dan kuburnya akan mengutuk kalian, terutama pemimpin-pemimpin rakyat yang masih melawan, apabila permintaan saya yang terakhir ini tidak dipenuhi.
158 Pangeran sangat terperanjat dengan ucapan Residen G.M. Verspyck yang bertindak sebagai Wakil Tertinggi dari Pemerintah Belanda di daerah Selatan dan Timur Borneo dan dia berwenang memberi pengampunan dan melupakan apa yang terjadi pada masa lampau dengan syarat bahwa Pangeran Hidayat harus berangkas ke Batavia dalam tempo 8 hari. Kepada Pangeran diperkenankan membawa keluarga yang disukainya dan sebelum berangkat harus menyebarluaskan Surat Pemberitahuan yang sudah dibubuhi cap dan tanda tangan Pangeran. Ketika Pangeran mengajukan keberatan atas kepergian ke Jawa tersebut, Residen menjawab bahwa bagi Pangeran perlu “menikmati istirahat”. Demang Lehman yang merasa tertipu, sangat kecewa terhadap sikap Belanda untuk memberangkatkan Pangeran Hidayat ke Jawa. Demang Lehman berusaha mengajak Mufti dan Pangeran Penghulu untuk memohon kepada Residen agar keputusan pemberangkatan Pangeran Hidayat dibatalkan. Demang Lehman berusaha untuk menggagalkan keberangkatan ini dan ketika rombongan Pangeran berangkat pada pagi hari tanggal 3 Februari 1862, Demang Lehman telah siap dengan pasukannya untuk menggagalkannya.
158 W.A. Van Rees, De Bandjarmasinsche Krijg van 1859-1863, Thieme, Arnhem, 1865, hal. 242-244, (terjemahan M. Idwar Saleh).
Perahu yang membawa Pangeran dibelokkan ke batang rumah yang dulu pernah dijadikan tempat tinggal Demang Lehman, dan disambut dengan gegap gempita oleh rakyat. Pangeran terus dilarikan. Belanda tidak dapat bertindak apa-apa, dan baru setelah Pangeran dilarikan ke luar kampung Pasayangan, Residen mengerahkan kekuatannya untuk menangkap Pangeran. Seluruh kampung Pasayangan sampai kampung Hastak Baru dibakar Belanda. Masjid Martapura yang indah yang dibangun lebih dari 140 tahun yang lalu digempur dan dibakar Belanda. Ini terjadi pada 4 Februari 1862 merupakan saksi kebengisan dan kebrutalan penjajah Belanda terhadap rakyat Banjar yang tidak berdosa. Baru tanggal 2 Maret 1862 Pangeran Hidayat setelah menyerahkan diri diangkut dengan kapal Van OS berangkat dari Martapura dan terus merapat ke kapal Bali untuk selanjutnya diangkut ke Batavia. Pangeran Hidayat di buang ke kota Cianjur disertai sejumlah keluarga besar kerajaan yang terdiri dari : seorang permaisuri Ratu Mas Bandara, sejumlah anak kandung dari permaisuri, menantu-menantu, saudara-saudara sebapak, ipar-ipar, ibu Pangeran sendiri, panakawan-panakawan beserta isteri dan anak buahnya, budak laki-laki dan perempuan, semua berjumlah 64 orang. Sebagai seorang buangan, Pangeran mendapat rumah besar dan lebih bagus dari pada istana di Martapura, mendapat tunjangan tiap bulan yang cukup untuk hidup sebagai Mangkubumi dan keluarganya. Demang Lehman yang merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda berusaha mengatur kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal, Batulicin. Dia tidak mengetahui bahwa Belanda sedang mengatur perangkap terhadapnya. Oleh orang yang menginginkan hadiah dan tanda jasa sehabis dia melakukan Shalat subuh dan dalam keadaan tidak bersenjata, dia ditangkap. Kemudian diangkut ke Martapura. Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung terhadap pejuang yang tidak kenal kompromi ini. Dia menjalani hukuman gantung samapai mati di Martapura, sebagai pelaksanaan keputusan Pengadilan Militer Belanda tanggal 27 Februari 1862. Pejabat-pejabat militer Belanda yang menyaksikan hukuman gantung ini merasa kagum dengan ketabahannya menaiki tiang gantungan tanpa mata ditutup.
Urat mukanya tidak berubah menunjukkan ketabahan yang luar biasa. Tiada ada satu keluarganyapun yang menyaksikannya dan tidak ada keluarga yang menyambut mayatnya. Setelah selesai digantung dan mati, kepalanya dipotong oleh Belanda dan dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman disimpan di Museum Leiden di Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala.
20. Pengangkatan Pangeran Antasari Sebagai Panembahan
Pada tanggal 14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayat diasingkan ke Cianjur – Jawa Barat diproklamasikanlah pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Khalifatul Mu’minin. Proklamasi pengangkatan ini ditanda tangani oleh Tumenggung Surapati yang bergelar Kiai Tumenggung Yang Pati Jaya Raja sebagai wakil daerah Barito, Raden Mas Warga Natawijaya sebagai wakil daerah Teweh dan Tumenggung Mangkusari sebagai wakil daerah Kapuas-Kahayan. Gelar ini menunjukkan bahwa Pangeran Antasari mempunyai tiga macam tugas berat yaitu sebagai panglima tertinggi dalam pertahanan/perang sebagai kepala negara dan sebagai kepala tertinggi agama. Pangeran Antasari adalah satu-satunya pimpinan yang dapat diharapkan berjuang menghadapi Belanda dan memegang teguh terhadap sumpah perjuangan yang telah di-ikrarkan bahwa :Haram manyarah, waja sampai kaputing, betul-betul perjuangan yang tidak mengenal kompromi dengan musuh. Memang Belanda telah berulang kali berusaha untuk mengadakan kompromi dengan Pangeran Antasari, namun tawaran itu dianggap beliau sebagai najis. Bujukan kompromi Belanda ini pernah dibalas Pangeran Antasari dengan surat yang berbunyi :”Kami akan terus berjuang menuntut hak pusaka kami. Kami bahkan merasa jijik berdekatan dengan Belanda yang telah menawan saudara sepupu kami ke Jawa. Hadiah f.10.000,- Gulden pernah diumumkan kepada siapa yang dapat menangkap hidup atau mati Pangeran Antasari. Tetapi semua usaha Belanda dengan segala macam tipu muslihat tidak berhasil. Pangeran Antasari telah mengambil pilihan, lebih baik mati di medan pertempuran dari pada mati sebagai tawanan musuh. Dari segi ahli waris kerajaan, Pangeran Antasari adalah pewaris yang sah, sebab dia adalah buyut Pangeran Tahmidillah I, karena itulah dia sangat berwibawa di daerah yang belum dikuasai Belanda termasuk seluruh suku Dayak dari daerah Barito. Pada saat beliau dilantik sebagai Panembahan atau Sultan Banjar, diperkirakan umurnya sudah mencapai 72 tahun, karena itulah beliau dalam keadaan sakit-sakitan. Sakit karena usia lanjut dan pada tanggal 11 Oktober 1862 beliau meninggal dunia. Pangeran Antasari dimakamkan di kampung Sampirang, Bayan Bengok daerah Puruk Cahu. Setelah Kemerdekaan mayat beliau dipindahkan ke Makam Pahlawan Banjar di kompleks pemakaman dekat Masjid Jami’ Banjarmasin pada tanggal 11 November 1958. Putera Pangeran Antasari, Gusti Muhammad Seman dilantik menjadi Sultan Banjar terakhir, sebab setelah Sultan Muhammad Seman tewas dalam pertempuran hapuslah Kerajaan Banjar dari bumi Kalimantan.
21. Pagustian di Gunung Bondang
Setelah Pangeran Antasari meninggal, perjuangan dilanjutkan dengan pimpinan Sultan Muhammad Seman dibantu Tumenggung Surapati dan pimpinan lainnya. Tumenggung Surapati membangun sebuah Pagustian (Dewan Pertahanan) yang terletak di Gunung Bondang, sebelah udik sungai Lawung, Puruk Cahu. Pagustian ini dibantu oleh Gusti Mas Said, Raden Mas Natawijaya, Muhammad Nasir dan lainnya. Dua tahun berturut-turut yaitu tahun 1864 dan 1865 Tumenggung Surapati menyerang benteng Belanda di Muara Teweh sehingga seluruh isi benteng itu musnah. Begitu pula Benteng Belanda di Muara Montalat dihancurkan oleh suatu serangan Tumenggung Surapati. Untuk menghadapi serangan Tumenggung Surapati ini Belanda memperalat suku Dayak Sihong yang selama ini membantu Belanda dibawah pimpinan kepala sukunya Suta Ono. Karena jasa-jasanya terhadap Belanda Suta Ono diberi pangkat Overste atau Letnan Kolonel. Suku Dayak Sihong ini terkenal pemberani, tetapi apabila mereka berhadapan dengan Tumenggung Surapati, Suta Ono selalu mengundurkan diri. Tumenggung Surapati dalam perlawanannya selalu berpindah-pindah dan selama bertahun-tahun dia bertempur melawan Belanda di sepanjang Sungai Barito. Kadang-kadang dia muncul di hilir di sekitar Bakumpai, tetapi sebentar lagi ada di hulu di sekitar Manawing, sehingga sangat membingungkan pihak Belanda. Berbagai muslihat dilakukan pihak Belanda untuk menangkapnya hidup atau mati, tetapi selalu gagal. Pertempuran dan perjuangan yang bertahun-tahun melawan Belanda melemahkan pisiknya yang memang sudah tua dan akhirnya jatuh sakit, meskipun semangat juangnya tidak pernah mundur. Setelah menderita sakit yang agak lama pada tahun 1875 Tumenggung Surapati meninggal dunia sebagai pahlawan, meninggal karena sakit. Pangeran Jidan meneruskan perjuangan ayahnya bersama-sama Sultan Muhammad Seman. Kalau keluarga Sultan yang tertangkap dibuang ke Bogor, maka keluarga Tumenggung Surapati yang tertangkap dibuang ke Bengkulu.
22. Bukhari Dalam Amuk Hantarukung
Bukhari seorang anak dari orang tua bernama Manggir dan ibu bernama Bariah kelahiran desa Hantarukung, dalam wilayah Kecamatan Simpur sekarang 7 Km dari Kandangan, menjadi pimpinan yang dikenal dengan ‘Amuk Hantarukung”. Dia dilahirkan sekitar tahun 1850 dan semasa mudanya mengembara ke Puruk Cahu mengikuti pamannya Kasim yang menjadi Panakawan Sultan Muhammad Seman. Sejak itu Sultan menjadikan Bukhari sebagai Panakawan Sultan, ikut berjuang di daerah Puruk Cahu, Bukhari seorang yang setia mengabdikan dirinya. Ia orang yang dipercaya sebagai “Pemayung Sultan”. Ia dikenal di kalangan istana sebagai seorang yang mempunyai ilmu kesaktian dan kekebalan. Bahkan tersiar berita bahwa dengan ilmunya itu kalau ia tewas dapat hidup kembali. Ilmu ini diajarkan kepada siapa yang menjadi pendukungnya. Adanya kelebihan-kelebihan Bukhari tersebut, menyebabkan dia dan adiknya bernama Santar mendapat “tugas” untuk menyusun dan memperkuat barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah Banua Lima.
Dengan membawa surat resmi dari Sultan Muhammad Seman. Bukhari dan adiknya Santar datang ke Hantarukung untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat terhadap pemerintah Belanda. Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh penduduk Hantarukung. Dengan bantuan Pengerak Yuya, Bukhari berhasil mengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Sebanyak 25 orang penduduk telah menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan di bawah pimpinan Bukhari dan Santar siap untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Gerakan Bukhari ini bahkan kemudian mendapat dukungan selain penduduk Hantarukung, juga penduduk kampung Hamparaya dan Ulin. Sehubungan dengan itu alasan perlawanan yang dikemukakan bahwa penduduk dari tiga kampung itu tidak bersedia lagi melakukan kerja rodi . Sikap penduduk dan tindakan Pengerak Yuya yang tidak mau menurunkan kuli (penduduk) untuk menggali “garis” antara Amadit-Negara tersebut, kemudian dilaporkan oleh Pembekal Imat kepada Kiai, karena yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat, Pembekal melaporkan kepada Controleur Belanda di Kandangan. Penguasa di Kandangan sangat marah mendengar berita itu pada tanggal 18 September 1899 berangkatlah rombongan penguasa Belanda yang terdiri dari Controleur Adsenarpont Domes dan Adspirant K. Wehonleschen beserta 5 orang Indonesia (opas dan pembakal) yang setia kepada Belanda. Dengan menaiki kereta kuda dan diikuti yang lainnya Controleur Adsenerpont Domes ke Hantarukung menemui Pengerak Yuya. Pengerak yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk melawan pemerintah Belanda ini ketika dipanggil oleh Controleur keluar dari rumahnya dengan tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi tanya jawab mengenai mengapa penduduk tidak mengerjakan lagi gerakan menggali “garis” Amandit-Negara, tiba-tiba muncul ratusan penduduk di bawah pimpinan Bukhari dan Santar sambil mengucapkan “selawat nabi” maju kearah Controleur dengan senjata tombak, serapang dan lain-lainnya.
Dalam peristiwa itu telah terbunuh tuan Controleur Domes dan Adspirant Wehonleshen serta seorang anak emasnya. Sementara 4 orang lainnya dapat melarikan diri. Mereka itu antara lain opas Dalau dan Kiai Negara. Peristiwa tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan Pemberontakan Amuk Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang secara resmi diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimkan ke desa asal kelahirannya Hantarukung.
23. Pasukan Belanda menyerang kampung Hantarukung
Kejadian terbunuhnya Controleur dan Adspirant Belanda tersebut segera sampai kepada pejabat-pejabat Belanda di Kandangan. Kemarahan pihak Belanda tidak dapat terbendung lagi. Besok harinya pada hari Senin tanggal 19 September 1899 sekitar jam 1.00 siang pasukan Belanda datang untuk mengadakan pembalasan terhadap penduduk. Serangan pembalasan tersebut dipimpin oleh Kiai Jamjam putera daerah sendiri, dengan diperkuat oleh 2 Kompi serdadu Belanda bersenjata lengkap. Penduduk Hantarukung telah menyadari pula peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk di bawah pimpinan Bukhari, Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata mereka dipinggiran hutan dan keliling danau menanti kedatangan pasukan Belanda. Ketika sampai di desa Hantarukung di suatu awang persawahan, melihat keadaan sepi Kapten Belanda melepaskan tembakan peringatan agar penduduk menyerah. Pada waktu itulah Bukhari bersama-sama H. Matamin dan Landuk tampil dengan senjata terhunus maju menyerbu musuh sambil mengucapkan “Allahu Akbar” berulang-ulang. Tindakan Bukhari tersebut diikuti para pengikutnya yang sudah siap untuk berperang, pertempuran sengit terjadi. Bukhari, H. Matamin dan Landuk dan Pengerak Yuya gugur di tembus peluru Belanda. Melihat pemimpin-pemimpin mereka terbunuh penduduk lari menyelamatkan diri.
Demikianlah dalam peristiwa 2 hari di Hantarukung tersebut telah terbunuh masing-masing di pihak Belanda adalah Controleur Domes, Adspirant Wehonleschen dan seorang pembantunya. Sementara dari pihak penduduk telah gugur : Bukhari, Haji Matamin, Landuk, Pangerak Yuya. Peristiwa ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh Belanda terhadap penduduk yang terlibat terutama penduduk di desa Hantarukung, Hamparaya Ulin, Wasah Hilir dan Simpur. Penangkapan segera dijalankan oleh militer Belanda.
Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 23 orang yakni : Hala, Hair, Bain, Idir, Sahintul, H. Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang, Tasin, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan dan Atmin. Selanjutnya yang mati didalam penjara adalah : Hala, Hair, Bain, dan Idir. Sedangkan yang mati digantung adalah : Sahitul, H. Sananddin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang dan Tasin. Mereka yang dibuang keluar daerah adalah: Bulat, Suddin, Matasin, Yasin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan Santar. Jenazah Bukhari, Landuk dan Matamin dimakamkan di Kampung Perincahan, Kecamatan Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) yang dikenal dengan makam Tumpang Talu. Sedangkan sembilan orang dihukum gantung oleh Belanda tersebut dimakamkan di kuburan “Bawah Tandui” di Kampung Hantarukung di Kecamatan Simpur (Hulu Sungai Selatan).
24. Hancurnya Pagustian dan Manawing dan Berakhirnya Perang Banjar (1905)
Pagustian atau Dewan Pertahanan adalah benteng pertahanan yang dibangun Tumenggung Surapati pada tahun 1865, yaitu 3 tahun setelah Pangeran Antasari meninggal karena sakit. Pagustian ini terletak di Gunung Bondang, diudik Sungai Lawung, daerah Puruk Cahu. Pertahanan yang kedua terletak di Manawing, yaitu kampung Bomban, Kalang Barat diudik Baras Kuning, Barito. Berbagai suku Dayak dapat disatukan oleh Sultan Muhammad Seman seperti suku Dayak Dusun, Nagaju, Kayan, Siang, Bakumpai dan suku Banjar Hulu, baik yang beragama Islam maupun yang masih menganut kepercayaan Kaharingan. Panglima Batur adalah salah seorang Panglima yang setia pada Sultan Muhammad Seman. Panglima Batur seorang Panglima dari suku Dayak yang telah beragama Islam berasal dari daerah Buntok-Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh. Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal. Gelar Tumenggung adalah gelar untuk jabatan sebagai kepala suku, sedangkan gelar Panghulu adalah gelar untuk jabatan sebagai Kepala Adat/kepala agama. Panglima dan para Tumenggung yang membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman untuk melawan Belanda adalah Panglima Umbung dari Mangkatib, Mat Narung dari Putu Sibau, Batu Putih dari Kapuas, Tumenggung Lawas, Tumenggung Nado, Tumenggung Tawilen, Panglima Amit, Panglima Bahe dan lainnya. Panglima Batur yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose159 yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa. Ia adalah sultan terakhir dari Kerajaan Banjar dalam pemerintahan pelarian di daerah Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekwen terhadap sumpah melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal kompromi dengan Belanda, “Haram manyarah waja sampai kaputing”.
159 Korps bukan militer yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1890 untuk menangani tugas kepolisian dan jika perlu membantu dalam tugas kemiliteran. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga, Depdiknas, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 717.
Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok-Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu. Kini Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur. Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya. Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur turun ke Muara Teweh. Benar apa yang menjadi kata hatinya, bukan perundingan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu di tawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin. Di kota Banjarmasin dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati. Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ketiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan “Dua Kalimah Syahadat” untuknya. Dia dimakamkan di belakang masjid Jami’ Banjarmasin, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks “Makam Pahlawan Banjar”. Gugurnya Sultan Muhammad Seman dan jatuhnya benteng pertahanan Manawing, tertangkapnya Panglima Batur pada tahun 1905, maka Perang Banjar yang dimulai dengan penyerangan terhadap benteng dan tambang batu bara Oranje Nassau di Pengaron tahun 1859, dinyatakan berakhir pada tahun 1905.160 Tokoh-tokoh pejuang yang tetap bertahan tidak mau menyerah akhirnya terpaksa menyerah, mereka dibuang keluar dari bumi bekas Kerajaan Banjar sebagai tawanan perang hidup dalam pengasingan sampai hayat mereka berakhir. Salah satu diantaranya adalah Gusti Muhammad Arsyad menantu Sultan Muhammad Seman. Gusti Muhammad Arsyad dibuang ke Bogor pada 1 Agustus 1904. Gusti Muhammad Arsyad dan isterinya Ratu Zaleha, puteri Sultan Muhammad Seman berjuang bersama ayahnya dengan penuh keberanian. Setelah benteng Manawing jatuh ia bersembunyi ke Lahai dan selanjutnya ke Mia di tepi sungai Teweh yang dianggap mereka aman dari pengejaran Belanda. Suaminya Gusti Muhammad Arsyad setahun sebelum benteng Manawing jatuh telah menyerah kepada Belanda karena pengepungan yang menyebabkan ia tidak dapat melarikan diri lagi. Karena selalu dikejar-kejar oleh serdadu Belanda. Gusti atau Ratu Zaleha merasa sangat letih disamping pisiknya juga tidak mengizinkannya lagi, akhirnya dia pada awal tahun 1906 menyerahkan diri kepada Belanda. Atas permintaannya Ratu Zaleha mengikuti suaminya dalam pengasingan di Bogor menghabiskan sisa-sisa usianya. Ratu Zaleha diikuti oleh ibunya Nyai Salamah. Keluarga Ratu Zaleha sebagai kelompok Pagustian dianggap berbahaya untuk daerah Kalimantan Selatan dan Timur.
160 Dengan runtuhnya kekuasaan Pagustian di Baras Kuning, maka sesungguhnya Perang Banjar berlangsung kurang lebih 40 tahun, bukan 4 tahun sebagaimana dikatakan W.A. Van Rees dalam bukunya De Bandjermasinsche Krijg van 1859-1863, Thieme, Arnhem, 1865.
Sebagai orang tawanan Gusti Muhammad Arsyad mendapat tunjangan sebesar f 300, perbulan terhitung sejak 1 Mei 1906 sedangkan isterinya Ratu Zaleha mendapat f 125, sebagai tambahan untuk memelihara 7 orang anggota keluarganya. Tunjangan ini berdasarkan surat Sekretaris Goebernemen 25 Juli 1906 no. 1198 yang ditujukan kepada Ekslensi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan Assisten Residen Bogor.
E. AKIBAT-AKIBAT SOSIAL POLITIK PERANG BANJAR
Perang Banjar diawali dengan timbulnya perasaan tidak puas dengan situasi dan kondisi saat itu. Perasaan tidak puas itu disebabkan karena terlalu banyaknya campur tangan bangsa Belanda, bangsa asing yang oleh Orang Banjar saat itu dikenal sebagai “Orang kafir”. Bangsa Belanda sebagai pedagang yang saat pertama kali memasuki daerah Kerajaan Banjar memperhatikan potensi perdagangan yang mendatangkan keuntungan bagi bangsa Belanda. Untuk memperoleh keuntungan itu bangsa Belanda menggunakan segala cara dari mulai cara lemah lembut dan bentuk persahabatan, akhirnya dalam bentuk tindakan tekanan dan kekerasan demi memperoleh keuntungan. Sebagai pedagang maka bangsa Belanda berhadapan dengan bangsa Banjar yang juga bangsa pedagang. Persainganpun terjadi dan persaingan yang menggunakan pengaruh kekuatan dan menimbulkan konflik antar dua bangsa. Disamping membahayakan bagi kerajaan Banjar secara politik dan ekonomis, juga kedatangan bangsa Belanda melahirkan pertentangan antara agama Islam dan Kristen konflik ini akan melahirkan bentuk perang membela agama, perang sabil, perang suci yang menyebabkan rakyat Banjar tidak takut mati karenanya. Perasaan tidak puas terhadap campur tangan bangsa asing ini melahirkan gerakan dengan aspek nativisme seperti yang dilancarkan oleh Panambahan Muda Datu Aling. Gerakan ini mengiginkan situasi dan kondisi Kerajaan Banjar yang diidealkan seperti dulu semasa pemerintah Sultan Kuning, bebas dari pengaruh bangsa asing, dikemukakannya tradisi nenek moyang yang berlaku turun temurun dengan rakyat yang hidup makmur bahagia. Golongan bangsawan mempergunakan gerakan ini beserta gerakan Balangan yang dipimpin Jalil melahirkan dan meningkatkan perang menjadi Perang sabil, perang suci membela agama dan melibatkan seluruh rakyat Banjar dari Kerajaan Banjar. Hasrat kembali kepada pra-penetrasi Belanda, berarti pula kembali kepada penyempurnaan hak-hak feodal dan sistem tradisional dimana kelompok ruling class, kelompok penguasa yang ideal duduk memerintah untuk mengembalikan harmoni kebudayaan suku Banjar beserta kemakmuran rakyatnya. Perang Banjar dipercepat dengan timbulnya konflik antar kelompok yang berhak dengan kelompok yang mendapat dukungan Belanda, antara kelompok Pangeran Hidayat dengan kelompok Pangeran Tamjidillah. Dengan dasar inilah Belanda mengirakan bahwa Perang Banjar itu disebabkan oleh konflik antar keluarga yang tidak terpecahkan, maka Belanda dalam hal ini Comissaris Kolonel Andressen, memaksa dengan cara halus menurunkan Sultan Tamjidillah al Wasik Billah dari kedudukannya sebagai Sultan Banjar pada tanggal 25 Juni 1859. Dengan kosongnya tahta ini diharapkan dapat ditempuh langkah politik selanjutnya, dan kesalahan dengan pelantikan terhadap raja yang lalu dengan segala akibatnya secara berangsur dapat dihapuskan. Ternyata analisa Kolonel Andresen ini keliru, sebab perang bukannya makin mereda bahkan makin bertambah besar dan meluas. Tindakan Andresen ini dianggap keliru karena itu dia diganti dengan politik kekerasan dari Gouvernement-Comissaris yang baru F.N.Niewenhuyzen dengan mengambil tindakan memecat Mangkubumi dalam suatu publikasi pada 5 Februari 1860. Sebetulnya pemecatan Mangkubumi Pangeran Hidayat dan kemudian dilanjutkan dengan penghapusan Kerajaan Banjar oleh Belanda pada 11 Juni 1860, adalah sebagai realisasi dari Gouvernements Besluit 17 Desember 1859 dimana dicantumkan bahwa kerajaan tak lagi diberi pimpinan, demi keselamatan operasional tambang batu bara termasuk daerah-daerah yang potensial mengandung lapisan batu bara untuk ditambang. Pangeran Hidayat sebagai bangsawan dan Mangkubumi Kerajaan yang meminpin rakyat melawan penjajah Belanda pada tahun 1862 menyerahkan diri dan akhirnya dibuang ke Cianjur. Pangeran Antasari seorang bangsawan yang dapat menghimpun kekuatan Orang Banjar dengan Dayak berjuang tanpa kompromi melawan Belanda, dilantik dengan gelar Panambahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin akhirnya meninggal karena sakit pada tahun 1862. Kiai Demang Lehman sebagai patriot sejati akhirnya tertangkap dan dihukum gantung sampai mati pada tahun 1864, sedangkan Kiai Adipati Tumenggung Jalil tewas dalam pertempuran mempertahankan benteng Tundakan tahun 1861. Dengan gugurnya atau tertangkapnya tokoh-tokoh pejuang maka pada tahun 1865 perlawanan secara frontal sudah berkurang, tetapi perang Banjar itu belum berakhir. Sultan Banjar terakhir yang gugur dalam pertempuran mempertahankan benteng Manawing 1905 adalah Sultan Muhammad Seman. Sejak runtuhnya kekuasaan Pagustian di Baras Kuning dan Manawing upaya-upaya terorganisir membangkitkan kembali pemerintahan Kerajaan Banjar hampir tidak ada lagi. Peristiwa yang ada hanyalah pemberontakan-pemberontakan sporadis yang digolongkan sebagai gerakan sosial seperti Pemberontakan Guru Sanusi di Amuntai tahun 1914-1918 dan Pemberontakan Gusti Darmawi161 di Kelua, tahun 1927 dan yang paling akhir adalah perlawanan di Hariyang tahun 1937. Perang Banjar yang berlangsung mulai tahun 1859 dan berakhir pada tahun 1905 membawa akibat-akibat sosial politik bagi daerah Banjar dan rakyat Banjar itu sendiri.
Akibat-akibat itu antara lain adalah :
a) Dihapuskan Kerajaan Banjar dan seluruh bekas daerah kerajaan itu dimasukkan ke dalam tatanan baru Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo.
b) Kota Martapura sebagai bekas ibu kota kerajaan sejak tahun 1864, tanggal 19 Juni, susunan pemerintahnya sebagai berikut : Kapten C.J.Meyer Kepala militer / sipil B.J.Suringa Pembantu bagian sipil Pangeran Jaya Pemenang Regent Raden Rastan Jaksa Haji Muhammad Khalid Mufti Kiai Suta Marta Kepala Distrik Haji Makhmud Penghulu
161 Dalam M. Idwar Saleh et al, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Banjarmasin, 1978/1979, hal. 48-49, tertulis Gusti Barmawi. Seharusnya Gusti Darmawi dan harus dibedakan dengan H. Ahmad Barmawi Thaib, tokoh Parindra cabang Kandangan.
c) Disisihkannya satu lapisan super elite dan satu lapisan aristokrat fungsional dari birokrasi lama.
d) Perang Banjar diartikan sebagai suatu “religius expression of secular conflict” yang bersifat politik ekonomis dan sosial kultural, dalam arti khusus mempertahankan kedudukan dan sistem Kerajaan dibawah Pangeran Hidayat sebagai raja yang menurut tradisi dan wasiat Sultan Adam adalah sah. Dalam arti umum Perang Banjar itu berwujud sebagai “a religio-political attack” atas penjajah kafir. Perang Banjar adalah perang suci, perang sabil, perang sebagai jihad fi sabilillah.
e) Golongan yang paling terpukul sebagai akibat dari perang ini adalah golongan bangsawan sebagai interest group. Pangeran Hidayat adalah “Tatuha Bubuhan Raja-Raja” yang kedudukannya diakui sesuai dengan wasiat Sultan Adam tulang punggung dan pusat harapan golongan bangsawan. Hilangnya Pangeran Hidayat berarti harapan-harapan ke arah kemungkinan restorasi kerajaan tertutup sama sekali, yang berarti pula tersisihnya mereka sebagai ruling-class dan lenyapnya segala kebesaran-kebesaran tradisional, lenyapnya kekuasaan dimasa lampau.
f) Penghapusan tanah apanase Dalam Gouvernements Indisch Besluit 17 Desember 1859 telah diputuskan bahwa Kerajaan Banjar tidak lagi diberikan sebagai pinjaman (vazal) kepada salah satu calon sultan yang akan datang. Sebagai realisasi putusan ini Komisaris Guberneman F.N.Nieuwenhuyzen telah mengeluarkan Besluit 11 Juni 1860 No.24 berupa proklamasi penghapusan kerajaan Banjar. Pada akhir proklamasi itu disinggung pula masalah pemungutan hasil dan pemilikan tanah apanase. Tanah apanase akan dihapuskan dan kepada mereka akan diberi diganti rugi, tetapi bagi pemilik tanah apanase yang ikut dalam Perang Banjar, hak memperoleh ganti rugi itu dibatalkan. Tanah apanase merupakan sumber penghasilan sultan dan seluruh golongan raja-raja. Tanpa tanah apanase kedudukan sosial, pengaruh dan wibawa golongan bangsawan akan surut.
Mereka yang terlibat langsung dalam Perang Banjar yang oleh Belanda disebut “pemberontak” tidak memiliki hak ganti rugi tanah apanase yang dihapus. Dalam kategori ini termasuk Pangeran Hidayat dengan seluruh keluarga, pangeran Antasari, Pangeran Aminullah dan mertuanya Pangeran Prabu Anom. Disamping itu termasuk golongan aristokrat fungsional yang membantu “pemberontakan”. Mengenai tanah apanase yang dikuasai Nyai Ratu Komala Sari, Ratu Syarif Husein Darmakasuma, Ratu Kasuma Negara, dinyatakan disita untuk Gubernement dengan alasan mereka tidak mau menyerahkannya dan menahan perhiasan-perhiasan mahkota yang menjadi milik kerajaan. Keputusan penghapusan tanah apanase ini dikeluarkan oleh Gouverneur General Hindia Belanda tertanggal 18 Agustus 1863 no.29. Penaksiran toelage ganti rugi tanah apanase yang dihapus disesuaikan dengan penghasilan tanah itu. Dari hasil penaksiran toelage ganti rugi yang dilaporkan ke Betawi sebesar f.84.777,34 setiap tahun. Jumlah ini dianggap Betawi terlalu besar, dan selanjutnya menetapkan bahwa Residen hanya boleh mengeluarkan f.20.000,- setahun sebagai taksiran maksimum. Untuk menetapkan besar kecilnya toelage ganti rugi yang ditetapkan kepada para bangasawan yang berhak menerimanya dibentuk sebuah komisi yang diketuai oleh Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang dibantu Kiai Patih Goena Wijaya. Mereka dianggap paling mengetahui tentang tanah apanase ini. Hasil kerja komisi yang kemudian disetujui oleh Residen besarnya toelage ganti rugi yang dibayar pemerintah Belanda hanya sebesar f.14.556,- setiap tahun. Dari jumlah penghasilan tanah apanase yang diperoleh para bangsawan ditaksir sebesar f.84.777,34 tetapi yang dapat disetujui untuk dibayar hanya sebesar f.14.556,- Betapa merosotnya sumber ekonomi rumah tangga para bangsawan yang tidak ikut dalam Perang atau yang ikut membantu Belanda dalam perang itu. Para bangsawan yang memperoleh toelage ganti rugi sebanyak 29 orang dan dari jumlah ini 6 orang dari golongan aristokrat fungsional dan 23 orang dari golongan bangsawan biasa. Diantara 23 orang bangsawan yang memperoleh ganti rugi paling banyak adalah Pangeran Jaya Pamenang, jabatannya dalam struktur baru pemerintahan Belanda adalah Regent Martapura yang dijabatnya sejak tahun 1861 dan kemudian sebagai Ketua Komisi penetapan toelage ganti rugi tanah apanase. Besarnya f.6.000,- setahun. Merosotnya penghasilan kaum bangsawan itu sebagai contoh dapat dilihat pada anak-anak dan keluarga almarhum Pangeran Soeria Mataram yang diberi toelage sebesar f.100,- sebulan atau f.1.200,- setahun, padahal penghasilan tanah apanase ini pada masa kerajaan adalah sebesar f.10.000,- setahun, disamping pemasukan lainnya. Contoh golongan aristokrat fungsional adalah tiga bersaudara anak-anak Kiai Adipati Danuraja. Mereka mendapatkan f.15,- per-orang atau sebesar f.450,- bertiga setahunnya, pada hal penghasilan pada masa kerajaan adalah sebesar f.8.000,-setahunnya. Bagi golongan bangsawan tindakan ini merupakan pukulan terakhir dalam bidang ekonomi, suatu tindakan pemerintah Belanda yang paling menentukan bagi kelangsungan mereka mempertahankan status sosial dalam hierarki sistem status yang baru. Disamping itu golongan ini menghadapi perubahan sosial yang amat cepat dan sistem nilai yang baru dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda.
g) Perubahan status sosial ekonomi sesudah tahun 1863 Setelah Perang Banjar selesai pada tahun 1905 daerah dan masyarakat Banjar mengalami perubahan. Orang Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan merdeka adalah sebuah bangsa atau nation yaitu bangsa Banjar yang mempunyai kedudukan sederajat dengan bangsa-bangsa merdeka lainnya. Tetapi setelah perang usai, bangsa Banjar yang sebelumnya adalah bangsa merdeka, turun derajatnya menjadi bangsa jajahan dan hanya dikenal sebagai Orang Banjar, sebagai inlander dari penduduk Hindia Belanda. Daerah Kerajaan Banjar yang telah dihapuskan dimasukan dalam suatu bentuk tatanan ketatanegaraan baru menjadi sebuah Residensi dari Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengkonsolidasi pemerintahan dibentuk organisasi baru yang modern dan sentralistis. Golongan bangsawan fungsional yang merupakan elite ruling class lenyap dan kedudukannya digantikan golongan birokrasi Hindia Belanda. Mula-mula golongan bangsawan fungsional yang sebelumnya membantu Belanda dalam Perang Banjar, mendapat tempat dalam birokrasi baru ini. Dengan dasar kriteria turunan dan otoritas kharisma, golongan bangsawan memperoleh kepercayaan menjabat sebagai Regent sebagai jabatan tertinggi, kemudian sabagai Kiai menjadi Kepala Distrik, sebagai jaksa, sebagai kepala polisi dan jabatan lainnya. Kriteria pemilihan pegawai untuk menduduki jabatan tertentu kemudian berubah sesuai dengan perkembangan masa itu. Untuk jabatan sebagai Kiai yang mengepalai sebuah distrik diperlukan lulusan pendidikan MOSVIA dan Sekolah Raja. Keperluan untuk pegawai rendahan memaksa Belanda untuk mendirikan Sekolah Kelas Dua dan Sekolah Kelas Satu, sedangkan untuk anak-anak Eropah khusus didirikan Europese Lagere School (ELS). Kecuali daerah Barito, seluruh daerah Hulu Sungai terbuka bagi lalu lintas perdagangan. Sistem talian yang amat mencekik para pedagang dihapus; ketertiban dan keamanan memungkinkan timbulnya usaha-usaha baru. Hubungan perdagangan langsung dengan Surabaya dan Singapore membuka perspektif bagi pengusaha perkebunan untuk menanam tanaman yang menghasilkan untuk di ekspor, selain mengekspor hasil-hasil hutan seperti rotan, damar, lilin. Dengan perdagangan dari kalangan rakyat biasa. Naik haji menjadi lebih mudah dengan beroperasinya kapal Belanda KPM. Persentase jumlah orang naik haji untuk daerah ini cukup tinggi, begitu pula jumlah para ulama hasil pendidikan Perguruan Tinggi Al Azhar Kairo-Mesin makin bertambah besar, sebagai usaha kaum ulama untuk menandingi pendidikan Barat yang dibangun Belanda. Pertumbuhan kampung dan kota mengalami perubahan. Dari Banjarmasin melalui Martapura Belanda membangun jalan raya besar ke Hulu Sungai sampai dengan Ampah, Muara Uya. Untuk menjaga keamanan dan mudah mengadakan kontrol, Belanda memaksa memindahkan kampung-kampung yang pada mulanya disepanjang sungai, dipindah disepanjang jalan raya yang dibangun Belanda. Muncullah desa-desa baru yang rumah-rumahnya berbaris menghadapi jalan raya. Disetiap persimpangan sungai yang strategis dibuat benteng pengawasan wilayah. Dengan demikian muncul kota-kota baru seperti Rantau, Kandangan, Barabai, Tanjung, Pelaihari dan sebagainya. Pembuatan jalan raya ini membuka daerah yang terisolasi, penting bagi pengawasan militer Belanda, tetapi juga membawa pengaruh bagi perkembangan ekonomi perdagangan.
Perubahan ini sangat mempengaruhi kelompok kaum bangsawan dan sesudah tahun 1863 yaitu setelah tanah apanase sumber penghasilan kaum bangsawan dihapus oleh Belanda, kaum bangsawan menghadapi krisis prestise. Dengan dihapusnya kerajaan, kekuasaan politik pemerintahan pindah ketangan super elite baru, pemerintah Hindia Belanda. Kedudukan politis kaum bangsawan sama dihadapan penjahan Belanda, sebagai “inlander” mempunyai kewajiban yang sama membayar pajak dan lain sebagainya. Kaum bangsawan tidak memperoleh hak sebagai pelaksana politik kecuali bagi mereka yang memperoleh pendidikan tertentu. Gelar kebangsawanan lama kelamaan tidak membawa pengaruh apa-apa di kalangan rakyat Orang Banjar. Orang Banjar berjiwa dagang dengan semangat Islam yang tinggi dan menghargai seseorang bukan dengan dasar gelar kebangsawanan atau harta benda, tetapi dengan dasar ketaqwaan terhadap Allah, karena itulah golongan ulama mendapat kehormatan sepanjang masa sejak dulu sampai sekarang. Pedagang Banjar muncul sebagai pedagang kelas menengah dan menguasai perdagangan hasil hutan daerah Barito. Perdagangan mereka cukup kuat dan perdagangan Orang Banjar menggunakan kapal-kapal layar sendiri sampai menjalani rute Banjarmasin-Singapore-Madras India. Perdagangan Sungai Barito dikuasai oleh golongan pedagang Banjar dan ketika Borsumy membuka kantor cabangnya di Banjarmasin, Borsumy terlebih dahulu mengadakan perundingan dengan kelompok pedagang Banjar agar operasional mereka tidak terganggu. Akibat perubahan situasi ekonomi perdagangan ini, maka golongan bangsawan kedudukannya merosot sama sekali, mereka sekarang merupakan golongan yang diatur tata ekonominya dan sekarang menjadi golongan konsumtif dan posisi mereka menurun. Hal ini membawa akibat pula dalam bidang kebudayaan daerah. Hilangnya keraton, menyebabkan sarana untuk perkembangan kesenian klasik ikut berkurang dan disamping itu sikap golongan ulama yang tidak menyenangi budaya keraton. Kesenian kelasik mengalami proses disintegrasi dan akhirnya hampir tidak dikenal lagi di kalangan luas masyarakat Banjar. Dalam masyarakat tradisional, golongan bangsawan merupakan golongan yang memberi identitas kepada kebudayaan masyarakat Banjar disamping Islam. Sesudah tahun 1863 golongan ini berada dalam keadaan kritis nilai, sehingga kedudukan mereka sebagai kekuatan sosial menjadi lemah dan secara berangsur-angsur hilang beralih ke dalam lapisan sosial yang lain dan akhirnya mengalami krisis identitas. Identitas bangsawan yang sekarang masih ada hanya berupa gelar-gelar didepan nama yang tak berfungsi lagi ditinjau dari segi status bangsawan seperti semula. 

 (Selesai)

Sumber : Sejarah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar