Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 6)
a. Pemikiran-Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di Bidang Akidah Islam
Dalam
kajian yang merupakan hasil Seminar Sehari tentang Pemikiran-Pemikiran
Keagamaan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di IAIN Antasari Banjarmasin
tanggal 17 November 1988 dirumuskan bahwa Pemikiran-Pemikiran Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari itu meliputi :
- Pemikiran dalam bidang aqidah Islam,
- Pemikiran dalam bidang syari’at, dan
- Pemikiran
dalam bidang da’wah Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam
bidang Akidah Islam terlihat dengan jelas dalam usaha beliau untuk
memurnikan akidah Islam dari kepercayaan lama yang dalam ajaran agama
Islam termasuk bid’ah dhalalah.
Disamping itu beliau berusaha untuk menegakkan Ahlus sunah wal Jamaah dalam bidang akidah dengan melarang ajaran wujudiyah dan berhasil meyakinkan Sultan Nata lam bahwa aliran Wahdatul Wujud itu bertentangan dengan faham Ahlussunah wal Jamaah.
117 Menurut J. Eisenberger, Kroniek der Euider en Oosterafdeeling van Borneo, Lim Hwat Sing, Banjarmasin, 1936, hal. 16. 118 Abdurrahman, “Studi…, loc.cit.
Ada
beberapa karya tulis yang dianggap sebagai sumber dalam menggali dan
memformulasikan pemikiran-pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di
bidang akidah Islam, antara lain adalah :
1) Tuhfat al-Ragibin fi Bayani Haqiqat Iman al Mu’min Wama Yufsiduh min Riddat al Murtaddin
Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari hidup dalam abad ke- 18 dan awal ke-19 dalam
wilayah Kerajaan Banjar yang sekarang menjadi wilayah Kalimantan
Selatan. Meskipun agama Islam telah tersebar luas di kalangan masyarakat
Kerajaan Banjar sejak abad ke- 16, tetapi sisa-sisa kepercayaan lama
masih melekat dan hidup di kalangan masyarakat sampai abad ke-18 pada
masa Syekh Muhammad Arsyad hidup. Bahkan sampai sekarangpun sisa-sisa
kepercayaan lama itu masih ada di beberapa tempat tertentu. Kepercayaan
itu bukan berasal dari agama Islam bahkan bukan membahayakan iman kaum
muslimin yang mengerjakannya. Justru itu Syekh Muhammad Arsyad berusaha
keras memberantasnya, demi memurnikan akidah Islam dari faham-faham
bid’ah. Diantara upacara tradisional yang mendapat perhatian khusus dari
Al Banjari dalam kitab Tuhfat al Ragribin adalah Upacara Menyanggar dan Membuang Pasilih. Upacara
itu dilakukan dengan cara memberi sesajen atau ancak yang berisi
bermacam wadai dan dipersembahkan untuk ruh-ruh gaib, hantu-hantu itu
dapat memberikan pertolongan seperti menyembuhkan penyakit, membuang
sial dan mengabulkan segala macam permintaan mereka. Komunikasi dengan
ruh-ruh itu dilakukan oleh seorang dukun atau balian dengan cara
kesurupan, dimana jasadnya dimasuki ruh halus yang telah menerima
sesajen tersebut. Menurut Al Banjari kedua upacara itu, Menyanggar dan Membuang Pasilih hukumnya bid’ah dhalalah, bid’ah yang menyesatkan. Pelakunya harus segera bertobat.
Ada tiga kemungkaran menurut Al Banjari yang terdapat dalam kedua upacara itu :
1) Membuang-buang harta pada jalan yang diharamkan. Orang mubazir adalah teman syaitan dan Al Banjari merujuk kepada Al Qur’an surat Al Isra : 27.
2) Mengikuti
syaitan dalam memenuhi segala permintaannya. Larangan mengikuti syaitan
itu banyak sekali ditemukan di dalam Al Qur’an. Al Banjari merujuk
beberapa ayat antara lain Al Baqarah : 208 ; Al-Nisa : 119 ; Fathir : 6,
Yasin : 60.
3) Mengandung syirik dan bid’ah.
Sehubungan dengan ini Al Banjari memperinci hukum yang dikenakan kepada pelakunya sebagai berikut :
a. Bila
diyakini bahwa tidak tertolak bahaya kecuali melalui kedua upacara itu
yaitu dengan kekuatan yang ada pada upacaa itu, maka hukumnya kafir.
b. Bila
diyakini bahwa tertolaknya bahaya adalah karena kekuatan yang
diciptakan Allah pada kedua upacara itu maka hukumnya bid’ah lagi fasik,
tetapi tetap kafir menurut para ulama.
c.
Bila diyakini bahwa kedua upacara itu tidak memberi bekas baik dengan
kekuatan yang ada padanya atau kekuatan yang dijadikan Tuhan padanya,
tetapi Allah jua yang menolak bahaya itu dengan memberlakukan hukum
kebiasaan dengan kedua upacara tersebut, maka hukumnya tidak kafir,
tetapi bid’ah saja. Namun bila diyakini kedua upacara itu halal atau
tidak terlarang maka hukumnya kafir.
Penjelasan
yang menarik dalam Tuhfat al Ragribin itu tetang Upacara Menyanggar dan
Membuang Pasilih itu yang berbentuk dialog. Untuk membenarkan perbuatan
mereka itu, mereka mengatakan bahwa yang diberi makan itu adalah
manusia-manusia yang gaib (tidak mati) pada zaman dahulu dari halnya
raja-raja Banjar. Mereka diberi makan dengan bermacam makanan yang
disajikan, sehingga tidak mubazir. Dengan ini kami minta ditolong supaya
dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi. Hal itu sama dengan memberi
makanan kepada manusia yang hidup untuk minta bantuannya dalam kehidupan
ini. Al Banjari menjawab bahwa alasan mereka itu sebagai berikut :
Alasan seperti itu tidak berdasarkan keterangan Al Qur’an, Hadits atau
pendapat para ulama, tetapi hanya berdasarkan mitos saja yang tidak bisa
dipegang oleh umat Islam dalam keyakinannya. Justru karena itu tidak
boleh dikerjakan meskipun sajen yang diberikan atau diletakkan dalam
ancak di makan oleh manusia atau binatang, maka tetap hukumnya haram dan
bid’ah karena mubazir dan bid’ahnya. Jika mereka beralasan bahwa
dasarnya berasal dari mitos atau dari orang yang berhubungan dengan
manusia gaib itu, maka kedua dasar itupun tidak beralasan dan tidak
dapat diterima. Mitos tidak bisa disajikan dalil-dalil keyakinan,
sedangkan yang menyarung atau menyusupi dukun tersebut adalah syaitan
yang selalu membisikkan hal-hal yang negatif bagi agama. Sebab hanya
malaikat dan syaitan yang menyarungi manusia. Malaikat selalu
membisikkan yang baik-baik menurut agama, kebalikannya syaitan selalu
membisikkan yang jahat atau bertentangan agama. Jika mereka mengatakan
bahwa yang mereka beri makan itu syaitan juga, tetapi memberi makan
kepada syaitan itu seperti memberi makan anjing, jadi suatu perbuatan
yang mubah. Dijawab oleh Al Banjari bahwa alasan itu pun tidak logis,
karena yang dikatakan itu tidak sesuai dengan yang ada dalam hati dimana
mereka sangat menghendaki kepada syaitan-syaitan itu dengan bukti
memberikan sesajen tersebut yang penuh dengan keindahan dan
makanan-makanan istimewa. Upacara Manyanggar dan Membuang Pasilih
hanyalah sebagai contoh yang disebutkan oleh Al Banjari dari sekian
banyak upacara yang sifatnya tidak berbeda. Al Banjari menyerukan kepada
pihak raja-raja dan para pembesar kerajaan agar menghilangkan
upacara-upacara tersebut dari masyarakat Islam di dalam wilayah Kerajaan
Banjar.
2) Al Qaw al-Mukhtasar fi’Alamat alMahd al’Muntashar
Risalah
ini ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari pada tahun 1196 H
sampai kini berbentuk manuskrip dalam pemeliharaan Ahmad Nawawi ibn al
Haj Ibrahim al Qadhi Al Banjari al Kayutangi, sebagaimana tertera
dikulitnya.
3) Kitab Parukunan
Dalam
edisi yang diterbitkan oleh Dar Ihya al Kutub al Arabiyyah Mekkah-Mesir
tahun 1912 tertulis bahwa kitab ini disusun oleh Mufti Jamaluddin ibnu
Muhammad Arsyad Mufti Banjar, dan ditashih oleh Syekh Abdullah ibnu
Ibrahim Langgar al Qadhi dan Syekh Abdurrasyid ibnu Isram Panangkalaan
Amuntai Al Banjari, bahwa kitab ini ditulis oleh Fatimah binti Abdul
Wahab Bugis, cucu Al Banjari. Tetapi karena tawadhunya, ditulis bahwa
yang menyusun kitab ini adalah pamannya Syekh Jamaluddin ibn Al Banjari.
4) Parukunan Basar
Kitab
ini merupakan versi lain dari Kitab Parukunan. Kitab inipun menurut
beberapa penulis, juga ditulis oleh Fatimah binti Abdul Wahab Bugis.
Semua kitab ini tertulis dalam bahasa Melayu-Banjar dan dengan huruf
Arab Melayu, yang saat itu merupakan huruf yang dipakai dalam kalangan
sangat luas diseluruh Kerajaan Islam di Asia Tenggara. Ketiga kitab
terakhir ini berisi tentang konsep tentang iman, konsep tentang
memfungsionalisasikan iman dalam kehidupan, pemurnian akidah, menegakkan
ahlussunah wal Jamaah, konsep Faham ahlussunnah wal Jamaah secara luas.
Kesimpulan yang dikemukakan oleh Tim Pengkajian Pemikiran Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari antara lain bahwa, pemurnian akidah dengan
memberantas upacara-upacara tradisional yang membahayakan iman, sangat
relevan untuk dikemukakan dan diusahakan dalam masyarakat Islam. Sebab
sampai sekarang pelbagai praktik kehidupan semacam itu masih banyak
berlangsung di tengah-tengah masyarakat Islam, yang kadang-kadang yang
berlangsung dibawah pemahaman tertentu terhadap ajaran agama dan
kepentingan pariwisata. Sebenarnya praktik irrasional semacam itu tidak
hanya berdampak negatif terhadap pembangunan, sebab hal itu bisa
melemahkan rasionalitas dan perilaku orang dalam menghadapi kehidupan.
b. Pemikiran-Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari Dalam Bidang Syari’at
Dalam bidang Syari’at sumber primer yang ditemukan adalah berupa hasil karya Al Banjari yang terdiri dari kitab :
- Kitab Sabilal Muhtadin Li al Tafaquh Fi Amr al Din. Isinya
menguraikan masalah fiqih berdasarkan aliran mazhab Syafei. Al Banjari
menyebutkan beberapa sumber kitab yang disajikan sumber pengambilan
antara lain Kitab Nihayah, Kitab Tuhfah dan lain-lain. Kitab ini diterbitkan oleh penerbit Darul Ihya al Kutub al Arabiyah, terdiri dari dua juz.
- Kitab al Nikah. Isinya
membahasa masalah perkawinan. Kitab ini diterbitkan oleh Maktabah al
Haj Muharram Afandi pada tahun 1304 H, sesudah dicetak pertama kali oleh
percetakan al Asitanah al Aliyah di Istambul. Sumber di atas semuanya
berdasarkan Mazhab Syafei, masalah dan menjabarkanna banyak dikutip dari
sumber-sumber ulama Syafiiah yang mutakhirin seperti Sarah Minhaj oleh
Syaihul Islam Zakaria Anshari dan Nihayah oleh Syekh Jamal Ramli, Mugni
oleh Khatib Syarbaini, Tuhfah oleh Ibn Hajar haitami. Kelebihan Al
banri adalah dalam hal ketepatan memilih masalah yang penting untuk
dijelaskan secara terurai, lengkap dan ditulis, yang selanjutnya
disempurnakan dengan pemberian misal yang bersifat terapan dalam praktik
kehidupan masyarakt umum. Bahkan kadang-kadang penjelasan seperti itu
tidak ditemukan dalam kitab-kitab literatur berbahasa Arab.
Masalah-masalah itu seperti :
- Najis dan mensucikan.
- Cara mensucikan tempat/kain yang kena najis dengan air yang sedikit.
- Macam-macam hadas yang dibagi kepada tiga tingkatan.
- Pengertian air musta’mal.
- Kaifiat dan bentuk-bentuk larangan sewaktu qadha hajat.
- Anjuran membuat tempat qadha hajat.
- Mengeluarkan zakat buah-buahan, terutama mengenai hasil pertanian campuran beririgasi dan tadah hujan.
- Tentang wajib tidaknya zakat hewan ternak.
- Cara penyampaian zakat kepada fakir miskin.
- Tuntutan dan hukum menanam mayat.
- Penyelenggaraan mayat anak-anak keguguran.
- Ijab dan kabul dalam pernikahan.
Banyak
diantara hasil temuan dari kajian pemikiran Al Banjari yang mempunyai
relevansi aktual dan penting dalam masyarakat sampai sekarang, seperti:
- Di bidang thaharah, seperti pengertian air musta’mal dan kaifiat mencucikan muntanajis, tempat ataupun pakaian dengan air yang sedikit.
-
Di bidang zakat, seperti zakat hasil pertanian yang digarap dengan
teknis campuran antara sistem irigasi dengan tadah hujan, dan konsepsi
tentang teknis pengeluaran zakat kepada fakir miskin. Menarik pula
temuan pemikiran Al Banjari yang bersifat kontradiktif dengan praktik
nyata yang masih berlaku sampai dewasa ini di kalangan masyarakat umum.
Pemikiran tersebut adalah mengenai hukum kenduri yang disebutkan beliau makruh lagi bid’ah. Makruh lagi bid’ah itu berlaku baik bagi yang menyelenggarakan maupun orang yang datang memenuhi undangan kenduri tersebut.
c. Pemikiran-Pemikiran Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di Bidang Da’wah Islamiyah
Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari memiliki kemampuan dan kelebihan dalam
segala hal, mempunyai pemikiran-pemikiran yang gemilang sehingga adalah
wajar kalau beliau mendapat penghargaan dan pengakuan dari seluruh
kalangan masyarakat Kerajaan Banjar waktu itu lebih-lebih lagi pengakuan
itu oleh masyarakat masa kini. Dalam bidang da’wah beliau dapat
mengaplikasikan sebagai manifestasi dari pemikirannya mampu menjangkau
kemasa depan, serta menyentuh berbagai aspek kehidupan secara mendasar.
Hal ini memang relevan sekali dengan karakteristik da’wah yang memang
luwes, elastis atau fleksibel.
Secara global ada tiga klasifikasi da’wah yang dikembangkan beliau, yaitu da’wah bil hal, da’wah dengan lisan dan da’wah dengan tulisan.
1) Da’wah Bil hal
Da’wah Bil hal iadalah
aktivitas da’wah yang dilakukan melalui perbuatan nyata dengan berbagai
macam bentuk kegiatan dan dampak positifnya dapat segera dirasakan,
atau paling tidak hasil yang akan dicapai sudah tergambar dengan jelas.
Ada beberapa bentuk da’wah bil hal yang dapat dimasukkan yang telah dipraktikkan oleh Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, yaitu :
- Kaderisasi ulama,
- Memurnikan ajaran agama,
- Melalui perkawinan, dan
- Integritas dengan penguasa dan masyarakat.
Dalam rangka kaderisasi ulama ini Al Banjari membangun sebuah perkampungan yang disebut Dalam Pagar. Perkampungan
ini diperuntukkan khusus pengajian dan pengembangan Islam dengan
membentuk kader ulama yang mampu menjalankan tugas da’wah ke seluruh
pelosok wilayah Kerajaan dan bahkan ke luar daerah Kerajaan Banjar.
Pengajian dilakukan secara terpimpin, dengan pengawasan yang ketat.
Dalam dua dasawarsa, pertama Al Banjari bekerja keras melakukan
kaderisasi ulama yang dapat diandalkan dan siap pakai. Mereka yang
dipandang sudah mampu dan cukup ilmunya, disuruh pulang ke kampung
halaman mereka masing-masing untuk mengajarkan agama atau berda’wah di sana.
Proses kaderisasi dilakukan Al Banjari sampai beliau berusia 80 tahun.
Memurnikan ajaran agama Islam dilakukan oleh beliau dengan cara yang
bijaksana sehingga tidak terjadi keresahan di kalangan masyarakat. Pada
waktu beliau kembali ke tanah air setelah 30 tahun menimba ilmu di kota
suci Mekkah al Mukarramah, masyarakat Banjar masih kuat menganut
kepercayaan lama berupa kepercayaan kepada animisme dengan melakukan
beberapa upacara antara lain Upacara Menyanggar dan Membuang Pasilih. Upacara
itu disertai dengan meletakkan sesajen atau ancak yang dipersembahkan
kepada ruh-ruh halus, agar ruh halus tersebut mengabulkan keinginan
mereka. Usaha ini berhasil dengan menyadarkan pelakunya, kembali kepada
ajaran agama yang sebenarnya. Selain memurnikan ajaran agama dari
pengaruh dan praktik kepercayaan animisme, juga dilakukan beliau
membersihkan ajaran agama dari Faham aliran Wahdatul Wujud yang diajarkan oleh Syekh Abdul Hamid Abulung. Ajaran Wahdatul Wujud ini bertentangan dengan Faham Ahlussunah Wal Jamaah dan
bertentangan dengan hukum Kerajaan. Al Banjari berhasil menghapuskan
ajaran ini dengan cara bijaksana dengan melakukan perundingan dengan
Syekh Abdul Hamid Abulung. Dengan secara arif dan penuh saling
pengertian akhirnya Syekh Abdul Hamid Abulung menerima hukuan mati yang
dijatuhkan kerajaan kepada beliau. Tindakan penuh kearifan yang
dilakukan Al Banjari, akhirnya dapat menyelamatkan ajaran agama Islam
dari Faham Wahdatul Wujud yang bertentangan dengan Ahlussunah wal Jamaah
dan menyelamatkan kerajaan dari pertentangan umat karena adanya aliran
yang berbeda itu. Pendekatan da’wah melalui perkawinan, ternyata
kemudian sangat efektif penyebaran Islam, karena hasil keturunan beliau
kemudian tersebar ke seluruh wilayah Kerajaan dan bahkan ke luar
kerajaan dalam mengemban tugas da’wah Islam. Sebagian besar dari
keturunan beliau dari sebelas orang isteri dan satu dari keturunan Cina,
adalah ulama-ulama besar yang terpandang dan dihormati masyarakat luas.
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari berhasil menyatukan penguasa, golongan
raja-raja dan masyarakat golongan jaba atas dasar ikatan agama Islam,
sehingga tidak ada jurang pemisah antara ulama, bangsawan dan golongan
jaba. Keberhasilan mendekati golongan bangsawan ini, menjadikan Sultan
Tahmidullah atau Nata Alam menjadi sahabat dan murid beliau dan bahkan
mendukung dan mendorong segala macam kegiatan da’wah yang dilakukan Al
Banjari atas perintah Sultan Hamidullah, Muhammad Arsyad menuntut ilmu
agama ke kota suci Mekkah selama 30 tahun. Penggantinya Sultan
Tamjidillah yang ikut membiayai Muhammad Arsyad selama menuntut ilmu
pengetahuan di Mekkah, dan akhirnya Sultan Tahmidullah atau Nata Alam
yang berkuasa ketika Al Banjari kembali ke tanah air, akhirnya menjadi
murid dan temannya. Sultan Tahmidullah pulalah yang memerintahkan agar
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menyusun kitab yang kemudian diberi
nama Kitab Sabilal Muhtadin, yang merupakan pegangan bagi seluruh
rakyat kerajaan dalam melakukan ibadah. Integrasi beliau dengan
masyarakat terwujud dalam bentuk kepeloporan beliau untuk mengolah tanah
yang mati sehingga dapat berfungsi untuk dijadikan lahan pertanian yang
subur. Salah satu cara yang dilakukan beliau adalah penggalian sungai
untuk kepentingan irigasi persawahan yang dikemudian dikenal sebagai sungai Tuan.
2) Da’wah dengan Lisan
Pada
da’wah dengan lisan adalah pola umum yang dilakukan para muballiq sebab
paling mudah dan praktis, begitu pula teknis pelaksanaannya dan secara
sekaligus dapat mencakup orang banyak. Pola ini pula yang dilakukan
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari dalam kegiatan pembinaan kader ulama
dalam Majelis Ta’lim beliau di Dalam Pagar dalam wilayah Kerajaan
Banjar. Bahkan sebelum pulang ketanah air beliau telah dipercaya memberi
pelajaran di Masjidil Haram di bidang hukum Syafiiyah. Salah
seorang muridnya adalah seorang golongan jin yang bernama Al Badakut al
Mina, ikut bersama beliau ke tanah Kerajaan Banjar.
3) Da’wah dengan Tulisan
Kemampuan
Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang sangat istimewa adalah kemampuan
dalam bidang mengarang, menyusun kitab-kitab agama, meliputi bidang syariat, tauhid atau ilmu ushuluddin dan bidang tasawwuf sebagaian
besar dari kitab-kitab itu ditulis dalam bahasa Melayu. Beberapa dari
kitab-kitab beliau itu masih dijadikan bahan pegangan untuk diajarkan
kepada masyarakat luas, bahkan kitab Sabilal Muhtadin masih dijadikan
kitab rujukan di Brunei Darussalam dan di seluruh kawasan Asia Tenggara.
Hasil karya tulis inilah yang menjadi peninggalan Al Banjari yang
paling berharga bagi seluruh masyarakat sampai kini. Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari telah menanamkan enam kerangka dasar yang berfungsi
sebagai modal utama keberhasilan da’wah beliau.
Enam kerangka ini berperan sebagai strategi da’wah yang dijalankan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yaitu :
1) Da’wah harus diikuti dengan kealiman yang mantap dan penuh ketekunan menuntut ilmu.
2) Da’wah
harus mempunyai orientasi yang jelas dengan memprioritaskan pembinaan
kader ulama sesuai dengan hajat tuntutan masyarakat.
3) Da’wah
harus mempunyai landasan wawasan yang luas di pelbagai segi kehidupan
masyarakat yang dimanifestasikan dalam strategi da’wah bil hal.
4) Da’wah
harus mampu mengayomi semua lapisan masyarakat sehingga tidak terjadi
kesenjangan sosial antara golongan bangsawan dan golongan jaba dalam
masyarakat Kerajaan Banjar.
5) Da’wah
harus diwujudkan dengan penuh kearifan dan bijaksana sehingga mampu
menyentuh peradaban manusia dengan melalui lidah, tulisan dan perbuatan.
6) Da’wah
harus dijiwai dengan keikhlasan, penuh dedikasi yang tinggi tanpa
pamrih sesuai dengan ajaran agama Islam. Syekh Muhammad Arsyad
al-Banjari sosok figur ulama yang sukar dicari tandingannya.
Corak
pemikiran beliau sarat dengan pelbagai bidang kehidupan beragama,
terutama yang bertemakan da’wah Islam, apalagi karya-karya tulis beliau
yang bersifat monumental sangat berpengaruh di seluruh kawasan Asia
Tenggara sampai kini.
6. Penerapan Hukum Islam
Hukum
Islam memang merupakan hukum yang bersifat universal akan tetapi juga
sebagai hukum yang sangat kontekstual sifatnya. Sebagai hukum yang
universal hukum Islam sebagai hukum Allah yang berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah adalah
tidak terikat pada tempat dan waktu. Hukum Islam adalah hukum yang
berlaku di seluruh dunia. Islam pada berbagai kawasan tempat dan berlaku
pada setiap kurun waktu dari masa ke masa. Tetapi berlakunya hukum
Islam selalu mempertimbangkan kondisi dan situasi. Kondisi menyangkut
keadaan tempat dimana hukum itu berlaku. Sedangkan situasi memacu kepada
suasana dalam mana hukum itu berlaku. Pemikiran tradisional dari suatu
masyarakat tertentu sangat mempengaruhi perkembangan hukum Islam. Dimana
hukum syariat tidak dapat menyelesaikan suatu masalah, maka hukum adat
muncul menggantikannya dan pada gilirannya pengadilan non syariah akan
semakin meluas kewenangannya. Perkembangan sejarah dari suatu tempat
akan banyak sekali menentukan penerimaan Hukum Islam dalam masyarakat
yang bersangkutan. Penerapan hukum Islam di daerah Kerajaan Banjar
adalah sejalan dengan terbentuknya Kerajaan Islam Banjar dan
dinobatkannya Sultan Suriansyah sebagai raja pertama yang beragama Islam
pada hari Rabu 24 September 1526. Terbentuknya Kerajaan Islam Banjar
menggantikan Negara Daha yang beragama Hindu, dan merubah hukum yang
berlaku dari hukum Hindu dengan hukum Islam. Disini terjadi transformasi
secara mendadak dari kepercayaan Hindu/Budha berubah menjadi penganut
ajaran Islam. Dari penelusuran sejarah kita menemukan adanya suatu data
berupa keputusan penting yang pernah diambil oleh Sultan berkenaan
dengan masalah agama, yaitu keputusan berpindah agama menjadi penganut
ajaran Islam. Keputusan direalisasikan dalam bentuk nyata dengan
didirikannya masjid yang dikenal sebagai Masjid Sultan Suriansyah yang
sekarang terletak di Kuwin. Sebelum kerajaan Banjar terbentuk, Islam
sudah lama masuk ke daerah ini, sehingga telah terbentuk sebuah
masyarakat Islam di sekitar Kerajaan. Dengan dasar ini pula dapat
diperkirakan bahwa penerapan hukum Islam dikalangan masyarakat berjalan
dengan tenang tanpa ada ketegangan atau keresahan sosial, sehingga
dengan mudah masjid dapat didirikan. Demikianlah gambaran tentang
pertumbuhan Islam dan penerapan hukum Islam di kalangan masyarakat dalam
Kerajaan Banjar sekitar abad ke-16. Yang menjadi dasar bagi
perkembangan Islam selanjutnya. Pada abad 17 kita mencatat beberapa
kejadian penting dalam perkembangan penerapan hukum Islam ini. Dalam
abad itu seorang ulama Banjar yang bernama Syekh Ahmad Syamsuddiin Al
Banjari menulis tentang Asal Kejadian Nur Muhammad dan menghadiahkannya tulisan itu kepada Ratu Aceh Sulthanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat (1641-1675).
Kitab itu ditulis pada masa pemerintahan Pangeran Tapasena (Adipati
Halid). Kitab itu tentang masalah tasawuf yang dipengaruhi ajaran Ibnu
Arabi. Dengan demikian dalam abad ke- 17 dalam Kerajaan Banjar terdapat
kecenderungan pesatnya perkembangan tasawuf sehingga melahirkan seorang
ulama besar dalam bidang itu. Dari sisi lain dapat dilihat adanya
hubungan timbal balik antara Kerajaan Aceh dengan Kerajaan Banjar
terutama penyebaran faham dan ajaran tasawuf. Hubungan antar dua
kerajaan Islam ini dilanjutkan dengan dikirimkannya Kitab Fiqih Shirathol Mustaqim karya ulama besar Aceh Nurruddin ar Raniri yang
ditulis pada tahun 1055 H. Kitab ini tersebar luas dalam wilayah
Kerajaan Banjar sebelum sebelum Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari
menyusun kitab Sabilal Muhtadin sebagai kitab Fiqih penggantinya Kitab Shirathol Mustaqin adalah
kitab Fiqih berdasarkan mazhab Syafei. Menurut penilaian Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari, kitab Sirothol Mustaqin itu adalah kitab Fiqih dalam
mazhab Syafei yang terbaik dalam bahasa Melayu, karena uraiannya
terambil dari beberapa buah kitab Fiqih yang terkenal lagi pula
dicantumkan beberapa nash dan dalil. Karena itu kitab tersebut banyak
memberi manfaat bagi kaum muslimim dalam Kerajaan Banjar. Dengan
demikian sejak abad ke-16 dan 17 dan selanjutnya penerapan hukum Islam
yang dianut berdasarakn Mazhab Syafei dan kitab Shirathol Mustaqim
sebagai rujukan dalam menerapkan hukum Islam di kalangan masyarakat
luas. Kendatipun demikian dalam Kitab Shirathol Mustaqin itu banyak yang
kurang jelas, terdapat kata-kata dalam bahasa Aceh yang tidak
dimengerti oleh orang Banjar. Disamping itu dalam beberapa bagian
terdapat perubahan, berubah dari teks aslinya. dan pada tempat lain
terdapat kata-kata yang hilang atau rusak hal ini disebabkan oleh para
penyalin yang kurang menguasai masalahnya, sehingga sukar membedakan
mana yang benar, sedangkan teks aslinya sudah sulit menemukannya.
Menghadapi perkembangan hukum Islam seperti ini jelas sekali peranan
yang dilakukan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari yang berhasil menulis
Sabilal Muhtadin sebagai kitab Fiqih terbesar dan lebih lengkap untuk
menggantikan Kitab Shirathol Mustaqin, sebagai rujukan dalam penetapan
hukum Islam dalam wilayah Kerajaan Banjar. Perkembangan hukum Islam
dalam abad ke- 18 dan 19 berkembang sangat pesat setelah Syekh Muhammad
Arsyad Al Banjari berhasil mengintensifkan da’wah melalui pembinaan
kader ulama dalam perkampungan khusus. Dalam Pagar-Martapura. Selain
pembinaan ulama yang tangguh dan tersebar luas di seluruh wilayah
Kerajaan dan bahkan sampai ke luar kerajaan, juga keberhasilan beliau
dalam menyusun beberapa kitab dalam usaha beliau untuk menerapkan hukum
Islam dikalangan masyarakat luas. Kitab-kitab itu meliputi masalah syariat, ushuluddin dan tasawuf yang semuanya berhaluan Ahlussunah wal jamaah.
Dalam bidang Fiqih, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari telah menulis beberapa buah karya tulis diantaranya :
(1) Parukunan Basar, ditulisnya
untuk menjadi bahan pelajaran orang yang baru mempelajari agama Islam.
Uraiannya singkat dan materi yang dibicarakan hanya yang menjadi
kewajiban dalam agama seperti Shalat dan janji, sedang zakat dan puasa
hanya dibicarakan dengan singkat. Parukunan Basar telah di cetak ulang
beberapa kali, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
(2) Fathul Jawad,
sebuah kitab Fiqih dalam mazab syafei yang merupakan terjemahan dari
tulisan Syekh Ibnu Hajar yang menguraikan dengan ringkas (matan) yang
mencakup seluruh materi Fiqih, baik ibadah maupun muamalah. Namun sangat
disayangkan sampai saat ini naskah asli maupun yang sudah dicetak belum
ditemukan.
(3) Luqtatul Ajlan,
adalah kitab yang khusus membicarakan tentang hukum yang menyangkut
wanita seperti haid, hukum nifas dan istgihad. Risalah ini belum pernah
diterbitkan masih berupa naskah.
(4) Kitabun Nikah, yang
khusus menguraikan tentang Fiqih muamalah dalam bidang hukum perkawinan
berdasakan mazhab Syafei. Kitab ini telah dicetak di Turki, yang isinya
menerangkan pandangan Fiqih mazhab Syafei dalam hukum perkawinan.
Uraiannya singkat karena kitab ini yang dijadikan pegangan dalam bidang
perkawinan untuk seluruh wilayah Kerajaan dan sampai sekarang tetap
dipergunakan, sebelum adanya Surat Edaran dari Pengadilan Agama R.I.
tentang keseragaman ijab dari calon mempelai lelaki berbunyi : “Kuterima menikahi si pulan binti si pulan dengan mahar ...........” Sedangkan dalam Surat Edaran Pengadilan agama itu ijab itu harus berbunyi : “Kuterima nikahnya.............”. Dalam Kitabun Nikah pula ditentukan Istilah cina buta, yang dipergunakan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari untuk menggantikan kata “muhalil”,
Orang yang telah melakukan talak tiga kali, mereka tidak boleh lagi
kembali kecuali si bekas isteri kawin dengan orang lain. Setelah kawin
dengan orang lain dan cerai, barulah diperbolehkan nikah kembali dengan
bekas isterinya setelah genap masa idah. Supaya kawin dengan orang lain
ini tidak lama, bekas suaminya mencarikan calon suami upahan. Inilah
suatu tradisi yang berkembang dalam masyarakat yang dikenal dengan bacina buta .
(5) Kitabul Faraid, yang memuat hukum perwarisan berdasarkan mazhab Syafei dan ditambah dengan hasil ijtihad beliau sendiri seperti hukum harta perpantangan,
dan kebolehan membagi harta warisan sama antara lelaki dan perempuan.
Istilah harta perpantangan ini bukanlah merupakan penyimpangan dari
hukum faraid yang ditetapkan dalam kitab-kitab fiqih. Istilah ini
timbul karena adanya perbedan cara hidup masyarakat Arab dan masyarakat
Banjar. Dalam hukum perkawinan bahwa isteri tidak bekerja, segala
keperluan rumah tangga menjadi kewajiban suami. Sedangkan dalam
masyarakat Banjar, isteri selalu membantu suami dalam mencari harta,
bahkan kadang-kadang justru isteri yang bekerja, isteri sebagai kawan
sekongsi dengan suami yang dikenal dalam hukum muamalah “Syirkatul Abdan”.
Menurut ketentuan yang berlaku dalam Syirkatul Abdan kalau ada yang
meninggal atau perkongsian itu dibubarkan (cerai) jumlah harta
perkongsian itu dibagi dua, suami memperoleh separo dan isteri
memperoleh separo pula. Kemudian yang separo yang dimiliki oleh yang
meninggal dibagi lagi sesuai dengan ketentuan hukum faraid. Jadi
ketentuan yang berlaku dalam masyarakat Banjar mengenai harta
perpantangan adalah berdasarkan hukum dalam Syirkatul Abdan yang separo
lagi dibagi kepada ahli waris yang meninggal sesuai dengan faraid.119
Pembagian harta warisan yang sama antara saudara perempuan dengan
saudara lelaki atas persetujuan bersama, yang seperti ini dikenal dengan
istilah “takharuj”, ialah pelepasan hak dari salah sorang atau
beberapa orang ahli waris baik terhadap sebagian barang yang diwarisi
atau terhadap seluruhnya. Contohnya : barang yang tidak dapat dibagi
tiga, seperti tiga bersaudara mewarisi dari orang tuanya sebuah rumah,
dua orang melepaskan haknya pada rumah itu dengan menerima gantian
dengan sejumlah uang. Atau beberapa orang ahli waris menyerahkan
seluruhnya haknya.
119
M. Asywadie Syukur, “Perkembangan Hukum Islam di Kalimantan Selatan”,
Makalah pada Seminar Perkembangan Hukum Islam di Kalimantan Selatan,
Fakultas Hukum Unlam, Banjarmasin, 1988.
(6) Kitab Sabilah Muhtadin, merupakan
karya yang terbesar dan monumental yang terdiri dari dua jilid. Kitab
ini baru menguraikan masalah ibadah sedangkan muamalah belum sempat
dibicarakan, namun demikian kitab ini sangat besar andilnya dalam usaha
beliau untuk menerapkan hukum Islam dalam wilayah Kerajaan Banjar sesuai
dengan anjuran Sultan Tahmidullah yang memerintah saat itu. Dalam
rangka menerapkan hukum Islam Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah
konseptor dan sekaligus mempelopori pembentukan lembaga Mufti dan Qadhi sebagai
suatu bentuk lembaga peradilan menurut ketentuan hukum Islam dalam
struktur Pemerintahan Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah yang
bergelar Sunan Nata alam atau Panembahan Nata (1561-1801). Pembentukan
lembaga ini dimaksudkan sebagai usaha melaksanakan ketentuan hukum Islam
dalam masyarakat. Lembaga inilah kemudian yang menjadi cikal bakal bagi
Pemerintah Belanda untuk daerah Kalimantan Selatan pada tahun 1937
dengan nama Kerapatan Kadhi dan Kerapatan Kadhi Besar,
yang berlaku sampai sekarang. Pengaruh lebih jauh dari pemikiran Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari dalam hal penerapan hukum Islam ini secara
konkret ketika Sultan Adam Al Wasik Billah (1825-1857) yang pada masa
mudanya adalah murid Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari menetapkan suatu
ketetapan hukum yang dikenal sebagai Undang-undang Sultan Adam. Dalam
penyusunan Undang-Undang ini peranan dari kelompok alim ulama sangat
besar sekali. Bahkan dari salah satu pasal dari undang-Undang itu dengan
tegas menyatakan sekalian kepala jangan ada yang menyalahi fatwa Haji
Jamaluddin (pasal 31). Haji Jamaluddin bin Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjari adalah Mufti Kerajaan, dan beliaulah yang namanya dipergunakan
dalam penulisan kitab Parukunan Besar yang dikenal sebagai Parukunan Haji Jamaluddin. Dapatlah
dikatakan bahwa Undang-undang Sultan Adam merupakan hukum tertulis yang
jelas untuk menerapkan Hukum Islam di kalangan warga dalam Kerajaan
Banjar. Tentang hak pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah (land tenure) Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari telah menjelaskan ketentuannya dalam Kitab Fathul Jawad, yang isinya memuat ketentuan fiqih yang diantaranya “ahyaul mawat”. Ketentuan
ini sudah berkembang dalam masyarakat Kerajaan, sehingga ketika Sultan
Adam menetapkan Undang-undang Sultan Adam, ketentuan yang berkembang
dalam masyarakat itu dimuat dalam undang-undang. Dalam pasal 28 dari
Undang-undang Sultan Adam dijelaskan bahwa tanah pertanian yang subur di
daerah Halabiu dan Negara adalah dibawah kekuasaan Kerajaan, karena itu
tidak boleh seorangpun melarang orang lain menggarap tanah tersebut
kecuali memang di atas tanah itu ada tanaman atau bukti lainnya bahwa
tanah itu sudah menjadi milik penggarap yang terdahulu. Ketentuan ini
memang sesuai dengan ketentuan fiqih Islam yang menyatakan bahwa tanah
liar atau tanah yang belum digarap adalah dibawah kekuasaan Kerajaan dan
siapa saja yang menggarap ialah yang memilikinya. Pasal 29 diterangkan
bahwa tanah yang sudah pernah digarap apabila ditinggalkan oleh
penggarapnya dianggap hanya memiliki prioritas terhadap tanah itu selama
dua musim atau 2 tahun, dan kalau tanah itu ditelantarkan siapa saja
boleh menggarapnya dan memiliki tanah itu. Dalam fiqih ketentuan ini
disebut “hakuttahjir”. Pasal 17 diterangkan bahwa setiap
penjualan, penyewaan, peminjaman dan penggadaian terhadap tanah
hendaknya secara tertulis. Serangkap ditangan yang berkepentingan dan
satu rangkap lagi ditangan hakim dan hakim berkewajiban mencatat
peritiwa itu. Ketentuan ini tampaknya bersumber dari ayat 282 Surah
al-Baqarah. Pasal 23 diterangkan bahwa gugatan terhadap tanah yang
terjadi sebelum diberlakukannya Undang-undang Sultan Adam, gugatan itu
bisa diajukan sebelum sampai dua puluh tahun dan kalau lebih dua puluh
tahun, hilanglah hak untuk menggugat. Pasal 26 diterangkan bahwa tanah
atau kebun yang sudah dijual atau dibagi oleh ahli waris, masih bisa
digugat sebelum berlaku penjualan atau pembagian itu sepuluh tahun.
Pasal 27 diterangkan bahwa orang yang menang dalam perkara tidak boleh
menuntut sewa tanah selama tanah itu berada di tangan yang tergugat.
Ketiga pasal yang terakhir ini meskipun tidak bersumber dari Kitab
fiqih, namun agama Islam memberikan wewenang kepada setiap penguasa atau
raja untuk menentukan yang mana yang baik demi terjaminnya keadilan dan
ketertiban.120
7. Undang-Undang Sultan Adam 1835
Undang-undang
ini dikeluarkan oleh Sultan Adam Al Wasik Billah (1825-1857) setelah
dia memerintah selama 10 tahun dari tahun penobatannya. Undang-Undang
Islam dalam bidang politik sebagai proses perkembangan hukum Islam dalam
Kerajaan Banjar. Sebagai seorang Sultan, dia dikenal sebagai Sultan
yang keras dalam menjalankan ibadah dan dihormati oleh rakyat. Dia pula
salah seorang sultan yang sangat memperhatikan perkembangan agama Islam.
120M. Asywadie Syukur, ibid.
Sultan
Adam adalah putera dari Sultan Sulaiman Saidullah yang memerintah
sebelumnya dan cucu dari Sultan Tahmidullah yang dikenal pula dengan
gelarnya Susuhunan Nata alam. Ibunya Nyai Intan Sari. Dalam Managib
Sultan Adam Al Wasik Billah disebutkan bahwa dia dilahirkan pada tahun
1785.
Sultan Adam mempunyai 5 saudara sekandung yaitu :
1) Sultan Adam
2) Pangeran Mangkubumi Nata
3) Ratu Haji Musa
4) Pangeran Perbatasasi
5) Pangeran Hasir
6) Pangeran Sungging Anum.
Disamping
itu di masih mempunyai 13 orang saudara sebapa sehingga dia bersaudara
sebanyak 19 orang. Pendidikan awal yang diperoleh Sultan waktu mudanya
adalah pendidikan agama yang kemudian sangat mempengaruhinya kemudian.
Diperkirakan bahwa dia banyak belajar agama dari ulama besar Syekh
Muhammad Arsyad Al Banjari (1710-1812) mengingat Syekh ini bersahabat
dengan kakeknya Sultan Tahmidullah bin Sultan Tamjidillah. Selain itu
Syekh Muhammad Arsyad kawin dengan saudara sepupu dari Sultan Adam Ratu
Aminah binti Pangeran Thaha bin Sultan Tahmidullah. Setelah Syekh
Muhammad Arsyad meninggal dia berguru dengan Mufti H. Jamaluddin putera
dari Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
Pada umur 25 tahun Sultan Adam dikawinkan dengan Nyai Ratu Kumala Sari dan dari perkawinan ini dia memperoleh 7 orang anak :
1) Ratu Serip Husin Darmakesuma
2) Ratu Serip Kesuma Negara
3) Ratu Serip Abdullah Nata Kesuma
4) Pangeran Asmail
5) Pangeran Nuh
6) Ratu Anum Mangkubumi
7) Pangeran Prabu Anum
Selain
permaisuri Nyai Ratu Kumala Sari, Sultan Adam juga pernah mempunyai
isteri-isteri, sesuai dengan hukum Islam boleh beristri sampai empat
orang yaitu :
a. Nyai Endah yang melahirkan Pangeran Mataram
b. Nyai Peah yang melahirkan Ratu Jantera Kesuma
c. Nyai Peles yang melahirkan Pangeran Nasruddin
d. Nyai Salamah yang melahirkan Ratu Ijah.
Dengan
demikian Sultan Adam mempunyai 11 orang putera. Pada masa pemerintahan
Sultan Adam Kerajaan Banjar mengalami proses perubahan dalam tata
kehidupan bernegara dan bermasyarakat sebagai akibat dari masuknya
pengaruh kolonialisme Belanda dan masuknya kebudayaan asing, khususnya
agama Kristen. Untuk menggalang pengaruh budaya Barat dan memperkokoh
kesatuan kerajaan dan kesatuan serta keutuhan rakyat Banjar, Sultan
mengeluarkan Undang-Undang pada 15 hari bulan Muharram 1251 H atau tahun
1835. (Bersambung Ke Bagian 7 )
Sumber : Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar