Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 10)
SILSILAH TUMENGGUNG SURAPATI
Keterangan:
T = Tumenggung Rd. = Raden Ngabehi Tuha (Kepala orang Bakumpai) menjadi
wakil Sultan Banjar didaerah dusun Hulu Ngabehi Lad. Wanita suku Dayak Silang Tumenggung Urgang Tumenggung Surapati Tumenggung Jang Pati Singaraja Pangeran Dipati Nyai ButuByai Ambun Kiai Demang T.Umar T.LadT.KerT.Ajidan RD.Dipati Kiai Jadi T.AtT.Jadan T.BangkinT.Ecot T.IburT.Lugi T.Basah T.Naum Pira Satia T.Jadan T.Jadan Kiai Azis
Tumenggung
Surapati dengan anak buahnya suku Dayak Siung telah memeluk agama
Islam. Kedua tokoh pimpinan perjuangan ini diikat dalam hubungan
kekeluargaan dengan mengawinkan putera Tumenggung Surapati yang bernama
Tumenggung Jidan dengan cucu Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati
dengan anak buahnya bersama Pangeran Antasari telah mengangkat sumpah
bersama-sama berjuang menghalau penjajah Belanda. Mereka akan berjuang
tanpa pamrih dan tanpa kompromi dengan tekad : Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing. Belanda
berusaha dengan segala taktik liciknya untuk memikat hati Tumenggung
Surapati agar Tumenggung ini tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda
dan bersedia membantu Belanda untuk menangkap Pangeran Antasari.
Tumenggung Surapati sebagaimana suku Dayak lainnya sangat setia pada
sumpah yang telah diucapkannya dan apapun yang akan terjadi mereka tidak
akan menghianati sumpah tersebut. Siasat licik Belanda akan dibalas
dengan siasat licik pula, dimikian tekad Tumenggung Surapati dengan anak
buahnya. Belanda mempunyai keyakinan bahwa siasatnya berhasil apalagi
Tumenggung Surapati telah bersahabat dengan Belanda sebelumnya.
Tumenggung Surapati pernah menjamu dengan segala kebesaran dan penuh
keramahan terhadap rombongan Civiel Gezaghebber dan Komandan Serdadu
Marabahan Letnan I Bangert dan stuurman kapal Cipanas J.J Meyer pada
tahun 1857 dua tahun sebelum terjadinya Perang Banjar. Persahabatan
dengan Belanda ini menimbulkan kebencian yang mendalam di hati
Tumenggunng Surapati setelah serdadu Belanda membakar rumah dan kebun
rakyat yang tidak berdosa setelah terjadi Perang Banjar. Kebaikan hati
Belanda hanya tipu muslihat untuk memikat rakyat agar berpihak pada
penjajah. Perang Barito terjadi di sepanjang Sungai Barito dan
sekitarnya. Perang ini merupakan bukti kebencian seluruh rakyat dalam
wilayah Kerajaan Banjar terhadap penjajah Belanda. Perang ini adalah
Perang Banjar yang terjadi di sepanjang Sungai Barito, dan diawali
dengan penyerbuan gudang garam Belanda di Pulau Petak, sebelah Hulu dari
Kuala Kapuas. Gudang Pulau Petak terletak di tepi sungai sedikit lebih
tinggi dari kampung di sekitarnya. Gudang garam ini dijaga oleh Letnan
Bichon dengan 60 orang serdadu Belanda. Kapal perang “Monterado” ikut
berjaga-jaga di sungai. Pada malam tanggal 24 ke 24 Agustus 1859 Pulau
Petak diserbu oleh Tumenggung Surapati dan Pembakal Sulil. Letnan Bichon
tewas kena tobak dalam penyerangan ini. Belanda berusaha membujuk
Tumenggung Surapati agar membantu Belanda menangkap Pangeran Antasari.
Setelah usaha pertama gagal, pada bulan Desember 1859 kembali kapal “Onrust” menuju
Muara Teweh. Kapal Onrust berhenti di Lontotour sekitar 3 km sebelum
sampai Muara Teweh, dan dari sini Belanda mengirim utusan agar
Tumenggung Surapati berkenan datang di kapal “Onrust”. Pada
tanggal 26 Desember 1859 dengan sebuah perahu besar dan diiringi dengan
beberapa perahu kecil, Perahu-perahu tersebut tidak beratap. Surapati
dengan 15 orang pengiring yang terdiri dari keluarga dan panakawan.
Perahu-perahu lainnya berlabuh di sebelah hulu dari kapal Onrust.
Surapati disambut oleh Letnan Bangert yang sudah lama kenal karena
pernah menjadi tamu Surapati pada tahun 1857. Surapati masuk ke dalam
kamar untuk berunding disertai 4 orang anak dan menantunya. Sepuluh
panakawan lainnya beramah tamah bersama para opsir di atas dek kapal.
Dalam perundingan itu Belanda menjanjikan hadiah-hadiah antara lain
memperlihatkan surat pengangkatan sebagai Pangeran. Keramah-tamahan yang
diperlihatkan dan sikap yang meyakinkan menyebabkan Letnan Bangert
merasa puas akan keberhasilan misinya. Dalam perundingan itu Letnan
Bangert didampingi oleh Haji Muhammad Thalib sebagai juru runding dan
perantara yang menghubungkan pihak Belanda dengan Tumenggung Surapati.
Haji Muhammad Thalib sebelumnya sudah curiga dengan perahu-perahu yang
ditumpangi Surapati dengan pengikutnya. Perahu-perahu tersebut tidak
memakai atap, sedangkan kebiasaannya perahu mempunyai atap. Tetapi pihak
belanda tidak mengerti dengan kebiasaan orang-orang Dayak dengan perahu
tanpa atap tersebut, karena Surapati dengan pengikutnya memperlihatkan
keramah tamahannya. Perahu tanpa atas suatu pertanda sikap permusuhan
dan sangat menggembirakan bagi seluruh rakyat yang berjuang melawan
Belanda. Akibat kekalahan yang sangat memalukan ini pihak Belanda
mengirim serdadu sebagai ekspedisi dengan perintah bunuh semua Orang
Dayak dan Melayu (Banjar) yang membantu menenggelamkan kapal perang “Onrust”. Untuk keperluan ini G.M. Verspyck memberangkatkan kapal perang “Suriname”, “Boni”
dan beberapa kapal pembantu pada tanggal 27 Januari 1860. Kapal ini
membawa 300 serdadu bersenjata lengkap, diantaranya 10 serdadu Eropah,
beberapa pucuk meriam dan mortir. Pimpinan ekspedisi Letnan Laut de Haes
melaksanakan perintah dengan membabi buta, membakar semua kampung yang
dilewati dan membunuh rakyat yang ditemukan. Ketika sampai di Lontotour
ternyata kampung itu telah dikosongkan penduduk. Kapal terus berlayar ke
arah hulu sambil menembaki tempat-tempat yang dicurigai. Kapal Suriname
dan Boni melewati kampung Leogong yang letaknya agak rendah. Dengan
tidak diduga Belanda, meriam yang beratnya 30 pond menembak ke arah
lambung kapal Suriname. Korbanpun berjatuhan. Kapal itupun miring karena
tembakan itu mengenai kedua ketel (boiler) sehingga mesin kapalpun
mati. Baru menjelang tengah malam barulah kapal itu dihanyutkan dan
ekspedisi itu pulang tanpa membawa hasil apa-apa. Pertempuran di Leogong
ini terjadi pada 11 Februari 1860. Pada 22 Februari 1960, kembali kapal
perang Celebes dan Monterado dikirim menyerang benteng Leogong. Benteng
ini dikepung dengan dua buah kapal perang di hulu dan disebelah hilir
serta 200 serdadu didaratkan. Pertempuran sengit pun terjadi sepanjang
sungai Barito. Menyadari terhadap pengepungan ini Pangeran Antasari dan
Tumenggung Surapati melakukan siasat mundur untuk menghindarkan
banyaknya jatuh korban. Perang ini berakhir tanpa hasil yang memuaskan
bagi Belanda. Untuk mengantisipasi kapal-kapal perang Belanda,
Tumenggung Surapati dan Pangeran Antasari mengerahkan beratus-ratus
perahu dengan sebuah perahu komando yang besar. Pada perahu besar ini
dipancangkan bendera kuning. Armada perahu ini disertai pula dengan
beberapa buah lanting kotta-mara (katamaran) semacam panser
terapung. Bentuk kotta-mara ini sangat unik karena dibuat dari susunan
bambu yang membentuk sebuah benteng terapung. Kotta-mara dilengkapi
dengan beberapa pucuk meriam dan lila. Selain kapal perang “Onrust” yang
berhasil ditenggelamkan pada 26 Desember 1859, sebelumnya yaitu pada
bulan Juli 1859 juga ditenggelamkan kapal perang Cipanas dalam
pertempuran di sepanjang Barito di sekitar pulau Kanamit.
19. Demam Lehman Dan Pangeran Hidayat Dalam Proses Penangkapan
Segala
siasat dan cara telah dilakukan Belanda untuk memikat Pangeran Hidayat
dan Demang Lehman agar menghentikan perlawanannya terhadap pemerintah
Belanda, tetapi semua siasat itu tidak berhasil. Cara lain yang
dilakukan Belanda adalah berusaha untuk menangkap kedua tokoh pejuang
itu hidup atau mati, dan mengeluarkan pengumuman kepada seluruh rakyat
agar dapat membantu Belanda menangkap kedua tokoh itu dengan imbalan
yang menggiurkan. Imbalan yang dijanjikan adalah dengan mengeluarkan
pengumuman harga kepala terhadap tokoh pejuang yang melawan Belanda.
Harga kepala Pangeran Hidayat adalah sebesar f 10.000,- dan Demang
Lehman sebesar f 2.000,- Nilai uang sebesar itu sangat tinggi dan dapat
memikat hati setiap orang yang menginginkan kekayaan. Bagi pejuang yang
memegang sumpah “Haram manyarah, waja sampai kaputing”, tidak tergoyah
hatinya mendengar janji-janji seperti itu, kecuali bagi mereka yang
mengingkari sumpah, menghianati perjuangan bangsa dan yang lemah imannya
terhadap prinsip “perang sabil”. Meskipun segala usaha telah gagal,
Belanda tetap berusaha untuk menangkapnya dengan cara apapun. Pemerintah
Belanda mengutus Haji Isa seorang yang dekat dengan dan tahu Pangeran
ini berada. Tugas Haji Isa adalah menyampaikan keinginan pemerintah
Belanda terhadap Pangeran ini. Haji Isa tidak berhasil menemukan
Pangeran Hidayat, tetapi dia bertemu dengan Demang Lehman. Ketika Haji
Isa menyampaikan tugas misinya terhadap Demang Lehman. Demang Lehman
langsung menjawab menolak segala macam perundingan dan akan terus
berjuang sampai akhirnya memperoleh kemenangan. Laporan Haji Isa ini
menimbulkan semangat Belanda untuk mengatur siasat baru. Mayor Koch
Asisten Residen di Martapura mengatur dan mengadakan hubungan dengan
Demang Lehman atas perintah Residen G.M. Verspyck. Pertemuan dengan
Demang Lehman menghasilkan kesepakatan bahwa Demang Lehman bersedia
menemui Pangeran Hidayat asal Belanda berjanji mendudukkan Pangeran
Hidayat sebagai Raja di Martapura. Demang Lehman selalu merasa curiga
dengan keinginan Belanda untuk mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai raja
di Martapura, karena itu Demang Lehman mengkonsolidasi pasukannya.
Setelah terjadi hubungan surat menyurat antara Demang Lehman dengan
Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang, Demang Lehman bersedia turun ke
Martapura. Pada tanggal 2 Oktober 1861 Demang Lehman turun ke Martapura
bersama tokoh-tokoh pejuang disertai 250 orang pasukannya. Anggota
pasukannya ini akan menyusup ke seluruh pelosok Martapura dan akan
mengamuk kalau Belanda menipu dan menangkap Demang Lehman. Tokoh-tokoh
pejuang yang mengiringi Demang Lehman adalah : Kiai Darma Wijaya, Kiai
Raksa Pati, Kiai Mas Cokro Yudo, Kiai Puspa Yuda Negara, Gusti Pelanduk,
Pembakal Awang, Kiai Jaya Surya, Kiai Setro Wijaya, Kiai Muda Kencana,
Kiai Surung Rana, Pembekal Noto, Pembekal Unus, Tumenggung Gamar dan
lain-lain. Tanggal 6 Oktober 1861 Demang Lehman memasuki kota Martapura
disertai 15 orang pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut rombongan ini dan
langsung ke rumah Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam
pertemuan empat mata dengan Demang Lehman, Residen berusaha memikat
Demang Lehman dengan janji akan memberikan jaminan hidup setiap bulan
kepadanya asal Demang Lehman berjanji menentap di Martapura, di
Banjarmasin atau Pelaihari dan mengajak kepada seluruh rakyat kembali ke
kampung mereka masing-masing dan bekerjsama seperti semula. Janji
Residen itu tidak menarik perhatiannya, tetapi kesetiannya kepada
perjuangan dan sumpah perjuangan lebih tinggi nilainya dari pada
kepentingan diri sendiri. Disamping itu Demang Lehman tegas mengatakan
bahwa mereka akan berjuang terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk
kembali di Martapura memangku Kerajaan Banjar. Semboyan mereka huruf
“Mim” (huruf Arab mim) yang berarti Martapura atau mati karenanya. Hasil
pertemuan dengan Residen memaksa Demang Lehman mencari tempat
persembunyian Pangeran Hidayat dan akan merundingkannya dengan lebih
teliti dan segala akibatnya nanti. Tanggal 9 Oktober 1861 Demang Lehman
berangkat ke Karang Intan dan kepergiannya ini memakan waktu hampir
sebulan. Kepergian Demang Lehman ini mengkhawatirkan Belanda dan meminta
agar Demang Lehman kembali ke Martapura. Tanggal 30 Desember 1861
Residen G.M. Verspyck tiba di Martapura dan perundingan dengan Demang
Lehman dilangsungkan. Residen berjanji bahwa Pangeran Hidayat boleh
tinggal dengan keluarganya di Martapura selama perundingan berlangsung
dan jikalau perundingan gagal Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat
pertahanannya dalam tempo sepuluh hari dengan aman. Tanggal 3 Januari
1862 Demang Lehman kembali berangkat mencari Pangeran Hidayat menuju
Muara Pahu di daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa. Pada tanggal 14
Januari 1862 Demang Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di Muara
Pahu. Demang Lehman menyampaikan surat Residen dan surat Regent
Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam perjanjian itu Ratu Siti ibu
Pangeran Hidayat dijemput dari tempatnya di Pa-auw Sungai Pinang, begitu
pula keluarga Pangeran yang masih menetap di Tamanih. Pada 22 Januari
1862, rombongan Pangeran Hidayat berangkat dari Muara Pahu dengan rakit
dan perahu, melewati Mangappan dan 3 hari kemudian sampai di Awang
Bangkal dan baru tanggal 28 Januari tiba di Martapura. Rombongan ini
disambut rakyat dengan suka hati di Martapura. Rombongan langsung menuju
tempat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang yang masih hubungan
paman dari Pangeran Hidayat. Perundingan dilangsungkan pada tanggal 30
Januari 1862, dimulai pada jam 10.30 pagi.
Pihak Belanda terdiri dari :
1. Letkol Residen G.M. Verspyck
2. Mayor C.F. Koch, Assisten Residen di Martapura
3. Lettu J.J.W.E. Verstege, Controleur afdeling Kuin
4. Lettu A.H. Schadevan, ajudan Koch
5. Pangeran Jaya Pemanang, Regent Martapura
6. Kiai Jamidin, Kepala Distrik Martapura
7. Kiai Patih Jamidin, Kepala Distrik Riam Kanan
8. Haji Isa
9. Tumenggung Jaya Leksana
Pihak Pangeran Hidayat terdiri dari 23 orang diantaranya adalah :
1. Pangeran Hidayat
2. Kiai Demang Lehman
3. Pangeran Sasra Kasuma, anak Pangeran Hidayat
4. Pangeran Sahel, anak Pangeran Hidayat
5. Pangeran Abdul Rahman, anak.
6. Pangeran Kasuma Indra, menantu
7. Gusti Ali Basah, menantu
8. Raden Jaya Kasuma, ipar
9. Gusti Muhammad Tarip.
Dalam
perundingan itu Belanda mengatur siasat yang licik berpura berbaik hati
dengan tujuan untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Hidayat keluar
dari Bumi Selamat. Tujuan menghalalkan cara itulah yang dilakukan
Belanda. Dalam situasi yang terjepit dan kondisi yang tidak memungkinkan
Pangeran Hidayat terpaksa menandatangani Surat Pemberitahuan yang
ditujukan kepada rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda sebelumnya.
Surat Pemberitahuan itu ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap
Pangeran tertanggal 31 Januari 1862.
Surat Pemberitahuan itu selengkapnya berbunyi :
1) Surat ini tidak berisikan perintah, karena saya telah meletakkan dengan sukarela hak itu. (hak sebagai Mangkubumi).
2) Karena
mendengarkan nasihat yang salah, saudara-saudara memberontak terhadap
pemerintah Belanda, saudara menempuh jalan yang salah.
3) Saudara
telah melihat bahwa Pemerintah Belanda lebih kuat dari kita, bahwa ia
tidak hanya mementingkan kemakmuran rakyat yang baik, tapi juga bersikap
lembut dan satria terhadap musuh-musuhnya.
4) Kepada
rakyat Banjar saya mohon supaya menghentikan segala permusuhan,
saudara-saudara yang masih melawan kembalilah ke rumah saudara-saudara
dan carilah mata pencaharian yang damai dan jujur, sehingga drama
pembunuhan dan permusuhan dapat dihentikan.
5) Letakkan
senjata saudara, mohonkan ampun dengan sungguh-sungguh dan saya yakin
bahwa Pemerintah Belanda akan memberinya dengan jiwa besar.
6) Jangan
sekali-kali mendengarkan perintah pemimpin-pemimpin yang terus berkeras
meneruskan peperangan, baik perintah dari Pangeran Antasari, Pangeran
Aminullah dan orang jahat lainnya.
7) Saya
mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak mengerti kepentingan
saudara-saudara, dan kepentingan mereka sendiri dan saudara-saudara
untuk keselamatan saudara-saudara sendiri dan demi kecintaan kepada
saya, berkewajiban untuk menangkapi dan menyerahkan pemimpin rakyat yang
jahat itu kepada Gubernurmen.
8) Saya sendiri memberi saudara contoh penyerahan diri itu, saudara-saudara melihat bagaimana yang saya dapatkan.
9) Saya sudah mencoba supaya mereka yang masih melawan mau menyerah.
10)
Semakin cepat bekas-bekas perang yang mencelakakan ini dapat
dihilangkan, semakin cepat saudara-saudara mendapatkan pengampunan dari
Allah Yang Maha Tinggi untuk bencana yang selama lebih dua tahun melanda
penduduk Banjar.
11) Allah
Yang Maha Tinggi dan arwah-arwah nenek moyang (raja-raja) dan kuburnya
akan mengutuk kalian, terutama pemimpin-pemimpin rakyat yang masih
melawan, apabila permintaan saya yang terakhir ini tidak dipenuhi.
158
Pangeran sangat terperanjat dengan ucapan Residen G.M. Verspyck yang
bertindak sebagai Wakil Tertinggi dari Pemerintah Belanda di daerah
Selatan dan Timur Borneo dan dia berwenang memberi pengampunan dan
melupakan apa yang terjadi pada masa lampau dengan syarat bahwa Pangeran
Hidayat harus berangkas ke Batavia dalam tempo 8 hari. Kepada Pangeran
diperkenankan membawa keluarga yang disukainya dan sebelum berangkat
harus menyebarluaskan Surat Pemberitahuan yang sudah dibubuhi cap dan
tanda tangan Pangeran. Ketika Pangeran mengajukan keberatan atas
kepergian ke Jawa tersebut, Residen menjawab bahwa bagi Pangeran perlu “menikmati istirahat”.
Demang Lehman yang merasa tertipu, sangat kecewa terhadap sikap Belanda
untuk memberangkatkan Pangeran Hidayat ke Jawa. Demang Lehman berusaha
mengajak Mufti dan Pangeran Penghulu untuk memohon kepada Residen agar
keputusan pemberangkatan Pangeran Hidayat dibatalkan. Demang Lehman
berusaha untuk menggagalkan keberangkatan ini dan ketika rombongan
Pangeran berangkat pada pagi hari tanggal 3 Februari 1862, Demang Lehman
telah siap dengan pasukannya untuk menggagalkannya.
158 W.A. Van Rees, De Bandjarmasinsche Krijg van 1859-1863, Thieme, Arnhem, 1865, hal. 242-244, (terjemahan M. Idwar Saleh).
Perahu
yang membawa Pangeran dibelokkan ke batang rumah yang dulu pernah
dijadikan tempat tinggal Demang Lehman, dan disambut dengan gegap
gempita oleh rakyat. Pangeran terus dilarikan. Belanda tidak dapat
bertindak apa-apa, dan baru setelah Pangeran dilarikan ke luar kampung
Pasayangan, Residen mengerahkan kekuatannya untuk menangkap Pangeran.
Seluruh kampung Pasayangan sampai kampung Hastak Baru dibakar Belanda.
Masjid Martapura yang indah yang dibangun lebih dari 140 tahun yang lalu
digempur dan dibakar Belanda. Ini terjadi pada 4 Februari 1862
merupakan saksi kebengisan dan kebrutalan penjajah Belanda terhadap
rakyat Banjar yang tidak berdosa. Baru tanggal 2 Maret 1862 Pangeran
Hidayat setelah menyerahkan diri diangkut dengan kapal Van OS berangkat
dari Martapura dan terus merapat ke kapal Bali untuk selanjutnya
diangkut ke Batavia. Pangeran Hidayat di buang ke kota Cianjur disertai
sejumlah keluarga besar kerajaan yang terdiri dari : seorang permaisuri
Ratu Mas Bandara, sejumlah anak kandung dari permaisuri,
menantu-menantu, saudara-saudara sebapak, ipar-ipar, ibu Pangeran
sendiri, panakawan-panakawan beserta isteri dan anak buahnya, budak
laki-laki dan perempuan, semua berjumlah 64 orang. Sebagai seorang
buangan, Pangeran mendapat rumah besar dan lebih bagus dari pada istana
di Martapura, mendapat tunjangan tiap bulan yang cukup untuk hidup
sebagai Mangkubumi dan keluarganya. Demang Lehman yang merasa kecewa
dengan tipu muslihat Belanda berusaha mengatur kekuatan kembali di
daerah Gunung Pangkal, Batulicin. Dia tidak mengetahui bahwa Belanda
sedang mengatur perangkap terhadapnya. Oleh orang yang menginginkan
hadiah dan tanda jasa sehabis dia melakukan Shalat subuh dan dalam
keadaan tidak bersenjata, dia ditangkap. Kemudian diangkut ke Martapura.
Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung terhadap pejuang yang
tidak kenal kompromi ini. Dia menjalani hukuman gantung samapai mati di
Martapura, sebagai pelaksanaan keputusan Pengadilan Militer Belanda
tanggal 27 Februari 1862. Pejabat-pejabat militer Belanda yang
menyaksikan hukuman gantung ini merasa kagum dengan ketabahannya menaiki
tiang gantungan tanpa mata ditutup.
Urat
mukanya tidak berubah menunjukkan ketabahan yang luar biasa. Tiada ada
satu keluarganyapun yang menyaksikannya dan tidak ada keluarga yang
menyambut mayatnya. Setelah selesai digantung dan mati, kepalanya
dipotong oleh Belanda dan dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van
Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman disimpan di Museum Leiden di
Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala.
20. Pengangkatan Pangeran Antasari Sebagai Panembahan
Pada
tanggal 14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayat
diasingkan ke Cianjur – Jawa Barat diproklamasikanlah pengangkatan
Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar
dengan gelar Panembahan Khalifatul Mu’minin. Proklamasi
pengangkatan ini ditanda tangani oleh Tumenggung Surapati yang bergelar
Kiai Tumenggung Yang Pati Jaya Raja sebagai wakil daerah Barito, Raden
Mas Warga Natawijaya sebagai wakil daerah Teweh dan Tumenggung
Mangkusari sebagai wakil daerah Kapuas-Kahayan. Gelar ini menunjukkan
bahwa Pangeran Antasari mempunyai tiga macam tugas berat yaitu sebagai
panglima tertinggi dalam pertahanan/perang sebagai kepala negara dan
sebagai kepala tertinggi agama. Pangeran Antasari adalah satu-satunya
pimpinan yang dapat diharapkan berjuang menghadapi Belanda dan memegang
teguh terhadap sumpah perjuangan yang telah di-ikrarkan bahwa :Haram manyarah, waja sampai kaputing, betul-betul
perjuangan yang tidak mengenal kompromi dengan musuh. Memang Belanda
telah berulang kali berusaha untuk mengadakan kompromi dengan Pangeran
Antasari, namun tawaran itu dianggap beliau sebagai najis. Bujukan
kompromi Belanda ini pernah dibalas Pangeran Antasari dengan surat yang
berbunyi :”Kami akan terus berjuang menuntut hak pusaka kami. Kami
bahkan merasa jijik berdekatan dengan Belanda yang telah menawan saudara
sepupu kami ke Jawa. Hadiah f.10.000,- Gulden pernah diumumkan
kepada siapa yang dapat menangkap hidup atau mati Pangeran Antasari.
Tetapi semua usaha Belanda dengan segala macam tipu muslihat tidak
berhasil. Pangeran Antasari telah mengambil pilihan, lebih baik mati di
medan pertempuran dari pada mati sebagai tawanan musuh. Dari segi ahli
waris kerajaan, Pangeran Antasari adalah pewaris yang sah, sebab dia
adalah buyut Pangeran Tahmidillah I, karena itulah dia sangat berwibawa
di daerah yang belum dikuasai Belanda termasuk seluruh suku Dayak dari
daerah Barito. Pada saat beliau dilantik sebagai Panembahan atau Sultan
Banjar, diperkirakan umurnya sudah mencapai 72 tahun, karena itulah
beliau dalam keadaan sakit-sakitan. Sakit karena
usia lanjut dan pada tanggal 11 Oktober 1862 beliau meninggal dunia.
Pangeran Antasari dimakamkan di kampung Sampirang, Bayan Bengok daerah
Puruk Cahu. Setelah Kemerdekaan mayat beliau dipindahkan ke Makam
Pahlawan Banjar di kompleks pemakaman dekat Masjid Jami’ Banjarmasin
pada tanggal 11 November 1958. Putera Pangeran Antasari, Gusti Muhammad
Seman dilantik menjadi Sultan Banjar terakhir, sebab setelah Sultan
Muhammad Seman tewas dalam pertempuran hapuslah Kerajaan Banjar dari
bumi Kalimantan.
21. Pagustian di Gunung Bondang
Setelah
Pangeran Antasari meninggal, perjuangan dilanjutkan dengan pimpinan
Sultan Muhammad Seman dibantu Tumenggung Surapati dan pimpinan lainnya.
Tumenggung Surapati membangun sebuah Pagustian (Dewan Pertahanan) yang
terletak di Gunung Bondang, sebelah udik sungai Lawung, Puruk Cahu.
Pagustian ini dibantu oleh Gusti Mas Said, Raden Mas Natawijaya,
Muhammad Nasir dan lainnya. Dua tahun berturut-turut yaitu tahun 1864
dan 1865 Tumenggung Surapati menyerang benteng Belanda di Muara Teweh
sehingga seluruh isi benteng itu musnah. Begitu pula Benteng Belanda di
Muara Montalat dihancurkan oleh suatu serangan Tumenggung Surapati.
Untuk menghadapi serangan Tumenggung Surapati ini Belanda memperalat
suku Dayak Sihong yang selama ini membantu Belanda dibawah pimpinan
kepala sukunya Suta Ono. Karena jasa-jasanya terhadap Belanda Suta Ono
diberi pangkat Overste atau Letnan Kolonel. Suku Dayak Sihong ini
terkenal pemberani, tetapi apabila mereka berhadapan dengan Tumenggung
Surapati, Suta Ono selalu mengundurkan diri. Tumenggung Surapati dalam
perlawanannya selalu berpindah-pindah dan selama bertahun-tahun dia
bertempur melawan Belanda di sepanjang Sungai Barito. Kadang-kadang dia
muncul di hilir di sekitar Bakumpai, tetapi sebentar lagi ada di hulu di
sekitar Manawing, sehingga sangat membingungkan pihak Belanda. Berbagai
muslihat dilakukan pihak Belanda untuk menangkapnya hidup atau mati,
tetapi selalu gagal. Pertempuran dan perjuangan yang bertahun-tahun
melawan Belanda melemahkan pisiknya yang memang sudah tua dan akhirnya
jatuh sakit, meskipun semangat juangnya tidak pernah mundur. Setelah
menderita sakit yang agak lama pada tahun 1875 Tumenggung Surapati
meninggal dunia sebagai pahlawan, meninggal karena sakit. Pangeran Jidan
meneruskan perjuangan ayahnya bersama-sama Sultan Muhammad Seman. Kalau
keluarga Sultan yang tertangkap dibuang ke Bogor, maka keluarga
Tumenggung Surapati yang tertangkap dibuang ke Bengkulu.
22. Bukhari Dalam Amuk Hantarukung
Bukhari
seorang anak dari orang tua bernama Manggir dan ibu bernama Bariah
kelahiran desa Hantarukung, dalam wilayah Kecamatan Simpur sekarang 7 Km
dari Kandangan, menjadi pimpinan yang dikenal dengan ‘Amuk Hantarukung”. Dia
dilahirkan sekitar tahun 1850 dan semasa mudanya mengembara ke Puruk
Cahu mengikuti pamannya Kasim yang menjadi Panakawan Sultan Muhammad
Seman. Sejak itu Sultan menjadikan Bukhari sebagai Panakawan Sultan,
ikut berjuang di daerah Puruk Cahu, Bukhari seorang yang setia
mengabdikan dirinya. Ia orang yang dipercaya sebagai “Pemayung Sultan”. Ia
dikenal di kalangan istana sebagai seorang yang mempunyai ilmu
kesaktian dan kekebalan. Bahkan tersiar berita bahwa dengan ilmunya itu
kalau ia tewas dapat hidup kembali. Ilmu ini diajarkan kepada siapa yang
menjadi pendukungnya. Adanya kelebihan-kelebihan Bukhari tersebut,
menyebabkan dia dan adiknya bernama Santar mendapat “tugas” untuk menyusun dan memperkuat barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah Banua Lima.
Dengan
membawa surat resmi dari Sultan Muhammad Seman. Bukhari dan adiknya
Santar datang ke Hantarukung untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat
terhadap pemerintah Belanda. Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh
penduduk Hantarukung. Dengan bantuan Pengerak Yuya, Bukhari berhasil
mengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Sebanyak 25 orang
penduduk telah menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan di bawah
pimpinan Bukhari dan Santar siap untuk melakukan perlawanan terhadap
kekuasaan Belanda. Gerakan Bukhari ini bahkan kemudian mendapat dukungan
selain penduduk Hantarukung, juga penduduk kampung Hamparaya dan Ulin.
Sehubungan dengan itu alasan perlawanan yang dikemukakan bahwa penduduk
dari tiga kampung itu tidak bersedia lagi melakukan kerja rodi . Sikap
penduduk dan tindakan Pengerak Yuya yang tidak mau menurunkan kuli
(penduduk) untuk menggali “garis” antara Amadit-Negara tersebut,
kemudian dilaporkan oleh Pembekal Imat kepada Kiai, karena yang
bersangkutan sedang tidak ada di tempat, Pembekal melaporkan kepada
Controleur Belanda di Kandangan. Penguasa di Kandangan sangat marah
mendengar berita itu pada tanggal 18 September 1899 berangkatlah
rombongan penguasa Belanda yang terdiri dari Controleur Adsenarpont
Domes dan Adspirant K. Wehonleschen beserta 5 orang Indonesia (opas dan
pembakal) yang setia kepada Belanda. Dengan menaiki kereta kuda dan
diikuti yang lainnya Controleur Adsenerpont Domes ke Hantarukung menemui
Pengerak Yuya. Pengerak yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk
melawan pemerintah Belanda ini ketika dipanggil oleh Controleur keluar
dari rumahnya dengan tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi
tanya jawab mengenai mengapa penduduk tidak mengerjakan lagi gerakan
menggali “garis” Amandit-Negara, tiba-tiba muncul ratusan penduduk di
bawah pimpinan Bukhari dan Santar sambil mengucapkan “selawat nabi” maju kearah Controleur dengan senjata tombak, serapang dan lain-lainnya.
Dalam
peristiwa itu telah terbunuh tuan Controleur Domes dan Adspirant
Wehonleshen serta seorang anak emasnya. Sementara 4 orang lainnya dapat
melarikan diri. Mereka itu antara lain opas Dalau dan Kiai Negara.
Peristiwa tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan Pemberontakan
Amuk Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang secara resmi
diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimkan ke desa
asal kelahirannya Hantarukung.
23. Pasukan Belanda menyerang kampung Hantarukung
Kejadian
terbunuhnya Controleur dan Adspirant Belanda tersebut segera sampai
kepada pejabat-pejabat Belanda di Kandangan. Kemarahan pihak Belanda
tidak dapat terbendung lagi. Besok harinya pada hari Senin tanggal 19
September 1899 sekitar jam 1.00 siang pasukan Belanda datang untuk
mengadakan pembalasan terhadap penduduk. Serangan pembalasan tersebut
dipimpin oleh Kiai Jamjam putera daerah sendiri, dengan diperkuat
oleh 2 Kompi serdadu Belanda bersenjata lengkap. Penduduk Hantarukung
telah menyadari pula peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk
di bawah pimpinan Bukhari, Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata
mereka dipinggiran hutan dan keliling danau menanti kedatangan pasukan
Belanda. Ketika sampai di desa Hantarukung di suatu awang persawahan,
melihat keadaan sepi Kapten Belanda melepaskan tembakan peringatan agar
penduduk menyerah. Pada waktu itulah Bukhari bersama-sama H. Matamin dan
Landuk tampil dengan senjata terhunus maju menyerbu musuh sambil
mengucapkan “Allahu Akbar” berulang-ulang. Tindakan Bukhari
tersebut diikuti para pengikutnya yang sudah siap untuk berperang,
pertempuran sengit terjadi. Bukhari, H. Matamin dan Landuk dan Pengerak
Yuya gugur di tembus peluru Belanda. Melihat pemimpin-pemimpin mereka
terbunuh penduduk lari menyelamatkan diri.
Demikianlah
dalam peristiwa 2 hari di Hantarukung tersebut telah terbunuh
masing-masing di pihak Belanda adalah Controleur Domes, Adspirant
Wehonleschen dan seorang pembantunya. Sementara dari pihak penduduk
telah gugur : Bukhari, Haji Matamin, Landuk, Pangerak Yuya. Peristiwa
ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh Belanda
terhadap penduduk yang terlibat terutama penduduk di desa Hantarukung,
Hamparaya Ulin, Wasah Hilir dan Simpur. Penangkapan segera dijalankan
oleh militer Belanda.
Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 23 orang yakni : Hala,
Hair, Bain, Idir, Sahintul, H. Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma,
Alas, Tanang, Tasin, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan,
Saal, Lasan dan Atmin. Selanjutnya yang mati didalam penjara adalah : Hala,
Hair, Bain, dan Idir. Sedangkan yang mati digantung adalah : Sahitul,
H. Sananddin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang dan Tasin. Mereka yang dibuang keluar daerah adalah: Bulat, Suddin, Matasin, Yasin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan Santar. Jenazah
Bukhari, Landuk dan Matamin dimakamkan di Kampung Perincahan, Kecamatan
Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) yang dikenal dengan makam
Tumpang Talu. Sedangkan sembilan orang dihukum gantung oleh Belanda tersebut dimakamkan di kuburan “Bawah Tandui” di Kampung Hantarukung di Kecamatan Simpur (Hulu Sungai Selatan).
24. Hancurnya Pagustian dan Manawing dan Berakhirnya Perang Banjar (1905)
Pagustian
atau Dewan Pertahanan adalah benteng pertahanan yang dibangun
Tumenggung Surapati pada tahun 1865, yaitu 3 tahun setelah Pangeran
Antasari meninggal karena sakit. Pagustian ini terletak di Gunung
Bondang, diudik Sungai Lawung, daerah Puruk Cahu. Pertahanan yang kedua
terletak di Manawing, yaitu kampung Bomban, Kalang Barat diudik Baras
Kuning, Barito. Berbagai suku Dayak dapat disatukan oleh Sultan Muhammad
Seman seperti suku Dayak Dusun, Nagaju, Kayan, Siang, Bakumpai dan suku
Banjar Hulu, baik yang beragama Islam maupun yang masih menganut
kepercayaan Kaharingan. Panglima Batur adalah salah seorang Panglima
yang setia pada Sultan Muhammad Seman. Panglima Batur seorang Panglima
dari suku Dayak yang telah beragama Islam berasal dari daerah
Buntok-Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh. Gelar Panglima khusus
untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan
tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan
sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling
pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal. Gelar Tumenggung adalah
gelar untuk jabatan sebagai kepala suku, sedangkan gelar Panghulu
adalah gelar untuk jabatan sebagai Kepala Adat/kepala agama. Panglima
dan para Tumenggung yang membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman untuk
melawan Belanda adalah Panglima Umbung dari Mangkatib, Mat Narung dari
Putu Sibau, Batu Putih dari Kapuas, Tumenggung Lawas, Tumenggung Nado,
Tumenggung Tawilen, Panglima Amit, Panglima Bahe dan lainnya. Panglima
Batur yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai
Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima
Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh
mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan
Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam
perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose159 yang terkenal
ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat
bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa. Ia
adalah sultan terakhir dari Kerajaan Banjar dalam pemerintahan pelarian
di daerah Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekwen terhadap
sumpah melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal
kompromi dengan Belanda, “Haram manyarah waja sampai kaputing”.
159
Korps bukan militer yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1890 untuk menangani tugas kepolisian dan jika perlu membantu dalam
tugas kemiliteran. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga, Depdiknas, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 717.
Tertegun
dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke
benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya
telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung
pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali
ke Buntok-Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung
di Puruk Cahu. Kini Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan
yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan
sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah
terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh
menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat
Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk
menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di
kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul,
saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai
yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan,
dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai
Belanda untuk menjebak Panglima Batur. Dengan perantaraan Haji Kuwit
salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha
menangkapnya. Atas suruhan Belanda Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila
Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding
dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya
dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap
berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima
Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik
dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak
berdosa ikut menanggungnya. Dengan diiringi orang-orang tua dan orang
sekampungnya Panglima Batur turun ke Muara Teweh. Benar apa yang menjadi
kata hatinya, bukan perundingan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan
selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24
Agustus 1905. Setelah dua minggu di tawan di Muara Teweh, Panglima Batur
diangkut dengan kapal ke Banjarmasin. Di kota Banjarmasin dia diarak
keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras
kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati. Pada tanggal 15 September 1905
Panglima Batur dinaikkan ketiang gantungan. Permintaan terakhir yang
diucapkannya dia minta dibacakan “Dua Kalimah Syahadat” untuknya. Dia dimakamkan di belakang masjid Jami’ Banjarmasin, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks “Makam Pahlawan Banjar”. Gugurnya
Sultan Muhammad Seman dan jatuhnya benteng pertahanan Manawing,
tertangkapnya Panglima Batur pada tahun 1905, maka Perang Banjar yang
dimulai dengan penyerangan terhadap benteng dan tambang batu bara Oranje
Nassau di Pengaron tahun 1859, dinyatakan berakhir pada tahun 1905.160
Tokoh-tokoh pejuang yang tetap bertahan tidak mau menyerah akhirnya
terpaksa menyerah, mereka dibuang keluar dari bumi bekas Kerajaan Banjar
sebagai tawanan perang hidup dalam pengasingan sampai hayat mereka
berakhir. Salah satu diantaranya adalah Gusti Muhammad Arsyad menantu
Sultan Muhammad Seman. Gusti Muhammad Arsyad dibuang ke Bogor pada 1
Agustus 1904. Gusti Muhammad Arsyad dan isterinya Ratu Zaleha, puteri
Sultan Muhammad Seman berjuang bersama ayahnya dengan penuh keberanian.
Setelah benteng Manawing jatuh ia bersembunyi ke Lahai dan selanjutnya
ke Mia di tepi sungai Teweh yang dianggap mereka aman dari pengejaran
Belanda. Suaminya Gusti Muhammad Arsyad setahun sebelum benteng Manawing
jatuh telah menyerah kepada Belanda karena pengepungan yang menyebabkan
ia tidak dapat melarikan diri lagi. Karena selalu dikejar-kejar oleh
serdadu Belanda. Gusti atau Ratu Zaleha merasa sangat letih disamping
pisiknya juga tidak mengizinkannya lagi, akhirnya dia pada awal tahun
1906 menyerahkan diri kepada Belanda. Atas permintaannya Ratu Zaleha
mengikuti suaminya dalam pengasingan di Bogor menghabiskan sisa-sisa
usianya. Ratu Zaleha diikuti oleh ibunya Nyai Salamah. Keluarga Ratu
Zaleha sebagai kelompok Pagustian dianggap berbahaya untuk daerah
Kalimantan Selatan dan Timur.
160
Dengan runtuhnya kekuasaan Pagustian di Baras Kuning, maka sesungguhnya
Perang Banjar berlangsung kurang lebih 40 tahun, bukan 4 tahun
sebagaimana dikatakan W.A. Van Rees dalam bukunya De Bandjermasinsche Krijg van 1859-1863, Thieme, Arnhem, 1865.
Sebagai
orang tawanan Gusti Muhammad Arsyad mendapat tunjangan sebesar f 300,
perbulan terhitung sejak 1 Mei 1906 sedangkan isterinya Ratu Zaleha
mendapat f 125, sebagai tambahan untuk memelihara 7 orang anggota
keluarganya. Tunjangan ini berdasarkan surat Sekretaris Goebernemen 25
Juli 1906 no. 1198 yang ditujukan kepada Ekslensi Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, dan Assisten Residen Bogor.
E. AKIBAT-AKIBAT SOSIAL POLITIK PERANG BANJAR
Perang Banjar diawali
dengan timbulnya perasaan tidak puas dengan situasi dan kondisi saat
itu. Perasaan tidak puas itu disebabkan karena terlalu banyaknya campur
tangan bangsa Belanda, bangsa asing yang oleh Orang Banjar saat itu
dikenal sebagai “Orang kafir”. Bangsa Belanda sebagai pedagang
yang saat pertama kali memasuki daerah Kerajaan Banjar memperhatikan
potensi perdagangan yang mendatangkan keuntungan bagi bangsa Belanda.
Untuk memperoleh keuntungan itu bangsa Belanda menggunakan segala cara
dari mulai cara lemah lembut dan bentuk persahabatan, akhirnya dalam
bentuk tindakan tekanan dan kekerasan demi memperoleh keuntungan.
Sebagai pedagang maka bangsa Belanda berhadapan dengan bangsa Banjar
yang juga bangsa pedagang. Persainganpun terjadi dan persaingan yang
menggunakan pengaruh kekuatan dan menimbulkan konflik antar dua bangsa.
Disamping membahayakan bagi kerajaan Banjar secara politik dan ekonomis,
juga kedatangan bangsa Belanda melahirkan pertentangan antara agama
Islam dan Kristen konflik ini akan melahirkan bentuk perang membela
agama, perang sabil, perang suci yang menyebabkan rakyat Banjar tidak
takut mati karenanya. Perasaan tidak puas terhadap campur tangan bangsa
asing ini melahirkan gerakan dengan aspek nativisme seperti yang
dilancarkan oleh Panambahan Muda Datu Aling. Gerakan ini mengiginkan
situasi dan kondisi Kerajaan Banjar yang diidealkan seperti dulu semasa
pemerintah Sultan Kuning, bebas dari pengaruh bangsa asing,
dikemukakannya tradisi nenek moyang yang berlaku turun temurun dengan
rakyat yang hidup makmur bahagia. Golongan bangsawan mempergunakan
gerakan ini beserta gerakan Balangan yang dipimpin Jalil melahirkan dan
meningkatkan perang menjadi Perang sabil, perang suci membela agama dan
melibatkan seluruh rakyat Banjar dari Kerajaan Banjar. Hasrat kembali
kepada pra-penetrasi Belanda, berarti pula kembali kepada penyempurnaan
hak-hak feodal dan sistem tradisional dimana kelompok ruling class,
kelompok penguasa yang ideal duduk memerintah untuk mengembalikan
harmoni kebudayaan suku Banjar beserta kemakmuran rakyatnya. Perang
Banjar dipercepat dengan timbulnya konflik antar kelompok yang berhak
dengan kelompok yang mendapat dukungan Belanda, antara kelompok Pangeran
Hidayat dengan kelompok Pangeran Tamjidillah. Dengan dasar inilah
Belanda mengirakan bahwa Perang Banjar itu disebabkan oleh konflik antar
keluarga yang tidak terpecahkan, maka Belanda dalam hal ini Comissaris
Kolonel Andressen, memaksa dengan cara halus menurunkan Sultan
Tamjidillah al Wasik Billah dari kedudukannya sebagai Sultan Banjar pada
tanggal 25 Juni 1859. Dengan kosongnya tahta ini diharapkan dapat
ditempuh langkah politik selanjutnya, dan kesalahan dengan pelantikan
terhadap raja yang lalu dengan segala akibatnya secara berangsur dapat
dihapuskan. Ternyata analisa Kolonel Andresen ini keliru, sebab perang
bukannya makin mereda bahkan makin bertambah besar dan meluas. Tindakan
Andresen ini dianggap keliru karena itu dia diganti dengan politik
kekerasan dari Gouvernement-Comissaris yang baru F.N.Niewenhuyzen dengan
mengambil tindakan memecat Mangkubumi dalam suatu publikasi pada 5
Februari 1860. Sebetulnya pemecatan Mangkubumi Pangeran Hidayat dan
kemudian dilanjutkan dengan penghapusan Kerajaan Banjar oleh Belanda
pada 11 Juni 1860, adalah sebagai realisasi dari Gouvernements Besluit
17 Desember 1859 dimana dicantumkan bahwa kerajaan tak lagi diberi
pimpinan, demi keselamatan operasional tambang batu bara termasuk
daerah-daerah yang potensial mengandung lapisan batu bara untuk
ditambang. Pangeran Hidayat sebagai bangsawan dan Mangkubumi Kerajaan
yang meminpin rakyat melawan penjajah Belanda pada tahun 1862
menyerahkan diri dan akhirnya dibuang ke Cianjur. Pangeran Antasari
seorang bangsawan yang dapat menghimpun kekuatan Orang Banjar dengan
Dayak berjuang tanpa kompromi melawan Belanda, dilantik dengan gelar
Panambahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin akhirnya meninggal karena sakit
pada tahun 1862. Kiai Demang Lehman sebagai patriot sejati akhirnya
tertangkap dan dihukum gantung sampai mati pada tahun 1864, sedangkan
Kiai Adipati Tumenggung Jalil tewas dalam pertempuran mempertahankan
benteng Tundakan tahun 1861. Dengan gugurnya atau tertangkapnya
tokoh-tokoh pejuang maka pada tahun 1865 perlawanan secara frontal sudah
berkurang, tetapi perang Banjar itu belum berakhir. Sultan Banjar
terakhir yang gugur dalam pertempuran mempertahankan benteng Manawing
1905 adalah Sultan Muhammad Seman. Sejak runtuhnya kekuasaan Pagustian
di Baras Kuning dan Manawing upaya-upaya terorganisir membangkitkan
kembali pemerintahan Kerajaan Banjar hampir tidak ada lagi. Peristiwa
yang ada hanyalah pemberontakan-pemberontakan sporadis yang digolongkan
sebagai gerakan sosial seperti Pemberontakan Guru Sanusi di Amuntai
tahun 1914-1918 dan Pemberontakan Gusti Darmawi161 di Kelua, tahun 1927
dan yang paling akhir adalah perlawanan di Hariyang tahun 1937. Perang
Banjar yang berlangsung mulai tahun 1859 dan berakhir pada tahun 1905
membawa akibat-akibat sosial politik bagi daerah Banjar dan rakyat
Banjar itu sendiri.
Akibat-akibat itu antara lain adalah :
a) Dihapuskan
Kerajaan Banjar dan seluruh bekas daerah kerajaan itu dimasukkan ke
dalam tatanan baru Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo.
b) Kota
Martapura sebagai bekas ibu kota kerajaan sejak tahun 1864, tanggal 19
Juni, susunan pemerintahnya sebagai berikut : Kapten C.J.Meyer Kepala
militer / sipil B.J.Suringa Pembantu bagian sipil Pangeran Jaya Pemenang
Regent Raden Rastan Jaksa Haji Muhammad Khalid Mufti Kiai Suta Marta
Kepala Distrik Haji Makhmud Penghulu
161 Dalam M. Idwar Saleh et al, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan,
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Banjarmasin,
1978/1979, hal. 48-49, tertulis Gusti Barmawi. Seharusnya Gusti Darmawi
dan harus dibedakan dengan H. Ahmad Barmawi Thaib, tokoh Parindra cabang
Kandangan.
c) Disisihkannya satu lapisan super elite dan satu lapisan aristokrat fungsional dari birokrasi lama.
d) Perang Banjar diartikan sebagai suatu “religius expression of secular conflict”
yang bersifat politik ekonomis dan sosial kultural, dalam arti khusus
mempertahankan kedudukan dan sistem Kerajaan dibawah Pangeran Hidayat
sebagai raja yang menurut tradisi dan wasiat Sultan Adam adalah sah.
Dalam arti umum Perang Banjar itu berwujud sebagai “a religio-political attack” atas penjajah kafir. Perang Banjar adalah perang suci, perang sabil, perang sebagai jihad fi sabilillah.
e) Golongan yang paling terpukul sebagai akibat dari perang ini adalah golongan bangsawan sebagai interest group. Pangeran Hidayat adalah “Tatuha Bubuhan Raja-Raja”
yang kedudukannya diakui sesuai dengan wasiat Sultan Adam tulang
punggung dan pusat harapan golongan bangsawan. Hilangnya Pangeran
Hidayat berarti harapan-harapan ke arah kemungkinan restorasi kerajaan
tertutup sama sekali, yang berarti pula tersisihnya mereka sebagai ruling-class dan lenyapnya segala kebesaran-kebesaran tradisional, lenyapnya kekuasaan dimasa lampau.
f) Penghapusan
tanah apanase Dalam Gouvernements Indisch Besluit 17 Desember 1859
telah diputuskan bahwa Kerajaan Banjar tidak lagi diberikan sebagai
pinjaman (vazal) kepada salah satu calon sultan yang akan datang.
Sebagai realisasi putusan ini Komisaris Guberneman F.N.Nieuwenhuyzen
telah mengeluarkan Besluit 11 Juni 1860 No.24 berupa proklamasi
penghapusan kerajaan Banjar. Pada akhir proklamasi itu disinggung pula
masalah pemungutan hasil dan pemilikan tanah apanase. Tanah apanase akan
dihapuskan dan kepada mereka akan diberi diganti rugi, tetapi bagi
pemilik tanah apanase yang ikut dalam Perang Banjar, hak memperoleh
ganti rugi itu dibatalkan. Tanah apanase merupakan sumber penghasilan
sultan dan seluruh golongan raja-raja. Tanpa tanah apanase kedudukan
sosial, pengaruh dan wibawa golongan bangsawan akan surut.
Mereka yang terlibat langsung dalam Perang Banjar yang oleh Belanda disebut “pemberontak”
tidak memiliki hak ganti rugi tanah apanase yang dihapus. Dalam
kategori ini termasuk Pangeran Hidayat dengan seluruh keluarga, pangeran
Antasari, Pangeran Aminullah dan mertuanya Pangeran Prabu Anom.
Disamping itu termasuk golongan aristokrat fungsional yang membantu “pemberontakan”.
Mengenai tanah apanase yang dikuasai Nyai Ratu Komala Sari, Ratu Syarif
Husein Darmakasuma, Ratu Kasuma Negara, dinyatakan disita untuk
Gubernement dengan alasan mereka tidak mau menyerahkannya dan menahan
perhiasan-perhiasan mahkota yang menjadi milik kerajaan. Keputusan
penghapusan tanah apanase ini dikeluarkan oleh Gouverneur General Hindia
Belanda tertanggal 18 Agustus 1863 no.29. Penaksiran toelage ganti
rugi tanah apanase yang dihapus disesuaikan dengan penghasilan tanah
itu. Dari hasil penaksiran toelage ganti rugi yang dilaporkan ke Betawi
sebesar f.84.777,34 setiap tahun. Jumlah ini dianggap Betawi terlalu
besar, dan selanjutnya menetapkan bahwa Residen hanya boleh mengeluarkan
f.20.000,- setahun sebagai taksiran maksimum. Untuk menetapkan besar
kecilnya toelage ganti rugi yang ditetapkan kepada para bangasawan yang
berhak menerimanya dibentuk sebuah komisi yang diketuai oleh Regent
Martapura Pangeran Jaya Pemenang dibantu Kiai Patih Goena Wijaya. Mereka
dianggap paling mengetahui tentang tanah apanase ini. Hasil kerja
komisi yang kemudian disetujui oleh Residen besarnya toelage ganti rugi
yang dibayar pemerintah Belanda hanya sebesar f.14.556,- setiap tahun.
Dari jumlah penghasilan tanah apanase yang diperoleh para bangsawan
ditaksir sebesar f.84.777,34 tetapi yang dapat disetujui untuk dibayar
hanya sebesar f.14.556,- Betapa merosotnya sumber ekonomi rumah tangga
para bangsawan yang tidak ikut dalam Perang atau yang ikut membantu
Belanda dalam perang itu. Para bangsawan yang memperoleh toelage ganti
rugi sebanyak 29 orang dan dari jumlah ini 6 orang dari golongan
aristokrat fungsional dan 23 orang dari golongan bangsawan biasa.
Diantara 23 orang bangsawan yang memperoleh ganti rugi paling banyak
adalah Pangeran Jaya Pamenang, jabatannya dalam struktur baru
pemerintahan Belanda adalah Regent Martapura yang dijabatnya sejak tahun
1861 dan kemudian sebagai Ketua Komisi penetapan toelage ganti rugi
tanah apanase. Besarnya f.6.000,- setahun. Merosotnya penghasilan kaum
bangsawan itu sebagai contoh dapat dilihat pada anak-anak dan keluarga
almarhum Pangeran Soeria Mataram yang diberi toelage sebesar f.100,-
sebulan atau f.1.200,- setahun, padahal penghasilan tanah apanase ini
pada masa kerajaan adalah sebesar f.10.000,- setahun, disamping
pemasukan lainnya. Contoh golongan aristokrat fungsional adalah tiga
bersaudara anak-anak Kiai Adipati Danuraja. Mereka mendapatkan f.15,-
per-orang atau sebesar f.450,- bertiga setahunnya, pada hal penghasilan
pada masa kerajaan adalah sebesar f.8.000,-setahunnya. Bagi golongan
bangsawan tindakan ini merupakan pukulan terakhir dalam bidang ekonomi,
suatu tindakan pemerintah Belanda yang paling menentukan bagi
kelangsungan mereka mempertahankan status sosial dalam hierarki sistem
status yang baru. Disamping itu golongan ini menghadapi perubahan
sosial yang amat cepat dan sistem nilai yang baru dalam struktur
pemerintahan Hindia Belanda.
g) Perubahan
status sosial ekonomi sesudah tahun 1863 Setelah Perang Banjar selesai
pada tahun 1905 daerah dan masyarakat Banjar mengalami perubahan. Orang Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan merdeka adalah sebuah bangsa atau nation yaitu bangsa Banjar yang
mempunyai kedudukan sederajat dengan bangsa-bangsa merdeka lainnya.
Tetapi setelah perang usai, bangsa Banjar yang sebelumnya adalah bangsa
merdeka, turun derajatnya menjadi bangsa jajahan dan hanya dikenal
sebagai Orang Banjar, sebagai inlander dari penduduk Hindia
Belanda. Daerah Kerajaan Banjar yang telah dihapuskan dimasukan dalam
suatu bentuk tatanan ketatanegaraan baru menjadi sebuah Residensi dari
Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengkonsolidasi pemerintahan dibentuk
organisasi baru yang modern dan sentralistis. Golongan bangsawan
fungsional yang merupakan elite ruling class lenyap dan
kedudukannya digantikan golongan birokrasi Hindia Belanda. Mula-mula
golongan bangsawan fungsional yang sebelumnya membantu Belanda dalam
Perang Banjar, mendapat tempat dalam birokrasi baru ini. Dengan dasar
kriteria turunan dan otoritas kharisma, golongan bangsawan memperoleh
kepercayaan menjabat sebagai Regent sebagai jabatan tertinggi, kemudian
sabagai Kiai menjadi Kepala Distrik, sebagai jaksa, sebagai kepala
polisi dan jabatan lainnya. Kriteria pemilihan pegawai untuk menduduki
jabatan tertentu kemudian berubah sesuai dengan perkembangan masa itu.
Untuk jabatan sebagai Kiai yang mengepalai sebuah distrik diperlukan
lulusan pendidikan MOSVIA dan Sekolah Raja. Keperluan untuk pegawai
rendahan memaksa Belanda untuk mendirikan Sekolah Kelas Dua dan Sekolah
Kelas Satu, sedangkan untuk anak-anak Eropah khusus didirikan Europese Lagere School (ELS).
Kecuali daerah Barito, seluruh daerah Hulu Sungai terbuka bagi lalu
lintas perdagangan. Sistem talian yang amat mencekik para pedagang
dihapus; ketertiban dan keamanan memungkinkan timbulnya usaha-usaha
baru. Hubungan perdagangan langsung dengan Surabaya dan Singapore
membuka perspektif bagi pengusaha perkebunan untuk menanam tanaman yang
menghasilkan untuk di ekspor, selain mengekspor hasil-hasil hutan
seperti rotan, damar, lilin. Dengan perdagangan dari kalangan rakyat
biasa. Naik haji menjadi lebih mudah dengan beroperasinya kapal Belanda
KPM. Persentase jumlah orang naik haji untuk daerah ini cukup tinggi,
begitu pula jumlah para ulama hasil pendidikan Perguruan Tinggi Al Azhar
Kairo-Mesin makin bertambah besar, sebagai usaha kaum ulama untuk
menandingi pendidikan Barat yang dibangun Belanda. Pertumbuhan kampung
dan kota mengalami perubahan. Dari Banjarmasin melalui Martapura Belanda
membangun jalan raya besar ke Hulu Sungai sampai dengan Ampah, Muara
Uya. Untuk menjaga keamanan dan mudah mengadakan kontrol, Belanda
memaksa memindahkan kampung-kampung yang pada mulanya disepanjang
sungai, dipindah disepanjang jalan raya yang dibangun Belanda. Muncullah
desa-desa baru yang rumah-rumahnya berbaris menghadapi jalan raya.
Disetiap persimpangan sungai yang strategis dibuat benteng pengawasan
wilayah. Dengan demikian muncul kota-kota baru seperti Rantau,
Kandangan, Barabai, Tanjung, Pelaihari dan sebagainya. Pembuatan jalan
raya ini membuka daerah yang terisolasi, penting bagi pengawasan militer
Belanda, tetapi juga membawa pengaruh bagi perkembangan ekonomi
perdagangan.
Perubahan
ini sangat mempengaruhi kelompok kaum bangsawan dan sesudah tahun 1863
yaitu setelah tanah apanase sumber penghasilan kaum bangsawan dihapus
oleh Belanda, kaum bangsawan menghadapi krisis prestise. Dengan dihapusnya kerajaan, kekuasaan politik pemerintahan pindah ketangan super elite baru, pemerintah Hindia Belanda. Kedudukan politis kaum bangsawan sama dihadapan penjahan Belanda, sebagai “inlander”
mempunyai kewajiban yang sama membayar pajak dan lain sebagainya. Kaum
bangsawan tidak memperoleh hak sebagai pelaksana politik kecuali bagi
mereka yang memperoleh pendidikan tertentu. Gelar kebangsawanan lama
kelamaan tidak membawa pengaruh apa-apa di kalangan rakyat Orang Banjar.
Orang Banjar berjiwa dagang dengan semangat Islam yang tinggi dan
menghargai seseorang bukan dengan dasar gelar kebangsawanan atau harta
benda, tetapi dengan dasar ketaqwaan terhadap Allah, karena itulah
golongan ulama mendapat kehormatan sepanjang masa sejak dulu sampai
sekarang. Pedagang Banjar muncul sebagai pedagang kelas menengah dan
menguasai perdagangan hasil hutan daerah Barito. Perdagangan mereka
cukup kuat dan perdagangan Orang Banjar menggunakan kapal-kapal layar
sendiri sampai menjalani rute Banjarmasin-Singapore-Madras India.
Perdagangan Sungai Barito dikuasai oleh golongan pedagang Banjar dan
ketika Borsumy membuka kantor cabangnya di Banjarmasin, Borsumy terlebih
dahulu mengadakan perundingan dengan kelompok pedagang Banjar agar
operasional mereka tidak terganggu. Akibat perubahan situasi ekonomi
perdagangan ini, maka golongan bangsawan kedudukannya merosot sama
sekali, mereka sekarang merupakan golongan yang diatur tata ekonominya
dan sekarang menjadi golongan konsumtif dan posisi mereka menurun. Hal
ini membawa akibat pula dalam bidang kebudayaan daerah. Hilangnya
keraton, menyebabkan sarana untuk perkembangan kesenian klasik ikut
berkurang dan disamping itu sikap golongan ulama yang tidak menyenangi
budaya keraton. Kesenian kelasik mengalami proses disintegrasi dan
akhirnya hampir tidak dikenal lagi di kalangan luas masyarakat Banjar.
Dalam masyarakat tradisional, golongan bangsawan merupakan golongan yang
memberi identitas kepada kebudayaan masyarakat Banjar disamping Islam.
Sesudah tahun 1863 golongan ini berada dalam keadaan kritis nilai,
sehingga kedudukan mereka sebagai kekuatan sosial menjadi lemah dan
secara berangsur-angsur hilang beralih ke dalam lapisan sosial yang lain
dan akhirnya mengalami krisis identitas. Identitas bangsawan yang
sekarang masih ada hanya berupa gelar-gelar didepan nama yang tak
berfungsi lagi ditinjau dari segi status bangsawan seperti semula.
(Selesai)
Sumber : Sejarah