4) Apanase Kerajaan dalam tahun 1826-1860
Sebagian
wilayah tanah wilayah kerajaan diberikan sebagai apanase kepada
keluarga raja tapi tidak selalu turun temurun. Sipemegang mendapat
sebuah surat hadiah dari raja, yang disebut Cap, sebab segel raja
dibubuhi pada surat tersebut. Dari sebuah apanase si pemilik dapat
mengambil penghasilan resmi berupa : pajak pemberian (poll-tax), fitrah,
zakat, hasil berbentuk natura seperti : minyak kemiri, madu, ikan basah
dan ikan kering, rotan, lilin, daging rusa dan tanduk rusa, telur itik,
kura-kura sungai, monopoli rotan dan pajak rotan, sewa sungai ikan (paiwakan) dan
sewa tanah. Dari tambang intan, pemilik apanase tidak hanya memperoleh
pajak yang umum, tapi dia juga mempunyai hak monopoli dalam pembelian
intan. Setiap intan yang ditemukan sebesar 4 karat, harus dijual pada
raja atau pemilik apanase. Rakyat dalam tanah apanase harus memberikan
pelayanan pada pemilik apanase sebulan dalam tiap tahun sebagai tenaga
kerja untuk apanase. Dia dapat menggantikannya dengan uang, jika dia
mempunyai uang, besarnya f 7,- perkepala. Kalau si pemegang apanase
tersebut meninggal, keturunannya meminta kepada raja ketetapan baru dan
sebagai pemegang dia tidak boleh mengalihkan apanase tersebut kepada
pihak ketiga. Kalau raja mangkat semua ketetapan apanase diperbaharui.
Dari periode Sultan Adam, Sultan Adam telah memberikan tanah apanase
kepada anaknya, cucu, saudara laki dan pada keluarga isterinya yaitu
Kiai Adipati Danureja dari Banua Lima. Jika raja menganggap bahwa
penghasilan dari apanase tidak cukup untuk si pemilik, raja dapat
menghapuskan beberapa bagian dari kewajiban-kewajiban apanase pada raja,
seperti kasus Ratu Dijah anak perempuan dari Sultan Adam. Jenis baru
dari penghasilan apanase adalah tambang batubara. Perusahaan tambang
batu bara Belanda memperoleh hadiah konsesi dari raja yang termasuk
wilayah tanah apanase Mangkubumi Kencana. Dari konsesi ini dia
memperoleh batu bara seharga f 10.000,- tiap tahun dari perusahaan
Belanda. Berikut adalah tanah apanase yang diberikan oleh Sultan pada
keluarga (tabel I), sedangkan Tabel II merupakan daftar penghapusan
apanase oleh Belanda tahun 1863, tabel III tanah apanase yang dirampas
Belanda tanpa ganti rugi.
Tabel 1 No. Name Residence Grade of kinship with Sultan Adam Location and income of the apanages annually other privileges 1 2 3 4 5
1.
Ratu Aminah Banjarmasin daughter diamond mines of batu Babi, income
sold custom ± f 5000,- 2. Ratu Salamah Martapura idem Benua Gadung f 600
diamond mines Gn. Kupang ... ? and Sungai Pamangkih f 900 3. Ratu
Didjah Martapura idem Tabalong, Jambu Alay dan Amandit f 800,- Custom
duties f 12.000,- Diamond mines Parupuk f ... ? 4. Pg. Surya Mataram son
Tabalong, Pitap, Banua Bamban, Btg. Kulur, Banua Rambau, dan Padang f
10.000,- 5 Pg. Prabu Anom son Kelua, Amuntai, Sei Banar, alabio, Negara f
20.000,- income from duties f ... ? diamond mines of Lok Cantang f ....
? 1 2 3 4 5 6. Ratu Djantera Kesuma daughter Gantang, Amuntai, Sei
Banar, Alabio, Negara f 20.000,- income from duties f ... ? diamond
mines of Lok Cantang f...? 7. Sultan Muda Tamjid, crown prince &
Mangkubumi Banjarmasin Grandson Paramasan 40 tail gold a f 75 a tail f.
3000,- Salary as Mangkubumi f. 12.000 8. Pg. Aria Kasuma Banjarmasin
idem he had a share from Paramasan Amandit f....? 9. Pg. Wira Kasuma
Banjarmasin idem Sungai Gatal f. 200,- 10. Hidayat Martapura idem had a
share in the income of Alay Paramasan Amandit, Karang Intan, Margasari
f. 5000,- diamond mines of Basung .....? 11. The 10 Children of
Mangkubumi Martapura idem had share in the income of Alay Paramasan
Amandit, Karang Intan, Margasari f. 5000,- 12. Pg. Kesuma Wijaya Krg.
Intan brother Pamarangan Puaian and Paringin f. 180,- 13. Pg. Tasin
Martapura idem Amawang f. 400,- 14. Pg. Singosari idem idem Wayau f.
2000,- 15. Pg. Hamim idem idem Jatuh f. 400,- 16. Children of Mangkubumi
Nata Adam’s brother idem Nephews Income of the land Basung f. 3780,-
Angkinang Kalahian f. 600,-
17.
Pg. Antasari idem dist. nephew Mangkuah f. 400,- 18. Adipati Danuraja
Amuntai Nephew of Rt. Kumala Sari Income of Balangan and 12 landscapes
in its surroundinge f. 8000,- 19. Kiai Patih Guna Wijaya Martapura Adam
official Sei Raya f. 180,-
Tabel
II List of the abolished apanages Resolution of the Neth, Indies G.G
Mo. 29. 1863, August, 18thNo. Name Location of the apanage Sum of
Compensation monthly 1 2 3 5
1.
Pg. Kartasari diamond mines Si Djalun in Karang Intan idem at Sei Rapat
f.60,- Inherited from his father 2. Pg. Tasin Lanscape Amawang Sultan
Soleiman ceded this land to his son, Pg. Tasin The cap was handed to
Lurah Budjal, head of Amawang as his representative 3. Pg. Nasaruddin
Tabudarat, Sei Gatal f.20,- , Margasari f.50,- Cap from Sultan Adam 4.
Gt. Idjah Benua Kandangan, Sei Kudung, f.25 Idem 5. Pg. Abdullah, Pg.
Moh. Seman Benua Paringin, Benua Pitap, Ratau, Batang Kulur, Tabalong,
Bamban, f.150,- Inherited from their father Pg. Surya Mataram Cap from
Sultan Adam 6. Gt. Sura, Gt.Lalang, Gt. Kasim Banua Paringin,
Pamarangan, Paian, diamond mine Sie Asam (Karang Intan) f.155,- Sons of
Pg. Kasuma Wijaya. Cap from Sultan Sulaiman 7. Pg. Moeksi, Pg. Jamal,
Rd. Daud Benua Kalahiang diamond mines Saligsing (Gn. Kupang) Tampuang,
Alat (Gn. Luwak) f. 45,- Cap. Sultan Adam 8. Pg. Suriawansa Diamond mine
Kalabau Bungkuk (sie Rasung) f.20,- i d e m 9. Pg. Demang a. Diamond
mine Anangi (Mataram) i d e m, b. Padang Pulai Babi, hunting field,
f.20,- 1 2 3 5 10. Pg. M. Tambak Anyar Sei Ulu Banua. Balumbu,
Djambak Badatu, Hadjar Badatu, Pihanin, Danau Manuk, Batantangan,
Soengaloan. Diwata Besar. Sei Lapat, Panyubarangan, Bietin, Sambudjur,
Lampur, Tumpang, Awang, Kalumpang, Luang, Hakurung, Danau Panggang,
Banyu Irang, Ampang. Barabidja. Boenkoe Nasi, Batara Gangga, Bajayan and
the surrounding rice tields, gold-diamond mines of Riam Kiwa, f....? He
leased all the river in his holding to Haji Moh. Taip for f.2.700 a
year. Yearly yield f.300 egs of river lortoise. 700 ducks eggs. 400
dried fish, 300 pipih fish. Got tonnage from the coal mine. Produce as
was rice padi rattan. 11. Ratu Achmad Sei Pasipatan (Martapura) Binuang a
bee tree (Padang Alalak) f....? Cap from Sultan Adam 12. Kiai
Tumenggung Dipa Nata or Kiai Adipati Danuradja the villages Pasar Laut
po-tase f. 60,- Sirap f.40 Pamarang f. 40,- Baru f. 80,- Panyambaran f.
8, Tanjung f,50, Bukit Damar : income of ½ thail 380 gantang rice
river/lakes Danau Baganting, Kanta, Bilungka, Bangkal, Poelantan,
Panggang, Bakang, Jadjoet, Sampoeng Banua, Sambung Dua, f.15,- The
commission concluded that the sons of the Kiai could get compensation ;
a. Kiai Warga Kasuma b. Kiaji Demang Nata Negara Cap from S. Adam
According to the commission these lakes did not produce any thing. 13.
Kiai Puspa Dirdja or Patih Guna Wijaya Sei Raya incomes yearly f.15,-
f.200,- 1000 gantang padi 100 gantang rice Cap from S. Adam 1 2 3 5 14. Putri Nor Sei Taboek, Sei Daughter of. Pg.
Aboemboen,
Sei Pamakuan, f. 15,- Marta Kasuma cap from Sultan Adam 15. Pg. Ibrahim
had a land in Banjarmasin, f. 10,- 16. Pg. Djaja Pamenang Kp. Simpur,
Asam, Sirih diamond mines of Oetan Padang, land Taluk Haur, f.500,-
Apanage cap from S. Adam bought, cap from Sultan Adam. 17. Pg.
Mangkubumi Paku Dilaga Sie Tabu Karsa, f. 16,- Inherited Apanage 18.
Andin Kalung Sie Batang Banyu Mati and tributary Cap from S. Adam.
Tabel III : Confiscated apanages
Confiscated
from : 1. Nyai Ratu Kumala Sari 2. Ratu Syarif Hosein Darma Kasoema 3.
Ratu Kasoema Negara Resolution of Dutch Commissioner of the Southern and
Eastern Departement of Borneo, no. 356 Jan, 1863, 22nd. 1. By the
benefaction – act of S. Adam of 13th of Ramadhan, 1270 ceded to Nyai
Ratu Kumala Sari : 1. Benua Tanah Abang 2. Benua Kusambi 3. Benua
Lampihung 4. Benua Tabalung 5. Benua Batang Kulur 6. Benua Pitap 7.
Benua Tandjoeng 8-10 Benua all the rivers in Alalak from Nyiur Tunggal
till Cinta Poeri 11. Padang Tangkas 12. Danau Pagat 13. Leepak Basar 14.
Diamond mines Paang Loembah 15. Diamond mines Galingging 16. Wawaran
(at Alabioe) 17. Tanah Baloekoen
18.
Tanah Arang-arang 19. Bukit Labuan Amas 20. Bukit Amas 21. Bukit Kiwa
22. Bukit Kanan 23. Bukit Pananggahan 24. Bukit Harugan 2. By the
benefaction act of Sultan Adam on 4th Dzoelkaidah 1268 ceded to Ratu
Sjarif Koesin Darmakasoema, the apanages : 1. Paramasan Alay 2. Benua
Gambah 3. Benua Pisangan 4. Benua Tanah Abang 5. Benua Tanah Kosambi 6.
Benua Lampihong 7. Diamond mines above Mataram, from Batang Badarah till
the Sungai Kasi Mahar. 3. Ceded to Ratu Kasoema Negara by the
benefaction of Sultan Adam of the 29th Dzolehyjah 1251 and the 9th of
Sawal, 1270, the apanages : 1. Benua Gadung 2. Tambaruntung 3. Tanah
Lobak 4. Benua Sei Paring 5. Pamangkih 6. Sei Alalak 7. Padang Bagenta
Pamatang Danau 8. Diamond mines; Padang Gn. Kupang Sei. Soerian Sei.
Pinang Batu Licin Batu Poetih 4. Ceded to Ratu Kramat (Or Ratu Syatif
Abdullah Nata Kasoema) by; he benefaction act of Sultan Adam of the 20th
Rabioel Awal 1263, the apanages :
1.
Desa Ulin Amparia Jambu Amandit Balimau Kp. Tanah Baru Sei Jurutulis
Idris (Kesarangan) Sei Kiai Mangoen di Poera There rivers : Kalumpang
(Negara) Ambahai Basar ) at Pamanggis Ambahai Kecil ) Kalaan (Mangapar)
2. Rice field areas : The areas of the extuary of river Babirik both
banks of Hanyu Rambya. 3. Diamond mines : Pinang Sei Bidu Tanah
Poelantan Roban Bungkuk Mataram Bawah Tanah Padang Batang Poelan Doepa.
This Ratu died childlees before the confiscation.
B. PERKEMBANGAN POLITIK DAN EKONOMI PERDAGANGAN
Gambaran
suatu kota atau daerah tertentu, akan mencerminkan pola kemajuan yang
telah dicapai, terutama kemajuan di bidang ekonomi. Keadaan kota
Banjarmasin pada abad ke-17, menurut dinasti Ming, cukup maju digambarkan : “Bahwa
mereka mempunyai kota dengan dinding kayu, salah satu sisi lain
terletak berhadapan dengan sebuah pegunungan. Sebagian besar rakyat
membuat rakit dari kayu dan mambangun rumah di atasnya, seperti juga
yang terdapat di Palembang” 57Di kota Banjarmasin dan sekitarnya,
berdiri perumahan-perumahan yang sebagian besar dindingnya terbuat dari
bambu, ada juga yang terbuat dari papan. Rumah itu besarnya luar biasa,
sehingga ada yang memuat 100 anggota keluarga untuk setiap rumah, disitu
tiap keluarga mempunyai kamarnya sendiri. Biasanya didiami oleh
keluarga sedarah, dan berdiri di atas tiang. Gambaran Groeneveld dan
diperkuat oleh Valentijn, tentang kota Banjarmasin tersebut, memperjelas
kemajuan yang telah dicapai kerajaan Banjarmasin dalam bidang
perekonomian. Selain itu, dapat pula dilihat, bahwa yang dimaksud rumah betang atau
rumah besar berdiri di atas tiang, sebagai rumah betang yang didiami
oleh suku Ngaju, yang umum disebut golongan Dayak Biaju. Suku Ngaju,
Maayan dan Bukit diikat berdasarkan kesatuan politis, sebagai rakyat
yang mendiami kerajaan dari suku-suku itu memeluk agama Islam sejak abad
ke-16 terutama suku Ngaju dan Oloh masih tinggal di pesisir. Mata
pencaharian mereka ini adalah dagang. Perdagangan mereka dapat bersifat
antara daerah dalam kerajaan Banjarmasin, ataupun dengan luar daerah
(luar negeri). Sebagai kesatuan politis, suku-suku di kerajaan
Banjarmasin disebut orang Banjar. Walau pun pengertian ini belum baku, namun kenyataan sejarah menunjukkan suatu kajian yang berlainan. Jika dikaji istilah Banjar maka
Banjar baru berperan setelah Sultan Suriansyah resmi menjadikan Islam
sebagai agama kerajaaan. Karena itu sungguh rasional, jika dikatakan Orang Banjar identik
dengan orang Islam atau orang Melayu. Hal ini berlaku pada suku Bukit
di daerah Piani Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Mereka tidak mau
lagi disebut sebagai suku Bukit jika sudah memeluk agama Islam, tetapi
disebut sebagai orang melayu atau orang Banjar. Orang Melayu adalah
penduduk pesisir, yang mendukung pendirian kerajaan Banjarmasin dengan “mendaulat”
Pangeran Samudera yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah. Pada masa
itu, dibawah pimpinan Patih Masih. Patih ini Penasihat utama Sultan
Suriansyah. Dalam membahas politik perdagangan kerajaan Banjar pada abad
ke-17, harus ditelusuri dari pertumbuhan kerajaan Banjarmasin sejak
awal. Supremasi Demak dalam tahun 1526 adalah hal penting, mengingat
peran Demak dalam penyebaran Islam. Dibawah Sultan Suriansyah batas
kerajaan diperluas meliputi Tabalong, Batang Balangan, Alai dan Amandit,
daerah-daerah ini semula dikuasai oleh Pangeran Tumenggung, paman
Sultan Suriansyah yang telah menyerah kepadanya, dalam pertempuran di
Sanghiang Gantung. Selama dekade pertama abad ke-17, secara praktis
barat daya, tenggara dan timur Borneo membayar upeti pada kerajaan
Banjarmasin.
57 W.P. Groeneveld, op.cit., hal. 106.
58
Kontak politik dari pantai Jawa terutama meliputi upeti dan kerajaan
Banjarmasin terhenti sejak keruntuhan pantai utara Jawa dan tumbuhnya
kerajaan Banjarmasin. Awal abad ke-17, kerajaan Pajang sebagai pengganti
kerajaan Demak, tidak menerima upeti lagi dari Banjarmasin. Supremasi
Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615.
Pada tahun itu, Tuban berusaha menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan
Madura dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang
sengit. Nafsu untuk hegemoni atas Borneo dihilangkan oleh Sultan
Agung Mataram (1613 – 1646), yang mengembangkan kekuasaan pemerintahan
Jawa sesudah mengalahkan Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura
(1924) dan Surabaya (1625).59 Walaupun demikian, ternyata pada tahun
1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya. Nafsu
penjajahan yang dimunculkan Mataram itu, bukan saja atas
pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa, tetapi juga kerajaan sebelah
selatan, barat daya dan tenggara Borneo, dan Sultan Agung menegaskan
kekuasaannya atas Sukadana tahun 1622. Seiring dengan hal itu,
Panembahan mengklaim Sambas, Lawei, Sukadana, Kotawaringin, Pambuang,
Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut,
Satui, Asam-asam, Kintap dan Sawarangan sebagai vazal dari kerajaan
Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636. Klaim panembahan atas
daerah-daerah tersebut, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup
untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, utamanya dari pulau Jawa.
Kekuasaan tersebut, terletak pada aspek militer atau angkatan perang
yang cukup banyak dan ditunjang aspek ekonomi yang mulai maju di bidang
perdagangan. Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi
serangan Mataram secara besar-besaran, tetapi karena kekurangan
logistik, maka rencana serangan dari Mataram sudah tidak ada lagi.
Menurut Goh Yoon Pong60 sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari Jawa
secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan
Agung. Kedatangan imigran dari Jawa ini mempunyai pengaruh yang sangat
besar dari sebelumnya, dan dapat dikatakan bahwa pelabuhan-pelabuhan
Borneo menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa. Disamping menghadapi
rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kerajaan Banjarmasin juga harus
menghadapi kekuatan Belanda. Perkenalan pertama orang Banjar dengan
Belanda terjadi ketika beberapa pedagang Banjar melakukan aktivitas
perdagangan di Banten dalam tahun 1596. Akibat sikap Belanda yang
sombong menyebabkan mereka tidak memperoleh lada di Banten tersebut.
58 Goh Yoon Pong, Trade and Politics in Bandjermasin 1700-1747, Disertation University of London, 1969, hal. 32. 59 Goh Yoon Pong, ibid., hal. 33.. 60 Goh Yoon Pong, ibid., hal. 34.
Atau
dengan kata lain para pedagang di Banten tidak mau menjual lada kepada
para pedagang Belanda. Sementara itu di pelabuhan Banten berlabuh dua
buah jung dari kerajaan Banjarmasin yang dibawa pedagang-pedagang
Banjar. Dua jung tersebut memuat lada yang merupakan “dagangan primadona” kerajaan
Banjarmasin pada abad ke-17. Karena tidak memperoleh lada di Banten,
maka Belanda merampok lada dari dua buah jung tersebut. Peristiwa ini,
kesan awal orang Banjar terhadap Belanda, sebagai kesan yang buruk. Bagi
Belanda sendiri, pertemuan dengan orang Banjar tersebut menambah
informasi tentang asal-usul datangnya lada itu, sehingga timbul
keinginan untuk mengetahui daerah Banjarmasin. Untuk itu, Belanda
mengirim sebuah ekspedisi ke Banjarmasin pada tanggal 17 Juli 1607
dipimpin Koopman Gillis Michielzoon. Utusan dan seluruh anggotanya
diajak ke darat, dan kemudian seluruhnya dibunuh, serta harta benda dan
kapalnya dirampas.61Peristiwa pembantaian terhadap utusan Belanda dengan
anggotanya di Banjarmasin itu, menyebabkan orang Belanda hingga tahun
1747, tidak berhasil tinggal lama di Banjarmasin dan dengan demikian
terjaminlah kemerdekaan kerajaan Banjarmasin tersebut. Dalam tahun 1612
secara mengejutkan armada Belanda tiba di Banjarmasin rupanya suatu
armada yang disiapkan untuk membalas atas terbunuhnya ekspedisi Gillis
Michielzoon tahun 1607. Armada ini menyerang Banjarmasin dari arah pulau
Kembang, menembaki Kuyin, ibukota kerajaan Banjarmasin. Penyerangan ini
menghancurkan Banjar lama atau Kampung Kraton dan sekitarnya, merupakan
istana Sultan Banjarmasin, karena itu Sultan Mustain Billah raja
Banjarmasin ke-4, bergelar Marhum penembahan, memindahkan ibukota
kerajaan Banjarmasin, dari Kuyin yang hancur ke Kayu Tangi atau Telok
Selong, Martapura.62Meskipun ibukota kerajaan pindah ke Kayu Tangi,
namun aktivitas perdagangan tetap ramai, di pelabuhan Banjarmasin.
Hubungan dagang dengan bangsa asing tetap berjalan terutama dengan
bangsa Inggris. Tahun 1615 Casirian David telah mendirikan faktory di
Banjarmasin. Hubungan dagang dengan Belanda terputus, tetapi diteruskan
dengan perantaraan orang-orang Cina. Selain orang Inggris sebagai
pedagang, juga telah menetap di Banjarmasin pedagang Denmark, yang
semuanya sangat ditakuti Belanda, karena menghancurkan perdagangannya.
Tahun 1626, produksi lada Banjar sangat meningkat, sehingga VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie)63 berusaha untuk memperoleh monopoli lada, dan berusaha menghilangkan gabungan semua maskapai-maskapai dagang Belanda.
61 J.C. Noorlander, Banjarmasin en de Compagnie in de Tweede Helft der 18 de Eeuw, N. Dubbeldeman, Leiden, 1935, hal. 5. 62 Goh Yoon Pong, op.cit., hal. 36. 63 Pada tanggal 20 Maret 1602 didirikan VOC
Maskapai
dagang disebut juga compagnie; dari kata inilah sebutan Kompeni untuk
VOC yang populer di Indonesia. Status VOC adalah Badan Perdagangan,
bukan pemerintah atau kekuasaan. Namun inilah awal dari kolonisasi
kejadian tahun 1612 penyerbuan Belanda terhadap kerajaan Banjar. Belanda
meminta maaf atas perbuatannya merampok kapal kerajaan Banjar yang
dalam pelayaran perdagangan ke Brunai 4 Juli tahun 1626. Tetapi meskipun
kesalahan dalam pertikaian antara kedua bangsa ini telah hapus, kontrak
dagang antara kedua negara belum dapat diwujudkan, karena kapal-kapal
Banjar diarahkan menekan harga Belanda, perdagangan kerajaan Banjar
diarahkan ke Cochin Cina dan Makassar sehingga Belanda merasa dirugikan
akibat perpindahan route dagang kerajaan Banjar itu. Ketika Demak jatuh
ke bawah Pajang dan kemudian ke bawah Mataram, Kerajaan Banjar merasa
terganggu karena Mataram berusaha untuk menyerbu Banjar. Lebih-lebih
setelah Surabaya jatuh tahun 1625 keinginan Mataram menguasai Banjar
pada tahun 1629 bertambah besar. Menguasai Banjarmasin berarti menguasai
perdagangan lada, dan cara ini merupakan usaha Mataram tahun 1629
terhadap Batavia karena Mataram tidak memperoleh armada laut yang cukup
kuat, sedangkan jung-jung Banjar cukup mampu menguasai, itulah
pertimbangan Mataram untuk menguasai Banjarmasin. Abad ke-17, abad
perkembangan kerajaan Banjarmasin sebagai negara Maritim, negara laut,
akibat dari perpindahan route perdagangan, melalui Makassar,
Banjarmasin, Patani, Cina atau Makassar terus ke Banten dan India.64
Selanjutnya B. Schrieke65 menjelaskan, Banjarmasin sebagai kerajaan
dagang menggantikan kedudukan Gresik, setelah bandar-bandar di pantai
utara Jawa dimusnahkan Sultan Agung Mataram. Schrieke sependapat dengan
Goh Yoon Pong, bahwa semaraknya pelabuhan atau bandar di Banjarmasin
disebabkan bantuan imigran-imigran Jawa yang menjadikan Banjarmasin
sebagai pusat modal dan perkapalan mereka. Disamping lada sebagai ekspor
andalan saat itu, juga pembuat jung-jung yang amat diperlukan bagi
perdagangan dan pelayaran interinsuler.66Dalam perkembangan perdagangan
abad ke-17 ini, golongan bangsawan menguasai seluruh perdagangan karena
kekuasaan mereka dalam bidang politik dan pengusaha hak apanase yang
menghasilkan komoditi ekspor saat itu. Di daerah pedalaman terdapat
perkebunan lada yang dikuasai kaum bangsawan seperti di daerah Negara,
Alai, Tabalong, sehingga Dijk67 menyebut Pangeran Anom atau Pangeran
Suryanata sebagai : “Koning yan het pepergebergte” atau “raja dari pegunungan lada”.
(pemerintah)
Belanda atas wilayah yang kemudian disebut Indonesia. Kolonisasi di
Indonesia dilakukan oleh badan VOC, negara Belanda (Bataafse Republik
dan kemudian kerajaan) dan Kerajaan Inggeris. 64 B.O. Schrieke, Indonesian Archipelago, Part One, The Hague, 1955, hal. 67. 65 B.O. Schrieke, ibid., hal. 30. 66 Willy, The Early Relation of England with Borneo to 1805, Bern, 1922, hal. 100. 67 L.C.D van Dijk, Neerlands Vroegste Betrekkingen met Borneo en Solo Archipel, Cambodja, Siam en Cochin-Cina, Amsterdam, 1862, hal. 48.
Kekuasaan
para bangsawan ini sangat besar, karena mereka juga mempunyai pasukan
sendiri dan budak-budak yang dipersenjatai. Kekuasaan pasar dan
perdagangan, terletak pada wewenang syahbandar yang biasanya dijabat
oleh orang asing. Dalam tahun 1625, jabatan syahbandar ini dijabat orang
Gujarat Goja Babouw dengan gelar Ratna Diraja. Syahbandar memiliki
wewenang dalam bidang perdagangan dan monopoli penjualan dan pembelian
bangsa asing sangat tergantung padanya. Kompeni Belanda berusaha untuk
memperoleh monopoli dengan Kerajaan Banjar, usaha ini untuk menekan
perdagangan Banjar yang sampai ke Cochin-Cina. Tetapi ketika wakil
Kompeni Belanda G. Corszoon tiba di Banjarmasin pada bulan Juli 1633,
ternyata monopoli itu telah diberikan kepada Orang Makassar. Di sini
terlihat siasat Sultan bahwa kedatangan Kompeni Belanda hanya digunakan
sebagai tameng dari serbuan Mataram semata. Sultan tetap berprinsip
bahwa perdagangan harus bebas. Untuk mengantisipasi sikap Sultan ini,
Kompeni Belanda memamerkan armadanya dengan mendatangkan 6 buah kapal
dalam bulan Januari 1634 tetapi sungai penuh dengan penghalang berupa
batang kayu besar sehingga sulit masuk ke Banjarmasin, dan Sultan telah
siap menghadapinya dengan 3.000 orang pasukan. Pertemuan antara Sultan
dengan Pool pimpinan armada Belanda, bahwa Belanda akan diberi monopoli
asal Belanda bersedia menjamin keamanan pelayaran Orang Banjar terhadap
serangan orang Jawa dan Makassar. Perjanjian selanjutnya baru disepakati
pada 4 September 1635. Sultan diwakili oleh Syahbandar Ratna Diraja
Goja Babouw dan pertemuan diadakan di Batavia. Inilah kontrak dagang
pertama yang diadakan Kerajaan Banjar dengan Kompeni Belanda. Kompeni
Belanda di wakili oleh : Hendrik Brouwer, Anthonie van Diemen, Jan van
der Burgh, Steven Barentszoon.
Dalam perjanjian antara lain disebutkan :
a. Banjarmasin tak akan menjual atau mengekspor ladanya selama di Banjarmasin masih ada orang-orang VOC ataupun kapal-kapalnya.
b. Peminjaman uang sejumlah 3.000 real kepada Sultan yang akan dibayar kembali dengan lada seharga 5 real sepikulnya.
c. Pinjaman
ini yang dibelikan kepada picins dan barang-barang lainnya atas nama
Sultan boleh diangkut tanpa bea oleh kapal-kapal VOC.
Pada
awal abad-17, perdagangan di Banjarmasin dimonopoli orang-orang Cina.
Besarnya volume perdagangan lada yang diangkut ke Cina, merupakan
dorongan peningkatan penanaman lada. Jung-jung Cina mengangkat ke
Banjarmasin barang-barang porselen, yang sangat laku di Banjarmasin
sehingga rata-rata 12 buah jung Cina tiap tahun datang ke Banjarmasin.
Pengaruh golongan Cina sangat besar dan menentukan perkembangan politik
kerajaan Banjar. Bahkan Sultan, sering menggunakan golongan Cina untuk
menghadapi lawan politik dalam negeri, maupun menghadapi politik
perdagangan luar negeri.68Pesatnya perdagangan di Banjarmasin,
mendatangkan dan menghasilkan kekayaan yang berlimpah ruah. John Andreas
Paravicini utusan yang dikirim VOC untuk audiensi dengan Sultan
Banjarmasin saat itu menulis laporannya tentang kraton Sultan di Kayu
Tangi : “.....mula-mula barisan tombak berlapis perak, dibelakangnya
barisan tombak berlapis emas. Anggota penyambut mengiringi saya dan tiba
dibahagian pertama kraton, dengan diiringi dentuman meriam dan musik
yang merdu. Kemudian diiringi lagi oleh pengawal mereah bersenjatakan
perisai dan pedang. Setelah tiba dibahagian kedua kraton, disambut musik
yang merdu serta diterima oleh pengawal yang lebih besar, dan
diantarkan oleh pasukan pengawal biru kebahagian kraton yang merupakan
ruang menghadap. Tidaklah dapat dilukiskan keindahan yang dipamerkan
dalam upacara ini. Ruang menghadap yang dinding-dinding dan
lantai-lantainya ditutup dengan permadani keemasan, juga piring-piring
mangkok hingga tempat ludah dari emas. Tempat sirih dan bousette dari
emas yang dihiasi yang tak ada bandingnya. Barisan pengawal pribadi
Sultan. Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku
indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk,
tempat duduk para pembesar kerajaan. Banyaknya alat kerajaan, pembawa
senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata,
dihias dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas, dan akhirnya
mahkota kerajaan Banjar yang terletak di samping Sultan, di atas
bantal-bantal beledru kuning yang dihiasi denga rumbai-rumbai hingga
membuat seluruhnya suatu pemandangan yang mengagumkan di dunia.69Dalam
abad ke-17, jenis perdagangan adalah lada. Kerajaan Aceh misalnya,
menguasai daerah lada di Sumatera Utara dan Sumatera Barat hingga
Bengkulu dan sebagian besar pantai barat Semenanjung Malaka. Banten
menghasilkan lada sendiri, kesultanan Petani di Pantai Timur Malaka juga
berupaya menghasilkan tanaman lada, yang pada saat itu sangat laku di
pasaran di kawasan Nusantara, yang dibeli oleh pedagang-pedagang Jawa,
Cina dan Eropa.70 Demikian halnya dengan kesultanan Banjarmasin,
mengandalkan lada sebagai komoditi ekspor. hal ini ditunjang dengan
pemakaian dan pemanfaatan lada dunia, yang dalam abad ini sangat luar
biasa di Eropa. Karena itu pula, perdagangan lada sangat mempengaruhi
perkembangan politik kesultanan Banjar.
68 E.B. Kielstra, De Ondergang v/h Banjarmasinsche Rijk, Indisch Gids, 1892, hal. 133-134. 69 M.Idwar Saleh, Banjarmasin,
Selayang Pandang Mengenai Bangkitnya Kerajaan Banjarmasin, Posisi,
Fungsi dan Artinya Dalam Sejarah Indonesia Dalam Abad ke-17, Balai Pendidikan Guru, Bandung, 1958, hal. 55. 70 Prajudi Atmosudirdjo, Sejarah Ekonomi Indonesia Dari Segi Sosiologi Sampai Akhir Abad XIX, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, hal. 64-65.
Pokok
pangkal pertikaian antar-keluarga kraton dan perebutan kekuasaan,
pertikaian menghadapi Belanda semuanya bersumber dari sengketa
penghasilan dari perkembangan perdagangan ini. Karena itu, perdagangan
lada, disamping sumber kemakmuran dan kekayaan, juga menjadi
sebab-musabab pertikaian dan keruntuhan pula. Jalur perdagangan
kesultanan Banjarmasin sampai ke Cochin Cina, disamping perdagangan di
seluruh Nusantara. Para pedagang yang ikut meramaikan perdagangan di
kesultanan Banjarmasin terdiri dari : orang-orang Cina, Siam, Johor,
Jawa, Palembang, Portugis, Inggris dan Belanda. Jenis-jenis bahan
perdagangan yang diperdagangkan selain lada antara lain : emas, intan,
cengkeh dan pala, mutiara, kamfer, bezoin, drakendoed, poreo, lilin,
barang anyaman. Sedangkan barang-barang impor berupa : batu agiat merah,
gelang, cincin, tembaga, batu karang, porselen, beras, candu, garam,
gula, asam, kain dan pakaian. Diantara para pedagang tersebut, nampak
sekali ketamakan orang-orang Belanda, yang ingin selalu monopoli
perdagangan, dengan cara-cara bersaingan yang tidak sehat, sehingga
persaingan dagang itu selalu diakhiri dengan permusuhan dan pemusnahan
loji-loji, kapal-kapal seperti yang terjadi tahun 1638, 1694 dan 1707
terhadap loji-loji dan kapal-kapal yang dimiliki Belanda, Portugis dan
Inggris. Persaingan dagang sangat ketat, karena selama abad ke-17
perdagangan bebas merupakan politik kerajaan yang dipegang teguh. Campur
tangan kerajaan boleh dibilang tidak terlalu ketat terhadap dunia
perdagangan, namun peranan syahbandar, sangat menentukan terhadap maju
mundurnya perdagangan di pelabuhan, khususnya di kesultanan Banjarmasin.
Mendekati tahun 1628, hasil lada yang diproduksi kesultanan Banjarmasin
terus meningkat, sehingga pada saat itu Banjarmasin penghasil lada
terbesar di Indonesia bagian tengah. Selain orang-orang Cina, lada
diangkut pula ke Jepara, Makassar dan Batavia, yang merupakan
daerah-daerah pemasaran lada. Ketika VOC menurunkan harga lada, pedagang
Banjar memindahkan perdagangannya ke Cochin dan menyebabkan perdagangan
kontinental menjadi ramai. Keberanian VOC menurunkan harga lada,
seiring pula dengan kekuasaannya di pulau Jawa. Kompeni dagang Belanda
ini, berupaya menjalanka taktik-taktik perdagangan, dan sedikit demi
sedikit ikut pula mencampuri urusan-urusan istana. Hal ini terbukti pada
tahun 1641, Malaka jatuh ke tangan VOC, yang sebelumnya dikuasai
Portugis. VOC yang dimiliki oleh pedagang-pedagang Belanda ini, bersaing
secara kotor dan berebut kekuasaan dengan sesama bangsa Eropa sendiri.
Jatuhnya Malaka, menyebabkan terjadinya perpindahan pusat perdagangan ke
arah Timur dengan pusat perdagangan Makassar, dan Makassar sebagai
satu-satunya pusat perdagangan bebas di luar pengaruh VOC. Dan
Banjarmasin sebagai penghasil lada terbesar merupakan daerah yang dapat
melayani perdagangan lada dunia secara besar. Karena pesatnya dan
meningkatnya permintaan lada dunia, maka tanah-tanah apanase umumnya
ditanami lada, dan perhatian pemilik apanase memusatkan pada perkebunan
lada, dan hal ini mengakibatkan produksi pertanian (padi) menjadi
menurun, sehingga tentu saja terjadi ketidakseimbangan antara produksi
lada dengan produksi beras. Konsekuensinya, maka kesultanan Banjarmasin
kekurangan beras, sehingga rakyat tergantung pada pemasukan beras dari
luar, terutama dari Kotawaringin, Jawa dan Makassar. Tahun 1665 beras
masuk ke kesultanan Banjarmasin dengan berbagai kualitas. Harga beras
yang paling putih dengan kualitas yang tinggi, seharga 9 sampai 10
ringgit sepikul. Transaksi jual beli menggunakan mata uang. Untuk
pembelian lada, emas dan hasil lainnya dipergunakan mata uang real
Mexico, tetapi orang Banjar juga menggunakan mata uang real Maluku yang
dianggap baik mutunya. Mata uang Cina Picins, dari bahan timah sangat
umum dipakai di dalam wilayah kesultanan Banjarmasin. Harga valuta asing
pada tahun 1663 di Banjarmasin untuk 1 ringgit, dengan kadar perak
lebih banyak dari real berharga 12.500 picins, sedangkan sebelumnya
30.000 picins. Pemakaian mata uang ringgit dipopulerkan oleh
Opperkoopman Soop, ketika berada di kesultanan Banjarmasin - Kayu Tangi,
Martapura tahun 1636.71 Pada tahun 1663 harga emas se-tail sama dengan
16 ringgit. Lada berharga 16 ringgit untuk 180 gantang. Selain itu pula,
kain-kain dari India dan batik Coromandel, sangat terkenal dan paling
laku di Banjarmasin. Perdagangan kain, mula-mula dipegang oleh Portugis,
tetapi setelah Malaka jatuh kepada VOC tahun 1641, maka perdagangan
kain dipegang VOC dan saat itu dapat dijadikan sebagai alat penukar.
Dengan demikian perdagangan lada pada abad ke-17, sangat mewarnai corak
tumbuh dan berkembangnya kesultanan Banjarmasin. Orang Banjar yang
sebagian besar pada mulanya bertani dan bercocok tanam padi, mengubah
usahanya dengan berkebun lada, terutama yang tinggal di daerah-daerah
yang dalamnya potensial untuk tanaman lada, seperti Tabanio, Pleihari,
Pengaron, Alai, Buntok dan sebagainya. Petani perkebunan ini menjualnya
kepada pedagang-pedagang Banjar lainnya, yang bertugas sebagai “pambalantikan” atau
makelar (agen pembelian). Agen-agen ini, menjualnya ke pelbagai
pedagang asing lainnya. Walau demikian, memang ada saja para pedagang
asing yang langsung membeli kepada petani perkebunan. Karena itu pula,
perdagangan barter, masih berlaku, sesuai dengan kesepakatan antara
penjual dengan pembeli. Nilai intrinsik mata uang, lebih dihargai dan
diterima, daripada nilai nominalnya. Atau setidak-tidaknya, nilai nilai
nominal suatu mata uang harus sama dengan nilai intrinsiknya. Yang harus
digarisbawahi adalah pengertian petani perkebunan. Petani perkebunan di
kesultanan Banjar, sebagian besar adalah para bangsawan yang memiliki
tanah apanase yang cukup luas.
71 B.O. Schrieke, op.cit., hal. 68..
Karena
itu, profil kefeodalan Banjarmasin diwarnai oleh kepemilikan terhadap
tanah apanase, yang menghasilkan kebun-kebun lada, dan pada gilirannya
mereka ini juga pedagang-pedagan yang menjual ladanya kepada pedagang
asing. Kenyataan ini, merupakan khas feodalisme Melayu, yang sering
memiliki darah bangsawan, punya tanah apanase yang luas, dan sebagian
pedagang. Justru ini hal yang menyebabkan terjadinya persaingan dan
pertikaian antar bangsawan, yang “seketurunan” itu. Persaingan tidak hanya masalah tahta tetapi juga harta kekayaan, utamanya masalah-masalah perdagangan lada.
1. Politik Perdagangan Menghadapi Orang Asing
Pada
akhir abad ke-17 daerah Banjar mulai dikenal secara umum sebagai pusat
perdagangan. Baik pada masa kerajaan maupun setelah diperintah secara
langsung oleh pemerintah Hindia Belanda. Bertahannya perdagangan selama
berabad-abad itu direncanakan potensi wilayah itu yang sifatnya
simbiotis, daerah pedalaman sebagai penghasil yang terus menerus memasok
daerah pesisir yang berfungsi sebagai pusat perdagangan. Mula-mula
merupakan perdagangan lokal, kemudian menyebar ke bagian pulau-pulau
yang lain di wilayah Nusantara, produksi daerah pedalaman dan
perdagangan di pesisir menjadi kian besar ketika orang-orang barat yang
merupakan konsumen besar mulai mengarahkan pandangannya ke arah Banjar.
Pola organisasi, penentuan jenis tanaman senantiasa berubah selama kurun
waktu 1700-1900-an. Tetapi semua jenis komoditi perdagangan itu sebagai
keseluruhan tetap merupakan dasar utama perekonomian daerah Banjar.
Tulisan tentang daerah Banjar yang mengambil pokok pembicaraan tentang
kegiatan ekonominya bukanlah hal yang baru. J.T. Lindblad misalnya
secara panjang lebar memaparkannya beserta daerah yang sekarang termasuk
Kalimantan Timur. Uraiannya terutama membicarakan kondisi perekonomian
di daerah Banjar setelah berakhirnya kekuasaan raja-raja Banjar. Sedang
mengenai keadaan ekonomi sebelum masa itu dengan panjang lebar pula
telah dituliskan oleh Noorlander dan Goh Yoon Pong. Penulis pertama
banyak bercerita tentang segala aktivitas orang-orang Belanda selama
masa pasang surut antara orang-orang VOC dengan para penguasa di
kerajaan Banjar digambarkan dengan cukup jelas. Sedangkan penulis kedua
memusatkan perhatiannya pada perdagangan lada di daerah kerajaan Banjar.
Diuraikan tentang hubungan perdagangan antar bangsa yang terjadi di
pelabuhan-pelabuhan Banjar. Dengan dasar pada karya-karya yang
terdahulu, mengenai aktivitas perdagangan di daerah Banjar, selama kurun
waktu dua abad lebih sedikit. Bagaimana bentuk maupun masa sesudahnya.
Siapa pelaku-pelaku perdagangan selama kurun waktu itu. Tentu saja dalam
hal ini juga menyangkut mengenai jenis komoditi perdagangan apa saja
yang mengisi kegiatan perdagangan selama waktu yang cukup lama itu.
Persoalan-persoalan itu secara berturut-turut akan disajikan dalam
tulisan berikut. Majunya perdagangan Banjar pada abad ke-17 tentunya
membawa perubahan bagi kesultanan Banjarmasin. Perubahan dalam bidang
ekonomi, digambarkan dengan kemakmuran kesultanan Banjarmasin dengan
kemegahan istana serta perangkat-perangkatnya, dan dikenalnya mata uang
kian meluas telah mendorong iklim usaha dan produksi yang beraneka
ragam. Produksi lada, rotan dan damar semakin pesat guna memenuhi
permintaan pasar. Akibatnya menggiurkan para pedagang asing, karena itu
perlu pula ditelusuri, bagaimana politik perdagangan kesultanan
Banjarmasin dalam menghadapi bangsa asing. Mataram yang meluaskan
wilayah kekuasaannya dan menaklukkan pantai utara Jawa, tahun 1625
menaklukkan Surabaya. Selain itu juga, menaklukkan Sukadana 1625,
sehingga kesultanan Banjarmasin menaruh “prasangka” akan diserang
oleh Mataram. Untuk itu kesultanan Banjarmasin mengirim utusan ke
Batavia, untuk merundingkan bantuan VOC, dalam rangka siap siaga
menghadapi serbuan Mataram. Situasi seperti ini yang selalu diinginkan
VOC, agar memperoleh kesempatan monopoli lada. Bulan Juli 1633 G.
Corszoon utusan VOC tiba di Banjarmasin, dan berupaya membujuk Sultan
agar memberikan hak monopoli kepada VOC, namun Sultan menolak, karena
hak monopoli telah diberikan kepada Makassar. Sultan sebetulnya hanya
menjalankan taktik, agar kapal VOC menjadi perisai bagi kesultanan
Banjarmasin, dengan tujuan Mataram akan gentar dan berfikir dua kali
untuk menyerang Banjarmasin. VOC yang berminat terhadap monopoli lada,
terus berupaya mencari jalan, agar monopoli lada di Banjarmasin dapat
dikuasainya. Dalam usaha memperoleh lada itu, VOC menjalankan taktik
demonstrasi kekuatan dengan mengirimkan 6 buah kapalnya, pada bulan
Januari 1634 kapal-kapal itu tiba di pelabuhan Banjarmasin. Usaha VOC
untuk memasuki sungai kembali menemui kegagalan, karena muara sungai
Kuyin penuh dengan cerucuk (penghalan), sehingga kapal-kapal VOC tidak
bisa merapat ke pelabuhan. Dan karena itu kampung Muara Kuyin itu
disebut Kuyin Cerucuk. Kata Kuyin diambil dari bahasa Oloh Ngaju.
Kontrak dagang pertama baru berhasil dilakukan VOC setelah mendapatkan
tuan syahbandar Ratna Diraja Goja Babouw tanggal 4 September 1635. Isi
kontrak itu, antara lain, bahwa selain mengenai pembelian lada dan
tentang bea cukai, VOC juga akan membantu kesultanan Banjarmasin untuk
menaklukkan Pasir, dan melindunginya terhadap serangan Mataram. Namun
kedatangan kapal Pearl Inggris di Banjarmasin, Tewseling dan Gregory
tanggal 17 Juni 1635 menambah masalah baru, sebab Inggris juga meminta
diperbolehkan secara resmi, untuk ikut berdagang dan mendirikan loji,
yang bagi VOC tentunya membahayakan eksistensinya di Banjarmasin. Sultan
memberi izin pada VOC membangun loji, sedangkan terhadap Inggris Sultan
sangat marah. Hal ini disebabkan Inggris telah menghasut orang
Makassar, agar menyerang Banjarmasin. Penolakan Sultan atas Inggris
tidak seluruhnya disetujui kerabat istana Banjarmasin, sehingga
menimbulkan klik-klik istana. Sebagian anggota Dewan Mahkota memihak
Inggris seperti Pangeran Marta Saharyu, Raja Kotawaringin dan Raja
Sukadana. Klik pro Inggris ini bertambah besar, hasrat perdagangan
bebas, yang menyebabkan munculnya Contract Craemer Opperkoopman VOC
memaksakan agar kontrak tahun 1635 diberlakukan. Pelayaran perdagangan
Banjar ke Batavia diberi VOC surat pas, sedangkan ke Cochin Cina tidak
diberikan meskipun Sultan memintanya. Keadaan ini menunjukkan sikap VOC
telah memaksakan monopoli perdagangannnya, hingga tidak mengizinkan bagi
pedagang Jawa, Cina, Melayu, Makassar untuk menjalankan perdagangannya
dengan kesultanan Banjarmasin. Ketika Contract Craemer menolak
permintaan Sultan untuk mengirimkan lada ke Makassar, pecahlah perang
anti VOC, pada tahun 1683. Sebanyak 108 orang Belanda, 21 orang Jepang
dibunuh, dan loji VOC dibakar serta penghancuran terhadap kapal-kapal
VOC. Peristiwa ini sangat merugikan VOC. Kerugian VOC ditaksir sebesar
160.000,41 real. Dalam hal ini hanya 6 orang Belanda di Martapura yang
selamat, karena mau di-Islamkan secara paksa.72 Besar kemungkinan,
pembantaian terhadap orang-orang VOC dan Jepang tersebut, selain
dilatarbelakangi faktor ekonomi (perdagangan) juga faktor perbedaan
agama dan adat-istiadat orang-orang Belanda yang tidak beradaptasi
dengan adat-istiadat di Banjarmasin. Apalagi, ditambah dengan perilaku
VOC yang selalu ingin monopoli atau “kuluh” dalam perdagangan
lada. Taktik yang dilakukan kesultanan Banjarmasin untuk melepaskan diri
dari politik VOC, dan menghindar dari pedagang-pedagang Inggris serta
Portugis, menyebabkan hubungan Banjarmasin dengan Mataram menjadi normal
kembali. Karena taktik tersebut, sehaluan dengan sikap Mataram yang
anti terhadap para pedagang asing, khususnya VOC. Kejadian tahun 1638
sangat merendahkan martabat bangsa Belanda dan Belanda berusaha
menghancurkan Kerajaan Banjar sebagai balas dendam terhadap pembantaian
orang-orang Belanda tersebut. Salah satu upaya yang dilakukan Belanda
adalah menyebarkan surat kepada Raja-raja Nusantara yang selama ini
bersahabat baik dengan Belanda. Surat yang ditujukan kepada Raja-raja
Nusantara itu berbunyi, antara lain isinya : Gubernur Jenderal dan Dewan
Hindia (Raad van Indie) dengan ini memberitahukan kepada Raja-Raja Nusantara, terutama di daerah-daerah VOC menjalankan perdagangan, bahwa :
a. Antara VOC dan Kerajaan Banjar pada tahun 1653 telah diadakan suatu kontrak dagang.
72 M. Idwar Saleh, op.cit., hal. 70.
b.
Kontrak itu menyatakan diberikannya monopoli lada kepada VOC dengan
penetapan harga 5 real sepikul dan bea cukai 7% untuk Sultan. Di
Martapura dibuat sebuah loji yang dengan orang-orang VOC beserta barang
dagangannya dibawah perlindungan Sultan. VOC mengerahkan sebuah kapal
perang untuk menjaga muara sungai Banjar terhadap serangan Mataram.
c. Bahwa
Sultan telah melakukan tindakan mengingkari kontrak 1635 itu dengan
tindakan kekerasan pada tahun 1635 menghancurkan loji di Martapura serta
membunuh orang-orang Belanda serta merampas milik VOC 100.000 real.
d.
Karena itu VOC akan membalas dengan segala kekuatannya dan minta
bantuan kepada raja-raja Nusantara yang bersahabat dengan dia, bukan
menghentikan bantuan senjata saja, melainkan diminta pula agar raja-raja
Nusantara ini melarang rakyatnya berdagang ke Martapura, sebelum kota
itu menjadi puing-puing dan hancur berantakan dan dinasti raja-raja
musnah. Barulah sesudah itu VOC akan berdamai dengan rakyat Kerajaan
Banjar.
73Tindakan
Kerajaan Banjar dengan cara yang spesifik ini untuk melepaskan diri
dari segala ikatan monopoli, dilanjutkan dengan usaha mengajak Sultan
Makassar bekerjasama menghancurkan perdagangan Belanda. Sultan mengirim
utusan ke Sultan Makassar dipimpin oleh nakhoda Bahong. Belanda sangat
marah atas tindakan Kerajaan Banjar ini, dan membuat maklumat yang
ditujukan kepada Raja-Raja Nusantara yang disebut insinuasi mengenai
pembunuhan orang-orang Belanda oleh Raja Martapura. Kata-kata yang kasar
dan kemarahan mendalam disebutkan dalam surat itu : “...seperti
pembunuh dan manusia binatang tetapi juga sebagai si kikir yang tak
berperikemanusiaan dan perampok barang-barang milik orang asing. Darah
mereka terbunuh menangis di muka Tuhan....sehingga mereka tidak mungkin
berdamai, kecuali Martapura hanya tinggal tumpukan-tumpukan puing dan
Sultan yang terkutuk itu dan turunannya diusir atau dibunuh oleh
rakyatnya sendiri. Kepada pemimpin ekspedisi penghukum Banjarmasin
diberikan instruksi cara menyiksa yang seteliti-telitinya dan perintah
itu ditutup dengan kalimat : “Tuhan melindungi perjalanan tuan dan memberikan kemenangan atas penghianat-penghianat jahat itu Amin” Ekspedisi
penghukuman atas Banjarmasin itu berupa blokade yang tak berarti dalam
melakukan tugasnya. Mereka hanya menemukan dan menangkap 77 orang Banjar
laki-laki dan perempuan yang tak mengerti persoalan politik dari perahu
nelayan yang sedang berlayar. Orang-orang yang ditangkap inilah yang
menerima instruksi penyiksaan itu dengan siksaan yang paling keji tak
berperikemanusiaan.
73 M. Idwar Saleh. ibid., hal. 134.
Mereka
disiksa dengan cara memotong kuping, tangan, mengerat-kerat hidung,
mencungkil mata, seperti yang diinstuksikan Batavia. Setelah disiksa
orang-orang ini dikirim ke darat, sehingga menimbulkan panik penduduk
setempat. Pada tahun 1683 itu pula Belanda mengirim ekspedisi yang kedua
dengan tugas yang sama, tetapi juga gagal karena perlawanan Kerajaan
Banjarmasin cukup kuat. Tragedi pembantaian terhadap orang-orang Belanda
ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Saidullah atau Ratu Anom
(1673-1642). Ancaman Belanda terhadap Banjarmasin, Kotawaringin dan
Sukadana, hanya tinggal ancaman belaka, Belanda tidak mampu berbuat
lebih banyak. Kemudian Belanda mengubah taktik untuk menutupi
kekalahannya dengan mengajukan tuntutan kepada Sultan sebesar 50.000
real sebagai ganti rugi atas tragedi tahun 1683 itu, namun ditolak
Sultan. Karena beberapa cara yang dilakukan tidak berhasil, maka pada
tahun 1640 Gubernur Jenderal van Diemen memerintahkan agar permusuhan
dengan Kerajaan Banjar dihentikan. Usaha Belanda mendekati Kerajaan
Banjar dengan hanya menuntut 50.000 rela sebagai ganti rugi kejadian
tahun 1683 serta akan melupakan apa yang terjadi, sama sekali tidak
mendapat layanan dari Kerajaan Banjar, sehingga akhirnya Belanda
mengalah agar kontrak dagang yang lebih menitik-beratkan pada keuntungan
dagang dari pada lainnya, yang penting bagi Belanda hubungan dengan
Kerajaan perlu dipulihkan agar lada kembali diperoleh. Lebih-lebih
Belanda merasa khawatir dengan kehadiran Inggris di Banjarmasin, kalau
Belanda tetap berpegang pada prinsip semula untuk menghukum Banjarmasin.
Sikap lunak Belanda inilah yang menyebabkan Belanda berhasil membuat
kontrak dagang dengan Kerajaan Banjar, pada 18 Desember 1660. Kontrak
dibuat dan ditandatangani oleh sultan sendiri yang saat itu dijabat oleh
Pangeran Ratu (Penembahan Tapesana) dengan Dirk van Leur yang mewakili
VOC Belanda. Dan mengadakan perundingan sehingga menghasilkan
persetujuan itu masing-masing dilakukan oleh wakil-wakil dari kedua
belah pihak. Kerajaan Banjar diwakili oleh duta Kerajaan Sara Duta
Ponbanall Lasmita dan Trasaell, sedangkan pihak VOC diwakili oleh Joan
Maetsuycker, Carell Martsinck, A.van Outschoors, Ns. Verburgh, Dirck
Jansz, Steur, Pr. Marville dan kontrak ini dibuat di Batavia. Kontrak
ini menghapuskan permusuhan antara kedua negara tahun 1638. Demikian
pula tuntutan ganti rugi sebanyak 50.000 real terhadap Kerajaan Banjar
dihapus. Sejak perjanjian itu VOC diperbolehkan kembali berdagang di
Banjarmasin, tetapi bea cukai yang dulunya 7% diturunkan menjadi 5%.
Perjanjian ini kemudian diperbaharui lagi di ibu kota Kerajaan Banjar
Martapura dan perundingan untuk mencapai persetujuan tersebut dilakukan
pada tanggal 16 mei 1661. Sebagai wakil dari pihak Kerajaan Bnajar
adalah Caertasaeta mewakili Pangeran Ratu dengan Koopman Evert
Michielszoon sebagai wakil VOC.
Isi perjanjian adalah berikut :
a. Semua lada Banjar harus dijual kepada VOC, boleh diangkut sendiri ke Batavia atau ke Malaka.
b. Harga lada ditetapkan yaitu 180 gantang setail emas atau 16 real atau barang lain yang seharga dengan itu.
c. VOC
boleh memperdagangkan barang-barangnya, sehingga Martapura, baik dengan
kapal maupun dengan mendirikan loji tak boleh ditempat lain.
d. Untuk impor dan ekspor VOC harus membayar bea-cukai sebesar 5%.
e. Bila
orang-orang Belanda kedapatan melanggar hukum, raja Banjar tidak
menghukumnya, tetapi harus menyerahkan si terdakwa kepada pemimpin loji
VOC di Martapura.
f. Bila pegawai atau budak-budak VOC melarikan diri, harus dipulangkan kembali kepada pemimpin VOC di Martapura.
g. Seluruh loji di Martapura dibawah perlindungan Sultan.
74
Dengan adanya perjanjian ini VOC kembali memainkan perannya dalam
perdagangan lada dan menguasai perdagangan itu. Bahkan untuk penjualan
kain bahan pakaian VOC juga telah menetapkan harga. Meskipun secara umum
Sultan tidak menyetujui isi perjanjian ini tetapi karena pengaruh
Pangeran Mangkubumi atau Pangeran Maes de Patty, Kontrak ini
ditandatangani oleh Sultan. Pangeran Mangkubumi sangat besar pengaruhnya
dalam Dewan Mahkota masa itu. Meskipun tahun 1660-an merupakan tahun
penuh pertentangan dalam kalangan keluarga istana, namun perdagangan
tetap berperan dengan baik. Pada tahun 1661 datang utusan Johor dan
Sukadana di Kerajaan Banjar. Utusan Johor menuntut pengembalian harta
milik nakhoda Malaka Johor yang mati beberapa tahun sebelumnya,
sedangkan utusan Sukadana melaporkan bahwa Sukadana kemudian menjadi
daerah pegaruh dari Kerajaan Banjar (1638), begitupula raja-raja
Mempawah Kotawaringin. Perebutan kekuasaan abad ke- 17 menghasilkan
kompromi, Pangeran Ratu tetap berkuasa di Martapura, sedangkan Pangeran
Suryanata (Sultan Agung) berkuasa di Banjarmasin, tambang emas, hasil
kebun lada dari daerah pedalaman dan cara ini mematikan perdagangan
Pangeran Ratu saingannya. Sehubungan dengan ini Pangeran Suryanata
mengirim dutanya ke Batavia Souta Nella dan Nala.
74 M. Idwar Saleh, loc.cit.
Kepada VOC disampaikan surat Pangeran Suryanata yang isinya :
a. Supaya VOC memanggil kembali orang orangnya yang berada di Martapura dan menutup lojinya.
b. Mengenai lada VOC tidak perlu khawatir, karena akan dikirim Sultan sendiri dengan kapal kapal ke Batavia.
a). Meminta agar isi kapal Sultan yang dirampas VOC sekembalinya dari Aceh diberikan kembali dengan perantaraan dutanya.
b). Surat
ini menyebutkan pula pemberian Sultan Agung (Pangeran Suryanata) kepada
VOC sebanyak 2.000 gantang lada dan dua lembar tikar rotan.
Utusan
yang membawa surat Pangeran Suryanata ini terjadi pada tahun 1665, dan
hal ini berarti perjanjian yang dibuat tahun 1664 hanya merupakan kertas
kosong belaka. Sikap Sultan Agung ini (Pangeran
Suryanata) yang meminta VOC keluar dari Banjarmasin, diduga atas
motivasi dari Mataram, agar Banjarmasin membuka front terbuka sikap anti
VOC. Sikap ini diperlukan sebab kesultanan lainnya terutama Mataram
mengalami kemunduran dalam bidang perdagangan akibat sepak terjang
Belanda yang selalu memegang monopoli perdagangan. Pada bulan Juli 1665
menurut laporan Residen Gerret Lemmes, tiba tiba Pangeran Suryanata
pergi ke daerah Negara untuk membeli lada secara monopoli dari rakyat
penghasil lada dan menjualnya kepada pedagang pedagang Makassar,
Inggeris, Portugis dan Cina. sedangkan utusan VOC sama sekali tidak
diberinya kesempatan memperoleh lada. Bahkan pelabuhan Banjarmasin
dipenuhi dengan pedagang pedagang dari segala bangsa dan perdagangan
dilakukan secara bebas. Untuk mempertahankan perdagangan bebas ini dan
menghapus keinginan VOC untuk memperoleh monopoli, Pangeran Suryanata
mengirim utusan ke Banten, meminta bantuan dan mengakui kekuasan Banten
atas Banjarmasin. Sekitar tahun 1670-an terjadi perubahan besar di
Indonesia Timur yang membahayakan bagi perdagangan bebas Banjarmasin,
yaitu jatuhnya bandar internasional Makassar dibawah kontrol sesuai Perjanjian Bongaya, ancaman
inilah yang menyebabkan Sultan Suryanata mengirimkan utusan utusannya
ke Batavia untuk memperoleh monopoli senjata dan mesiu. Kemunduran
Perdagangan di Indonesia Timur ini sebagai akibat dari taktik dan
strategi Belanda yang selalu berusaha memperoleh monopoli perdagangan
dengan menerapkan politik Divide et impera-nya.
Diduga pula bahwa Sultan Banjarmasin memiliki pandangan, sebagai berikut :
1. Hubungan dagang dengan Belanda, selalu diakhiri dengan peristiwa pembantaian dan permusuhan di kedua belah pihak.
2. Dalam setiap perjanjian kontrak dagang, VOC selalu ingin monopoli, dan tidak memberi peluang terciptanya perdagangan bebas.
3. Adat
Istiadat orang orang Belanda, bertentangan dengan adat istiadat orang
Banjar, sehingga lambat laun akan timbul konflik budaya.
Pertimbangan
pertimbangan tersebut, didasarkan atas kemungkinan dukungan dan
kemufakatan Dewan Mahkota, khususnya yang anti VOC. Karena VOC tentu
saja tidak berpangku tangan, dan terus menerus mencari peluangan dan
dukungan untuk bercokol di Banjarmasin. Meskipun dalam hubungan dengan
pedagang pedagang asing terdapat berbagai konflik, namun perdagangan
kesultanan Banjarmasin tidak macet. Pertengahan abad ke- 17 Banjarmasin
mengalami kemajuan dan kemakmuran yang pesat. Menurut Barra pada tahun
1662 ada 12 jung orang Melayu, Inggeris, Portugis mengangkut lada dan
emas ke Makassar. Pelabuhaan Banjarmasin dipenuhi lebih dari 1000 perahu
layar, baik perdagangan interinsuler maupun perdagangan inter-kontinental, karena
kontrak perdagangan dengan VOC hanya merupakan kontrak kosong. Hal ini
terjadi karena kesultanan Banjarmasin tidak terikat terhadap bangsa
manapun juga. ia mengacu kepada Perdagangan bebas. semua bangsa boleh
berdagang di Banjarmasin dan orang orang Banjar akan bebas pula
melakukan hubungan dagang dengan bangsa bangsa lain. Tidak terikat
kepada VOC-Belanda, EIC-Inggeris atau portugis. Kesultanan memberikan
keleluasaan kepada pedagang (pengusaha) untuk berniaga, dan dengan
sendirinya pertumbuhan ekonomi kesultanan akan meningkat, asalkan sistem
sistem yang berlaku saat itu berfungsi. Karena itu dari hasil
perdagangan inilah kesultanan Banjarmasin mengalami kemakmuran yang
pesat, dan akibatnya muncul kemelut politik istana pergeseran dan
perebutan kekuasaan, namun walau begitu, dilihat dari luar, Kesultanan
Banjarmasin tetap utuh.
( Bersambung ke Bagian 4 )
( Bersambung ke Bagian 4 )
Sumber : Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar