Keadaan geografis Indonesia
yang berpulau-pulau dan jumlahnya mencapai ribuan pulau besar kecil
menyebabkan daerah pesisir telah memegang peranan yang cukup penting di
bidang perdagangan maupun kekuasaan politik dan ekonomi. Melihat
kenyataan bahwa sejak permulaan berdirinya kerajaan Islam di Indonesia
baik yang terletak di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan dan Maluku,
maka daerah pesisirlah yang menjadi pusat kerajaan, hal ini tidak
mengenyampingkan peranan kerajaan Mataram Islam yang berpusat di
pedalaman. Dengan keadaan geografis semacam ini akan sulit kiranya
membayangkan adanya suatu kekuasaan tunggal untuk menguasai seluruh Indonesia
pada saat itu. Dalam perkembangan masyarakat Indonesia-Hindu yang
berpindah secara perlahan dan lambat ke masyarakat Indonesia Islam dan
lenyapnya kekuasan raja Indonesia-Hindu yang digantikan oleh munculnya
kekuasaan kerajaan Indonesia Islam telah membawa akibat pula dalam
transformasi politik dan sosial untuk menuju ke sistem masyarakat baru.
1. Kalimantan Selatan Sebelum Datangnya Islam
1 Commisie Voor Het Adatrecht, Adatrectbundels Deel XIII,
Borneo’s Gravenhage Martinus Nijhoff, 1917, dalam Abdurrahman, “Studi
Tentang Undang-Undang Sultan Adam 1835: Suatu Tinjauan Tentang
Perkembangan Hukum Dalam Masyarakat dan Kerajaan Banjar pada Pertengahan
Abad ke-19”, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam, Banjarmasin, 1989,
hal. 63; Amir Hasan Kiai Bondan, Suluh Sedjarah Kalimantan, Fadjar, Banjarmasin, 1953, hal. 151. 2 Anggraini Antemas, Orang-orang Terkemuka Dalam Sejarah Kalimantan, B.P. Anggraini Features, Banjarmasin,
1971, hal. 41. 3 Diucapkan Demang Lehman menjelang eksekusi di tiang
gantungan di tanah lapang Martapura 27 Februari 1864. Lihat Anggraini
Antemas, ibid., hal. 54.
Apabila daerah Kalimantan
khususnya bagian selatan hingga sekarang terkenal sebagai satu-satunya
daerah penghasil intan di Indonesia, maka bukanlah suatu kebetulan bahwa
sejak tahun 1400 Masehi para pedagang asing Cina sudah mengincar daerah
ini. Bagaimanapun juga hingga abad ke- 15 Tanjungpura dan daerah Matan
di Kalimantan Selatan merupakan pusat perdagangan intan. Umumnya
perdagangan ini dikuasai oleh pedagang Cina, bahkan ketika Portugis
sudah di bidang perdagangan di wilayah ini tidak dapat mengubah posisi
seperti telah terjadi pada abad-abad sebelumnya.4 Menurut beberapa
sumber ada tiga jalur perdagangan intan sampai ke Landak. Dengan melalui
Sukadana – Tanjungpura dari abad ke-16 dan abad sebelumnya, dari kota kuno Matan. Pada waktu itu kota Matan merupakan inti dari pusat perekonomian saat itu. Orang-orang Jawa menyebut kota Matan untuk seluruh pulau besar ini, hanya Portugis yang menyebut Borneo
suatu lafal keliru dari Brunai. Dua daerah lainnya dari jalur
perdagangan intan adalah Lawe dan Sambas. Lawe atau Sukadana sejak abad
ke-16 sudah mulai jatuh dibawah kekuasaan Jawa yang mencapai titik jenuh
pada masa Mataram di awal abad ke- 17. Barangkali sumber yang cukup tua
menyebutkan bahwa Kalimantan pada periode menjelang masuknya Islam di
Kalimantan ialah Negara Kartagama, yang ditulis oleh Mpu Prapanca
tahun 1365 ini telah menyebut daerah Kalimantan Selatan yang diketahui
ialah daerah sepanjang sungai Negara, Batang Tabalong, sungai Barito dan
sekitarnya.5 Situasi politik di daerah Kalimantan Selatan menjelang
Islam banyak diketahui dari sumber historiografi tradisional yakni
Hikayat Lambung Mangkurat atau Hikayat Banjar. Sumber tersebut
memberitahukan bahwa di daerah Kalimantan Selatan telah berdiri kerajaan
yang bercorak Indonesia.-Hindu Negara Dipa yang berlokasi sekitar Amuntai dan kemudian dilanjutkan dengan Negara Daha
sekitar kota Negara sekarang. Kalau kita memperhatikan sumber tersebut
tentang asal-usul adanya pemukiman baru di Hujung Tanah tempat pemukiman
terakhir dari saudagar Mangkubumi sangat menarik perhatian. Hikayat
Banjar menjelaskan tentang berdirinya kerajaan Negara Dipa, kerajaan
yang bercorak Indonesia-Hindu dan merupakan kerajaan pertama di
Kalimantan Selatan. Negara Dipa pada mulanya terletak di Hujung Tanah. Aria Mangkubumi sebagai cikal bakal raja Banjar bukanlah seorang yang berasal dari keturunan raja. Ia hanya saudagar kaya raya.
4 B.O. Schrieke, Indonesian Archipelago, Part One, The Hague,
1955, hal. 22, dalam Hasan Muarif Ambary, “Catatan Tentang Masuk dan
Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan”, Prasaran Seminar Sejarah
Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1976.
Menurut konsepsi Hindu tidak mungkin seorang yang berasal dari kasta Waisya (pedagang) dapat menobatkan diri sebagai raja. Itulah sebabnya, ketika Mangkubumi meninggal dunia maka penggantinya Ampu Jatmika
yang seharusnya Menjadi raja pertama Negara Dipa menata pemerintahan
dan negara dengan membuat bangunan-bangunan. Ia segera membuat candi,
balairung, keraton, ruang sidang dan menara. Karena Ampu Jatmika bukan
keturunan raja maka dibuatlah simbol institusi raja berupa arca
laki-laki dan perempuan yang kemudian ditempatkan di Candi dan segenap
rakyat diwajibkan menyembah dan menganggapnya sebagai raja. Hal ini
dilakukan supaya Ampu Jatmika beserta keturunannya kelak kemudian hari
terhindar dari segala macam marabahaya.6 Selanjutnya diangkatlah Aria
Megatsari menjadi Patih kerajaan yang membawahi beberapa Mantri. Ketika
Ampu Jatmika meninggal pengganti tahta kerajaan tetap menjadi persoalan
karena Ampu Jatmika berpesan bahwa kedua puteranya Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat
atas pesan ayahnya tidak berhak naik tahta karena bukan keturunan raja.
Lambung Mangkurat berhasil mencari pengganti raja yaitu Puteri Junjung Buih yang atas jasa Lambung Mangkurat memperoleh jodoh seorang Pangeran Majapahit bernama Raden Putera yang kemudian bergelar Pangeran Suryanata.
Lambung Mangkurat memegang jabatan Mangkubumi hingga pada akhir
hayatnya. 7 Kalau kita memperhatikan legenda ini maka jelas disini
adanya suatu kompromi politik antara unsur pribumi, yaitu Puteri Junjung
Buih yang dapat dianggap mewakili legenda setempat dengan jodoh seorang
Pangeran Majapahit yang berarti dari segi konsepsional ia berhak
menduduki kursi kerajaan.8 Disini kita dapat melihat jelas adanya suatu
ungkapan yang cukup dapat diterima akal dari Hikayat Lambung Mangkurat atau Hikayat Banjar tentang
adanya perkawinan politik antara penduduk pribumi yang diwakili oleh
Puteri Junjung Buih dengan seorang pendatang yang berdarah biru.
Menjelang datangnya Islam ke daerah Kalimantan Selatan kerajaan yang
bercorak Indonesia Hindu telah berpindah dari Negara Dipa ke Negara Daha diperintah oleh Maharaja Sukarama.
5 Th. Pigeaud, Java in the 14 th Century, a Study in Cultural History, Volume
III, The Hague, 1960, Canto 16, Stanza 14, dalam Hasan Muarif Ambary,
“Catatan Tentang Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan”,
Prasaran Seminar Sejarah Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1976. 6 J.J.
Ras, Hikayat Banjar a Study in Malay Historiography, Martinus Nijhoff, The Hague, 1968, hal. 234 – 242 ; A.A. Cense, De Kroniek van Banjarmasin, Proefschrift, Leiden,
1928, hal. 8-12, dalam Hasan Muarif Ambary, “Catatan Tentang Masuk dan
Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan”, Prasaran Seminar Sejarah
Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1976. 7 J.J. Ras, ibid., hal.
52. 8 Hasan Muarif Ambary, “Catatan Tentang Masuk dan Berkembangnya
Islam di Kalimantan Selatan”, Prasaran Seminar Sejarah Kalimantan
Selatan, Banjarmasin, 1976, hal. 44.
Setelah dia meninggal dia digantikan oleh Pangeran Tumenggung yang menimbulkan sengketa dengan Raden Samudera
cucu maharaja Sukarama, yang dilihat dari segi institusi kerajaan
mempunyai hak mewarisi tahta kerajaan. Hikayat Banjar telah memberi
contoh perlambang hak waris mahkota Kerajaan ini. Salah satu lambang
kerajaan yang bernilai magis yang paling tinggi adalah mahkota. Ketika
Mangkubumi Pangeran Tumenggung yang berusaha merebut tahta kerajaan dari
Pangeran Samudera dan ketika dia menobatkan diri dengan mencoba memakai
mahkota ternyata tidak dapat masuk ke kepalanya hingga dia membatalkan
memakai mahkota. Dengan demikian Negeri Daha adalah benteng terakhir
dari institusi kerajaan bercorak Indonesia-Hindu dan setelah itu
digantikan dengan institusi bercorak Islam.
2. Tersebarnya Agama Islam
Berdasarkan pendapat para orientalis Barat masuknya agama Islam ke Indonesia melalui negeri Persia (Iran). Salah satu bukti yang dikemukakan adalah berdirinya kerajaan Islam yang pertama di Indonesia adalah kerajaan Pase. Nama Pase dihubungkan dengan nama Parsi. Tetapi para ahli sejarah bangsa Indonesia membantahnya. Nama Pase berasal
dari kata pasir, menurut logat dan lidah orang Aceh, karena kerajaan
Pase itu terletak di pantai pulau Sumatera yang berpasir di daerah Aceh.
Orang Aceh pada umumnya tidak dapat mengatakan huruf “r” pada akhir
kata seperti kata pasir diucapkan pase, air diucapkan aye, Belanda Kapir
diucapkan Belanda Kape. Teori yang mengatakan bahwa agama Islam
datangnya melalui negeri Parsi untuk menguatkan hipotesa bahwa aliran
Syiahlah yang pertama kali masuk ke Indonesia. Hipotesa ini dikuatkan dengan adanya perayaan Tabut di Sumatera Barat yang mengingatkan pada peristiwa Perang Karbala dengan terbunuhnya Sayidina Ali ra. Pada
umumnya para sejarawan tidak sependapat dengan teori masuknya agama
Islam melalui negeri Parsi. Pada bulan Maret 1964 telah diadakan Seminar
Sejarah masuknya Islam ke Indonesia di kota Medan. Seminar mengambil kesimpulan sebagai berikut :
a) Bahwa menurut sumber-sumber yang kita ketahui, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ke- 7-8 Masehi dan langsung dari Arab.
b)
Bahwa daerah pertama yang didatangi Islam ialah pesisir Sumatera; dan
bahwa setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka raja Islam yang
pertama berada di Aceh.
c) Bahwa dalam proses peng-Islaman selanjutnya, orang-orang Indonesia ikut aktif mengambil bagian.
d) Bahwa muballig-muballig Islam yang pertama itu selain sebagai penyiar agama Islam juga sebagai pedagang.
e) Bahwa penyiaran agama Islam di Indonesia dilakukan secara damai.
f) Bahwa kedatangan Islam ke Indonesia itu membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian Bangsa Indonesia.
9 Muballig-muballig Islam yang datang pertama ke Indonesia langsung dari Mekkah atau Madinah. Ada kemungkinan besar bahwa diantara mereka itu terdapat golongan ‘Alawiyyin keturunan
Sayidina Hasan dan Husein bin ‘Ali baik yang berasal dari Mekkah atau
Madinah ataupun yang kemudian menetap di Yaman dan sekitarnya. Adalah
sangat mungkin pula bahwa para muballig Islam itu menetap di Gujarat sebelum mereka sampai ke Indonesia. Pada abad-abad ke- 7/8 Masehi telah banyak menetap imigran dari Arab di pantai Barat Pakistan sekarang dan di pantai India. Hubungan pelayaran dengan kapal layar sangat ditentukan oleh angin, karena itulah para muballig ini menetap di beberap daerah Pakistan dan India sebelum melanjutkan pelayaran mereka ke Indonesia. Gujarat
mereka jadikan sebagai pangkalan perdagangan dan penyebaran Islam,
karena tujuan mereka adalah da’wah Islam sambil berdagang. Dalam proses
penyebaran agama Islam ini, orang Arab yang bertindak sebagai muballig
memegang peranan sebagai pimpinan, dan bukanlah orang India sekalipun mereka juga muballig. Muballig bangsa India lebih memusatkan perhatian mereka untuk menyebarkan agama itu kepada bangsa India sendiri yang mayoritas beragama Hindu dan Budha. Kecintaan orang-orang Islam Indonesia terhadap Ahlulbait Rasulullah tidak dapat dijadikan alasan bahwa orang Islam Indonesia
menganut aliran Syiah. Mencintai ahlulbait, kerabat dan keluarga
Rasulullah bukan hanya pengikut aliran Syiah tetapi semua ummat
Islam.Dalam Al-Qur’an Surat Asy Syuura ayat 23 menyebutkan bahwa Allah
berfirman yang terjemahannya: “Katakanlah hai Muhammad, Aku tidak meminta upah apapun kepadamu tentang seruanku ini kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan”. Mencintai
Ahlul Bait Rasulullah adalah juga ajaran dalam aqidah Ahlussunnah wal
Jamah. Mencintai Sayidina Hasan dan Husein serta cucu-cucunya sudah
menjadi darah daging bagi ummat Islam Indonesia, begitu pula terhadap para sahabat Nabi. Kedatangan Islam ke Indonesia
mendatangkan kecerdasan dan kebudayaan bangsa kita adalah jelas tampak
dalam karakter dan sejarah bangsa kita pada umumnya hingga mencapai
kemerdekaan. Agama Islam mengangkat bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang berbudaya dan bentuk kebudayaan lahir dan batin.
Kebudayaan lahir tampak pada benda-benda budaya Islam seperti bangunan
masjid-masjid dan surat yang tersebar luas di seluruh Indonesia.
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Al Maarif, Bandung, 1979, hal. 176.
Mimbar-mimbar
masjid serta ukiran-ukiran berupa hiasan pada mimbar, kaligrafi yang
sangat disenangi kaum muslimin, serta busana yang dikenal sebagai busana
muslim adalah juga merupakan kebudayaan lahir. Kebudayaan batin yang
lahir sebagai akibat masuknya agama Islam antara lain berupa adat
istiadat budi pekerti yang terbentuk dari ajaran Islam yang membentuk
kepribadian bangsa Indonesia.
Kepribadian bangsa, Pancasila dan butir-butir yang terdapat di dalamnya
sebetulnya adalah manifestasi dari ajaran Islam. Dengan demikian
dapatlah dikatakan bahwa seorang muslim adalah juga seorang Pancasilais
sejati. Aqidah Islam yang tertanam dalam dada seorang muslim menimbulkan
semangat patriotisme untuk membela bangsa dari cengkeraman penjajah.
Sejarah dapat membuktikan semangat yang terpencar dari Aqidah Islam ini.
Perang Aceh, Perang Banjar, Perang Diponegoro, Perang Padri, begitu
pula patriotosme Patahillah serta pasukan Demak untuk menghalau Portugis
tahun 1527 adalah gambaran dari patriotisme bangsa untuk mengusir
penjajah. Perang Aceh (1873– 1905) dan Perang Banjar (1859-1905) dapat
bertahan sangat lama dan menghabiskan tenaga dan pikiran bangsa Belanda
adalah karena dimotivasi oleh Aqidah Islam. Sehubungan dengan inilah Dr.
Setia Budi (E.F.E. Douwes Dekker 1879-1952) pernah mengatakan dalam
salah satu ceramahnya di Yogyakarta menjelang akhir hayatnya antara lain
mengatakan : “Jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam,
maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti yang
diperlihatkan oleh sejarah bangsa Indonesia hingga mencapai
kemerdekaan.” Kembali pada masalah kapan masuknya agama Islam ke Indonesia. Seminar masuknya agama Islam ke Indonesia mengambil kesimpulan bahwa Islam datang ke Indonesia
pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 dan 8 Masehi. Pelayaran
antara negeri-negeri Islam di Timur Tengah dengan bangsa di tanah air
kita sudah berkembang sejak pada masa kebesaran khalifah abad ke- 9.
Pada waktu itu tidak ada kapal-kapal lain yang melayari rute tersebut
kecuali bangsa-bangsa dari Islam. Sehubungan dengan ini al-Mas’udi
seorang pengarang, ahli sejarah, pelaut, dan pengeliling benua yang
wafat pada 246 Hijriyah atau 957 Masehi mengatakan dalam bukunya Murujul Zhahab atau Padang Luas Bertaburan Emas : Sangat
luas kerajaan Maharaja Jawa itu, balatentaranya tidak terhitung
banyaknya. Dua tahun habis waktu jika hendak menjalani kerajaannya.
Sangat pula cukup berbagai hasil tumbuh-tumbuhan dan kayu-kayuan yang
wangi dan minyak wangi. Kapur barus, cengkeh dan cendana datang dari
negeri itu dan lain-lain lagi. Disebelah sana terbentang jalan luas lautan besar jalan ke negeri Cina”.
10 10 Saifuddin Zuhri, ibid., hal. 184.
Mas’udi
adalah seorang Arab keturunan Abdullah bin Mas’ud salah seorang sahabat
Nabi. Pada tahun 309 Hijriyah setelah dia mengelilingi Parsi dan
Kirman, ia mengelilingi India dan Srilangka, dan dari sana
mengarungi samudra berlayar ke Cina. Dia beberapa kali mengadakan
pelayaran antara Cina dan Madagaskar. Mas’ud bukan satu-satunya orang
Arab yang melayari rute ini, tetapi yang jelas bahwa abad ke- 3 Hijriyah
Mas’udi telah singgah di Nusantara kita ini. Pada abad ke- 2 Hijriyah
atau abad 9 Masehi telah terjalin hubungan antara Arab dengan dataran
Cina. Adalah hal yang sangat mungkin hubungan dengan Nusantarapun telah
ada. Pada abad ke- 2 Hijriyah di pesisir Cina. gudang terletak di Canton. Pada tahun 758 M terjadi keributan di Canton dan menyebabkan gudang perdagangan itu dirampok orang. Pada abad itu telah terbentuk jamaah masjid di Canton
dengan imam dan khotibnya serta seorang Qadi bangsa Cina sendiri. Kalau
dalam abad kedua Hijriyah telah terbentuk jamaah dan masyarakat Muslim,
hal itu berarti bahwa agama Islam itu telah masuk ke Cina sebelum abad
itu, sebab melahirkan sebuah masyarakat Muslim memakan waktu yang cukup
lama. Jadi dapatlah dipastikan Islam telah masuk ke Cina pada abad ke-2
Hijriyah atau abd ke 8 M. Pelayaran antara Arab-Cina cukup jauh dengan
kapal layar, oleh sebab itu Nusantara adalah satu-satunya tempat
persinggahan selama menunggu datangnya angin baik untuk dapat
melanjutkan pelayaran ke negeri Cina. Kalau Islam masuk ke negeri Cina
pada aabd ke 2 Hijriyah, adalah sangat mungkin sekali Islam masuk ke
Nusantara kita ini pada abad pertama Hijriyah atau abad ke- 7-8 Masehi.
Menurut pendapat Ir. Moens dalam bukunya “De Noord Sumatraanse Rijken der Parfums en Specerjen in voor Moslimse Tijd”, yang
dikutip oleh MD Mansur mengatakan bahwa kerajaan Samudera-Pase telah
berdiri sejak lama dan pada abad ke-5 M telah menjadi pusat perdagangan
yang resmi antara India dan Cina. Sir Thomas Arnold dalam bukunya “Preaching of Islam” mengatakan
bahwa di pantai barat pulau Sumatera telah terdapat satu kelompok
perkampungan orang Arab, yaitu pada zaman pemerintahan Yazid dari Bani
Umayyah tahun 684 M. Dari dua pendapat ini dapatlah ditarik suatu
kesimpulan bahwa Islam telah masuk sekitar abad ke- 7 – 8 Masehi.
Hubungan antara pedagang India dan Arab sudah lama terjalin dan tidaklah mustahil apa yang disebutkan Moens pedagang India
itu juga termasuk diantaranya pedagang Arab yang telah bermukim di
India. Umumnya setiap pedagang Arab adalah juga berfungsi sebagai
Muballig, dimana mereka menetap, disitu pula Islam berkembang. Tentang
kelompok orang Arab yang menetap di pantai sebelah barat Sumatera, para
sejarawan dalam Seminar Sejarah masuknya Islam tersebut berkesimpulan
bahwa yang dimaksud pantai barat Sumatera itu adalah Baros. Terdapat banyak bukti tentang Baros sebagai tempat pertama disinggahi para pedagang Arab.
Masuknya
agama Islam ke Nusantara tidaklah bersamaan dengan berdirinya kerajaan
Islam di Nusantara ini. Tidak pernah terjadi dalam sejarah kedatangan
agama Islam langsung mendirikan kerajaan Islam. Antara datangnya agama
Islam dengan berdirinya sebuah kerajaan Islam melintasi waktu yang cukup
lama. Sebelum agama Islam masuk, telah berdiri kerajaan yang mendapat
pengaruh agama Hindu dan Budha, karena itulah tentunya agama baru yang
masuk melalui proses yang lama baru dapat diterima oleh masyarakat
sebagai agama. Abad ke- 7-8 Masehi adalah zaman keemasan Bani Umayyah
dan Abbassiah dan pada masa itu pula pedagang-pedagang Muslim yang
terdiri dari orang-orang Arab, India dan Gujarat melakukan kegiatan
perniagaan ke daerah Timur jauh dan Asia Tenggara. Kalau kita perhatikan
bahwa pada abad itu adalah masa Sriwijaya mengembangkan kekuasaannya.
Selat Malaka merupakan daerah pengawasan Sriwijaya, sudah dilalui oleh
pedagang-pedagang Muslim. Berdasarkan berita Cina dari Dinasti T’ang,
disebutkan bahwa masa itu sudah ada pedagang Muslim, baik yang bermukim
di Kanfu (Kanton) maupun di daerah Sumatera sendiri.11 Perdagangan yang
meningkat pada masa itu dimungkinkan pula oleh kegiatan kerajaan Islam
dibawah Bani Umayyah dibagian barat serta kerajaan Cina di bagian timur
telah meramaikan jalur perdagangan lewat Asia Tenggara dibawah
Sriwijaya.12 Penguasaan Selat Malaka oleh Sriwijaya sangat penting
karena merupakan kunci bagi pelayaran dan perdagangan internasional masa
itu. Kedatangan pedagang-pedagang Muslim tidak terasa akibatnya bagi
kerajaan di Asia Tenggara dan Timur Jauh. Tetapi dua abad kemudian yaitu
abad ke- 9 telah terjadi pemberontakan oleh petani Cina dimana
masyarakat Muslim di sana
telah turut serta dalam pemberontakan itu dan banyak diantaranya yang
terbunuh. Sebagian penduduk Muslim yang selamat melarikan diri dan
menetap di Kedah. Kaisar Cina yang diberontak itu adalah
Hi-Tsung (878-879) dari Dinasti T’ang. Kaum muslimin yang menetap itu
kemudian melakukan kegiatan politik dan ini berakibat terjadinya
pertentangan antara Sriwijaya dengan negeri Cina, karena Kedah berada
dibawah perlindungan Sriwijaya. Syed Naguib al-Atas menyatakan bahwa
orang-orang Muslim yang sudah ada sejak abad ke- 7 di Kanton dan telah
menetap di Kedah abad ke- 9 dan Sumatera telah memiliki derajat yang
tinggi dan memelihara baik kelangsungan organisasi kemasyarakatan dan
kehidupan beragama.
13 11 W.P. Groeneveldt, Notes on Indonesia and Malaya Compiled from Chinese Sources, Bharatara,
1960, hal. 14, dalam Hasan Muarif Ambary, “Catatan Tentang Masuk dan
Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan”, Prasaran Seminar Sejarah
Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1976. 12 George Fadlo Hourani, Arab Seafaring in the Indian Ocean and Early Medioval Times, New
Jersey University Press, Princeton, 1951, hal. 61-62, dalam Hasan
Muarif Ambary, “Catatan Tentang Masuk dan Berkembangnya Islam di
Kalimantan Selatan”, Prasaran Seminar Sejarah Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1976. 13 Syed Naguib al-Atas, Preliminary Statement on a General Theory of The Malay-Indonesia Archipelago, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pengajaran Malaysia, Kuala Lumpur, 1969, hal. 11, dalam Hasan Muarif
Kondisi
Sriwijaya dalam abad ke- 13 sudah mulai menurun dan perdagangannya
sudah lemah. Situasi menguntungkan bagi pedagang Muslim.
Pedagang-pedagang Muslim di beberapa daerah memperoleh keuntungan
politik, dimana mereka merupakan pendukung politik berdirinya kerajaan
yang bercorak Islam. Kerajaan pertama yang terbentuk dengan corak Islam
ini adalah kerajaan Samudera-Pase yang berdiri pada abad
ke-13. Kalau kita melihat bahwa dalam abad ke-13 sudah ada kerajaan
yang bercorak Islam di Indonesia, ini berarti bahwa proses hubungan kaum
Muslim dengan pribumi yang bergaul dalam waktu yang lama telah
menghasilkan berdirinya sebuah institusi kerajaan yang bercorak Islam.
Hal ini berarti pula bahwa orang pribumi telah berhubungan dan mengenal
Islam melalui kegiatan perdagangan. Pedagang-pedagang yang menetap di
pelabuhan-pelabuhan mendapat simpati penduduk pribumi lebih-lebih
masyarakat golongan bangsawan, karena pedagang Muslim ini memegang
peranan pening dalam dunia perdagangan, dimana para kaum bangsawan dan
raja-raja memiliki saham. Hal yang mempermudah adalah karena Islam tidak
mengenal adanya kasta. Seorang pemeluk agama Hindu dari kasta Sudra yaitu
kasta yang paling rendah dalam masyarakat Hindu, apabila dia masuk
agama Islam, derajatnya akan sama dengan setiap pemeluk Isam lainnya.
Hal ini adalah bahwa setiap Muslim mempunyai kewajiban untuk mengajak
ummat lain memeluk agama Islam. Hal ini berbeda dengan agama Hindu,
dimana kewajiban seperti itu hanya dimiliki kasta Brahmana, kasta
tertinggi di kalangan masyarakat Hindu.14 Seorang musafir Portugis Tome
Pires yang berlayar disebagian besar daerah Nusantara pada permulaan
abad ke- 16 (1512-1515) telah menyebutkan bahwa hampir seluruh pesisir
utara Jawa dan Sumatera sudah menganut agama Islam dan sudah banyak
kerajaan yang bercorak Islam, hanya beberapa daerah pedalaman yang belum
menganut Islam.15 Lebih mengherankan lagi ketika kerajaan Majapahit
sedang mencapai puncak kejayaannya di jantung ibu kota Majapahit telah
terdapat kelompok kaum Muslimin dan hal ini terbukti dengan ditemukannya
kelompok makam orang Islam yang bertuliskan angka tahun dari abad ke-
14 dan 15 di sekitar Trowulan – Mojokerto.
Ambary, “Catatan Tentang Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan”, Prasaran Seminar Sejarah Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1976. 14 C. Snouck Hurgronye, De Islam in Nederlandsch Indie,
VG IV, hal. 362, dalam Hasan Muarif Ambary, “Catatan Tentang Masuk dan
Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan”, Prasaran Seminar Sejarah
Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1976. 15 Armando Cortessao, The Suma Oriental of Tome Pires, Vo. I London,
1944, hal. 137 dan seterusnya, dalam Hasan Muarif Ambary, “Catatan
Tentang Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan”, Prasaran
Seminar Sejarah Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1976.
16
Kenyataan ini memperkuat dugaan bahwa di daerah pantai utara Jawa Timur
khususnya sekitar Gresik adalah daerah pemukiman kaum Muslimin dan
tempat kegiatan perdagangan dan sosial. Hal ini dapat dilihat dari bukti
ditemukannya sebuah batu nisan berangka tahun 475 Hijriyah atau 1082
Masehi, yaitu makam Fatimah binti Maimun di Leran-Gresik. Pertumbuhan
masyarakat Muslim di pusat ibu kota
kerajaan Majapahit dan di daerah-daerah pelabuhan terutama seperti
Gresik, Tuban, Jaratan sangat erat hubungannya dengan tumbuhnya
kekuasaan politik Samudera-Pase dan Malaka. Hubungan perdagangan yang
sudah berlangsung lama dengan kerajaan dan pedagang Muslim, menyebaban
daerah-daerah pelabuhan itu menjadi pusat pertumbuhan masyarakat Muslim.
Pada tahap pertama hubungan antara raja-raja Majapahit dengan daerah
kekuasaannya di daerah pesisir berjalan seperti biasa, tetapi setelah
para Adipati pesisir itu memeluk Islam dan mempunyai posisi perdagangan
yang mantap dan kekuatan yang besar, barulah terasa ancaman itu
datangnya dari para Adipati Pesisir. Pertikaian dikalangan keluarga
Majapahit untuk memperebutkan kedudukan sebagai raja mempercepat proses
penghancuran Majapahit. Proses kelemahan pusat pemerintahan Majapahit
berkaitan dengan proses pertumbuhan Kerajaan Pantai yang bercorak
Islam.17 Proses kehancuran Majapahit menjadi sempurna, setelah Demak muncul
sebagai kekuatan politik sebagai kekuatan dan pusat Islam di pantai
utara Jawa. Sejak abad ke- 15 Demak menjadi pusat kegiatan penyebaran
Islam di tanah Jawa yang di pelopori oleh para Wali Songo.
Babad Banten bahkan menyebutkan bahwa ketika ada penyerangan dari
Majapahit, maka di Demaklah para wali berkumpul untuk musyawarah
menentukan langkah-langkah yang perlu diambil. Dari berita Tome Pires
dan berita-berita Babad setempat diketahui bahwa Demak berdiri sebagai
kerajaan dengan Pate Rodim Sr ucapan Portugis untuk Raden Patah,
satu demi satu daerah pesisir utara Jawa mulai mengakui kekuasaan
Demak. Lebih-lebih lagi ketika benteng kekuasaan Indonesia Hindu di Jawa
Barat dapat diduduki dengan jatuhnya Jayakarta oleh Fadillah khan, sebutan Portugis untuk Falatehan,
maka praktis hegemoni sudah tidak dapat dibendung lagi.18 Kedatangan
Islam ke daerah Indonesia bagian timur tidak pula dapat dipisahkan
dengan terbentuknya jalur perdagangan internasional saat itu. Pada saat
itu Malaka sudah merupakan pelabuhan transit dan beberapa pelabuhan di Indonesia
menjadi sangat ramai dikunjungi armada asing. Sebagai pusat perdagangan
tersebar di Asia Tenggara, juga merupakan pusat kegiatan penyiaran
agama Islam di Asia Tenggara. Selama dua abad, abad ke- 14 dan 15 Malaka
sebagai pusat kegiatan ekonomi dan agama dan juga sebagai pusat
penyebaran bahasa Melayu ke seluruh Nusantara.
16 L.Ch. Damais, Studen Javanes, I, Les Tombes Musulman Datoes de Tralaya, Befeo,
XLVIII, 1957, hal. 353, dalam Hasan Muarif Ambary, “Catatan Tentang
Masuk dan Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan”, Prasaran Seminar
Sejarah Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1976. 17 J.C. van Leur, Indonesian Trade and Society, The Hague, Bandung,
1955, hal. 133, dalam Hasan Muarif Ambary, “Catatan Tentang Masuk dan
Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan”, Prasaran Seminar Sejarah
Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1976. 18 Hasan Muarif Ambary, op.cit., 1976, hal. 42.
Bukanlah hal yang mustahil pedagang-pedagang Malaka, yaitu pedagang bangsa Melayu
yang sudah lama menetap di sekitar muara sungai Barito. Di sekitar
muara Barito dikenal sekelompok suku Melayu yang oleh suku Dayak Ngaju
disebut seagai Oloh Masih. Pada masa abad ke- 14 dan 15
di daerah Kalimantan Selatan telah berdiri kerajaan Hindu Negara Dipa
dan Negara Daha. Berdasarkan Historiografi tradisional Hikayat Lambung Mangkurat pelabuhan Negara Dipa di Muara Bahan
sangat ramai didatangi pedagang-pedagang asing. Mantri Perdagangan
Negara Dipa Wiramartas dikenal mempunyai keahlian berbagai bahasa,
diantaranya pandai berbahasa Cina, Melayu, Arab, sehingga mempermudah
terjadinya hubungan perdagangan. Para pedagang terdiri bangsa-bangsa
Nusantara seperti dari pantai utara pulau Jawa, Palembang, Johor, Malaka, sedangkan orang asing terdiri dari orang Campa, Cina, Arab, India.
Hubungan dagang antara Malaka, Jawa, Kalimantan, dan Maluku telah
diberitakan oleh pelaut Portugis Tome Pires dan Antonio Galvao.19
Berdasarkan catatan H.J de Graaf Islam masuk ke daerah Ternate pada masa
pemerintahan raja Molomateya (1350-1357) ia telah bersahabat karib
dengan orang-orang Arab karena mereka telah mengajarkan cara membuat
kapal-kapal kepada orang Maluku. Raja Ternate Zaial Abidin sebelumnya
telah memperoleh pendidikan agama Islam di pesantren Giri.20 Tentang
pendapat para orientalis bahwa agama Islam yang pertama kali masuk ke
Nusantara beraliran Syiah, teori ini tidak dapat dibuktikan
dalam sejarah. Kalau kita berkesimpulan bahwa masuknya Islam ke
Nusantara sekitar abad ke- 7-8 Masehi, masa itu adalah masa Bani
Umayyah. Kepemimpinan Islam dalam lapangan politik, ekonomi, kebudayaan
serta aqidah Islam berada ditangan bangsa Arab. Pusat-pusat kekuatan
Islam berada di sekitar Mekkah, Madinah, Damaskus dan Bagdad.
Negeri Parsi maupun bangsanya belum menduduki kepemimpinan dunia Islam.
Tugas-tugas da’wah ke luar negeri apalagi negeri yang jauh letaknya
memerlukan perlindungan orang-orang Bani Umayyah yang menjadi musuh
paling besar dari golongan Syiah, maka muballig-muballig Syiah tidaklah
mudah melakukan misi yang besar seperti pelayaran ke negeri Nusantara
ini. Disamping hubungannya yang tidak baik dengan Bani Umayyah yang
sedang berkuasa, orang-orang Syiah juga tidak mesra hubungannya dengan
golongan Ahlussunnah wal Jamaah. di kalangan Ahlus sunnah terdapat tidak
sedikit keturunan Sayidina Ali tetapi bukan golongan Syiah. Kelompok
inilah yang kemungkinan besar ikut melakukan da’wah ke negeri yang jauh
ke India dan Nusantara.
19 Hasan Muarif Ambary, loc.cit. 20 H.J. de Graaf, Cambrigde History of Islam,
1970, hal. 135, dalam Hasan Muarif Ambary, “Catatan Tentang Masuk dan
Berkembangnya Islam di Kalimantan Selatan”, Prasaran Seminar Sejarah
Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1976.
Pengaruh
mereka sangat lama membekas dalam kalangan ummat Islam. Orang-orang
Islam di Nusantara mencintai shahabat-shahabat Nabi Sayidina Abu Bakar,
Umar, Usman dan sahabat nabi lainnya, suatu hal yang tidak dapat terjadi
di kalangan golongan Syiah. Umat Islam Indonesia sejak dulu termasuk
ummat yang taat pada ajaran Al Qur’an dan As-Sunnah, dan hampir sebagian
besar dari mereka, menjadi pengikut Mazhab Syafei, tetapi juga membenarkan mereka yang mengikuti mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Oleh karena itulah mereka disebut golongan Ahlussunnah wal Jamaah. Dalam bidang Aqidah atau Ushuluddin mengikuti ajaran Imam Abul Hasan Al-Asy’ari,
dalam bidang ibadah-muamalah mengikuti salah satu ajaran dari empat
Imam Hanafi, Maliki, Syafei dan Hambali. Kenyataan sejarah itu mengakui
bahwa, sejak mulanya yang merkembang di Indonesia ialah Mazhab
Syafei.21Mengenai pendapat bahwa Islam yang datang pertama kali ke
Nusantara dari Parsi, seorang Mahaguru Ilmu Fiqih dan Filsafat Timur
pada Fakultas Ilmu Ketuhanan di Universitas Teheran, Prof. Mahmood
Shehabi yang dikenal di kalangan Syiah sebagai pakar dan paling
berwenang mewakili golongan Syiah mengatakan : “ Sejak Syah Isma’il
mendirikan kerajaan dinasti Safawi pada permulaan abad ke-10 Hijriyah
atau abad ke- 16 Masehi Syiah menjadi agama resmi Iran. Sekarang
undang-undang dasar Iran tetap meneruskan tradisi tersebut dengan mengakui syiah sebagai agama resmi negara”.22
Hal ini jelas dapat membantah tentang datangnya agama Islam yang
pertama dari Parsi. Kekuatan Syiah baru muncul pada abad ke-10 Hijriyah
atau abad ke- 16 Masehi suatu waktu yang cukup lama. Saat itu kerajaan
Islam di Nusantara mencapai puncak kebesarannya seperti Demak, Aceh,
Johor dan munculnya kerajaan Islam Banjar di Kalimantan Selatan. Masalah
yang menyangkut tersebarnya atau masuknya agama Islam ke Kalimantan
Selatan banyak menarik perhatian para sejarawan dan pemerhati sejarah di
Daerah ini, Di Kalimantan Selatan telah dua kali diadakan Seminar yang
membicarakan topik ini. Tahun 1973 diadakan Seminar yang disebut Pra Seminar Sejarah Kalimantan dan Sejarah Kalimantan Selatan khususnya Sejarah Islam. Para
pakar sejarah dan pemerhati sejarah ikut mengambil bagian dalam seminar
itu. Terdapat beberapa kesimpulan yang sangat berharga dari hasil
seminar itu. Kapan masuknya agama Islam ke Kalimantan Selatan, tidak
ditemukan bukti yang pasti karena tidak ditemukan catatan sejarah
tentang itu. Suatu kesimpulan yang berharga dan dapat diterima adalah
bahwa masuknya agama Islam tidak bersamaan dengan berdirinya Kerajaan
Banjar.
21 Saifuddin Zuhri, op.cit., hal. 190. 22 Saifuddin Zuhri, ibid., hal. 191.
Masuknya
agama Islam lebih dahulu terjadi sebelum Kerajaan Banjar terbentuk.
Kalau Kerajaan Banjar terbentuk pada awal abad ke-16 maka masuknya agama
Islam lebih awal dari itu. Tersebarnya agama Islam menyelusuri arus
lalu lintas perdagangan laut. Karena kota-kota perdagangan umumnya di
pinggir atau ditepi sungai yang dapat dilayari, maka agama Islam pun
berkembang pertama kali di daerah dimana terjadinya komunikasi antara
bangsa dan komunikasi perdagangan. Pesatnya perkembangan agama Islam itu
sangat dipengaruhi oleh penguasa setempat. Kalau di daerah itu telah
terbentuk sebuah Kerajaan Islam, maka agama Islam pun ikut berkembang
dengan pesat. Berkembangnya agama Islam di Kalimantan Selatan karena
kedudukan beberapa kota atau tempat pemukiman yang terletak di sepanjang sungai atau pantai. Kota atau tempat pemukiman itu mendapat kunjungan ramai dari para pedagang dari segala bangsa. Para
muballig yang juga adalah para pedagang menggunakan kesempatan
komunikasi transaksi perdagangan sambil menyebarkan agama Islam.
Penduduk setempat tertarik memasuki agama Islam, karena budi pekerti dan
tutur kata yang menunjukkan moral yang tinggi, akhlak mulia, dan cara
berpakaian yang selalu bersih. Proses perkawinan merupakan salah satu
cara tersebarnya agama Islam di daerah ini. Dalam sejarah pertumbuhan
dan perkembangan agama Islam terutama di Jawa dan di luar Jawa bahkan
sampai ke Maluku tidak terpisahkan dengan pengaruh ulama besar Sunan Giri. Sunan Giri mempunyai sebuah padepokan di atas sebuah bukit tidak jauh dari Surabaya termasuk salah seorang Wali Songo yang berpengaruh. Ia semula bernama Raden Paku,
putera dari Maulana Ishak. Maulana Ishak ayahnya berasal dari kerajaan
Pase. Ibunya seorang puteri Raja Balambangan yang masih beragama Hindu
yang dikawini Maulana Ishak karena berhasil mengobati sang puteri raja.
Salah seorang gurunya adalah Raden Rahmat yang dikenal bergelar Sunan
Ampel di Surabaya. Maulana Ishak ayahnya kemudian kembali ke Kerajaan
Pase dan Raden Paku dipelihara oleh seorang wanita kaya di Gresik Nyi
Gede Maloka. Raden Paku bersama Makhdum Ibrahim putera Sunan Ampel
kemudian menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Keduanya singgah di Pase dan
dia bertemu dengan ayahnya. Keduanya memperdalam pengajiannya di Pase
sampai memperoleh “Ilmu Laduni”. Raden Paku kemudian kembali ke Jawa dan mendirikan keraton dan masjid di bukit Giri dekat Gresik dan kemudian dia dikenal sebagai Sunan Giri. Giri adalah kota
pesisir yang kuat dan ramai perdagangannya. Menurut pendapat Prof.
HAMKA cara da’wah Sunan Giri dengan Sunan Bonang berbeda. Kalau Sunan
Bonang menda’wahkan Islam di Kalangan atas di keraton Majapahit yang
masih beragama Hindu, Sunan Giri menda’wahkan Islam di kalangan rakyat
kecil. Da’wah Sunan Bonang mendorong kemudian berdirinya Kerajaan Islam
Demak sebagai pusat Islam. Tetapi pengaruh Sunan Giri sangat besar
terhadap perkembangan kerajaan Islam Demak. Sunan Girilah yang
memberikan gelar Sultan kepada raja Demak. Dalam hal ini sangat menarik
perhatian hubungan antara Sunan Giri dengan daerah Kalimantan Selatan.
Dalam Hikayat Lambung Mangkurat diceritakan tentang Raden Sekar Sungsang dari Negara Dipa yang lari ke Jawa. Ketika dia masih kecil kelakuannya menjengkelkan ibunya Puteri Kaburangan, yang juga dikenal sebagai Puteri Kalungsu.
Waktu dia kecil karena sering mengganggu ibunya, dia dipukul di
kepalanya dan mengeluarkan darah. Sejak itu dia lari dan ikut dengan juragan Petinggi atau Juragan Balaba yang berasal dari Surabaya.
Juragan Balaba memeliharanya sebagai anaknya sendiri dan setelah dewasa
dia dikawinkan dengan puteri Juragan Balaba sendiri. Dia mempunyai dua
orang putera Raden Panji Sekar dan Raden Panji Dekar. Keduanya berguru pada Sunan Giri. Raden Panji Sekar kemudian diambil menjadi menantu Sunan Giri dan kemudian bergelar Sunan Serabut.
Raden Sekar Sungsang kemudian kembali menjalankan perdagangan sampai ke
Negara dipa. Dengan penampilan yang tampan Raden Sekar Sungsang adalah
seorang pedagang dari Jawa, yang banyak mengadakan hubungan perdagangan
dengan pihak kerajaan Negara Dipa. Akhirnya dia kawin dengan Puteri
Kalungsu penguasa Negera Dipa, yang sebetulnya adalah ibunya sendiri.
Setelah Puteri Kalungsu hamil barulah terungkap bahwa suaminya adalah
anaknya yang dulu hilang. Mereka bercerai, Raden Sekar Sungsang
memindahkan pemerintahannya menjadi Negara Daha, yang berlokasi sekitar Negara sekarang, sedangkan Ibunya tetap di Negara Dipa sekitar Amuntai sekarang. Raden Sekar Sungsang yang menurunkan Raden Samudera yang menjadi Sultan Suriansyah raja pertama dari Kerajaan Banjar. Raden Sekar Sungsang Menjadi raja pertama dari Negara Daha dengan gelar Raja Seri Kaburangan.
Selama dia berkuasa hubungan dengan Giri tetap terjalin dengan
pembayaran upeti tiap tahun.23 Yang menjadi masalah adalah, kalau Raden
Sekar Sungsang selama di Jawa kawin dengan melahirkan putera Raden Panji
Sekar selanjutnya menjadi menantu Sunan Giri, adalah hal mungkin sekali
bahwa Raden Sekar Sungsang juga telah memeluk agama Islam. Raden Panji
Sekar menjadi seorang ulama yang bergelar Sunan Serabut, adalah hal yang
wajar kalau ayahnya sendiri Raden Sekar Sungsang telah memeluk agama
Islam meskipun keimanannya belum kuat. Kalau anggapan ini benar maka
Raden Sekar Sungsang raja dari Negara Daha dari Kerajaan Hindu yang
telah beragama Islam pertama sebelum Sultan Suriansyah.
23 Ahmad Basuni, “Usaha Menggali Sejarah Masuknya Islam di Kalimantan Selatan”, Prasaran Seminar Sejarah Kalimantan Selatan, Banjarmasin, 1976.
Kalau
benar bahwa Raden Sekar Sungsang yang bergelar Sari Kaburangan telah
beragama Islam, mengapa dia tidak menyebarkan Islam itu pada rakyatnya.
Hal ini terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinannya antara lain bahwa
agama Hindu masih terlalu kuat, sehingga lebih baik menyembunyikan ke
Islamannya, atau memang keimanannya belum kuat. Tetapi yang dapat
disimpulkan bahwa Islam telah menyelusup di daerah Negara Daha Kalimantan Selatan, sekitar abad ke- 13-14 Masehi. A.A. Cense dalam bukunya “De Kroniek van Banjarmasin”, menjelaskan bahwa ketika Pangeran Samudera berperang melawan pamannya Pangeran Tumenggung raja Negara Daha.
Pangeran Samudera menghadapi bahaya yang berat yaitu kelaparan di
kalangan pengikutnya. Atas usul Patih Masih Pangeran Samudera meminta
bantuan pada Kerajaan Islam Demak yang saat itu kerajaan terkuat setelah
Majapahit. Patih Balit diutus menghadap Sultan Demak dengan 400 pengiring dan 10 buah kapal. Patih Balit menghadap Sultan Tranggana dengan membawa sepucuk surat dari Pangeran Samudera. F.S.A. De Clereq dalam bukunya. De Vroegste Geschiedenis van Banjarmasin (1877) halaman 264 memuat isi surat Pangeran Samudera itu. Surat itu tertulis dalam bahasa Banjar dalam huruf Arab-Melayu. Isi surat itu adalah :
“Salam sembah putera andika Pangeran di Banjarmasin
datang kepada Sultan Demak. Putera andika menantu nugraha minta tolong
bantuan tandingan lawan sampean kerana putera andika berebut kerajaan
lawan parnah mamarina yaitu namanya Pangeran Tumenggung. Tiada dua-dua
putera andika yaitu masuk mengula pada andika maka persembahan putera
andika intan 10 biji, pekat 1.000 galung, tudung 1.000 buah, damar 1.000
kandi, jeranang 10 pikul dan lilin 10 pikul”.
Yang menarik dari surat ini adalah bahwa surat itu tertulis dalam huruf Arab.
Kalau huruf Arab sudah dikenal oleh Pangeran Samudera, adalah jelas
menunjukkan bukti bahwa masyarakat Islam sudah lama terbentuk di Banjarmasin.
Terbentuknya masyarakat Islam dan lahirnya kepandaian membaca dan
menulis huruf Arab memerlukan waktu yang cukup lama.24 Kalau Kerajaan
Islam Banjar terbentuknya pada permulaan abad ke- 16, maka dapatlah
diambil kesimpulan bahwa masyarakat Islam di Banjarmasin sudah terbentuk
pada abad ke- 15. Karena itulah masuknya agama Islam ke Kalimantan
Selatan setidak-tidaknya terjadi pada permulaan abad ke- 15. Timbul
pertanyaan siapakah yang melakukan tablig dan atas inisiatif siapa
tablig itu diselenggarakan.
24 A. Basuni, ibid.
Tablig, artinya
menyampaikan perintah-perintah agama Islam atau tuntunannya kepada
orang di luar Islam. Tablig yang disebut juga da’wah, mula-mula adalah
atas inisiatif Nabi besar Muhammad saw, atas ketentuan Illahi. Inilah
kewajiban setiap rasul Allah, menyampaikan perintah-perintah allah swt
kepada orang banyak dengan ajakan dan nasihat yang bijaksana. Tanpa
kekerasan dan tanpa paksaan. Cara paksaan kecuali tidak akan menanamkan
keyakinan dan kejujuran, juga dilarang Allah. “Dan jika Allah Tuhanmu
menghendaki, niscaya berimanlah ummat manusia di bumi seluruhnya.
apakah engkau akan memaksa manusia hingga mereka beriman semuanya.”25Orang-orang
yang telah menerima Islam sebagai agamanya kalangan atas menengah dan
rakyat bawah, mereka mempunyai kesadaran sendiri melakukan tugas tablig
atau da’wah. Kegiatan tablig atau da’wah atas tanggung jawab mereka
sendiri. Setiap pemeluk Islam menampilkan dirinya secara sukarela
menjadi muballig. Islam sebagaimana diajarkan oleh Nabi Besar Muhammad
saw dengan sabdanya : Hendaklah orang-orang yang hadir (yang mendengarkan ajarannya) menyampaikan kepada yang tidak hadir.26 Setiap
orang Islam, sampai sekian jauhnya adalah orang yang berpembawaan
sebagai muballig, dan dengan sendirinya menda’wahkan keyakinannya kepada
lingkungan tetangganya yang tidak beragama Islam, hingga pekerajaan
penyiaran tersebut tidak hanya dilakukan oleh para pemimpin agama secara
tertentu, melainkan juga kebanyakan orang pengembara, pedagang, dan
para pekerja pindahan yang sederhana. Dalam pada itu banyak orang yang
bersemangat perjuangan dengan penuh keikhlasan menyediakan jiwa raganya
melakukan tugas suci tersebut.27 Demikian peranan tablig atau da’wah
yang efektif menjadi salah satu sebab mengapa Islam pesat berkembang
melebihi agama-agama lain. Jalur penyebaran agama Islam di Indonesia
menyelusuri jalur perdagangan. Kota-kota perdagangan merupakan tempat
terjadinya interaksi budaya dan agama disamping fungsinya sebagai pusat
kegiatan transaksi ekonomi. Karena itulah pemeluk agama Islam yang
pertama adalah di tempat-tempat kota perdagangan di sepanjang pantai atau disepanjang sungai.
Karena agama Islam berkembangnya di sepanjang pantai atau disepanjang
jalur perdagangan, maka pembawa agama Islam yang pertama kali adalah
golongan pedagang itu sendiri, pedagang yang telah memeluk agama Islam
ataupun pedagang yang juga seorang ulama. Kelompok pertama yang memeluk
agama Islam adalah kelompok yang sering melakukan interaksi perdagangan
yaitu kelompok pedagang pula. Tetapi perlu diingat bahwa sebagian besar
dari pelaku perdagangan di kerajaan di Indonesia dipegang oleh kaum bangsawan atau pemilik modalnya adalah kaum bangsawan.
25 Al Qur’an, Yunus : 90. 26 Saifuddin Zuhri, op.cit., hal. 44. 27 L. Stoddard, Dunia Baru Islam, Panitia Penerbitan Menteri Koordinator Kesejahteraan, Jakarta, 1966, hal. 58.
Karena itu adalah sangat mungkin sekali bahwa pemeluk agama Islam yang pertama adalah kelompok pedagang yang juga kaum bangsawan. Daerah Banjarmasin yang letaknya di muara sungai Barito memungkinkan kapal besar dari pantai dapat masuk dan berlabuh di sana.
Jika kita melihat peta Kalimantan letak Banjarmasin dan Muara Bahan
(Marabahan) hanya sekitar 50 km, namun jarak sejauh itu harus ditempuh
dalam waktu yang cukup lama dengan perahu karena sungainya yang
berliku-liku sehingga ketika Pangeran Samudera memindahkan bandar dari
Muara Bahan ke Banjarmasin telah mendapat sambutan dari
saudagar-saudagar. Perdagangan sangat ramai setelah bandar pindah ke Banjarmasin. Disini dapat pula kita lihat perbedaan perekonomian antara Negara Daha dan Banjarmasin. Negara Daha menitik beratkan pada ekonomi pertanian sedangkan Banjarmasin menitik beratkan pada perekonomian perdagangan.28
Kalau kita memperhatikan peta politik perkembangan Islam di Indonesia
maka sejak abad ke-7-8 Masehi sudah ada hubungan antara penduduk
kerajaan di Indonesia terutama mereka yang tinggal di pelabuhan dengan
pedagang muslim. Lima abad ke-mudian yaitu abad ke-13 di Indonesia berdiri satu institusi kerajaan bercorak Islam yaitu kerajaan Samudera Pase. Perkembangan
agama Islam sebagai institusi kerajaan agak berjalan lambat. Tetapi
menjelang abad ke-15 – 16 maka hampir serentak di berbagai daerah di Indonesia
telah berdiri kerajaan bercorak Islam. Salah satu episode penting dalam
proses Islamisasi di Kalimantan ini telah terungkap dalam satu fragmen
dalam Hikayat Banjar yang telah menyebutkan hubungan Banjar dengan
Demak. Disebutkan dalam Hikayat tersebut bahwa Raja Banjar Raden Samudera telah ditasbihkan sebagai Sultan oleh Penghulu Demak dan oleh seorang Arab diberi gelar Sultan Suryanullah.29 Kalau kita melihat kembali sejarah berdirinya Kerajaan Demak, maka Demak telah berdiri sebagai kerajaan bercorak Islam di penghujung abad ke-15 dengan cakal bakalnya Raden Fatah.
Salah satu naskah yang baru-baru ini ditemukan kembali di daerah
Indramayu (Cirebon) yang tadinya merupakan naskah berasal dari keraton
Kasepuhan-Cirebon dari tahun 1729 telah menyebutkan satu bagian penting
tentang asal usul keluarga Raden Fatah. Naskah itu bernama Purwaka Caruban Negara.30 Naskah itu menyebutkan bahwa Raden Fatah yang bergelar Senapati Jimbun adalah putera raja Majapahit Raja Kertabumi.
Sebelumnya tidak ada satu naskahpun yang menyebutkan tentang siapa
sebenarnya Raden Fatah. Dalam Sejarah Demak yang sejak mula berdirinya
hingga mencapai zaman keemasannya ada tiga raja yang memerintah ialah
Raden Fatah, Pangeran Sabrang Lor dan Pangeran Trenggana.
28 J.J. Ras, op.cit., hal. 52. 29 Sartono Kartodirdjo et a1, Sejarah Nasional Indonesia III, Balai Pustaka, Jakarta, 1975, hal. 271. 30 Sartono Kartodirdjo et al, ibid., catatan no. 13.
Tentang siapa penghulu Demak yang ikut melaksanakan peng-Islaman pelantikan Raden Samudera menjadi Sultan Banjar dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa peranan peng-Islaman itu dilakukan oleh Khatib Dayan. Tetapi dalam jabatan kepenghuluan Demak tidak terdapat yang namanya Khatib Dayan itu. Mereka itu adalah :
1. Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, 1490 – 1506.
2. Makdum Sampang, 1506 – 1515.
3. Kiai Pambayun, 1515 – 1521.
4. Penghulu Rahmatullah, 1521 – 1224.
5. Sunan Kudus, 1524 – 1531.
Kalau
kita memperhatikan nama-nama Penghulu atau Imam masjid Demak tidak ada
nama Khatib Dayan. Tetapi dapat juga terjadi Penghulu Demak mengutus
seorang ulama yang terpandang untuk mengikuti rombongan pasukan Demak
dan bertugas meng-Islamkan Pangeran Samudera beserta Mantri-Mantrinya.
Kalau Pangeran Samudera dilantik sebagai Sultan dan bersamaan dengan itu
terjadi peng-Islaman Raja, maka penghulu Demak yang berwenang saat itu
adalah Penghulu Rahmatullah. Penghulu Rahmatullah mengutus seorang ulama
yang dalam Hikayat Banjar disebut Penghulu Khatib Dayan. Dalam proses
peng-Islaman selanjutnya Khatib Dayan memegang peranan besar di daerah
wilayah kerajaan Banjar sampai dia meninggal. Kubur Khatib Dayan
sekarang terletak dalam kompleks makam Sultan Suriansyah di Kuwin Utara.
Hubungan antara daerah Banjar dengan kerajaan Demak sudah terjalin
dalam waktu yang lama. Hubungan itu terutama adalah hubungan ekonomi
perdagangan dan akhirnya meningkat menjadi hubungan bantuan militer
ketika Pangeran Samudera berhadapan dengan Raja Daha Pangeran
Tumenggung. Dalam Hikayat Banjar disebutkan bahwa Pangeran Samudera
mengirim Duta ke Demak untuk mengadakan hubungan kerja sama militer.
Utusan tingkat tinggi sebagai Duta Pangeran Samudera ditunjuk Patih
Balit, seorang pembesar Kerajaan Banjar. Utusan datang menghadap Sultan
Demak dengan seperangkat hadiah sebagai tanda persahabatan berupa
sepikul rotan, sertibu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin, seribu
bongkah damar, sepuluh biji intan. Pengiring duta kerajaan ini tidak
kurang dari 400 orang. Demak menyambut baik utusan ini dan sebagai
pemegang syiar agama Islam tentu saja memohon pula kepada utusan Raja
Pangeran Samudera, Raja Banjar dan semua pembesar mau memeluk agama
Islam.32 Berdasarkan hasil penelitian Panitia Hari Jadi kota
Banjarmasin, Pangeran Samudera Raja Banjar di Islamkan
oleh wakil Penghulu Demak Khatib Dayan pada tanggal 24 September 1526,
hari Rabu jam sepuluh pagi bertepatan dengan Zulhijjah 932 Hijriyah,
tanggal 8.
31 Hasan Muarif Ambary, op.cit.
Khatib
Dayan bukanlah Penghulu Demak tetapi utusan dari Penghulu Demak
Rahmatullah dengan tugas melakukan proses peng-Islaman Raja beserta
pembesar kerajaan dan rakyat kerajaan. Khatib Dayan bertugas di Kerajaan
Banjar sampai dia meninggal dan dikuburkan di Kuwin Utara, Banjarmasin. ada yang berpendapat Khatib Dayan itu adalah seorang Arab golongan Ahlul Baid bernama Sayyid Abdurrahman.
Orang Jawa lazim menyebutkan Sayyid Ngabdul Rahman. Mungkin pula Khatib
Dayan itu orang Jawa keturunan Arab karena sepanjang pantai utara Jawa,
Tuban Gresik, Demak, merupakan tempat pemukiman orang Arab.
( Bersambung ke Bagian 2 )
( Bersambung ke Bagian 2 )
Sumber : Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar