SYAIR TUNJUK AJAR MELAYU
(NASIHAT IBU BAPA KEPADA ANAKNYA)
Oleh : Tenas Effendy
TENTANG MENGHORMATI GURU
Wahai ananda dengarlah amanat
Terhadap gurumu hendaklah hormat
Ilmunya banyak memberi manfaat
Menyelamatkan hidup dunia akhirat
Kepada guru hendaklah sopan
Tunjuk ajarnya ananda dengarkan
Penat letihnya jangan dilupakan
Supaya hidupmu dirahmati Tuhan
Kepada gurumu janganlah durhaka
Jangalah pula berburuk sangka
Tunjuk ajarnya ananda jaga
Supaya manfaatnya dapat dirasa
Kepada gurumu eloklah perangai
Apabila disuruhnya janganlah lalai
Tunjuk ajarnya selalu dipakai
Supaya hasratmu cepat tercapai
Apabila gurumu selalu kau tantang
Ditujuk diajar engkau membangkang
Akibatnya buruk bukan kepalang
Ilmu dituntut berkahnya hilang
Kepada guru jangan menista
Bercakap kasar bermasam muka
Orang benci Allah pun murka
Hidupmu akan terlunta-lunta
Kepada gurumu nampakkan minat
Petuah didengar petunjuk diingat
Supaya belajar beroleh manfaat
Membawa berkah dunia akhirat
Kepada gurumu hendaklah patuh
Ditunjuk diajar jangan mengeluh
Belajarlah dengan bersungguh-sungguh
Supaya hidupmu menjadi senonoh
Anggaplah guru sebagai ibu bapa
Tempat merunjuk tempat bertanya
Memudahkan ananda memahami ilmunya
Supaya pelajaranmu tak sia-sia
Jadikan gurumu contoh teladan
Minta nasihat untuk pegangan
Apa masalahmu boleh disampaikan
Supaya bebanmu menjadi ringan
Kepada gurumu berterus terang
Jangan bercakap main belakang
Supaya belajar hatimu lapang
Guru mengajar hatnya senang
Kepada gurumu berterima kasih
Kerana mengajarmu berpenat letih
Sampaikan dengan hati yang bersih
Semoga menjadi amalan soleh
Wahai ananda permata bunda
Gurumu itu juga manusia
Tentulah ada lebih kurangnya
Maafkan olehmu bila ada salahnya
Kepada guru jangan mendendam
Orang pendendam imannya padam
Budi yang baik jadi tenggelam
Hari depanmu menjadi suram
Budi gurumu janganlah dilupakan
Penat letihnya jangan diabaikan
Ilmu diterima engkau amalkan
Semoga pahalanya sama dirasakan
Budi gurumu selalu dikenang
Jasanya besar bukan kepalang
Engkau dididik menjadi orang
Ditunjukan pula jalan yang terang
BA SYAIR MELAYU BANJAR
Blog ini menampilkan syair-syair yang pernah ada di Bumi Banjar. Serta syair-syair yang penulis temukan di Media Sosial baik dari Banua Banjar, maupun bukan dari Banua Banjar.
Jumat, 16 Juni 2017
Senin, 06 Februari 2017
Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 10)
Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 10)
SILSILAH TUMENGGUNG SURAPATI
Keterangan:
T = Tumenggung Rd. = Raden Ngabehi Tuha (Kepala orang Bakumpai) menjadi
wakil Sultan Banjar didaerah dusun Hulu Ngabehi Lad. Wanita suku Dayak Silang Tumenggung Urgang Tumenggung Surapati Tumenggung Jang Pati Singaraja Pangeran Dipati Nyai ButuByai Ambun Kiai Demang T.Umar T.LadT.KerT.Ajidan RD.Dipati Kiai Jadi T.AtT.Jadan T.BangkinT.Ecot T.IburT.Lugi T.Basah T.Naum Pira Satia T.Jadan T.Jadan Kiai Azis
Tumenggung
Surapati dengan anak buahnya suku Dayak Siung telah memeluk agama
Islam. Kedua tokoh pimpinan perjuangan ini diikat dalam hubungan
kekeluargaan dengan mengawinkan putera Tumenggung Surapati yang bernama
Tumenggung Jidan dengan cucu Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati
dengan anak buahnya bersama Pangeran Antasari telah mengangkat sumpah
bersama-sama berjuang menghalau penjajah Belanda. Mereka akan berjuang
tanpa pamrih dan tanpa kompromi dengan tekad : Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing. Belanda
berusaha dengan segala taktik liciknya untuk memikat hati Tumenggung
Surapati agar Tumenggung ini tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda
dan bersedia membantu Belanda untuk menangkap Pangeran Antasari.
Tumenggung Surapati sebagaimana suku Dayak lainnya sangat setia pada
sumpah yang telah diucapkannya dan apapun yang akan terjadi mereka tidak
akan menghianati sumpah tersebut. Siasat licik Belanda akan dibalas
dengan siasat licik pula, dimikian tekad Tumenggung Surapati dengan anak
buahnya. Belanda mempunyai keyakinan bahwa siasatnya berhasil apalagi
Tumenggung Surapati telah bersahabat dengan Belanda sebelumnya.
Tumenggung Surapati pernah menjamu dengan segala kebesaran dan penuh
keramahan terhadap rombongan Civiel Gezaghebber dan Komandan Serdadu
Marabahan Letnan I Bangert dan stuurman kapal Cipanas J.J Meyer pada
tahun 1857 dua tahun sebelum terjadinya Perang Banjar. Persahabatan
dengan Belanda ini menimbulkan kebencian yang mendalam di hati
Tumenggunng Surapati setelah serdadu Belanda membakar rumah dan kebun
rakyat yang tidak berdosa setelah terjadi Perang Banjar. Kebaikan hati
Belanda hanya tipu muslihat untuk memikat rakyat agar berpihak pada
penjajah. Perang Barito terjadi di sepanjang Sungai Barito dan
sekitarnya. Perang ini merupakan bukti kebencian seluruh rakyat dalam
wilayah Kerajaan Banjar terhadap penjajah Belanda. Perang ini adalah
Perang Banjar yang terjadi di sepanjang Sungai Barito, dan diawali
dengan penyerbuan gudang garam Belanda di Pulau Petak, sebelah Hulu dari
Kuala Kapuas. Gudang Pulau Petak terletak di tepi sungai sedikit lebih
tinggi dari kampung di sekitarnya. Gudang garam ini dijaga oleh Letnan
Bichon dengan 60 orang serdadu Belanda. Kapal perang “Monterado” ikut
berjaga-jaga di sungai. Pada malam tanggal 24 ke 24 Agustus 1859 Pulau
Petak diserbu oleh Tumenggung Surapati dan Pembakal Sulil. Letnan Bichon
tewas kena tobak dalam penyerangan ini. Belanda berusaha membujuk
Tumenggung Surapati agar membantu Belanda menangkap Pangeran Antasari.
Setelah usaha pertama gagal, pada bulan Desember 1859 kembali kapal “Onrust” menuju
Muara Teweh. Kapal Onrust berhenti di Lontotour sekitar 3 km sebelum
sampai Muara Teweh, dan dari sini Belanda mengirim utusan agar
Tumenggung Surapati berkenan datang di kapal “Onrust”. Pada
tanggal 26 Desember 1859 dengan sebuah perahu besar dan diiringi dengan
beberapa perahu kecil, Perahu-perahu tersebut tidak beratap. Surapati
dengan 15 orang pengiring yang terdiri dari keluarga dan panakawan.
Perahu-perahu lainnya berlabuh di sebelah hulu dari kapal Onrust.
Surapati disambut oleh Letnan Bangert yang sudah lama kenal karena
pernah menjadi tamu Surapati pada tahun 1857. Surapati masuk ke dalam
kamar untuk berunding disertai 4 orang anak dan menantunya. Sepuluh
panakawan lainnya beramah tamah bersama para opsir di atas dek kapal.
Dalam perundingan itu Belanda menjanjikan hadiah-hadiah antara lain
memperlihatkan surat pengangkatan sebagai Pangeran. Keramah-tamahan yang
diperlihatkan dan sikap yang meyakinkan menyebabkan Letnan Bangert
merasa puas akan keberhasilan misinya. Dalam perundingan itu Letnan
Bangert didampingi oleh Haji Muhammad Thalib sebagai juru runding dan
perantara yang menghubungkan pihak Belanda dengan Tumenggung Surapati.
Haji Muhammad Thalib sebelumnya sudah curiga dengan perahu-perahu yang
ditumpangi Surapati dengan pengikutnya. Perahu-perahu tersebut tidak
memakai atap, sedangkan kebiasaannya perahu mempunyai atap. Tetapi pihak
belanda tidak mengerti dengan kebiasaan orang-orang Dayak dengan perahu
tanpa atap tersebut, karena Surapati dengan pengikutnya memperlihatkan
keramah tamahannya. Perahu tanpa atas suatu pertanda sikap permusuhan
dan sangat menggembirakan bagi seluruh rakyat yang berjuang melawan
Belanda. Akibat kekalahan yang sangat memalukan ini pihak Belanda
mengirim serdadu sebagai ekspedisi dengan perintah bunuh semua Orang
Dayak dan Melayu (Banjar) yang membantu menenggelamkan kapal perang “Onrust”. Untuk keperluan ini G.M. Verspyck memberangkatkan kapal perang “Suriname”, “Boni”
dan beberapa kapal pembantu pada tanggal 27 Januari 1860. Kapal ini
membawa 300 serdadu bersenjata lengkap, diantaranya 10 serdadu Eropah,
beberapa pucuk meriam dan mortir. Pimpinan ekspedisi Letnan Laut de Haes
melaksanakan perintah dengan membabi buta, membakar semua kampung yang
dilewati dan membunuh rakyat yang ditemukan. Ketika sampai di Lontotour
ternyata kampung itu telah dikosongkan penduduk. Kapal terus berlayar ke
arah hulu sambil menembaki tempat-tempat yang dicurigai. Kapal Suriname
dan Boni melewati kampung Leogong yang letaknya agak rendah. Dengan
tidak diduga Belanda, meriam yang beratnya 30 pond menembak ke arah
lambung kapal Suriname. Korbanpun berjatuhan. Kapal itupun miring karena
tembakan itu mengenai kedua ketel (boiler) sehingga mesin kapalpun
mati. Baru menjelang tengah malam barulah kapal itu dihanyutkan dan
ekspedisi itu pulang tanpa membawa hasil apa-apa. Pertempuran di Leogong
ini terjadi pada 11 Februari 1860. Pada 22 Februari 1960, kembali kapal
perang Celebes dan Monterado dikirim menyerang benteng Leogong. Benteng
ini dikepung dengan dua buah kapal perang di hulu dan disebelah hilir
serta 200 serdadu didaratkan. Pertempuran sengit pun terjadi sepanjang
sungai Barito. Menyadari terhadap pengepungan ini Pangeran Antasari dan
Tumenggung Surapati melakukan siasat mundur untuk menghindarkan
banyaknya jatuh korban. Perang ini berakhir tanpa hasil yang memuaskan
bagi Belanda. Untuk mengantisipasi kapal-kapal perang Belanda,
Tumenggung Surapati dan Pangeran Antasari mengerahkan beratus-ratus
perahu dengan sebuah perahu komando yang besar. Pada perahu besar ini
dipancangkan bendera kuning. Armada perahu ini disertai pula dengan
beberapa buah lanting kotta-mara (katamaran) semacam panser
terapung. Bentuk kotta-mara ini sangat unik karena dibuat dari susunan
bambu yang membentuk sebuah benteng terapung. Kotta-mara dilengkapi
dengan beberapa pucuk meriam dan lila. Selain kapal perang “Onrust” yang
berhasil ditenggelamkan pada 26 Desember 1859, sebelumnya yaitu pada
bulan Juli 1859 juga ditenggelamkan kapal perang Cipanas dalam
pertempuran di sepanjang Barito di sekitar pulau Kanamit.
19. Demam Lehman Dan Pangeran Hidayat Dalam Proses Penangkapan
Segala
siasat dan cara telah dilakukan Belanda untuk memikat Pangeran Hidayat
dan Demang Lehman agar menghentikan perlawanannya terhadap pemerintah
Belanda, tetapi semua siasat itu tidak berhasil. Cara lain yang
dilakukan Belanda adalah berusaha untuk menangkap kedua tokoh pejuang
itu hidup atau mati, dan mengeluarkan pengumuman kepada seluruh rakyat
agar dapat membantu Belanda menangkap kedua tokoh itu dengan imbalan
yang menggiurkan. Imbalan yang dijanjikan adalah dengan mengeluarkan
pengumuman harga kepala terhadap tokoh pejuang yang melawan Belanda.
Harga kepala Pangeran Hidayat adalah sebesar f 10.000,- dan Demang
Lehman sebesar f 2.000,- Nilai uang sebesar itu sangat tinggi dan dapat
memikat hati setiap orang yang menginginkan kekayaan. Bagi pejuang yang
memegang sumpah “Haram manyarah, waja sampai kaputing”, tidak tergoyah
hatinya mendengar janji-janji seperti itu, kecuali bagi mereka yang
mengingkari sumpah, menghianati perjuangan bangsa dan yang lemah imannya
terhadap prinsip “perang sabil”. Meskipun segala usaha telah gagal,
Belanda tetap berusaha untuk menangkapnya dengan cara apapun. Pemerintah
Belanda mengutus Haji Isa seorang yang dekat dengan dan tahu Pangeran
ini berada. Tugas Haji Isa adalah menyampaikan keinginan pemerintah
Belanda terhadap Pangeran ini. Haji Isa tidak berhasil menemukan
Pangeran Hidayat, tetapi dia bertemu dengan Demang Lehman. Ketika Haji
Isa menyampaikan tugas misinya terhadap Demang Lehman. Demang Lehman
langsung menjawab menolak segala macam perundingan dan akan terus
berjuang sampai akhirnya memperoleh kemenangan. Laporan Haji Isa ini
menimbulkan semangat Belanda untuk mengatur siasat baru. Mayor Koch
Asisten Residen di Martapura mengatur dan mengadakan hubungan dengan
Demang Lehman atas perintah Residen G.M. Verspyck. Pertemuan dengan
Demang Lehman menghasilkan kesepakatan bahwa Demang Lehman bersedia
menemui Pangeran Hidayat asal Belanda berjanji mendudukkan Pangeran
Hidayat sebagai Raja di Martapura. Demang Lehman selalu merasa curiga
dengan keinginan Belanda untuk mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai raja
di Martapura, karena itu Demang Lehman mengkonsolidasi pasukannya.
Setelah terjadi hubungan surat menyurat antara Demang Lehman dengan
Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang, Demang Lehman bersedia turun ke
Martapura. Pada tanggal 2 Oktober 1861 Demang Lehman turun ke Martapura
bersama tokoh-tokoh pejuang disertai 250 orang pasukannya. Anggota
pasukannya ini akan menyusup ke seluruh pelosok Martapura dan akan
mengamuk kalau Belanda menipu dan menangkap Demang Lehman. Tokoh-tokoh
pejuang yang mengiringi Demang Lehman adalah : Kiai Darma Wijaya, Kiai
Raksa Pati, Kiai Mas Cokro Yudo, Kiai Puspa Yuda Negara, Gusti Pelanduk,
Pembakal Awang, Kiai Jaya Surya, Kiai Setro Wijaya, Kiai Muda Kencana,
Kiai Surung Rana, Pembekal Noto, Pembekal Unus, Tumenggung Gamar dan
lain-lain. Tanggal 6 Oktober 1861 Demang Lehman memasuki kota Martapura
disertai 15 orang pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut rombongan ini dan
langsung ke rumah Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam
pertemuan empat mata dengan Demang Lehman, Residen berusaha memikat
Demang Lehman dengan janji akan memberikan jaminan hidup setiap bulan
kepadanya asal Demang Lehman berjanji menentap di Martapura, di
Banjarmasin atau Pelaihari dan mengajak kepada seluruh rakyat kembali ke
kampung mereka masing-masing dan bekerjsama seperti semula. Janji
Residen itu tidak menarik perhatiannya, tetapi kesetiannya kepada
perjuangan dan sumpah perjuangan lebih tinggi nilainya dari pada
kepentingan diri sendiri. Disamping itu Demang Lehman tegas mengatakan
bahwa mereka akan berjuang terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk
kembali di Martapura memangku Kerajaan Banjar. Semboyan mereka huruf
“Mim” (huruf Arab mim) yang berarti Martapura atau mati karenanya. Hasil
pertemuan dengan Residen memaksa Demang Lehman mencari tempat
persembunyian Pangeran Hidayat dan akan merundingkannya dengan lebih
teliti dan segala akibatnya nanti. Tanggal 9 Oktober 1861 Demang Lehman
berangkat ke Karang Intan dan kepergiannya ini memakan waktu hampir
sebulan. Kepergian Demang Lehman ini mengkhawatirkan Belanda dan meminta
agar Demang Lehman kembali ke Martapura. Tanggal 30 Desember 1861
Residen G.M. Verspyck tiba di Martapura dan perundingan dengan Demang
Lehman dilangsungkan. Residen berjanji bahwa Pangeran Hidayat boleh
tinggal dengan keluarganya di Martapura selama perundingan berlangsung
dan jikalau perundingan gagal Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat
pertahanannya dalam tempo sepuluh hari dengan aman. Tanggal 3 Januari
1862 Demang Lehman kembali berangkat mencari Pangeran Hidayat menuju
Muara Pahu di daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa. Pada tanggal 14
Januari 1862 Demang Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di Muara
Pahu. Demang Lehman menyampaikan surat Residen dan surat Regent
Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam perjanjian itu Ratu Siti ibu
Pangeran Hidayat dijemput dari tempatnya di Pa-auw Sungai Pinang, begitu
pula keluarga Pangeran yang masih menetap di Tamanih. Pada 22 Januari
1862, rombongan Pangeran Hidayat berangkat dari Muara Pahu dengan rakit
dan perahu, melewati Mangappan dan 3 hari kemudian sampai di Awang
Bangkal dan baru tanggal 28 Januari tiba di Martapura. Rombongan ini
disambut rakyat dengan suka hati di Martapura. Rombongan langsung menuju
tempat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang yang masih hubungan
paman dari Pangeran Hidayat. Perundingan dilangsungkan pada tanggal 30
Januari 1862, dimulai pada jam 10.30 pagi.
Pihak Belanda terdiri dari :
1. Letkol Residen G.M. Verspyck
2. Mayor C.F. Koch, Assisten Residen di Martapura
3. Lettu J.J.W.E. Verstege, Controleur afdeling Kuin
4. Lettu A.H. Schadevan, ajudan Koch
5. Pangeran Jaya Pemanang, Regent Martapura
6. Kiai Jamidin, Kepala Distrik Martapura
7. Kiai Patih Jamidin, Kepala Distrik Riam Kanan
8. Haji Isa
9. Tumenggung Jaya Leksana
Pihak Pangeran Hidayat terdiri dari 23 orang diantaranya adalah :
1. Pangeran Hidayat
2. Kiai Demang Lehman
3. Pangeran Sasra Kasuma, anak Pangeran Hidayat
4. Pangeran Sahel, anak Pangeran Hidayat
5. Pangeran Abdul Rahman, anak.
6. Pangeran Kasuma Indra, menantu
7. Gusti Ali Basah, menantu
8. Raden Jaya Kasuma, ipar
9. Gusti Muhammad Tarip.
Dalam
perundingan itu Belanda mengatur siasat yang licik berpura berbaik hati
dengan tujuan untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Hidayat keluar
dari Bumi Selamat. Tujuan menghalalkan cara itulah yang dilakukan
Belanda. Dalam situasi yang terjepit dan kondisi yang tidak memungkinkan
Pangeran Hidayat terpaksa menandatangani Surat Pemberitahuan yang
ditujukan kepada rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda sebelumnya.
Surat Pemberitahuan itu ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap
Pangeran tertanggal 31 Januari 1862.
Surat Pemberitahuan itu selengkapnya berbunyi :
1) Surat ini tidak berisikan perintah, karena saya telah meletakkan dengan sukarela hak itu. (hak sebagai Mangkubumi).
2) Karena
mendengarkan nasihat yang salah, saudara-saudara memberontak terhadap
pemerintah Belanda, saudara menempuh jalan yang salah.
3) Saudara
telah melihat bahwa Pemerintah Belanda lebih kuat dari kita, bahwa ia
tidak hanya mementingkan kemakmuran rakyat yang baik, tapi juga bersikap
lembut dan satria terhadap musuh-musuhnya.
4) Kepada
rakyat Banjar saya mohon supaya menghentikan segala permusuhan,
saudara-saudara yang masih melawan kembalilah ke rumah saudara-saudara
dan carilah mata pencaharian yang damai dan jujur, sehingga drama
pembunuhan dan permusuhan dapat dihentikan.
5) Letakkan
senjata saudara, mohonkan ampun dengan sungguh-sungguh dan saya yakin
bahwa Pemerintah Belanda akan memberinya dengan jiwa besar.
6) Jangan
sekali-kali mendengarkan perintah pemimpin-pemimpin yang terus berkeras
meneruskan peperangan, baik perintah dari Pangeran Antasari, Pangeran
Aminullah dan orang jahat lainnya.
7) Saya
mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak mengerti kepentingan
saudara-saudara, dan kepentingan mereka sendiri dan saudara-saudara
untuk keselamatan saudara-saudara sendiri dan demi kecintaan kepada
saya, berkewajiban untuk menangkapi dan menyerahkan pemimpin rakyat yang
jahat itu kepada Gubernurmen.
8) Saya sendiri memberi saudara contoh penyerahan diri itu, saudara-saudara melihat bagaimana yang saya dapatkan.
9) Saya sudah mencoba supaya mereka yang masih melawan mau menyerah.
10)
Semakin cepat bekas-bekas perang yang mencelakakan ini dapat
dihilangkan, semakin cepat saudara-saudara mendapatkan pengampunan dari
Allah Yang Maha Tinggi untuk bencana yang selama lebih dua tahun melanda
penduduk Banjar.
11) Allah
Yang Maha Tinggi dan arwah-arwah nenek moyang (raja-raja) dan kuburnya
akan mengutuk kalian, terutama pemimpin-pemimpin rakyat yang masih
melawan, apabila permintaan saya yang terakhir ini tidak dipenuhi.
158
Pangeran sangat terperanjat dengan ucapan Residen G.M. Verspyck yang
bertindak sebagai Wakil Tertinggi dari Pemerintah Belanda di daerah
Selatan dan Timur Borneo dan dia berwenang memberi pengampunan dan
melupakan apa yang terjadi pada masa lampau dengan syarat bahwa Pangeran
Hidayat harus berangkas ke Batavia dalam tempo 8 hari. Kepada Pangeran
diperkenankan membawa keluarga yang disukainya dan sebelum berangkat
harus menyebarluaskan Surat Pemberitahuan yang sudah dibubuhi cap dan
tanda tangan Pangeran. Ketika Pangeran mengajukan keberatan atas
kepergian ke Jawa tersebut, Residen menjawab bahwa bagi Pangeran perlu “menikmati istirahat”.
Demang Lehman yang merasa tertipu, sangat kecewa terhadap sikap Belanda
untuk memberangkatkan Pangeran Hidayat ke Jawa. Demang Lehman berusaha
mengajak Mufti dan Pangeran Penghulu untuk memohon kepada Residen agar
keputusan pemberangkatan Pangeran Hidayat dibatalkan. Demang Lehman
berusaha untuk menggagalkan keberangkatan ini dan ketika rombongan
Pangeran berangkat pada pagi hari tanggal 3 Februari 1862, Demang Lehman
telah siap dengan pasukannya untuk menggagalkannya.
158 W.A. Van Rees, De Bandjarmasinsche Krijg van 1859-1863, Thieme, Arnhem, 1865, hal. 242-244, (terjemahan M. Idwar Saleh).
Perahu
yang membawa Pangeran dibelokkan ke batang rumah yang dulu pernah
dijadikan tempat tinggal Demang Lehman, dan disambut dengan gegap
gempita oleh rakyat. Pangeran terus dilarikan. Belanda tidak dapat
bertindak apa-apa, dan baru setelah Pangeran dilarikan ke luar kampung
Pasayangan, Residen mengerahkan kekuatannya untuk menangkap Pangeran.
Seluruh kampung Pasayangan sampai kampung Hastak Baru dibakar Belanda.
Masjid Martapura yang indah yang dibangun lebih dari 140 tahun yang lalu
digempur dan dibakar Belanda. Ini terjadi pada 4 Februari 1862
merupakan saksi kebengisan dan kebrutalan penjajah Belanda terhadap
rakyat Banjar yang tidak berdosa. Baru tanggal 2 Maret 1862 Pangeran
Hidayat setelah menyerahkan diri diangkut dengan kapal Van OS berangkat
dari Martapura dan terus merapat ke kapal Bali untuk selanjutnya
diangkut ke Batavia. Pangeran Hidayat di buang ke kota Cianjur disertai
sejumlah keluarga besar kerajaan yang terdiri dari : seorang permaisuri
Ratu Mas Bandara, sejumlah anak kandung dari permaisuri,
menantu-menantu, saudara-saudara sebapak, ipar-ipar, ibu Pangeran
sendiri, panakawan-panakawan beserta isteri dan anak buahnya, budak
laki-laki dan perempuan, semua berjumlah 64 orang. Sebagai seorang
buangan, Pangeran mendapat rumah besar dan lebih bagus dari pada istana
di Martapura, mendapat tunjangan tiap bulan yang cukup untuk hidup
sebagai Mangkubumi dan keluarganya. Demang Lehman yang merasa kecewa
dengan tipu muslihat Belanda berusaha mengatur kekuatan kembali di
daerah Gunung Pangkal, Batulicin. Dia tidak mengetahui bahwa Belanda
sedang mengatur perangkap terhadapnya. Oleh orang yang menginginkan
hadiah dan tanda jasa sehabis dia melakukan Shalat subuh dan dalam
keadaan tidak bersenjata, dia ditangkap. Kemudian diangkut ke Martapura.
Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung terhadap pejuang yang
tidak kenal kompromi ini. Dia menjalani hukuman gantung samapai mati di
Martapura, sebagai pelaksanaan keputusan Pengadilan Militer Belanda
tanggal 27 Februari 1862. Pejabat-pejabat militer Belanda yang
menyaksikan hukuman gantung ini merasa kagum dengan ketabahannya menaiki
tiang gantungan tanpa mata ditutup.
Urat
mukanya tidak berubah menunjukkan ketabahan yang luar biasa. Tiada ada
satu keluarganyapun yang menyaksikannya dan tidak ada keluarga yang
menyambut mayatnya. Setelah selesai digantung dan mati, kepalanya
dipotong oleh Belanda dan dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van
Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman disimpan di Museum Leiden di
Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala.
20. Pengangkatan Pangeran Antasari Sebagai Panembahan
Pada
tanggal 14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayat
diasingkan ke Cianjur – Jawa Barat diproklamasikanlah pengangkatan
Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar
dengan gelar Panembahan Khalifatul Mu’minin. Proklamasi
pengangkatan ini ditanda tangani oleh Tumenggung Surapati yang bergelar
Kiai Tumenggung Yang Pati Jaya Raja sebagai wakil daerah Barito, Raden
Mas Warga Natawijaya sebagai wakil daerah Teweh dan Tumenggung
Mangkusari sebagai wakil daerah Kapuas-Kahayan. Gelar ini menunjukkan
bahwa Pangeran Antasari mempunyai tiga macam tugas berat yaitu sebagai
panglima tertinggi dalam pertahanan/perang sebagai kepala negara dan
sebagai kepala tertinggi agama. Pangeran Antasari adalah satu-satunya
pimpinan yang dapat diharapkan berjuang menghadapi Belanda dan memegang
teguh terhadap sumpah perjuangan yang telah di-ikrarkan bahwa :Haram manyarah, waja sampai kaputing, betul-betul
perjuangan yang tidak mengenal kompromi dengan musuh. Memang Belanda
telah berulang kali berusaha untuk mengadakan kompromi dengan Pangeran
Antasari, namun tawaran itu dianggap beliau sebagai najis. Bujukan
kompromi Belanda ini pernah dibalas Pangeran Antasari dengan surat yang
berbunyi :”Kami akan terus berjuang menuntut hak pusaka kami. Kami
bahkan merasa jijik berdekatan dengan Belanda yang telah menawan saudara
sepupu kami ke Jawa. Hadiah f.10.000,- Gulden pernah diumumkan
kepada siapa yang dapat menangkap hidup atau mati Pangeran Antasari.
Tetapi semua usaha Belanda dengan segala macam tipu muslihat tidak
berhasil. Pangeran Antasari telah mengambil pilihan, lebih baik mati di
medan pertempuran dari pada mati sebagai tawanan musuh. Dari segi ahli
waris kerajaan, Pangeran Antasari adalah pewaris yang sah, sebab dia
adalah buyut Pangeran Tahmidillah I, karena itulah dia sangat berwibawa
di daerah yang belum dikuasai Belanda termasuk seluruh suku Dayak dari
daerah Barito. Pada saat beliau dilantik sebagai Panembahan atau Sultan
Banjar, diperkirakan umurnya sudah mencapai 72 tahun, karena itulah
beliau dalam keadaan sakit-sakitan. Sakit karena
usia lanjut dan pada tanggal 11 Oktober 1862 beliau meninggal dunia.
Pangeran Antasari dimakamkan di kampung Sampirang, Bayan Bengok daerah
Puruk Cahu. Setelah Kemerdekaan mayat beliau dipindahkan ke Makam
Pahlawan Banjar di kompleks pemakaman dekat Masjid Jami’ Banjarmasin
pada tanggal 11 November 1958. Putera Pangeran Antasari, Gusti Muhammad
Seman dilantik menjadi Sultan Banjar terakhir, sebab setelah Sultan
Muhammad Seman tewas dalam pertempuran hapuslah Kerajaan Banjar dari
bumi Kalimantan.
21. Pagustian di Gunung Bondang
Setelah
Pangeran Antasari meninggal, perjuangan dilanjutkan dengan pimpinan
Sultan Muhammad Seman dibantu Tumenggung Surapati dan pimpinan lainnya.
Tumenggung Surapati membangun sebuah Pagustian (Dewan Pertahanan) yang
terletak di Gunung Bondang, sebelah udik sungai Lawung, Puruk Cahu.
Pagustian ini dibantu oleh Gusti Mas Said, Raden Mas Natawijaya,
Muhammad Nasir dan lainnya. Dua tahun berturut-turut yaitu tahun 1864
dan 1865 Tumenggung Surapati menyerang benteng Belanda di Muara Teweh
sehingga seluruh isi benteng itu musnah. Begitu pula Benteng Belanda di
Muara Montalat dihancurkan oleh suatu serangan Tumenggung Surapati.
Untuk menghadapi serangan Tumenggung Surapati ini Belanda memperalat
suku Dayak Sihong yang selama ini membantu Belanda dibawah pimpinan
kepala sukunya Suta Ono. Karena jasa-jasanya terhadap Belanda Suta Ono
diberi pangkat Overste atau Letnan Kolonel. Suku Dayak Sihong ini
terkenal pemberani, tetapi apabila mereka berhadapan dengan Tumenggung
Surapati, Suta Ono selalu mengundurkan diri. Tumenggung Surapati dalam
perlawanannya selalu berpindah-pindah dan selama bertahun-tahun dia
bertempur melawan Belanda di sepanjang Sungai Barito. Kadang-kadang dia
muncul di hilir di sekitar Bakumpai, tetapi sebentar lagi ada di hulu di
sekitar Manawing, sehingga sangat membingungkan pihak Belanda. Berbagai
muslihat dilakukan pihak Belanda untuk menangkapnya hidup atau mati,
tetapi selalu gagal. Pertempuran dan perjuangan yang bertahun-tahun
melawan Belanda melemahkan pisiknya yang memang sudah tua dan akhirnya
jatuh sakit, meskipun semangat juangnya tidak pernah mundur. Setelah
menderita sakit yang agak lama pada tahun 1875 Tumenggung Surapati
meninggal dunia sebagai pahlawan, meninggal karena sakit. Pangeran Jidan
meneruskan perjuangan ayahnya bersama-sama Sultan Muhammad Seman. Kalau
keluarga Sultan yang tertangkap dibuang ke Bogor, maka keluarga
Tumenggung Surapati yang tertangkap dibuang ke Bengkulu.
22. Bukhari Dalam Amuk Hantarukung
Bukhari
seorang anak dari orang tua bernama Manggir dan ibu bernama Bariah
kelahiran desa Hantarukung, dalam wilayah Kecamatan Simpur sekarang 7 Km
dari Kandangan, menjadi pimpinan yang dikenal dengan ‘Amuk Hantarukung”. Dia
dilahirkan sekitar tahun 1850 dan semasa mudanya mengembara ke Puruk
Cahu mengikuti pamannya Kasim yang menjadi Panakawan Sultan Muhammad
Seman. Sejak itu Sultan menjadikan Bukhari sebagai Panakawan Sultan,
ikut berjuang di daerah Puruk Cahu, Bukhari seorang yang setia
mengabdikan dirinya. Ia orang yang dipercaya sebagai “Pemayung Sultan”. Ia
dikenal di kalangan istana sebagai seorang yang mempunyai ilmu
kesaktian dan kekebalan. Bahkan tersiar berita bahwa dengan ilmunya itu
kalau ia tewas dapat hidup kembali. Ilmu ini diajarkan kepada siapa yang
menjadi pendukungnya. Adanya kelebihan-kelebihan Bukhari tersebut,
menyebabkan dia dan adiknya bernama Santar mendapat “tugas” untuk menyusun dan memperkuat barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah Banua Lima.
Dengan
membawa surat resmi dari Sultan Muhammad Seman. Bukhari dan adiknya
Santar datang ke Hantarukung untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat
terhadap pemerintah Belanda. Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh
penduduk Hantarukung. Dengan bantuan Pengerak Yuya, Bukhari berhasil
mengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Sebanyak 25 orang
penduduk telah menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan di bawah
pimpinan Bukhari dan Santar siap untuk melakukan perlawanan terhadap
kekuasaan Belanda. Gerakan Bukhari ini bahkan kemudian mendapat dukungan
selain penduduk Hantarukung, juga penduduk kampung Hamparaya dan Ulin.
Sehubungan dengan itu alasan perlawanan yang dikemukakan bahwa penduduk
dari tiga kampung itu tidak bersedia lagi melakukan kerja rodi . Sikap
penduduk dan tindakan Pengerak Yuya yang tidak mau menurunkan kuli
(penduduk) untuk menggali “garis” antara Amadit-Negara tersebut,
kemudian dilaporkan oleh Pembekal Imat kepada Kiai, karena yang
bersangkutan sedang tidak ada di tempat, Pembekal melaporkan kepada
Controleur Belanda di Kandangan. Penguasa di Kandangan sangat marah
mendengar berita itu pada tanggal 18 September 1899 berangkatlah
rombongan penguasa Belanda yang terdiri dari Controleur Adsenarpont
Domes dan Adspirant K. Wehonleschen beserta 5 orang Indonesia (opas dan
pembakal) yang setia kepada Belanda. Dengan menaiki kereta kuda dan
diikuti yang lainnya Controleur Adsenerpont Domes ke Hantarukung menemui
Pengerak Yuya. Pengerak yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk
melawan pemerintah Belanda ini ketika dipanggil oleh Controleur keluar
dari rumahnya dengan tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi
tanya jawab mengenai mengapa penduduk tidak mengerjakan lagi gerakan
menggali “garis” Amandit-Negara, tiba-tiba muncul ratusan penduduk di
bawah pimpinan Bukhari dan Santar sambil mengucapkan “selawat nabi” maju kearah Controleur dengan senjata tombak, serapang dan lain-lainnya.
Dalam
peristiwa itu telah terbunuh tuan Controleur Domes dan Adspirant
Wehonleshen serta seorang anak emasnya. Sementara 4 orang lainnya dapat
melarikan diri. Mereka itu antara lain opas Dalau dan Kiai Negara.
Peristiwa tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan Pemberontakan
Amuk Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang secara resmi
diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimkan ke desa
asal kelahirannya Hantarukung.
23. Pasukan Belanda menyerang kampung Hantarukung
Kejadian
terbunuhnya Controleur dan Adspirant Belanda tersebut segera sampai
kepada pejabat-pejabat Belanda di Kandangan. Kemarahan pihak Belanda
tidak dapat terbendung lagi. Besok harinya pada hari Senin tanggal 19
September 1899 sekitar jam 1.00 siang pasukan Belanda datang untuk
mengadakan pembalasan terhadap penduduk. Serangan pembalasan tersebut
dipimpin oleh Kiai Jamjam putera daerah sendiri, dengan diperkuat
oleh 2 Kompi serdadu Belanda bersenjata lengkap. Penduduk Hantarukung
telah menyadari pula peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk
di bawah pimpinan Bukhari, Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata
mereka dipinggiran hutan dan keliling danau menanti kedatangan pasukan
Belanda. Ketika sampai di desa Hantarukung di suatu awang persawahan,
melihat keadaan sepi Kapten Belanda melepaskan tembakan peringatan agar
penduduk menyerah. Pada waktu itulah Bukhari bersama-sama H. Matamin dan
Landuk tampil dengan senjata terhunus maju menyerbu musuh sambil
mengucapkan “Allahu Akbar” berulang-ulang. Tindakan Bukhari
tersebut diikuti para pengikutnya yang sudah siap untuk berperang,
pertempuran sengit terjadi. Bukhari, H. Matamin dan Landuk dan Pengerak
Yuya gugur di tembus peluru Belanda. Melihat pemimpin-pemimpin mereka
terbunuh penduduk lari menyelamatkan diri.
Demikianlah
dalam peristiwa 2 hari di Hantarukung tersebut telah terbunuh
masing-masing di pihak Belanda adalah Controleur Domes, Adspirant
Wehonleschen dan seorang pembantunya. Sementara dari pihak penduduk
telah gugur : Bukhari, Haji Matamin, Landuk, Pangerak Yuya. Peristiwa
ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh Belanda
terhadap penduduk yang terlibat terutama penduduk di desa Hantarukung,
Hamparaya Ulin, Wasah Hilir dan Simpur. Penangkapan segera dijalankan
oleh militer Belanda.
Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 23 orang yakni : Hala,
Hair, Bain, Idir, Sahintul, H. Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma,
Alas, Tanang, Tasin, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan,
Saal, Lasan dan Atmin. Selanjutnya yang mati didalam penjara adalah : Hala,
Hair, Bain, dan Idir. Sedangkan yang mati digantung adalah : Sahitul,
H. Sananddin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang dan Tasin. Mereka yang dibuang keluar daerah adalah: Bulat, Suddin, Matasin, Yasin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan Santar. Jenazah
Bukhari, Landuk dan Matamin dimakamkan di Kampung Perincahan, Kecamatan
Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) yang dikenal dengan makam
Tumpang Talu. Sedangkan sembilan orang dihukum gantung oleh Belanda tersebut dimakamkan di kuburan “Bawah Tandui” di Kampung Hantarukung di Kecamatan Simpur (Hulu Sungai Selatan).
24. Hancurnya Pagustian dan Manawing dan Berakhirnya Perang Banjar (1905)
Pagustian
atau Dewan Pertahanan adalah benteng pertahanan yang dibangun
Tumenggung Surapati pada tahun 1865, yaitu 3 tahun setelah Pangeran
Antasari meninggal karena sakit. Pagustian ini terletak di Gunung
Bondang, diudik Sungai Lawung, daerah Puruk Cahu. Pertahanan yang kedua
terletak di Manawing, yaitu kampung Bomban, Kalang Barat diudik Baras
Kuning, Barito. Berbagai suku Dayak dapat disatukan oleh Sultan Muhammad
Seman seperti suku Dayak Dusun, Nagaju, Kayan, Siang, Bakumpai dan suku
Banjar Hulu, baik yang beragama Islam maupun yang masih menganut
kepercayaan Kaharingan. Panglima Batur adalah salah seorang Panglima
yang setia pada Sultan Muhammad Seman. Panglima Batur seorang Panglima
dari suku Dayak yang telah beragama Islam berasal dari daerah
Buntok-Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh. Gelar Panglima khusus
untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan
tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan
sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling
pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal. Gelar Tumenggung adalah
gelar untuk jabatan sebagai kepala suku, sedangkan gelar Panghulu
adalah gelar untuk jabatan sebagai Kepala Adat/kepala agama. Panglima
dan para Tumenggung yang membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman untuk
melawan Belanda adalah Panglima Umbung dari Mangkatib, Mat Narung dari
Putu Sibau, Batu Putih dari Kapuas, Tumenggung Lawas, Tumenggung Nado,
Tumenggung Tawilen, Panglima Amit, Panglima Bahe dan lainnya. Panglima
Batur yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai
Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima
Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh
mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan
Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam
perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose159 yang terkenal
ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat
bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa. Ia
adalah sultan terakhir dari Kerajaan Banjar dalam pemerintahan pelarian
di daerah Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekwen terhadap
sumpah melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal
kompromi dengan Belanda, “Haram manyarah waja sampai kaputing”.
159
Korps bukan militer yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1890 untuk menangani tugas kepolisian dan jika perlu membantu dalam
tugas kemiliteran. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga, Depdiknas, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 717.
Tertegun
dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke
benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya
telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung
pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali
ke Buntok-Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung
di Puruk Cahu. Kini Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan
yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan
sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah
terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh
menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat
Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk
menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di
kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul,
saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai
yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan,
dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai
Belanda untuk menjebak Panglima Batur. Dengan perantaraan Haji Kuwit
salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha
menangkapnya. Atas suruhan Belanda Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila
Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding
dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya
dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap
berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima
Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik
dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak
berdosa ikut menanggungnya. Dengan diiringi orang-orang tua dan orang
sekampungnya Panglima Batur turun ke Muara Teweh. Benar apa yang menjadi
kata hatinya, bukan perundingan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan
selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24
Agustus 1905. Setelah dua minggu di tawan di Muara Teweh, Panglima Batur
diangkut dengan kapal ke Banjarmasin. Di kota Banjarmasin dia diarak
keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras
kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati. Pada tanggal 15 September 1905
Panglima Batur dinaikkan ketiang gantungan. Permintaan terakhir yang
diucapkannya dia minta dibacakan “Dua Kalimah Syahadat” untuknya. Dia dimakamkan di belakang masjid Jami’ Banjarmasin, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks “Makam Pahlawan Banjar”. Gugurnya
Sultan Muhammad Seman dan jatuhnya benteng pertahanan Manawing,
tertangkapnya Panglima Batur pada tahun 1905, maka Perang Banjar yang
dimulai dengan penyerangan terhadap benteng dan tambang batu bara Oranje
Nassau di Pengaron tahun 1859, dinyatakan berakhir pada tahun 1905.160
Tokoh-tokoh pejuang yang tetap bertahan tidak mau menyerah akhirnya
terpaksa menyerah, mereka dibuang keluar dari bumi bekas Kerajaan Banjar
sebagai tawanan perang hidup dalam pengasingan sampai hayat mereka
berakhir. Salah satu diantaranya adalah Gusti Muhammad Arsyad menantu
Sultan Muhammad Seman. Gusti Muhammad Arsyad dibuang ke Bogor pada 1
Agustus 1904. Gusti Muhammad Arsyad dan isterinya Ratu Zaleha, puteri
Sultan Muhammad Seman berjuang bersama ayahnya dengan penuh keberanian.
Setelah benteng Manawing jatuh ia bersembunyi ke Lahai dan selanjutnya
ke Mia di tepi sungai Teweh yang dianggap mereka aman dari pengejaran
Belanda. Suaminya Gusti Muhammad Arsyad setahun sebelum benteng Manawing
jatuh telah menyerah kepada Belanda karena pengepungan yang menyebabkan
ia tidak dapat melarikan diri lagi. Karena selalu dikejar-kejar oleh
serdadu Belanda. Gusti atau Ratu Zaleha merasa sangat letih disamping
pisiknya juga tidak mengizinkannya lagi, akhirnya dia pada awal tahun
1906 menyerahkan diri kepada Belanda. Atas permintaannya Ratu Zaleha
mengikuti suaminya dalam pengasingan di Bogor menghabiskan sisa-sisa
usianya. Ratu Zaleha diikuti oleh ibunya Nyai Salamah. Keluarga Ratu
Zaleha sebagai kelompok Pagustian dianggap berbahaya untuk daerah
Kalimantan Selatan dan Timur.
160
Dengan runtuhnya kekuasaan Pagustian di Baras Kuning, maka sesungguhnya
Perang Banjar berlangsung kurang lebih 40 tahun, bukan 4 tahun
sebagaimana dikatakan W.A. Van Rees dalam bukunya De Bandjermasinsche Krijg van 1859-1863, Thieme, Arnhem, 1865.
Sebagai
orang tawanan Gusti Muhammad Arsyad mendapat tunjangan sebesar f 300,
perbulan terhitung sejak 1 Mei 1906 sedangkan isterinya Ratu Zaleha
mendapat f 125, sebagai tambahan untuk memelihara 7 orang anggota
keluarganya. Tunjangan ini berdasarkan surat Sekretaris Goebernemen 25
Juli 1906 no. 1198 yang ditujukan kepada Ekslensi Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, dan Assisten Residen Bogor.
E. AKIBAT-AKIBAT SOSIAL POLITIK PERANG BANJAR
Perang Banjar diawali
dengan timbulnya perasaan tidak puas dengan situasi dan kondisi saat
itu. Perasaan tidak puas itu disebabkan karena terlalu banyaknya campur
tangan bangsa Belanda, bangsa asing yang oleh Orang Banjar saat itu
dikenal sebagai “Orang kafir”. Bangsa Belanda sebagai pedagang
yang saat pertama kali memasuki daerah Kerajaan Banjar memperhatikan
potensi perdagangan yang mendatangkan keuntungan bagi bangsa Belanda.
Untuk memperoleh keuntungan itu bangsa Belanda menggunakan segala cara
dari mulai cara lemah lembut dan bentuk persahabatan, akhirnya dalam
bentuk tindakan tekanan dan kekerasan demi memperoleh keuntungan.
Sebagai pedagang maka bangsa Belanda berhadapan dengan bangsa Banjar
yang juga bangsa pedagang. Persainganpun terjadi dan persaingan yang
menggunakan pengaruh kekuatan dan menimbulkan konflik antar dua bangsa.
Disamping membahayakan bagi kerajaan Banjar secara politik dan ekonomis,
juga kedatangan bangsa Belanda melahirkan pertentangan antara agama
Islam dan Kristen konflik ini akan melahirkan bentuk perang membela
agama, perang sabil, perang suci yang menyebabkan rakyat Banjar tidak
takut mati karenanya. Perasaan tidak puas terhadap campur tangan bangsa
asing ini melahirkan gerakan dengan aspek nativisme seperti yang
dilancarkan oleh Panambahan Muda Datu Aling. Gerakan ini mengiginkan
situasi dan kondisi Kerajaan Banjar yang diidealkan seperti dulu semasa
pemerintah Sultan Kuning, bebas dari pengaruh bangsa asing,
dikemukakannya tradisi nenek moyang yang berlaku turun temurun dengan
rakyat yang hidup makmur bahagia. Golongan bangsawan mempergunakan
gerakan ini beserta gerakan Balangan yang dipimpin Jalil melahirkan dan
meningkatkan perang menjadi Perang sabil, perang suci membela agama dan
melibatkan seluruh rakyat Banjar dari Kerajaan Banjar. Hasrat kembali
kepada pra-penetrasi Belanda, berarti pula kembali kepada penyempurnaan
hak-hak feodal dan sistem tradisional dimana kelompok ruling class,
kelompok penguasa yang ideal duduk memerintah untuk mengembalikan
harmoni kebudayaan suku Banjar beserta kemakmuran rakyatnya. Perang
Banjar dipercepat dengan timbulnya konflik antar kelompok yang berhak
dengan kelompok yang mendapat dukungan Belanda, antara kelompok Pangeran
Hidayat dengan kelompok Pangeran Tamjidillah. Dengan dasar inilah
Belanda mengirakan bahwa Perang Banjar itu disebabkan oleh konflik antar
keluarga yang tidak terpecahkan, maka Belanda dalam hal ini Comissaris
Kolonel Andressen, memaksa dengan cara halus menurunkan Sultan
Tamjidillah al Wasik Billah dari kedudukannya sebagai Sultan Banjar pada
tanggal 25 Juni 1859. Dengan kosongnya tahta ini diharapkan dapat
ditempuh langkah politik selanjutnya, dan kesalahan dengan pelantikan
terhadap raja yang lalu dengan segala akibatnya secara berangsur dapat
dihapuskan. Ternyata analisa Kolonel Andresen ini keliru, sebab perang
bukannya makin mereda bahkan makin bertambah besar dan meluas. Tindakan
Andresen ini dianggap keliru karena itu dia diganti dengan politik
kekerasan dari Gouvernement-Comissaris yang baru F.N.Niewenhuyzen dengan
mengambil tindakan memecat Mangkubumi dalam suatu publikasi pada 5
Februari 1860. Sebetulnya pemecatan Mangkubumi Pangeran Hidayat dan
kemudian dilanjutkan dengan penghapusan Kerajaan Banjar oleh Belanda
pada 11 Juni 1860, adalah sebagai realisasi dari Gouvernements Besluit
17 Desember 1859 dimana dicantumkan bahwa kerajaan tak lagi diberi
pimpinan, demi keselamatan operasional tambang batu bara termasuk
daerah-daerah yang potensial mengandung lapisan batu bara untuk
ditambang. Pangeran Hidayat sebagai bangsawan dan Mangkubumi Kerajaan
yang meminpin rakyat melawan penjajah Belanda pada tahun 1862
menyerahkan diri dan akhirnya dibuang ke Cianjur. Pangeran Antasari
seorang bangsawan yang dapat menghimpun kekuatan Orang Banjar dengan
Dayak berjuang tanpa kompromi melawan Belanda, dilantik dengan gelar
Panambahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin akhirnya meninggal karena sakit
pada tahun 1862. Kiai Demang Lehman sebagai patriot sejati akhirnya
tertangkap dan dihukum gantung sampai mati pada tahun 1864, sedangkan
Kiai Adipati Tumenggung Jalil tewas dalam pertempuran mempertahankan
benteng Tundakan tahun 1861. Dengan gugurnya atau tertangkapnya
tokoh-tokoh pejuang maka pada tahun 1865 perlawanan secara frontal sudah
berkurang, tetapi perang Banjar itu belum berakhir. Sultan Banjar
terakhir yang gugur dalam pertempuran mempertahankan benteng Manawing
1905 adalah Sultan Muhammad Seman. Sejak runtuhnya kekuasaan Pagustian
di Baras Kuning dan Manawing upaya-upaya terorganisir membangkitkan
kembali pemerintahan Kerajaan Banjar hampir tidak ada lagi. Peristiwa
yang ada hanyalah pemberontakan-pemberontakan sporadis yang digolongkan
sebagai gerakan sosial seperti Pemberontakan Guru Sanusi di Amuntai
tahun 1914-1918 dan Pemberontakan Gusti Darmawi161 di Kelua, tahun 1927
dan yang paling akhir adalah perlawanan di Hariyang tahun 1937. Perang
Banjar yang berlangsung mulai tahun 1859 dan berakhir pada tahun 1905
membawa akibat-akibat sosial politik bagi daerah Banjar dan rakyat
Banjar itu sendiri.
Akibat-akibat itu antara lain adalah :
a) Dihapuskan
Kerajaan Banjar dan seluruh bekas daerah kerajaan itu dimasukkan ke
dalam tatanan baru Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo.
b) Kota
Martapura sebagai bekas ibu kota kerajaan sejak tahun 1864, tanggal 19
Juni, susunan pemerintahnya sebagai berikut : Kapten C.J.Meyer Kepala
militer / sipil B.J.Suringa Pembantu bagian sipil Pangeran Jaya Pemenang
Regent Raden Rastan Jaksa Haji Muhammad Khalid Mufti Kiai Suta Marta
Kepala Distrik Haji Makhmud Penghulu
161 Dalam M. Idwar Saleh et al, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan,
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Banjarmasin,
1978/1979, hal. 48-49, tertulis Gusti Barmawi. Seharusnya Gusti Darmawi
dan harus dibedakan dengan H. Ahmad Barmawi Thaib, tokoh Parindra cabang
Kandangan.
c) Disisihkannya satu lapisan super elite dan satu lapisan aristokrat fungsional dari birokrasi lama.
d) Perang Banjar diartikan sebagai suatu “religius expression of secular conflict”
yang bersifat politik ekonomis dan sosial kultural, dalam arti khusus
mempertahankan kedudukan dan sistem Kerajaan dibawah Pangeran Hidayat
sebagai raja yang menurut tradisi dan wasiat Sultan Adam adalah sah.
Dalam arti umum Perang Banjar itu berwujud sebagai “a religio-political attack” atas penjajah kafir. Perang Banjar adalah perang suci, perang sabil, perang sebagai jihad fi sabilillah.
e) Golongan yang paling terpukul sebagai akibat dari perang ini adalah golongan bangsawan sebagai interest group. Pangeran Hidayat adalah “Tatuha Bubuhan Raja-Raja”
yang kedudukannya diakui sesuai dengan wasiat Sultan Adam tulang
punggung dan pusat harapan golongan bangsawan. Hilangnya Pangeran
Hidayat berarti harapan-harapan ke arah kemungkinan restorasi kerajaan
tertutup sama sekali, yang berarti pula tersisihnya mereka sebagai ruling-class dan lenyapnya segala kebesaran-kebesaran tradisional, lenyapnya kekuasaan dimasa lampau.
f) Penghapusan
tanah apanase Dalam Gouvernements Indisch Besluit 17 Desember 1859
telah diputuskan bahwa Kerajaan Banjar tidak lagi diberikan sebagai
pinjaman (vazal) kepada salah satu calon sultan yang akan datang.
Sebagai realisasi putusan ini Komisaris Guberneman F.N.Nieuwenhuyzen
telah mengeluarkan Besluit 11 Juni 1860 No.24 berupa proklamasi
penghapusan kerajaan Banjar. Pada akhir proklamasi itu disinggung pula
masalah pemungutan hasil dan pemilikan tanah apanase. Tanah apanase akan
dihapuskan dan kepada mereka akan diberi diganti rugi, tetapi bagi
pemilik tanah apanase yang ikut dalam Perang Banjar, hak memperoleh
ganti rugi itu dibatalkan. Tanah apanase merupakan sumber penghasilan
sultan dan seluruh golongan raja-raja. Tanpa tanah apanase kedudukan
sosial, pengaruh dan wibawa golongan bangsawan akan surut.
Mereka yang terlibat langsung dalam Perang Banjar yang oleh Belanda disebut “pemberontak”
tidak memiliki hak ganti rugi tanah apanase yang dihapus. Dalam
kategori ini termasuk Pangeran Hidayat dengan seluruh keluarga, pangeran
Antasari, Pangeran Aminullah dan mertuanya Pangeran Prabu Anom.
Disamping itu termasuk golongan aristokrat fungsional yang membantu “pemberontakan”.
Mengenai tanah apanase yang dikuasai Nyai Ratu Komala Sari, Ratu Syarif
Husein Darmakasuma, Ratu Kasuma Negara, dinyatakan disita untuk
Gubernement dengan alasan mereka tidak mau menyerahkannya dan menahan
perhiasan-perhiasan mahkota yang menjadi milik kerajaan. Keputusan
penghapusan tanah apanase ini dikeluarkan oleh Gouverneur General Hindia
Belanda tertanggal 18 Agustus 1863 no.29. Penaksiran toelage ganti
rugi tanah apanase yang dihapus disesuaikan dengan penghasilan tanah
itu. Dari hasil penaksiran toelage ganti rugi yang dilaporkan ke Betawi
sebesar f.84.777,34 setiap tahun. Jumlah ini dianggap Betawi terlalu
besar, dan selanjutnya menetapkan bahwa Residen hanya boleh mengeluarkan
f.20.000,- setahun sebagai taksiran maksimum. Untuk menetapkan besar
kecilnya toelage ganti rugi yang ditetapkan kepada para bangasawan yang
berhak menerimanya dibentuk sebuah komisi yang diketuai oleh Regent
Martapura Pangeran Jaya Pemenang dibantu Kiai Patih Goena Wijaya. Mereka
dianggap paling mengetahui tentang tanah apanase ini. Hasil kerja
komisi yang kemudian disetujui oleh Residen besarnya toelage ganti rugi
yang dibayar pemerintah Belanda hanya sebesar f.14.556,- setiap tahun.
Dari jumlah penghasilan tanah apanase yang diperoleh para bangsawan
ditaksir sebesar f.84.777,34 tetapi yang dapat disetujui untuk dibayar
hanya sebesar f.14.556,- Betapa merosotnya sumber ekonomi rumah tangga
para bangsawan yang tidak ikut dalam Perang atau yang ikut membantu
Belanda dalam perang itu. Para bangsawan yang memperoleh toelage ganti
rugi sebanyak 29 orang dan dari jumlah ini 6 orang dari golongan
aristokrat fungsional dan 23 orang dari golongan bangsawan biasa.
Diantara 23 orang bangsawan yang memperoleh ganti rugi paling banyak
adalah Pangeran Jaya Pamenang, jabatannya dalam struktur baru
pemerintahan Belanda adalah Regent Martapura yang dijabatnya sejak tahun
1861 dan kemudian sebagai Ketua Komisi penetapan toelage ganti rugi
tanah apanase. Besarnya f.6.000,- setahun. Merosotnya penghasilan kaum
bangsawan itu sebagai contoh dapat dilihat pada anak-anak dan keluarga
almarhum Pangeran Soeria Mataram yang diberi toelage sebesar f.100,-
sebulan atau f.1.200,- setahun, padahal penghasilan tanah apanase ini
pada masa kerajaan adalah sebesar f.10.000,- setahun, disamping
pemasukan lainnya. Contoh golongan aristokrat fungsional adalah tiga
bersaudara anak-anak Kiai Adipati Danuraja. Mereka mendapatkan f.15,-
per-orang atau sebesar f.450,- bertiga setahunnya, pada hal penghasilan
pada masa kerajaan adalah sebesar f.8.000,-setahunnya. Bagi golongan
bangsawan tindakan ini merupakan pukulan terakhir dalam bidang ekonomi,
suatu tindakan pemerintah Belanda yang paling menentukan bagi
kelangsungan mereka mempertahankan status sosial dalam hierarki sistem
status yang baru. Disamping itu golongan ini menghadapi perubahan
sosial yang amat cepat dan sistem nilai yang baru dalam struktur
pemerintahan Hindia Belanda.
g) Perubahan
status sosial ekonomi sesudah tahun 1863 Setelah Perang Banjar selesai
pada tahun 1905 daerah dan masyarakat Banjar mengalami perubahan. Orang Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan merdeka adalah sebuah bangsa atau nation yaitu bangsa Banjar yang
mempunyai kedudukan sederajat dengan bangsa-bangsa merdeka lainnya.
Tetapi setelah perang usai, bangsa Banjar yang sebelumnya adalah bangsa
merdeka, turun derajatnya menjadi bangsa jajahan dan hanya dikenal
sebagai Orang Banjar, sebagai inlander dari penduduk Hindia
Belanda. Daerah Kerajaan Banjar yang telah dihapuskan dimasukan dalam
suatu bentuk tatanan ketatanegaraan baru menjadi sebuah Residensi dari
Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengkonsolidasi pemerintahan dibentuk
organisasi baru yang modern dan sentralistis. Golongan bangsawan
fungsional yang merupakan elite ruling class lenyap dan
kedudukannya digantikan golongan birokrasi Hindia Belanda. Mula-mula
golongan bangsawan fungsional yang sebelumnya membantu Belanda dalam
Perang Banjar, mendapat tempat dalam birokrasi baru ini. Dengan dasar
kriteria turunan dan otoritas kharisma, golongan bangsawan memperoleh
kepercayaan menjabat sebagai Regent sebagai jabatan tertinggi, kemudian
sabagai Kiai menjadi Kepala Distrik, sebagai jaksa, sebagai kepala
polisi dan jabatan lainnya. Kriteria pemilihan pegawai untuk menduduki
jabatan tertentu kemudian berubah sesuai dengan perkembangan masa itu.
Untuk jabatan sebagai Kiai yang mengepalai sebuah distrik diperlukan
lulusan pendidikan MOSVIA dan Sekolah Raja. Keperluan untuk pegawai
rendahan memaksa Belanda untuk mendirikan Sekolah Kelas Dua dan Sekolah
Kelas Satu, sedangkan untuk anak-anak Eropah khusus didirikan Europese Lagere School (ELS).
Kecuali daerah Barito, seluruh daerah Hulu Sungai terbuka bagi lalu
lintas perdagangan. Sistem talian yang amat mencekik para pedagang
dihapus; ketertiban dan keamanan memungkinkan timbulnya usaha-usaha
baru. Hubungan perdagangan langsung dengan Surabaya dan Singapore
membuka perspektif bagi pengusaha perkebunan untuk menanam tanaman yang
menghasilkan untuk di ekspor, selain mengekspor hasil-hasil hutan
seperti rotan, damar, lilin. Dengan perdagangan dari kalangan rakyat
biasa. Naik haji menjadi lebih mudah dengan beroperasinya kapal Belanda
KPM. Persentase jumlah orang naik haji untuk daerah ini cukup tinggi,
begitu pula jumlah para ulama hasil pendidikan Perguruan Tinggi Al Azhar
Kairo-Mesin makin bertambah besar, sebagai usaha kaum ulama untuk
menandingi pendidikan Barat yang dibangun Belanda. Pertumbuhan kampung
dan kota mengalami perubahan. Dari Banjarmasin melalui Martapura Belanda
membangun jalan raya besar ke Hulu Sungai sampai dengan Ampah, Muara
Uya. Untuk menjaga keamanan dan mudah mengadakan kontrol, Belanda
memaksa memindahkan kampung-kampung yang pada mulanya disepanjang
sungai, dipindah disepanjang jalan raya yang dibangun Belanda. Muncullah
desa-desa baru yang rumah-rumahnya berbaris menghadapi jalan raya.
Disetiap persimpangan sungai yang strategis dibuat benteng pengawasan
wilayah. Dengan demikian muncul kota-kota baru seperti Rantau,
Kandangan, Barabai, Tanjung, Pelaihari dan sebagainya. Pembuatan jalan
raya ini membuka daerah yang terisolasi, penting bagi pengawasan militer
Belanda, tetapi juga membawa pengaruh bagi perkembangan ekonomi
perdagangan.
Perubahan
ini sangat mempengaruhi kelompok kaum bangsawan dan sesudah tahun 1863
yaitu setelah tanah apanase sumber penghasilan kaum bangsawan dihapus
oleh Belanda, kaum bangsawan menghadapi krisis prestise. Dengan dihapusnya kerajaan, kekuasaan politik pemerintahan pindah ketangan super elite baru, pemerintah Hindia Belanda. Kedudukan politis kaum bangsawan sama dihadapan penjahan Belanda, sebagai “inlander”
mempunyai kewajiban yang sama membayar pajak dan lain sebagainya. Kaum
bangsawan tidak memperoleh hak sebagai pelaksana politik kecuali bagi
mereka yang memperoleh pendidikan tertentu. Gelar kebangsawanan lama
kelamaan tidak membawa pengaruh apa-apa di kalangan rakyat Orang Banjar.
Orang Banjar berjiwa dagang dengan semangat Islam yang tinggi dan
menghargai seseorang bukan dengan dasar gelar kebangsawanan atau harta
benda, tetapi dengan dasar ketaqwaan terhadap Allah, karena itulah
golongan ulama mendapat kehormatan sepanjang masa sejak dulu sampai
sekarang. Pedagang Banjar muncul sebagai pedagang kelas menengah dan
menguasai perdagangan hasil hutan daerah Barito. Perdagangan mereka
cukup kuat dan perdagangan Orang Banjar menggunakan kapal-kapal layar
sendiri sampai menjalani rute Banjarmasin-Singapore-Madras India.
Perdagangan Sungai Barito dikuasai oleh golongan pedagang Banjar dan
ketika Borsumy membuka kantor cabangnya di Banjarmasin, Borsumy terlebih
dahulu mengadakan perundingan dengan kelompok pedagang Banjar agar
operasional mereka tidak terganggu. Akibat perubahan situasi ekonomi
perdagangan ini, maka golongan bangsawan kedudukannya merosot sama
sekali, mereka sekarang merupakan golongan yang diatur tata ekonominya
dan sekarang menjadi golongan konsumtif dan posisi mereka menurun. Hal
ini membawa akibat pula dalam bidang kebudayaan daerah. Hilangnya
keraton, menyebabkan sarana untuk perkembangan kesenian klasik ikut
berkurang dan disamping itu sikap golongan ulama yang tidak menyenangi
budaya keraton. Kesenian kelasik mengalami proses disintegrasi dan
akhirnya hampir tidak dikenal lagi di kalangan luas masyarakat Banjar.
Dalam masyarakat tradisional, golongan bangsawan merupakan golongan yang
memberi identitas kepada kebudayaan masyarakat Banjar disamping Islam.
Sesudah tahun 1863 golongan ini berada dalam keadaan kritis nilai,
sehingga kedudukan mereka sebagai kekuatan sosial menjadi lemah dan
secara berangsur-angsur hilang beralih ke dalam lapisan sosial yang lain
dan akhirnya mengalami krisis identitas. Identitas bangsawan yang
sekarang masih ada hanya berupa gelar-gelar didepan nama yang tak
berfungsi lagi ditinjau dari segi status bangsawan seperti semula.
(Selesai)
Sumber : Sejarah
Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 9)
Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 9)
1. Pangeran Antasari dan Kerajaan Muning
Pangeran
Antasari adalah seorang putera hasil perkawinan antara Pangeran Masohut
dengan Gusti Hadijah puteri Sultan Suleman. Kakeknya adalah Pangeran
Amir yang dibuang ke Srilangka akibat dari pertentangan antara Pangeran
Amir yang ingin mengambil hak atas tahta yang sah dengan pihak Sultan
Nata Alam. Dengan bantuan Belanda, Pangeran Amir dikalahkan dan
mengalami nasib dalam pembuangan ke Srilangka (1787). Kematian Sultan
Muhammad Aliuddin Aminullah yang bergelar Ratu Anom (1759-1761) pada
saat Pangeran Amir salah seorang puteranya masih belum dewasa. Pangeran
Amir berserta saudara-saudaranya Pangeran Abdullah dan Pangeran Rahmat
ditinggalkan orang tuanya dalam status belum dewasa. Sesuai dengan tata
aturan kerajaan saat itu pemerintahan dipegang oleh Wali Sultan oleh
pamannya Pangeran Nata Alam. Ambisi untuk merebut kekuasaan dari
keturunan yang sah menyebabkan ketiga bersaudara putera-putera Sultan
Muhammad Aliuddin tersingkir. Untuk merukunkan kedua pihak keluarga ini
dilakukan oleh Sultan Suleman dengan cara mengawinkan puterinya dengan
Pangeran Masohut anak dari Pangeran Amir. Pangeran Masohut juga
dijadikan anggota dari Dewan Mahkota yang berfungsi sebagai Dewan
Penasihat terhadap Sultan. Disamping itu juga Pangeran Masohut diikut
sertakan dalam berbagai kegiatan politik seperti ikut menanda tangani
beberapa perjanjian politik dengan pihak Belanda. Selanjutnya Sultan
Suleman mengawinkan cucunya Sultan Muda Abdurrahman dengan Ratu Antasari
adik dari Pangeran Antasari. Sultan Muda Abdurrahman adalah putera
mahkota, calon sultan kalau nanti Sultan Adam meninggal. Seandainya Ratu
Antasari ini panjang umurnya, maka generasi yang sah dari keturunan
Sultan Kuning atau Sultan Hamidullah akan berlanjut kembali, tetapi
kenyataannya berbeda karena Ratu Antasari lebih dahulu meninggal sebelum
memberi keturunan. Pangeran Antasari tinggal di kampung Antasan Senor
Martapura. Dia adalah seorang sederhana yang tidak terpandang sebagai
layaknya seorang bangsawan. Sebagai bangsawan yang tidak dikenal dia
hanya memiliki tanah lungguh (apanage) di daerah Mangkauk sampai
daerah Wilah dekat Rantau yang berpenghasilan hanya f.400 setahun.
Penghasilan ini tidak mencukupi keluarganya sebagaimana seorang
bangsawan saat itu. Ia dianggap sebagai orang yang tidak mempunyai
kemampuan apa-apa tanpa penonjolan sifat-sifat yang menunjukkan ia
seorang pemimpin, hidup terlupakan ditengah-tengah rakyat biasa dan saat
itu telah berumur sekitar 50 tahun. Tetapi pada saat yang paling
menentukan,saat situasi sewenang-wenang, campur tangan Belanda yang
menodai tradisi, serta masuknya budaya barat yang merusak norma-norma
agama Islam, ternyata Pangeran Antasari adalah seorang tokoh yang paling
diharapkan. Dia ternyata seorang ahli siasat dan strategi, kecerdasan
otak yang tinggi dan memiliki keberanian yang tinggi dan memiliki
keberanian yang mengagumkan. Gerakan Muning yang muncul kemudian erat
sekali dengan kepemimpinannya dan Pangeran Antasari pula yang memberi
semangat patriotisme untuk mengusir penjajah Belanda yang mencampuri
urusan dalam Kerajaan Banjar. Gerakan Muning muncul di daerah Banua
Ampat di kampung Kumbayau dekat Lawahan sekarang. Daerah Muning terdapat
sepanjang Sungai Muning dan induk sungainya bermuara di Sungai Negara
atau Sungai Bahan. Sungai Tapin yang ada sekarang saat itu belum
dikenal. Selain Banua Lima, maka daerah Banua Ampat ini merupakan gudang
padi Kerajaan Banjar. Daerah ini, merupakan daerah rawa daerah aliran
pasang surut. Rakyatnya hidup dari hasil sawah disamping mencari ikan
air tawar. Daerah Muning pada mulanya adalah tanah lungguh apanase yang
dimiliki Pangeran Prabu Anom putera Sultan Adam tetapi setelah Pangeran
ini dibuang ke Jawa, daerah Muning dirampas oleh Sultan Tamjidillah. Di
daerah yang berawa-rawa inilah terletak kampung Kumbayau yang saat itu
hanya terdiri kurang lebih 23 buah rumah. Disalah sebuah rumah tersebut
tinggalah seorang tua yang bernama Aling. Pada masa mudanya Aling
merupakan perampok sungai yang paling ditakuti. Namun sekarang dia telah
tobat, menjalankan amal kebaikan dan menjadi seorang yang saleh dan
taat pada ajaran agama Islam. Akhirnya dia dikenal karena kesalehannya.
Ketika Belanda melantik Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan kerajaan,
Pangeran Antasari meminta kepada Aling yang saleh itu untuk melakukan
tapa dan mohon kepada Allah SWT agar diberi petunjuk apa yang akan
terjadi dan bagaimana harus berbuat menghadapi Kerajaan yang tidak
menentu itu. Sejak itu Aling melakukan tapa dengan berpuasa, berzikir,
dan shalat terus menerus agar diberi petunjuk oleh Allah Yang Maha
Kuasa, selama 9 bulan, 9 hari. Khalwat atau tapa ini dimulai sejak akhir
bulan April 1858 dan berakhir pada awal Februari 1859. Aling dalam
melakukan shalat dan zikir tersebut dengan menggunakan 5 buah mata uang
yang sama besarnya dan nilainya dan dipindah-pindahkannya antara kedua
tangannya berganti-ganti. Pada 10 Rajab 1275 Hijriah atau 2 Februari
1859 Aling menerima petunjuk dengan mendengar suara yang tidak diketahui
dari mana datangnya. Ceritera tentang Aling diinformasikan oleh anaknya
Sambang kepada Residen J.J. Meijer yang waktu itu menjadi Residen di
Banjarmasin. Suara itu berbunyi dalam bahasa Banjar sebagai berikut : “Ikam
nang baamal dengan kesukaan aku, akan parmintaan ikam mandapat nagri
dan pagustianikam batatap, kardjaakan, barbunyian, mau raja-raja gaib
manolong ikam, sakira-kira jadi salamat nagri dan rajapun tatap. Tatapi
Pangeran Antasari ikam aturi ka Muning”.140 Dalam bahasa Indonesia berarti : “Engkau
yang melakukan amalan zikir, Shalat serta puasa dengan kesukaan atau
izinku, akan segala permintaan engkau untuk mendapat negeri dan
raja-raja yang bertahta, bunyikanlah bunyi-bunyian. Anakmu yang bisa
menari gandut, suruh menarikan gandut dilaksanakan, maka raja-raja gaib
akan menolong kamu, sehingga menjadi selamatlah negeri, dan rajapun akan
duduk di atas tahta. Tetapi Pangeran Antasari kamu mohon datang ke
Muning”. 141
140 J.J. Meijer, Voor
Beratib Jaren te Bandjermasin, Iets Over Panembahan Moeda, Sultan
Kuning en Goesti Kasran, Figuren Uit Den Bandjermasinchen Opstand 1859, I.G. Tijrib I, 1899, hal. 66-67. 141 M. Idwar Saleh, Pangeran Antasari dan Gerakan Muning, dalam Kalimantan Scientiae, No. 17 Th. VII, Januari 1988, hal. 29.
Perintah
dari suara halus itupun segera dilaksanakan. Bunyi-bunyian dengan
tarian gandut dilaksanakan pula. Pada tanggal 13 Rajab 1275 atau 17
Pebdruari 1859, anak Aling yang perempuan bernama Saranti kesurupan.
Dalam keadaan kesurupan itu Saranti mengaku sebagai Puteri Junjung Buih,
yaitu Ratu Mitos dalam periode Negara Dipa. Dia mengeluarkan suara : “Apakah
ayahnya ingin anaknya selamat atau mati. Kalau ayahnya ingin supaya
anaknya selamat, kawinkanlah dia dengan Dulasa, sebab dia akan dijadikan
Ratu Junjung Buih dan suaminya akan menjadi Pangeran Suryanata”. Puteri
Junjung Buih dan Pangeran Suryanata adalah pasangan Raja dan Ratu pada
periode Negara Dipa, cakal bakal dari raja-raja Banjar. Perintah ini
segera dilaksanakan. Saranti dikawinkan dengan Dulasa dan dijadikanlah
sebagai Puteri Junjung Buih dan suaminya menjadi Pangeran Suryanata.
Maka terbentuklah “Kerajaan Muning”. Selanjutnya Ratu mengorganisir pemerintahan “Kerajaan Muning”. Ayahnya
Aling diangkat dengan Gelar Panambahan Muda, kakaknya yang paling tua
yang bernama Sambang mendapat gelar Sultan Kuning. Sultan Kuning adalah
gelar dari Sultan Hamidullah. Raja Banjar abad ke- 17 dan periode Sultan
ini dikenal sebagai masa yang paling aman, dan kemakmuran meningkat,
disamping itu Sultan Kuning adalah nenek moyang garis keturunan yang sah
dalam tradisi raja-raja Banjar, dan Muning dari Pangeran Antasari.
Saudara perempuan Saranti yang tertua bernama Nuriman diberi gelar Ratu
Keramat sedangkan suami Nuriman diberi gelar Khalifah Rasul. Anak
laki-laki Aling yang kedua bernama Usang diberi gelar Kindu Mui, yaitu
nama salah seorang Mantri yang terkenal dalam pemerintahan Ratu Anum
dalam Keraton Negara Daha. Saudara sepupunya yang laki-laki diberi gelar
Pangeran Mangkubumi Kesuma Wijaya, sedangkan sepupunya yang perempuan
diberi gelar Siti Fatimah. Ratu Puteri Junjung Buih juga mengangkat
empat orang Mantri baru dengan gelar-gelar yang dikenal pada masa
Keraton Negara Daha, Pangaruntun Manau, Pangaruntun Waluh, Panimba
Sagara dan Pambalah Batung. Selain itu ada lagi Mantri yang bergelar :
Mindu Aji, Kindu Sara dan Bayan Sampit.
Sebagai Panglima ditunjuk Panglima Sijuntai Langit dan wakilnya Siti Fatimah. Kemudian desa Kumbayau diganti menjadi Tambai Mekkah atau Serambi Mekkah. Setelah aparat kerajaan terbentuk dan semua Mantri sudah lengkap dari “Kerajaan Muning”, maka
Panambahan Datu Aling mengibarkan dua buah bendera kuning dan memakai
sebuah payung kuning kebesaran. Panambahan Muda Datu Aling dikenal
sebagai orang yang seringkali dimasuki muakal dan pengikutnya menyebutnya sebagai “Raja Keramat”. Datu
Aling telah dikirim Tuhan untuk menyelamatkan Kerajaan Banjar dari
ketidakadilan dan kemungkaran, dan akan menyerahkan tahta kerajaan
Banjar kepada yang berhak. Tugas ini harus dilaksanakan dalam waktu tiga
bulan. Setelah tugas itu selesai maka semua unsur pejabat kerajaan yang
telah dibentuk tidak berfungsi lagi dan mereka kembali menjadi orang
Kumbayau seperti semula. Dalam proses penyerahan tahta ini menurut Datu
Aling, Orang Belanda tidak perlu dibunuh sebab mereka nantinya akan
keluar dari Kerajaan Banjar dengan sendirinya. Keluarga “kerajaan” ini
memang memperlihatkan kesaktiannya, sehingga dengan cepat dikenal oleh
seluruh desa dan bahkan desa-desa yang jauhpun ikut mengatur sembah ke
Kumbayau. Ratu Keramat mengancam kepada mereka yang tidak mau tunduk
kepada perintah “Kerajaan” akan ditimpa penyakit kuning dan
marabahaya, terutama penyakit kena wisa. Tuhan telah memberi kekuatan
pada Datu Aling, sehingga dapat menguasai hidup dan mati orang, dan bagi
mereka yang menjadi pengikutnya akan menjadi kebal tubuhnya. Begitu
pula Tuhan memberikan tenaga gaib kepada Puteri Junjung Buih yang dapat
menghidupkan kembali orang yang mati dengan menyentuh jakunnya. Orang
yang telah dihidupkan kembali ini adalan Muna, Andin, Lanting, dan
Belakup. Untuk melengkapi sarana ibadah, Datu Aling yang juga bergelar
Raja Keramat memerintahkan mencari sebidang tanah untuk mendirikan
sebuah masjid. Tanah yang telah dipilih untuk dijadikan lokasi masjid
itu adalah sangat suci dan dapat dijadikan untuk keperluan sesuai dengan
tujuan yang diinginkan, umpama dijadikan jimat. Pembukaan masjid akan
dilakukan pada tanggal 1 Ramadhan atau 04 April 1859 dan akan diresmikan
oleh Raja Keramat sendiri.
Berita
tentang Kerajaan Muning ini tersebar luas dalam waktu yang singkat dan
hampir semua desa dalam daerah Banua Ampat bahkan Di luar Banua Ampat
juga mengakui kekuasaan Kerajaan Muning, antara lain : Banua Gadung, Banua Atas, Rantau, Banua Padang, Batang Hulu, Kandangan, Jambu, Amandit, Bamban dan Pangambau.
Daerah-daerah ini memberi upeti kepada Kerajaan Muning dan mengatur
sembah kepada Raja Keramat. Raja Keramat melarang kepada semua rakyat
membayar pajak kepada Sultan Tamjid. Dalam tahun 1858 hasil padi dari
pertanian rakyat sangat baik, sehingga rakyat merasa kehidupannya
tenteram tidak terganggu dengan masalah makan. Saat itu harga beras juga
murah hanya f.4 untuk 100 gantang dan satu gantang garam bisa ditukar
dengan lima
gantang beras. Dengan demikian tentang masalah kehidupan rakyat tidak
terganggu khususnya di daerah Muning dan sekitarnya, akan tetapi rasa
tidak puas terhadap pemerintahan Sultan Tamjid semakin meningkat dan
dalam diri rakyat timbul gejala untuk memberontak. Situasi seperti ini
diketahui oleh Residen dan Residen pada 2 April 1859 mengutus jaksa
kepala Pangeran Suryawinata dan Penghulu Kepala Pangeran Muhammad Seman
pergi ke Muning untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Utusan ini diikuti oleh 120 orang pengikut dan beberapa diantaranya
orang Haji. Sultan Kuning menunggu tamunya 700 orang pengikut sebagian
besar dengan senjata terhunus. Kedua Pangeran utusan Residen Belanda itu
harus merelakan kedua pengawalnya yang membawa tombak untuk menyembah
kepada Sultan Kuning. Kemudian terjadi dialog antara Sultan Kuning
dengan Pangeran Suryawinata, Sultan Kuning berkata : “Apakah kalian orang Eropah (Orang kafir) dan apa tujuan kesini, tujuan baik atau tujuan jahat?” Kedua
utusan Residen itu menjawab bahwa mereka Orang Islam dan tujuan kesini
untuk menemui Panambahan Muda Datu Aling. Sultan Kuning mengantarkan
utusan ke tempat tinggal Panambahan Muda Datu Aling.di tengah perjalanan
terjadilah insiden kecil. Wakil Panglima pasukan Kerajaan Muning Siti
Fatimah mencoba merampas senapan pengawal utusan, terjadilah pergumulan
perebutan senjata itu.
Pangeran
Suryawinata sudah mencabut keris, untung akhirnya dapat diselesaikan
secara damai. Pengikut Panambahan Datu Aling makin bertambah besar dan
bertambah kuat karena semua rakyat datang mengatur sembah kepadanya.
Dulasa yang bergelar Pangeran Suryanata setiap hari menerima sembah dari
seluruh rakyat yang datang. Dulasa suami Saranti atau suami Puteri
Junjung Buih, merasa dirinya tidak pantas mendapat peghormatan tinggi
dari semua orang, dia adalah orang desa yang terbiasa sebagai orang
kecil. Perasaan ini pada suatu hari mencapai puncaknya dan akhirnya dia
lari dari lingkungan yang penuh penghormatan lari ke daerah tambang batu
bara Oranje Nassau di Pengaron. Kalau kita memperhatikan unsur-unsur
yang mendominasi gerakan Muning ini maka jelas bahwa Gerakan Muning ini
termasuk Gerakan Nativistis.
Unsur-unsur nativisme ini dapat diketahui dari hal-hal berikut :
a. Gerakan ini berusaha untuk memperbaiki adat lama kerajaan dan segala kebiasaan sebagai kebudayaan kerajaan asal Banjar.
b. Menghapuskan segala dominasi Barat yang masuk, baik politis, ekonomis, dan kultural.
c. Pemerintahan harus dipegang oleh dinasti lama, dan diberikan kepada keturunan yang berhak.
d. Pemerintahan yang sekarang dipandang sebagai pemerintah dominasi Belanda.
Gerakan
ini sangat diwarnai oleh unsur-unsur magis, pemujaan nenek moyang,
kultus kekebalan dan sebagainya. Gerakan ini juga bersifat messianistis, karena Datu Aling sebagai orang yang diutus Tuhan bertugas untuk memperbaiki ketidak adilan. Akan tetapi Datu Aling bukanlah messias yang
ditunggu atau sebagai Ratu Adil yang dinanti-nantikan. Keinginan
seperti suasana dinasti lama rupanya berhubungan langsung dengan
harapan, keadilan, keamanan, dan kemakmuran seperti terdapat dalam
periode Sultan Kuning dalam abad ke- 17. Unsur-unsur agama Islam juga
mendominasi dalam Faham yang timbul dari gerakan ini, seperti pergantian
nama Kumbayau dengan Tambai Mekkah atau Serambi Mekkah. Nama Serambi Mekkah mengandung
anggapan bahwa desa ini adalah desa yang suci. Pimpinan gerakan ini
adalah Datu Aling yang dikenal sebagai orang saleh, melakukan ibadah
Shalat, puasa, dan berzikir dan memimpin kegiatan di masjid yang
dibangunnya. Ajaran Islam yang mempengaruhinya adalah ajaran bahwa
perang menghadapi Orang Belanda adalah perang melawan Orang kafir dan
mati dalam perang itu adalah mati syahid. Mati syahid adalah sorga
balasannya dan perangnya adalah perang sabil.
Jadi Gerakan Muning ini ada dua faktor yang mempengaruhinya yaitu :
a. Faktor Mitos yang bersifat historis-legendaris dan
b. Faktor agama Islam yang keduanya saling mengisi.
Suatu
petunjuk dari suara gaib memberitahu kepada Datu Aling bahwa Datu Aling
harus memohon kepada Pangeran Antasari untuk datang ke Muning. Berita
ini disampaikan Lurah Kitting kepada Pangeran Antasari pada sekitar
bulan Maret 1859, meskipun tidak jelas apakah Lurah Kitting utusan dari
Datu Aling. Situasi yang menghangat ini akhirnya Residen memerintahkan
kepada Sultan dan Mangkubumi Nata Pangeran Hidayat untuk memeriksa soal
Muning. Mangkubumi Nata Pangeran Hidayat mengutus Pangeran Antasari,
Pangeran Jantera Kusuma, Pangeran Syarif Umar beserta 10 orang
pengikutnya ke Muning. Ketika rombongan sampai di Tambai Mekkah
terjadilah pembicaraan empat mata antara Pangeran Antasari dengan
Panambahan Muda Datu Aling. Dalam pembicaraan itu Pangeran Antasari akan
mengawinkan anaknya Gusti Muhammad Said dengan Saranti puteri Datu
Aling, inkarnasi Puteri Junjung Buih dengan mahar 4 ringgit. Perkawinan
itu terjadi tanpa kehadiran Gusti Muhammad Said. Dengan terjadinya
perkawinan ini, resmilah Datuk Aling dan keluarganya masuk keluarga
raja-raja Banjar dan tak seorangpun petugas Sultan berani untuk
menangkapnya. Pengaruh dari hak legitimasi kerajaan ini sangat besar dan
sangat ditakuti oleh rakyat biasa. Dengan Muning sebagai pusat kegiatan
dan pengumpulan kekuatan, Pangeran Antasari bekerjasama dengan
Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja yang merupakan wakil
Mangkubumi Pangeran Hidayat di Banua Lima pengaruhnya sangat luas.
Penduduk Tanah Laut dan Tumenggung Surapati dari Dusun Atas, serta
kepala-kepala dusun yang berpengaruh memperkuat kesatuan dan persiapan
untuk suatu perang besar.
Anak
buah Pangeran Antasari dan Tumenggung Jalil mengusir semua pegawai
Sultan yang menduduki posisi tempat penerimaan pajak dan cukai di
Martapura, serta menahan pengiriman beras dan makanan lainnya ke
Banjarmasin, Pangeran Antasari kemudian memaklumkan kepada semua rakyat
bahwa pajak dipungut atas nama Mangkubumi Nata Pangeran Hidayat.
Pangeran Hidayat memerintah atas wasiat Sultan Adam dan sebagai Kepala
Agama. Ketika Pangeran Antasari dan Panambahan Muda Datu Aling bertemu
kembali di Tambarangan 30 hari kemudian, Pangeran Antasari berkeyakinan
bahwa tanpa perkawinan politikpun sebetulnya rencana perang besar sudah
matang dan akan segera meletus. Pangeran Antasari telah menjadikan
Gerakan Muning yang mulanya sebagai gerakan lokal di Banua Ampat menjadi
sebuah gerakan regional di daerah kekuasaan Sultan dan daerah yang
dikuasai Belanda. Gerakan Muning ternyata dapat mengobarkan nyala
pemberontakan di seluruh daerah Kerajaan dengan Pangeran Antasari
sebagai pimpinan tertinggi dari semua kegiatan menghadapi Belanda yang
mendukung pemerintahan Sultan. Pada tanggal 6 April 1859 Mangkubumi
mendapat surat dari Sultan dengan cap dan tandatangan Sultan Tamjid.
Surat itu bersifat perintah kepada Kiai Bagus dan Kiai Kartawinata agar
pengikutnya lebih banyak membuat kekacauan di Muning seperti yang ia
lakukan beserta Kiai Dipati melakukan sebelumnya. Segala kekacauan yang
timbul sebagai rekayasa Sultan itu, seakan-akan Mangkubumi sebagai
penyebabnya. Dalam bulan Maret 1859 sebetulnya Sultan sudah panik dengan
siasatnya. Atas nasihat Residen Sultan disarankan untuk menempati
istananya di Keraton Bumi Selamat di Martapura, agar dia berada di
tengah-tengah rakyatnya dan mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sebelum
berangkat ke Martapura Sultan meminta kepada Residen bantuan
persenjataan sesuai dengan perjanjian tahun 1826 berupa : 2 pucuk
meriam, peluru selengkapnya, 40 senapan, 4 tong mesiu serta sebuah kapal
jaga di muka keraton di Martapura. Semua permintaan itu ditolak
Residen, karena dianggap belum perlu, dan juga tidak dengan cara
demonstratif memusuhi rakyatnya sendiri. Selama sepuluh hari di
Martapura, Sultan kelihatan bertambah panik. Di muka istana diperkuatnya
dengan 500 pasukan bersenjata dan dipasangnya sebuah meriam. Untuk
menenangkan pikirannya dia menghabiskan beberapa peti cognac sehingga
raja peminum itu makin dibenci rakyatnya yang taat pada ajaran agama
Islam. Selama di Martapura Sultan memanggil Pangeran Antasari dan
mempertanggungjawabkan missinya ke Muning, dengan ancaman hukuman berat
kalau tidak diindahkan. Perintah itu tidak dihiraukan Pangeran Antasari.
Selanjutnya Sultan memerintahkan agar Mangkubumi berangkat ke Muning
dan menentramkan keadaan. Pada tanggal 4 April 1859 Mangkubumi berangkat
ke Banjarmasin dan melaporkan pada Residen bahwa tugas ke Muning tidak
dapat dilaksanakan, berhubung bulan puasa. Dalam bulan suci Ramadhan ini
orang hanya mengkhususkan beribadah menjalankan puasa dan menghindarkan
diri dari pekerajaan dunia yang tidak berguna. Akibatnya usaha untuk
mengamankan Banua Lima dan Banua Ampat gagal. Sementara itu di Banua
Lima dan Banua Ampat terjadi pengumpulan kekuatan dan kebencian terhadap
Belanda sudah mencapai puncaknya. Sementara Mangkubumi di Banjarmasin,
pada tanggal 4 April1859 itu, adik Sultan Pangeran Adipati Aria Kasuma
datang membawa surat Sultan memohon bantuan dengan dasar Pasal 13
Kontrak 1826. Ini adalah permintaan yang kedua kalinya. Permintaan yang
kedua ini diajukan Sultan dengan dasar laporan dari Kiai Gangga Suta
tentang rencana penyerbuan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau oleh
Pangeran Antasari dengan kekuatan 3.000 orang prajurit. Bila Pengaron
jatuh serbuan diarahkan ke Martapura. Permintaan inipun tidak disetujui
Residen. Residen hanya memberi nasihat pada Sultan agar kembali ke
Banjarmasin, sebab di Martapura bagi Sultan tidak aman, Permintaan
bantuan ini tetap tidak dikabulkan Belanda, hanya Residen meminta
nasihat pada Mangkubumi bagaimana mangatasi keadaan yang gawat ini.
Pada
tanggal 6 April 1859 Mangkubumi memberi jawaban pada Residen tentang
usaha yang harus ditempuh untuk mengatasi keadaan yaitu, jika :
a. Mangkubumi diperintah dari Residen untuk menyelidiki kekacauan,
b. Mangkubumi
dapat memberi jaminan kepada rakyat Martapura dan seluruh kerajaan,
bahwa segala keluhan dan keberatan-keberatan mereka akan didengarkan
serta keinginan-keinginan mereka dipertimbangkan dengan adil dan
bijaksana.
c. Dari
Sultan ia mendapat pernyataan yang tuntas bahwa hanya Mangkubumi semata
yang bertanggung jawab atas kekuasaan eksekutif, diperkuat dengan
persetujuan dan tanda tangan Residen.
142
Situasi dalam bulan April 1859 merupakan kondisi politik yang makin
memanas, gambaran suasana perang sudah diambang pintu, hanya menunggu
saat yang tepat. Keadaan wilayah sangat kritis. Tokoh-tokoh dan
pemimpin-pemimpin rakyat menunjukkan gejala kewaspadaannya yang cukup
tinggi. Tumenggung Surapati tokoh pimpinan Dusun Atas dari kelompok
Dayak, Pangeran Kasuma yang diangkat menjadi Sultan Kerajaan Pasir,
rakyat Marabahan memihak pada gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh
Pangeran Antasari. Pengikut Pangeran Antasari semakin hari semakin
bertambah besar dan menjadi 6.000 orang banyaknya. Pangeran Ahmid
saudara Sultan Adam dan kakek dari Pangeran Hidayatullah juga merupakan
tokoh yang sangat menentang Sultan Tamjidillah. Pangeran ini dengan
tergesa-gesa pergi dari Banjarmasin ke Martapura memberi kabar bahwa
Belanda akan menangkap Mangkubumi bila dia ke Banjarmasin. Dengan berita
ini Mangkubumi tidak pergi ke Banjarmasin hanya menulis surat pada
Residen bahwa dia keberatan pergi ke Banua Lima untuk menyelesaikan
kekacauan di sana. Surat itu ditulisnya pada tanggal 18 April 1859. Pada
tanggal 18 April 1859 Pangeran Aminullah bertemu dengan Residen dan
Pangeran ini berhasil meyakinkan Residen bahwa situasi dapat
diselesaikan asal Residen mengirim dia ke Martapura untuk
menyelesaikannya. Salah satu cara yang akan dilakukan Pangeran
Aminullah, membujuk para pimpinan-pimpinan dan tetuha-tetuha rakyat
dengan hadiah-hadiah asal Residen bersedia memberinya uang sebesar
F.5.000,- Uang sebesar itu akan digunakan untuk menyenangkan hati para
tetuha masyarakat itu, agar mereka dapat ditarik berpihak pada Sultan.
Residen juga menugaskan pada Pangeran Aminullah agar Pangeran ini
berusaha menangkap Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja. Tugas ini disampaikan oleh Commies van Volden.
142 M. Idwar Saleh, “Papper…, op.cit., hal. 43.
Selanjutnya Pangeran Aminullah memberi nasihat pada Commies van Volden sebagai berikut :
a. Bahwa seluruh lapisan rakyat membenci pada Sultan yang peminum dan pemabuk itu.
b. Ia menginginkan dikirimkannya utusan ke Muning untuk menghalangi usaha Datu Aling memperbesar pengikutnya.
c. Ia
sangat tidak setuju kalau jaksa sebagai pegawai Belanda dikirim kesana,
karena hal itu berarti campur tangan Belanda terhadap urusan Kerajaan.
d. Pangeran
juga menasihatkan agar Residen meminta bantuan serdadu ke Jawa sebab
dalam bulan Mei atau April mungkin akan terjadi pemberontakan besar
untuk menurunkan Sultan Tamjidillah, serta mengangkat Pangeran Hidayat
sebagai penggantinya.
143
Pada tanggal 20 April 1859 Pangeran Aminullah ke Martapura melaksanakan
tugas yang dibebankan Residen kepadanya. Tetapi setelah sampai di
Martapura Pangeran ini bukan menjalankan tugas yang dibebankan Residen,
melainkan menyelesaikan rencana terakhir rencana pemberontakan besar dan
pemusnahan tambang batu bara Kalangan. Pada tanggal yang sama di Banjar
tertangkap dua orang cucu Kiai Adipati Anom Dinding Raja. Kedua orang
ini telah menjumpai Mangkubumi di rumahnya di Antalanggu. Mereka
menerima surat dari Mangkubumi yang ditujukan kepada Kiai Adipati Anom
Dinding Raja, menugaskan pada Kiai Adipati untuk membawa turun 2.000
orang prajurit dari Batang Balangan dan Tabalong ke Martapura. Di
samping itu Pangeran Antasari dengan pasukan dari Muning telah berkumpul
dan siap siaga di sekitar Gunung Pamaton. Tanggal 28 April 1859 tambang
batu bara “Oranje Nassau” dikepung, maka dengan demikian pecahlah Perang Banjar.
4. Perang Banjar Meletus
143 M. Idwar Saleh, ibid., hal. 47.
Pada
bulan September 1858 Pangeran Aminullah telah mengirim utusan dan surat
menyurat dengan tokoh-tokoh suku di Banjar di daerah kerajaan
Kalimantan Barat. Salah satu diantara surat itu jatuh ke tangan Belanda.
Surat berbunyi, memanggil orang-orang Banjar yang berada di luar
Kerajaan Banjar untuk pulang ke negeri Banjar untuk ikut membantu perang
sabil menentang pemerintahan Belanda dan Sultan Tamjidillah. Pada awal
tahun 1859 berita itu tersebar luas dan diketahui oleh pemerintah
Belanda di Batavia. Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan
Pemerintah Belanda mengirim Kapal perang “Arjuna” lengkap dengan
persenjataannya ke Banjarmasin, dan tiba di Banjarmasin pada tanggal 2
Februari 1859. Residen E.P. Graaf van Bentheim Teeklenburg Rhede
berpendapat bahwa situasi tidak ada yang mengkhawatirkan, karena itu
tiga hari kemudian kapal perang Arjuna di kembalikan ke Batavia. Residen
berpendapat bahwa pertentangan yang ada semata-mata pertentangan dalam
keluarga Sultan. Residen telah berusaha mengatasi masalah ini dan telah
berhasil merukunkan kedua keluarga itu dengan cara mengawinkan putera
Pangeran Hidayat dengan Puteri Bulan. Residen menganggap pertentangan
telah selesai dan situasi telah normal kembali, itulah sebabnya kapal
perang Arjuna dikembalikan. Setelah beberapa hari kemudian. Residen
menerima laporan dari Administrator tambang batu bara Oranje Nassau,
bahwa telah berkumpul 4.000 orang untuk mengangkat Sultan yang baru di
Muning atau di Gunung Pamaton. Pengangkatan Sultan baru itu akan
dilaksanakan pada ke 14 hari puasa atau 17 April 1859. Residen juga
memperoleh laporan dari Kiai Gangga, bahwa Pangeran Hidayat telah
menerima pernyataan Nyai Ratu Komala Sari, isteri Sultan Adam, yanng
bunyinya mempercayakan sepenuhnya Kerajaan Banjar pada Pangeran Hidayat,
karena pengangkatan Sultan Tamjid bertentangan dengan keinginan
keluarga. Pangeran Hidayat beberapa kali mengadakan rapat keluarga.
Dalam rapat itu dijelaskan bahwa Gerakan Muning perlu dihubungi, dan
Pangeran Antasari ditugaskan untuk melaksanakannya. Pangeran Antasari
diberi kepercayaan oleh Mangkubumi Pangeran Hidayat untuk menjalin
kerjasama dengan Sultan Kuning dan Gerakan Muningnya, sedangkan Jalil
Kiai Adipati Anom Dinding Raja diberi kepercayaan atas pemerintahan
Banua Lima. Pangeran Hidayat juga telah melakukan kegiatan mengumpulkan
para tetuha masyarakat di Mangkauk dan Kalangan agar rakyat mengerti
perjuangan yang dihadapi. Pangeran Hidayat telah berhasil mengumpulkan
kekuatan dari tiga komponen pimpinan masyarakat. Sultan Kuning seorang
tokoh elite kultural, Pangeran Antasari seorang tokoh elite aristokratis
sedangkan Tumenggung Jalil, Kiai Adipati Anom Dinding Raja adalah elite
birokratis. 144Dalam perkembangannya masing-masing gerakan itu berdiri
sendiri-sendiri, sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah
masing-masing. Tetapi gerakan sosial itu dapat digerakkan secara bersama
dengan membangkitkan sentimen yang paling sensitif dan mengarahkan pada
tujuan yang sama. Sentimen yang paling sensitif itu ialah sentimen
agama, bahwa perang menghadapi orang kafir adalah perang sabil, perang
suci, dan berjihad di jalan Allah berperang melawan orang kafir
(Belanda) adalah berjuang di jalan Allah. Mati dalam membela agama
melawan orang kafir (Belanda) adalah mati syahid. Mati syahid balasanya
hanya sorga. Tujuan perang mengusir Belanda dan menggantikan
pemerintahan yang ada (Sultan Tamjid) dengan pemerintahan yang berhak.
Disamping itu kerjasama ketiga pimpinan ini adalah kerjasama yang saling
menguntungkan. Pangeran Antasari sebagai seorang bangsawan yang
dilupakan, hidup sederhana di tengah-tengah masyarakat kaum jaba.
Berkepribadian luhur muncul sebagai pimpinan yang ditakuti Belanda dan
ditaati perintahnya oleh suku Banjar dan Dayak. Sultan Kuning pimpinan
Gerakan Muning yang sedang termasyhur dengan pengikut yang banyak
mempunyai semangat juang yang tidak kenal menyerah, merasa beruntung
dapat bekerjasama dengan Pangeran Antasari. Kerjasama ini dapat
mengangkat wibawa dan kharismanya sebagai pimpinan tradisional yang
baru. Pangeran Antasari juga merasa beruntung dapat bekerjasama dengan
Pangeran Kuning, karena pengikut Gerakan Muning dapat digerakkan untuk
mencapai tujuan bersama, mengusir Belanda dan mengganti pemerintahan
Sultan Tamjidillah.
144 Tamny Ruslan, op.cit., hal. 84.
Bergabungnya
Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja karena Jalil berada di
pihak Mangkubumi Pangeran Hidayat, untuk bersama-sama melancarkan
serangan terhadap Belanda dan menggantikan Sultan Tamjidillah. Dengan
meningkatnya pergolakan rakyat Banjar, akhirnya Belanda menyadari akan
bahaya yang akan menimpa. Usaha Belanda dengan melalui Mangkubumi
Pangeran Hidayat, ternyata juga gagal, karena Pangeran Hidayat
sebetulnya berpihak pada rakyat. Salah satu usaha Belanda untuk
menyelesaikan masalah adalah dengan mendatangkan bantuan dari Jawa.
Kolonel Andresen memimpin bantuan dan langsung mengambil alih
pemerintahan Residen Beinthein yang dianggap terlalu lemah dalan
menjalankan tugasnya. Pengaruh golongan ulama sangat besar dalam
membangkitkan semangat berjuang menghadapi Belanda sebagai berjihad di
jalan Allah. Seluruh rakyat taat pada petuah kaum ulama, bahwa perang
menghadapi Belanda adalah perang suci. Kefanatikan terhadap agama Islam
ini menjadikan orang tidak takut mati. Para ulama memberikan doa-doa
untuk keselamatan, jimat-jimat pelindung dari bahaya, dan para ulama
bersatu menghadapi orang kafir (Belanda). Kemana pun para ulama ini
pergi mereka diterima oleh rakyat, dan mereka mengerjakan shalat
berjamaah. Selanjutnya para ulama ini memberikan doa-doa, syair memuji
Allah dan ungkapan-ungkapan yang memberi semangat juang. Mereka selalu
mengadakan shalat berjamaah, berzikir, berdoa yang akhirnya menimbulkan
semangat juang dan keberanian yang mengagumkan. Mereka para pengikut
yang akan berjihad fisabilillah ini berpakaian kuning dan putih,
memakai jimat ditutup kepala, dengan parang bungkul dan tombak yang
tajam. Disamping melakukan, shalat, berpuasa, berzikir dan berdoa,
mereka juga melakukan latihan perang-perangan. Dengan mata tajam, mereka
berdiri di depan bayonet dan di medan pertempuran dengan tombak yang
panjang. Hanyalah kematian yang dapat menahan semangat juang mereka.145
145 Gids, De Bandjarmasinsche: Oorlog tot de Indische Kijgeschedenis, 1866, hal. 278, terjemahan Tunjung, “Perang Banjarmasin”.
Inilah
gambaran Gerakan Muning dalam membangkitkan semangat juang menghadapi
orang kafir (Belanda) menjelang penyerbuan terhadap benteng tambang batu
bara Oranje Nassau.
5. Penyerbuan Terhadap Benteng Oranje Nassau
Pangeran
Hidayat telah menyusun kekuatan rakyat untuk menghadapi Belanda secara
menyeluruh. Pada bulan April 1859 ia menghubungi lagi Gerakan Muning.
Gerakan Muning ini merupakan gerakan yang terbesar jumlah pengikutnya
karena itu menjadi perhatiannya. Sementara Mangkubumi Pangeran Hidayat
memperhitungkan kekuatan Belanda yang dalam bidang teknik dan
persenjataan lebih unggul, Gerakan Muning mempersiapkan latihan
perang-perangan dan kekuatan mental spiritual untuk menghadapi kekuatan
Belanda yang dalam segi teknik lebih unggul tersebut. Siasat lain yang
dipergunakan Pangeran Hidayat untuk mengimbanginya ialah dengan
menggunakan teknik perang secara menyeluruh. Sekitar bulan April 1859
yaitu pada minggu pertama, Sultan Kuning mengirim 4 orang utusan
menghadap kepada Mangkubumi Pangeran Hidayat untuk meminta izin
menyerang benteng tambang batu bara Oranje Nassau di Pengaron. Pangeran
Hidayat mengizinkannya, apa pun yang akan terjadi. Residen memperoleh
informasi ini dari Ahmad yang melaporkan pada Residen tentang kegiatan
Sultan Kuning yang merencanakan menyerang Oranje Nassau, berdasarkan
informasi dari Lurah Dadang di Marampiau. 146Untuk mengantisipasi
situasi ini Residen merasa kurang mampu. Residen hanya memiliki sebuah
garnizun dibawah pimpinan Kapten L.Uhalan. Residen Andresen berusaha
untuk memperoleh bantuan dari Jawa. Bantuan itu datang secara
bergelombang dan diantaranya ditempatkan di Pengaron serta pos-pos yang
diperkirakan dapat memperkuat pertahanan. Langkah lain yang dilakukan
Belanda ialah menangkapi tokoh-tokoh yang mencurigakan gerak geriknya
khususnya yang tinggal di Banjarmasin.
146 Tamny Ruslan, op.cit., hal. 88.
Mengalirnya
bantuan fihak Belanda, mempercepat meletusnya pertempuran. Pangeran
Hidayat memerintahkan pada Sultan Kuning dan Pangeran Antasari
mempercepat serangan terhadap benteng batu bara Oranje Nassau Pengaron.
Serangan ini diikuti oleh gerakan-gerakan sosial lainnya yang tersebar
di seluruh Kerajaan Banjar. Pada hari Kamis 24 Ramadhan 1215 H bertepatan dengan tanggal 18 April 1859 Perang Banjar, meletus.
Pada pagi hari itu sejumlah 50 orang Muning yang datang terlebih dahulu
sangat bernafsu menyerbu benteng tersebut. Serangan itu semacam
serangan pancingan dan kemudian mundur. Pada malam harinya yaitu malam
Jumat 19 April 1859, pasukan Muning yang datang kemudian telah tiba,
jumlah ribuan banyaknya. Pasukan ini bertambah besar setelah pasukan
Riam Kiwa, pimpinan Pangeran Antasari tiba. Pasukan ini sebagian dikirim
ke Martapura untuk memperkuat pertahanan di Martapura, sebagian lagi
menyerbu benteng Belanda di Kalangan dan Tabanio. Pasukan Muning dan
Riam Kiwa yang bertahan menyerbu benteng Oranje Nassau berjumlah 500
orang pasukan. Pasukan ini bertambah dengan bergabungnya 165 buruh
tambang batu bara. Pasukan Belanda yang kecil jumlahnya bertahan dalam
benteng. Di dalam pertempuran yang berlangsung beberapa hari jumlah
korban berjatuhan diantara kedua belah pihak. Usaha menyerbu benteng itu
tidak berhasil, karena itu pasukan Muning dan Riam Kiwa berusaha
mengurung benteng itu dari luar, sampai persediaan bahan makanan mereka
habis. Salah seorang Belanda yang berusaha keluar untuk pergi mencari
bantuan ke Banjarmasin, dibunuh di desa Sungai Raya. Perhitungan
ternyata meleset, sebab Belanda mampu bertahan dalam benteng sementara
menunggu bantuan datang. Sementara itu pasukan Muning yang menyerbu
benteng Belanda di Kalangan, Gunung Jabok, Sungai Durian dan Tabanio
sebagian berhasil menghancurkan kekuatan Belanda. Semua orang Belanda di
benteng Kalangan dan Tabanio dibunuh, begitu pula seorang opsir
kesehatan Diepenbroek dibunuh.147
147 Gids, op.cit., hal. 279.
Untuk
menghadapi serangan ini Pemerintah Belanda mengadakan konsolidasi. Pada
tanggal 1 Mei 1859 pemerintah sipil diganti dengan pemerintahan militer
dan dipegang oleh Kolonel Andresen. Kolonel Andresen memerintahkan
Kapten Uhalan menyerbu Martapura, sedangkan Letnan Beekman bertugas
mempertahankan pos-pos yang ada. Pangeran Antasari.148 Setelah 6 minggu
bertahan dalam benteng Oranje Nassau, bala bantuan Belanda tiba. Pada
tanggal 15 Juni datang 250 pasukan Belanda, pasukan artileri , pasukan
zeni dengan beberapa pucuk meriam untuk menolong Oranje Nassau. Kemudian
dalam bulan Juni itu pula datang 9 batalyon infantri, 43 artileri
dengan 4 pucuk meriam, 2 pucuk meriak kecil dan 2 montir. Selanjutnya
Kolonel Andresen diangkat menjadi Panglima. Mangkubumi Pangeran Hidayat
masih tinggal di Martapura dan Kolonel Andresen telah berusaha
memulihkan keadaan. Siasat yang dilakukan Andresen ialah dengan
menempatkan Pangeran Hidayat pada kedudukan yang sewajarnya sebagai
Sultan dan menurunkan Pangeran Tamjidillah. Meskipun Andresen yakin
bahwa penyerbuan terhadap kalangan dan pembunuhan terhadap 20 orang
Belanda termasuk anak-anak dan wanita adalah kesalahan dan atas perintah
Pangeran Hidayat, tetapi kesalahan itu dimaafkan demi terciptanya
ketenteraman negeri. Andresen yakin suasana akan tenteram kembali kalau
Pangeran Hidayat dijadikan Sultan, meskipun Andresen telah memperoleh 2
lembar surat perintah yang ditandatangani Pangeran Hidayat dan ditujukan
kepada kaum ulama untuk bangkit melawan Belanda. Andresen selanjutnya
mengadakan rapat-rapat dengan pimpinan-pimpinan rakyat agar mereka tidak
memihak Pangeran Antasari yang oleh Belanda dianggap sebagai
pemberontak. Andresen selanjutnya akan melaksanakan taktik dan
strateginya dengan melantik Pangeran Hidayat sebagai Sultan pada tanggal
25 Juni 1859. Penyerangan terhadap Oranje Nassau dipimpin langsung oleh
Pangeran Antasari dibantu oleh Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda
Panakawan Sultan Kuning.
148 Gids, loc.cit.
Pada
tanggal 30 April 1859 kekuatan rakyat telah berkumpul di sekitar Sungai
Durian dekat Kalangan. Penyerbuan Kalangan, Banyu Irang dan Bangkal
dilaksanakan pada 1 Mei 1859 dibawah pimpinan Pangeran Ardhi Kasuma,
paman Pangeran Hidayat. Benteng Kalangan dihancurkan dan 20 orang
Belanda yang menjadi korban diantaranya Wijnmalen direktur tanbang batu
bara Kalangan, Ir. Motley, Opzichter School Boodt dan lain-lain.
Sepasukan dari Muning yang menyerbu tambang batu bara Hermina di Sungai
Durian, dan tambang batu bara di Gunung Jabok berhasil menewaskan
pegawai Belanda yang bekerja di tambang itu. Sementara itu pasukan yang
menyerbu benteng Tabanio bersama rakyat dibawah pimpinan Haji Buyasin
telah menewaskan pejabat Gezaghebber Maurits dengan anak buahnya. Mereka
menduduki benteng Belanda yang dibangun pada tahun 1790 itu.
6. Sultan Tamjidillah Turun Tahta
Rakyat
mengangkat senjata secara serempak di seluruh Kerajaan Banjar.
Pertempuran terjadi di Martapura, Tanah Laut, Margasari, Bakumpai dan
Banua Lima. Begitu pula rakyat di Pulau Telu di sepanjang Sungai Kapuas
dibawah pimpinan Pambakal Sulil. Di Pulau Petak dalam pertempuran yang
sengit menewaskan 9 orang Belanda, 4 orang diantaranya pendeta Belanda.
Sebagai akibat dari serangan serentak ini, maka hampir seluruh kekuatan
Belanda di daerah Banjar dapat dilumpuhkan. Kaki tangan Belanda di Banua
Lima, yaitu di Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua
dibersihkan oleh Tumenggung Jalil bersama Pambakal Gapur, Duwahap,
Dulahat, dan Panghulu Abdul Gani, sehingga Belanda kehilangan jalur
komunikasi dan sulit mengetahui kekuatan rakyat. Kolonel Andresen
berusaha untuk memikat hati Pangeran Hidayat. Andresen mengutus Haji Isa
dan Pangeran Syarif Husein menemui Pangeran Hidayat. Usaha ini gagal.
Ratu Siti Ibu Pangeran Hidayat, Pangeran Citra paman Pangeran Hidayat
dan Pangeran Ardhi Kesuma, tidak setuju kalau Pangeran Hidayat memenuhi
panggilan Kolonel Andresen ke Banjarmasin. Sementara itu Kolonel
Andresen berusaha agar Pangeran Hidayat tidak melakukan kegiatan
memimpin rakyat melawan pemerintah Belanda. Untuk menekan perjuangan
rakyat Pemerintah Belanda memaklumkan keadaan perang (in Staat van Oorlog en Verzet). Pengumuman
ini diperkuat dengan datangnya kapal perang Arjuna, Celebes, Montrado,
Bone dan Van Os. Meskipun demikian semangat juang rakyat malah bertambah
tinggi dan tidak takut menghadapi musuh yang memiliki persenjataan yang
lebih baik dari mereka. Sebagai jawaban atas tekanan Belanda ini
Pangeran Antasari menempatkan 500 orang prajurit di sekitar Masjid, 250
orang di sekitar rumah Residen dan sekitar 3000 orang di sekitar Keraton
Bumi Selamat. Para pejuang ini didatangkan dari Banua Lima, Tanah Laut
atas permintaan Pangeran Hidayat pada Tumenggung Jalil dan Demang
Lehman. Usaha terakhir Kolonel Andresen dengan mengutus Penghulu
Mohammad Seman untuk mengundang Pangeran Hidayat dan Pangeran Aminullah
berunding di kapal perang Celebes sebagai usaha untuk mengatasi kemelut
yang telah terjadi. Menyadari akan hal yang mungkin akan terjadi
Pangeran Hidayat tidak bersedia datang dan dia bersama isteri, Pangeran
Antasari dan isteri, Pangeran Aminullah, Pangeran Wijaya Kesuma serta
pimpinan rakyat lainnya pergi ke Pengaron. Kolonel Andresen sangat marah
sebab siasatnya untuk menangkap Pangeran Hidayat beserta Pangeran
Aminullah telah bocor. Pada hari itu pula Andresen mengundang 80 orang
bangsawan yang ada di ibukota kerajaan Martapura. Kepada para bangsawan
dijelaskannya keinginannya agar Pangeran Hidayat bersedia kembali ke
Martapura. Berdasarkan informasi yang diperolehnya di Martapura, bahwa
rakyat tidak menyenangi pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai
Sultan. Pengangkatan itu selain bertentangan dengan tradisi dan ahli
waris tahta yang sebenarnya, tetapi juga melanggar wasiat Sultan Adam Al
Wasik Billah yang dianggap rakyat keramat. Karena itu Andresen
berkesimpulan bahwa sumber kekacauan itu berasal pada pengangkatan
Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan.
Dengan
dasar inilah Sultan Tamjidillah dengan secara paksa diturunkan dari
tahta Kerajaan Banjar dan untuk sementara dipegang oleh Komisi
Pemerintah Kerajaan (25 Juni 1859).
Proklamasi turunnya tahta dari Kerajaan Banjar, raja terakhir, Sultan Tamjidillah dengan alasan sebagai berikut :
1. Bahwa Kerajaan Banjar amat menderita akibat pemberontakan terhadap mahkota dan Pemerintah Belanda.
2.
Agar rakyat kembali tunduk dan patuh kepada pemerintah yang sah, dengan
ini Sultan menyatakan berhenti memerintah dan menyerahkan kekuasaan ke
tangan Kolonel Andresen, Komisaris Gubernemen dan komandan tentara
afdeling Selatan dan Timur Borneo, atas kemauan sendiri tanpa paksaan
apa-apa.
3.
Atas jaminan Gubernemen Hindia Belanda, bahwa bila keamanan telah
kembali, mahkota akan diberikan kepada dia yang menurut hukum sebenarnya
berhak atas itu dan dianggap Pemerintah Belanda sesuai pula untuk
jabatan itu.
4.
Sebagai hadiah kepada raja disebutkan dua helai tikar rotan, untuk
patuh dan menurut kepada kekuasaan yang sah agar tenteram, aman, dan
kemakmuran datang kembali.
Sementara
Sultan baru belum dilantik, pemerintah kerajaan dipegang oleh sebuah
Komisi Pemerintah Kerajaan yang dipimpin oleh Pangeran Surya Mataram,
anak Sultan Adam, paman dari Pangeran Hidayat, dan Pangeran Muhammad
Tambak Anyar, putera dari Ratu Anom Mangkubumi Kencana, sepupu Pangeran
Hidayat.
Anggota Komisi Pemerintah Kerajaan itu terdiri dari :
- Pangeran Hamim
- Pangeran Ahmid
- Pangeran Dulah
- Raden Ardi Kesuma
- Pangeran Jaya Sumitra
- Kiai Patih Guna Wijaya
- Kiai Wira Yuda
- Kiai Rana Manggala
- Kiai Mangun Rasmi.
Meskipun
Sultan Tamjidillah sudah diturunkan dari tahta, namun Pangeran Hidayat
tidak mau kembali ke Martapura. Hal itu berarti siasat dan strategi
Kolonel Andresen keliru. Suasana bukan bertambah tenang, tetapi
sebaliknya serangan rakyat bertambah berani. Perang meluas ke seluruh
pelosok Kerajaan Banjar. Karena itulah Kolonel Andresen digantikan oleh
Mayor G.M. Verspyck yang diangkat menjadi Panglima dan Residen. Rakyat
bukan saja tidak menyukai Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan, tetapi
kebencian rakyat ditujukan terhadap Belanda yang mencampuri urusan
pemerintahan Kerajaan. Orang Banjar lebih mencintai kemerdekaan dan
kebebasan, karena itu mereka berjuang mengusir penjajah dengan semboyan “Waja Sampai Kaputing”.
7. Sultan Kuning di Sekitar Muning
Sejak
pecahnya perang Banjar, tokoh pimpinan perang yang disebut-sebut dan
dikenal oleh Belanda adalah Sultan Kuning dan Pangeran Antasari.
Pangeran Hidayat sebagai pucuk pimpinan yang menggerakkan rakyat untuk
bangkit melawan Belanda belum diketahui pihak Belanda aktivitasnya,
sehingga pihak Belanda belum menaruh curiga terhadap Pangeran Hidayat.
Apa yang dilakukan oleh Tumenggung Jalil di daerah Balangan adalah atas
perintah Pangeran Hidayat. Pembersihan terhadap kaki tangan Sultan
Tamjidillah di daerah Balangan adalah atas perintahnya pula tetapi
Belanda belum merasa curiga terhadap loyalitas Pangeran ini. Pada awal
perang Banjar kekuatan yang diperhitungkan oleh pihak Belanda adalah
kekuatan Sultan Kuning dan Pangeran Antasari. Setelah Sultan Kuning dan
Pangeran Antasari secara berurutan menghancurkan kekuatan Belanda di
daerah Kalangan, Tanah Laut, Gunung Jabok, Sungai Durian dan Martapura.
Belanda melakukan aksi serangan balasan. Untuk menghindarkan korban yang
lebih besar, Pangeran Antasari dengan pasukannya mundur ke daerah Muara
Tewe dan mengumpulkan kekuatan di daerah itu untuk kembali menyerang
kekuatan Belanda. Sultan Kuning dan pasukannya tetap bertahan di daerah
Muning, yaitu di daerah Tambarangan. Munggu Thayor, Margasari, Beras
Kuning, Sungkai dan Banua Padang. Daerah-daerah ini adalah pusat
pertahanan Sultan Kuning yang sukar ditembus Belanda. Pasukan Muning
pada mulanya berkumpul di Sungkai tetapi kemudian mundur sampai di
Muning. Pada akhir tahun 1859 Pasukan Belanda dipimpin oleh Kapten
Benshop dan Kapten Grass menuju Muning. Daerah Muning yang terletak
ditepi rawa, penuh parit terlindung hutan yang lebat menyebabkan pasukan
Belanda sulit menuju sasaran. Sebaliknya bagi pasukan Sultan Kuning,
kondisi alam seperti ini menguntungkan mereka sebab mereka telah
menguasai medan dan mudah menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda.
Pasukan Sultan Kuning berpakaian serba putih dan mereka berkeyakinan
bahwa perang melawan Belanda adalah perang sabil dan berjihad di jalan
Allah. Anggota pasukan ini juga memakai azimat dan minyak untuk
memperoleh kekebalan dan agar terhindar dari peluru Belanda. Ketika
pasukan Belanda pada tanggal 16 November 1859 tiba-tiba memasuki benteng
pertahanan Sultan Kuning, pasukan Belanda kucar-kacir karena serangan
yang mendadak dari pasukan Sultan Kuning. Dengan teriakan yang dahsyat
dengan sebutan Allahu Akbar yang bergema di daerah hutan itu,
pasukan Belanda kehilangan komando. Mula-mula muncul 20 orang berpakaian
putih-putih di sela-sela semak belukar kemudian muncul 100 orang dengan
teriakan Allahu Akbar menyerang pasukan Belanda. Perkelahian ini
berlangsung berhadap-hadapan sehingga senjata senapan yang bawa Belanda
tidak berperan. Komando pasukan Belanda Kapten Benschop tewas tertusuk
tombak dalam perang berhadap-hadapan ini. Bantuan pasukan Belanda yang
datang menyusul satu peleton, menyebabkan pasukan Sultan Kuning mundur
dari medan pertempuran untuk menyusun pertempuran untuk menyusun
kekuatan baru bersembunyi di balik pepohonan yang lebat. Pada waktu
itulah kampung Muning pusat pertahanan Sultan Kuning dibakar Belanda.
Meskipun demikian Belanda menghadapi perlawanan yang gigih dari
Panembahan Muda Datu Aling bersama pengikutnya. Banyak rakyat yang tidak
berdosa menjadi korban dari keganasan pasukan Belanda, termasuk
diantaranya Panembahan Muda Datu Aling, anaknya Nuramin dan adiknya
Mangkubumi Kesuma Wijaya menjadi korban terbakar. Belanda kecewa karena
Sultan Kuning dan Pasukannya lolos dari pengepungan Belanda. Sultan
Kuning beserta pasukannya lari ke utara dan membuat benteng pertahanan
di kampung Cambooi dekat Tambarangan. Pertahanan ini diketahui Belanda
dan akhirnya diserang Belanda dari tiga penjuru, dibawah pimpinan Kapten
Schiff, Cochen, dan Blondeu. Serbuan pertama dilakukan oleh kapten
Blondeu, tetapi pasukan Muning berhasil memukul Mundur pasukan Blondeu,
bahkan Kapten Blondeu tewas kena dua buah tusukan tombak di dadanya.
Serbuan kedua juga gagal begitu pula serbuan Belanda yang ketiga
kalinya. Baru serbuan yang keempat yang dilakukan dari segala penjuru,
berhasil menerobos pertahanan pasukan Muning. Dalam pertempuran yang
cukup sengit ini dikabarkan bahwa Sultan Kuning Tewas, sebetulnya tidak.
Residen G.M. Verspyck menginstruksikan pada pasukannya agar Sultan
Kuning ditangkap hidup-hidup, tetapi dengan berita bahwa Sultan Kuning
sudah tewas, G.M. Verspyck meminta bukti dengan membawa mayatnya ke
Banjarmasin. Terbunuhnya Controleur Fuijck pada 16 Desember 1861 juga
dilakukan oleh pengikut Sultan Kuning, sehingga Belanda berusaha keras
untuk menangkap Sultan Kuning hidup-hidup. Melalui pejabat-pejabat agama
Tuan Guru dan alim ulama yang memihak Belanda disebarkan kontra
propaganda bahwa bagi mereka yang melindungi, membantu dalam bentuk
apapun terhadap pasukan Muning dan Sultan Kuning akan mendapat hukuman
yang keras. Selanjutnya Belanda mewajibkan pada Lurah, Pembakal,
Pangeran dan seluruh penduduk untuk membantu agar dapat menangkap Sultan
Kuning. Dengan cara ini Belanda berhasil menangkap Sultan Kuning pada
tanggal 19 Oktober 1863 di kampung Kulur daerah Tambarangan. Sultan
Kuning setelah di bawa ke Rantau, terus dibawa ke Banjarmasin. Sultan
Kuning diadili dan mendapat hukuman kerja paksa selama 10 tahun.
8. Pertempuran Sekitar Benteng Munggu Thayor
Munggu Thayor (Munggu Dayor) adalah
sebuah benteng yang dibangun oleh rakyat dibawah pimpinan Demang
Lehman, Mohammad Aminullah dan Antaluddin serta pasukan Sultan Kuning.
Benteng cukup kuat dan sangat sulit ditempuh, terletak antara
Tambarangan dan Sungkai. Di dalam benteng hanya dipertahankan oleh
pasukan Antaluddin, sedangkan pasukan lainnya berada di luar benteng.
Demang Lehman dengan pasukannya mengintai dan memancing ketika pasukan
Belanda memulai mengadakan serangan ke benteng ini. Mengetahui bahwa
benteng sulit ditempuh pasukan Belanda memulai serangan ke Sungkai. Pada
tanggal 28 Desember 1859, pasukan Belanda dengan 200 orang personil
infantri, prajurit pendukung dengan 2 buah meriam, 2 mortir menyerang
pertahanan rakyat di Sungkai. Setelah Sungkai di serang Belanda, Belanda
bergerak mendekati benteng Munggu Thayor. Benteng itu mempunyai tempat
pengintaian terletak di atas bukit Thayor, melalui kaki bukit itu
mengalir sebuah sungai.149 Demang Lehman memancing dengan lemparan api,
dan segera terjadi pertempuran yang sengit. Tiang bendera patah kena
tembakan pasukan Belanda, dan kemudian disusul dengan tembakan meriam.
Tembakan meriam dijawab dengan tembakan senapan yang terus menerus.
Serang menyerang terhenti, karena pasukan Belanda mendapat bantuan
dibawah pimpinan Kapten Grass. Pasukan lainnya dibawah pimpinan Letnan
Verstege dan Epke mengitari sekitar benteng. Ternyata hanya sekitar 200
orang yang bertahan dalam benteng sedangkan pasukan yang lebih besar
berada di luar. Benteng Munggu Thayor berhasil diduduki Belanda
selanjutnya dijadikan Belanda sebagai benteng pertahanannya. Selanjutnya
pada tanggal 30 Desember 1859, pasukan Belanda dengan 80 orang personil
serdadunya menyerbu Banua Padang. Serbuan pertama gagal karena hujan
turun dan penuh lumpur menyebabkan pasukan Belanda bergerak sangat
lambat, disamping harus bertahan terhadap serangan rakyat. Besok harinya
ketika langit cerah Kapten Schiff mengerahkan 300 orang personil
serdadu dengan 3 pucuk meriam mengulangi penyerbuannya terhadap Banua
Padang, Teluk Pagat, dan Banua Halat. Dalam pertempuran yang terjadi di
tiga buah tempat ini pasukan Belanda mendapat serangan yang gencar dari
rakyat menyebabkan Kapten Schiff harus mengambil siasat mundur dan
bersembunyi diantara pepohonan yang rimbun. Hujan yang deras membantu
kemenangan rakyat dimana pasukan Belanda dalam keadaan yang sangat lemah
dan kekurangan bahan makanan. Kekalahan pada pertempuran di tiga buah
tempat menyebabkan Kapten Schiff yang telah menduduki Munggu Thayor juga
mengundurkan diri.150
149 Gids, op.cit., hal. 284. 150 Gids, loc.cit.
9. Demang Lehman dan Pangeran Hidayatullah
Demang
Lehman adalah seorang panakawan Pangeran Hidayat sejak tahun 1857. dia
lahir di Martapura pada tahun sekitar 1837, mula-mula bernama Idis. Oleh
karena kesetiaan dan kecakapannya dan besarnya jasa sebagai Panakawan
Pangeran Hidayat, dia diangkat menjadi Kiai sebagai Kepala Distrik Riam
Kanan. Pada awal tahun 1859 Nyai Ratu Komala Sari, permaisuri Sultan
Adam, telah menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayat, bahwa kerajaan
Banjar diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam.
Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun
kekuatan dan memberi bantuan kepada Tumenggung Kiai Adipati Anom Dinding
Raja berupa 20 pucuk senapan. Sementara itu Pangeran Antasari dan
Demang Lehman mendapat tugas yang lebih berat yaitu mengerahkan kekuatan
dengan menghubungi Tumenggung Surapati dan Pembakal Sulil di daerah
Barito, Kiai Langlang dan Haji Buyasin di daerah Tanah Laut. Pada awal
Perang Banjar yaitu sekitar akhir bulan April 1859 Belanda memimpin
kekuatan dan penggempuran di sekitar Martapura dan Tanah Laut,
bersama-sama Kiai Langlang dan Penghulu Haji Buyasin. selanjutnya Demang
Lehman diperintahkan mempertahankan kota Martapura, karena pusat
pemerintahan Kerajaan oleh Pangeran Hidayat dipindahkan ke kota Karang
Intan. Bersama-sama Pangeran Antasari, Demang Lehman menempatkan pasukan
disekitar Masjid Martapura dengan kekuatan 500 orang dan sekitar 300
orang disekitar Keraton Bumi Selamat. Pada akhir tahun 1859 pasukan
rakyat yang dipimpin oleh Demang Lehman, Pangeran Antasari, Tumenggung
Antaluddin, Pambakal Ali Akbar berkumpul dibenteng Munggu Thayor. Demang
Lehman terlibat dalam pertempuran sengit di sekitar Munggu Thayor.
Belanda menilai tentang Demang Lehman sebagai musuh yang paling ditakuti
dan paling berbahaya dan menggerakkan kekuatan rakyat sebagai tangan
kanan dari Pangeran Hidayat. Demang Lehman menyerbu Martapura dan
melakukan pembunuhan terhadap pimpinan militer Belanda di Martapura.
Pada tanggal 30 Agustus 1859 Demang Lehman berangkat menuju Keraton
dengan 3000 kekuatan dan secara tiba-tiba mengejutkan Belanda karena
melakukan serangan secara tiba-tiba, menyebabkan Belanda kebingungan
menghadapinya, hingga hampir menewaskan Letnan Kolonel Boon Ostade.151
Dalam serangan tiba-tiba ini Demang Lehman menunggang kuda dengan gagah
berani mengejar Letnan Kolonel Boon Ostade. Serbuan ke Keraton Bumi
Selamat ini gagal karena berhadapan dengan pasukan Belanda yang sedang
berkumpul melakukan inspeksi senjata. Pertempuran sengit terjadi,
sehingga anggota Demang Lehman kehilangan 10 orang yang menjadi korban,
begitu pula pihak Belanda berpuluh-puluh yang jatuh korban. Sementara
itu kapal perang Bone dikirim Belanda ke Tanah Laut untuk merebut
kembali benteng Tabanio yang telah dikuasai Demang Lehman dalam sebuah
pertempuran yang mengerikan Belanda. Ketika pasukan Letnan Laut
Cronental menyerbu benteng Tabanio, 9 orang serdadu Belanda tewas, dan
terpaksa pasukan Belanda sisanya mengundurkan diri dengan menderita
kekalahan. Serangan kedua oleh Belanda dilakukan, tetapi benteng itu
dipertahankan dengan gagah berani oleh Demang Lehman, Kiai Langlang, dan
Panghulu Haji Buyasin. Karena serangan serdadu Belanda didukung oleh
angkatan laut yang menembakkan meriam dari kapal perang, sedangkan
pasukan darat menyerbu benteng Tabanio, Demang Lehman berserta
pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan korban. Belanda menilai bahwa
kemenangan terhadap benteng Tabanio ini tidak ada artinya, kalau
diperhitungkan dengan jumlah sarana yang dikerahkan. 15 buah meriam, dan
sejumlah senjata yang mengkilap, ternyata tidak berhasil melumpuhkan
kekuatan Demang Lehman. Selanjutnya Demang Lehman memusatkan kekuatannya
di benteng pertahanan Gunung Lawak (Tanah Laut). Benteng itu terletak
di atas bukit, di setiap sudut benteng dipersenjatai dengan meriam.
Pertempuran memperebutkan benteng ini terjadi pada tanggal 27 September
1859. Dalam pertempuran yang sengit dan pasukan Demang Lehman
mempertahankan benteng Gubung Lawak dengan gagah berani, akhirnya
mengorbankan lebih dari 100 tewas dalam pertempuran ini.
151 Gids, ibid., hal. 281.
Belanda sangat bangga dengan kemenangannya ini sehingga dilukiskannya sebagai “salah satu pertempuran yang indah di tahun 1859”.
Kekalahan ini tidak melemahkan semangat pasukan Demang Lehman, sebab
mereka yakin bahwa berperang melawan Belanda adalah perang sabil, dan
mati dalam perang adalah mati syahid. Bahkan pasukan Kolonel Andresen
banyak korban dalam perjalanan naik perahu ketika menuju ke Banjarmasin,
bahkan Kolonel Andresen sendiri hampir tewas dalam serangan mendadak
ini. Pangeran Antasari dan Demang Lehman mencoba mendatangkan senjata
dengan cara mengirim utusan ke Kerajaan Kutai, Pasir dan Pagatan. Tetapi
rupanya sudah diketahui oleh Belanda, sehingga Belanda menekan semua
raja-raja yang membantu Pangeran Antasari dan Demang Lehman. Meskipun
demikian Demang Lehman memperoleh sebanyak 142 pucuk senapan dan
beberapa buah meriam kecil (lila), tetapi sayang ketika senjata ini
dalam perjalanan diangkut dengan perahu dirampas oleh Belanda di tengah
laut. Pada akhir tahun 1859 medan pertempuran terpencar dalam 3 lokasi,
yaitu di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah Laut dan di
sepanjang Sungai Barito. Medan pertempuran di sekitar Banua Lima dibawah
pimpinan Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja, medan yang
kedua dibawah pimpinan Demang Lehman, sedangkan medan ketiga dibawah
pimpinan Pangeran Antasari. Pada bulan September 1859 Demang Lehman,
bersama pimpinan lainnya seperti Pangeran Muhammad Aminullah, Tumenggung
Jalil berangkat menuju Kandangan untuk merundingkan bentuk perlawanan
terhadap Belanda dan sikap serta siasat yang ditempuh selanjutnya.
Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh pejuang dari segala pelosok.
Dari pertemuan itu menghasilkan kesepakatan, bahwa pimpinan-pimpinan
perang menolak tawaran Belanda untuk berunding.
Pertemuan menghasilkan pula bentuk perlawanan yang terarah dan meluas dengan cara :
a. Pemusatan kekuatan di daerah Amuntai.
b. Membuat dan memperkuat pertahanan di daerah Tanah laut, Martapura, Rantau dan Kandangan.
c. Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di Dusun Atas.
d. Mengusahakan
tambahan senjata. Suatu sikap yang keras telah diambil bahwa para
pejuang tersebut bersumpah mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar.
Mereka akan berjuang tanpa kompromi “Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing”, berjuang
sampai titik darah yang penghabisan. Untuk melumpuhkan perjuangan
rakyat Belanda mendirikan benteng-benteng. Di daerah Tapin, diperkuat
Belanda benteng Munggu Thayor yang telah direbutnya dari pasukan Demang
Lehman. Di daerah Kandangan, didirikan pula benteng dikenal sebagai
benteng Amawang. Demang Lehman dan pasukannya merencanakan untuk
menyerang benteng Belanda di Amawang ini. Demang Lehman berhasil
menyelundupkan dua orang kepercayaannya ke dalam benteng sebagai pekerja
Belanda. Informasi dari kedua pekerja ini Demang Lehman bertekad akan
menyerbu benteng Belanda tersebut. Pihak Belanda memperoleh informasi
bahwa rakyat telah berkumpul di Sungai Paring hendak menyerbu benteng
Amawang. Dengan dasar informasi ini, pasukan Belanda dibawah pimpinan
Munters membawa 60 orang serdadu dan sebuah meriam menuju Sungai Paring.
Saat pasukan tersebut keluar dan diperkirakan sudah mencapai Sungai
Paring, Demang Lehman menyerbu benteng Amawang pada sekitar jam 02.00
siang hari tanggal 31 Maret 1860. dengan 300 orang pasukannya Demang
Lehman menyerbu benteng tersebut. Ketika pasukan Demang Lehman menyerbu,
kedua orang kepercayaan yang menjadi buruh dalam benteng tersebut
mengamuk dan menjadikan serdadu Belanda menjadi kacau dibuatnya. Kedua
orang yang mengamuk tersebut tewas dalam benteng dan sementara itu
pertempuran sengit terjadi. Pasukan Munters ternyata kembali ke benteng
sebelum sampai di Sungai Paring. Datangnya bantuan kekuatan ini,
menyebabkan Demang Lahman dan pasukannya mundur. Demang Lehman mundur di
sekitar Sungai Kupang dan Tabihi bersama Pangeran Muhammad Aminullah
dan Tuan Said. Pasukan Belanda menyusul ke Tabihi dan terjadi
pertempuran. dalam pertempuran itu komandan pasukan Belanda Van Dam van
Isselt tewas dan beberapa orang serdadu menjadi korban keganasan perang.
Demang Lehman meneruskan ke daerah Barabai membantu pertahanan Pangeran
Hidayat dan pengiringnya. G.M. Verspyck berusaha keras untuk
menghancurkan kekuatan Pangeran Hidayat dan Demang Lehman yang
berkedudukan di sekitar Barabai. G.M. Verspyck mengerahkan serdadu dari
infantri batalyon ke 7, batalyon ke 9 dan batalyon ke 13. Batalyon ke 13
berjumlah 210 orang serdadu dibawah pimpinan Kapten Bode dan Rhode.
Pasukan ini diikutkan pula 100 orang perantaian yang bertugas membawa
perlengkapan perang dan makanan. Pengepungan terhadap kedudukan Pangeran
Hidayat ini disertai pula kapal-kapal perang Suriname, Bone, Bennet dan
beberapa kapal kecil. Kapal-kapal perang ini pada tanggal 18 April 1850
telah memasuki Sungai Ilir Pemangkih. Karena banyak rintangan yang
dibuat, maka kapal-kapal perang tidak dapat memasukinya, serdadu Belanda
terpaksa menggunakan perahu-perahu. Iringan perahu ini mendapat
serangan dari kelompok Haji Sarodin yang menggunakan Lila dan senapan
lantakan. Dalam pertempuran ini Haji Sarodin tewas, tetapi dia berhasil
menewaskan beberapa serdadu Belanda. Pertempuran terjadi pula di
Walangku dan Kasarangan dan Pantai Hambawang. Dengan teriakan “Allahu Akbar”, rakyat
menyerbu serdadu Belanda yang bersenjata lengkap. Mereka tidak takut
mati, karena mereka yakin mati dalam perang melawan Belanda adalah mati
syahid. Demang Lehman dan Pangeran Hidayat berusaha keras dan penuh
keberanian menahan serangan serdadu Belanda. Tetapi karena jumlah
personil Belanda lebih besar dan perlengkapan perang lebih unggul, maka
diambil suatu siasat mundur. Pangeran Hidayat mengundurkan diri ke
Aluwan, sedangkan Demang Lehman bertahan di Pajukungan. Akhirnya Belanda
berhasil menduduki Barabai setelah meninggalkan banyak korban.152
Belanda berusaha keras untuk memutuskan hubungan Pangeran Hidayat yang
berada di Aluwan dengan pasukan Demang Lehman yang berada di sekitar
Amawang. Usaha Belanda untuk melemahkan kekuatan rakyat ternyata tidak
berhasil, karena rakyat menggunakan taktik gerilya dalam serangannya.
152 Gusti Mayur, op.cit., hal. 54.
10. Pertempuran di Gunung Madang
Pangeran
Hidayat dan Demang Lehman meminta pada Tumenggung Antaluddin untuk
membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Pasukan Pangeran Hidayat,
Demang Lehman dan pasukan Tumenggung Antaluddin terkumpul di sekitar
benteng ini. Persiapan benteng ini diketahui oleh Belanda sehingga
datanglah serangan Belanda secara mendadak pada 3 September 1860,
sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda menyelusuri
Karang Jawa dan Ambarai dan langsung menuju Gunung Madang. Serdadu
Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu serangan mendadak
menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda
mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya,
sehingga tentara Belanda mundur kembali ke benteng Amawang. Keesokan
harinya tanggal 4 September 1860 pasukan infantri dari batalyon ke 13
mengadakan serangan kedua kalinya. Serdadu Belanda ini dilengkapi dengan
mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian untuk membawa perlengkapan
perang dan dijadikannya umpan dalam pertempuran. Serdadu Belanda
melemparkan 3 biji granat tetapi tidak berbunyi, dan disambut dengan
tembakan dari dalam benteng. Di dalam benteng itu terdapat pula beberapa
orang perantaian yang lari memihak pasukan Pangeran Hidayat ketika
terjadi pertempuran di Pantai Hambawang. Ketika Letnan de Brauw dan
Sersan de Vries menaiki kaki Gunung Madang, dia hanya diikuti serdadu
bangsa Eropah sedangkan serdadu bangsa bumi putera membangkang tidak
ikut bertempur Letnan de Brauw kena tembak di pahanya, dan 9 orang
serdadu Eropah terkapar kena tembak dari dalam benteng. Setelah Letnan
de Brauw kena tembak, serdadu Belanda mundur dan kembali ke benteng di
Amawang. Serangan ketiga dilakukan beberapa hari kemudian setelah
Belanda memperoleh bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai. Pada tanggal 13
September 1860 Belanda melakukan kembali serangannya terhadap benteng
Gunung Madang. Serangan ini dipimpin oleh Kapten Koch dengan
perlengkapan meriam dan mortir. Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin
mempersiapkan menunggu serangan Belanda sedangkan Pangeran Hidayat
mengatur strategi untuk menghadapinya. Pertempuran ini terjadi dalam
jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin dengan gagah
berani menghadapinya. Ketika bunyi senapan dan meriam bergema,
tiba-tiba roda meriamnya hancur kena tembakan. Kapten Koch
mempertimbangkan untuk mundur kembali ke benteng Amawang. Kegagalan
serangan Kapten Koch ini tersebar sampai ke Banjarmasin, sehingga G.M.
Verspyck memerintahkan Mayor Schuak menyiapkan pasukan infantri dari
batalyon ke 13 yang terdiri dari 91 opsir bangsa Eropah. Tanggal 18
September 1860 Mayor Schuak membawa pasukan dengan dibantu Kapten Koch
menyerang Gunung Madang. Belanda membawa sebuah howitser, sebuah meriam
berat dan mortir. Menjelang pukul 11.00 siang hari Demang Lehman memulai
menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. G.M. Verspyck yang berani
mendekati benteng dengan pasukannya, kena tembak oleh anak buah
Tumenggung Antaluddin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban.
Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu
peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu, dan jatuh terguling. Setelah
pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri mendapat
giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju, kena
tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch
tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Mereka
dengan bergegas menggotong mayat Koch dan berlari meninggalkan medan
pertempuran, langsung mengundurkan diri kembali ke benteng Amawang.
Setelah serangan keempat ini gagal, Belanda mempersiapkan kembali untuk
penyerangan yang kelima Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin juga
mempersiapkan siasat apa yang diambil untuk menghadapi serangan secara
besar-besaran keluar dan tidak terpusat bertahan dalam benteng saja.
Demang Lehman mendapat bantuan dari Kiai Cakra Wati pahlawan wanita yang
selalu menunggang kuda yang berasal dari daerah Gunung Pamaton.
Serangan kelima terjadi pada 22 September 1860. Belanda mempersiapkan
dengan teliti, belajar dari kegagalan empat kali penyerangannya. Belanda
mempersiapkan mendirikan bivak-bivak dan perlindungan pasukan penembak
meriam dengan sistem pengepungan benteng Gunung Madang. Pertempuran baru
terjadi keesokan harinya dengan tembakan meriam dan lemparan granat.
Pada pagi hari itu pertempuran tidak begitu seru, tetapi menjelang pukul
11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin
mengadakan serangan besar-besaran dengan meriam dan senapan. Tembakan
itu terus menerus bersahutan sampai menjelang subuh. Karena serangan
yang gencar itu Belanda kehilangan komando apalagi malam hari yang gelap
gulita. Pasukan Belanda kucar kacir. Situasi yang tegang ini
dipergunakan Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin beserta pasukannya
keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng, dan selanjutnya
berpencar. Kiai Cakrawati meneruskan perjalanan ke Gunung Pamaton yang
kemudian terlibat pula dalam pertempuran disini. Alangkah kecewanya
Belanda ketika dengan hati-hati memasuki benteng untuk menghancurkan
kekuatan Demang Lehman dan pasukannya ternyata benteng sudah kosong,
hanya ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.
11. Pertempuran di Sekitar Martapura dan Gunung Pamaton
Dalam
bulan Juni 1861 Pangeran Hidayat berada di Gunung Pamaton. Rakyat
Gunung Pamaton menyambut kedatangan Pangeran Hidayat dan rakyat membuat
benteng pertahanan sebagai usaha mencegah serangan Belanda yang akan
menangkap Pangeran Hidayat. Sementara itu Pangeran Hidayat berunding
dengan Mufti di Martapura. Perundingan pertama diadakan di Kalampayan
dan yang kedua di dalam Pagar. Dalam perundingan itu disepakati rencana
akan melakukan serangan umum terhadap kota Martapura. Para penghulu dan
alim ulama akan mengerahkan seluruh rakyat melakukan jihad perang sambil
mengusir Belanda dari bumi Banjar. Serangan umum ini direncanakan
dilakukan pada tanggal 20 Juni 1861, tetapi rencana itu bocor ke tangan
Belanda. Oleh karena itu sebelum tanggal 20 Juni Belanda secara
tiba-tiba menyerang benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan Pangeran
Hidayat. Serangan Belanda itu dapat digagalkan dengan banyak membawa
korban di pihak Belanda. Sementara itu di kampung Kiram, tidak jauh dari
Gunung Pamaton dan di daerah Banyu Irang Pambakal Intal dan pasukan
Tumenggung Gumar telah berhasil menghancurkan kekuatan Kopral Neyeelie.
Mayat-mayat pasukan Belanda ini dihanyutkan di sungai Pasiraman.
Pambakal Intal berhasil menguasai senjata serdadu Belanda ini. Untuk
menghadapi serangan umum terhadap Martapura ini Assisten Residen Mayor
Koch yang merangkap menjadi Panglima di daerah Martapura meminta bantuan
kepada Residen G.M. Verspyck di Banjarmasin. Residen segera mengirimkan
bantuan dengan mengirimkan kapal perang van Os yang mengangkut meriam
dan perlengkapan perang lainnya. Serangan selanjutnya dilakukan oleh
Mayor Koch secara besar-besaran terhadap benteng Gunung Pamaton,
mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang
bocor ke pihak Belanda. Rakyat seluruh daerah Martapura dan sekitarnya
bangkit melakukan serangan sehingga hampir di seluruh pelosok terjadi
pertempuran. Pertempuran terjadi pula di Kuala Tambangan. Tumenggung
Gamar yang akan membawa pasukannya memasuki kota Martapura ternyata
tidak berhasil, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang lebih
kuat. Pambakal Mail terlibat perang menghadapi serdadu Belanda di
sekitar Mataraman, sementara di Gunung Pamaton pertempuran terus
berkobar. Pasukan Belanda bukan saja menyerang benteng Gunung Pamaton
yang belum berhasil dikuasainya, tetapi juga membakar rumah-rumah
penduduk yang tidak berdosa. Membinasakan kebun-kebun dan menangkapi
penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak. Dalam pertempuran di
Gunung Pamaton tersebut banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak.
Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm tewas kena tombak dan tusukan keris
di perutnya. Serangan bulan Juni terhadap benteng Gunung Pamaton
berhasil digagalkan oleh rakyat yang hanya memiliki persenjataan
sederhana. Memang benteng Gunung Pamaton saat itu dipertahankan oleh
pimpinan perang yang gagah berani, selain Pangeran Hidayat terdapat pula
Demang Lehman, Tumenggung Gamar, Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara.
Selain itu terdapat pula pahlawan wanita Kiai Cakrawati yang selalu
menunggang kuda yang sebelumnya ikut mempertahankan benteng Gunung
Madang, dan saat itu ikut mempertahankan benteng Gunung Pamaton. Dalam
bulan Agustus 1861 Mayor Koch sekali lagi mengerahkan pasukannya
menyerbu Gunung Pamaton. Sebelum serangan dilakukan. Mayor Koch
menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan
harapan menghancurkan persediaan bahan makanan, dan menghancurkan
hutan-hutan yang dapat dijadikan benteng pertahanan. Mayor Koch gagal
dalam usahanya untuk menangkap Pangeran Hidayat dan pimpinan perang
lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah ditinggalkan, karena rakyat
menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda yang memiliki
persenjataan yang lebih baik. Perang gerilya adalah salah satu siasat
untuk mengantisipasi musuh yang memiliki persenjataan yang lebih unggul.
12. Peristiwa Margasari
Pada
saat sedang memuncak dan seluruh wilayah Kerajaan Banjar bergolak
melawan Belanda, Belanda melakukan tindakan mengesahkan apa yang telah
dilakukannya. Tindakan itu adalah mengeluarkan pengumuman penghapusan
Kerajaan Banjar tertanggal 11 Juni 1860 yang ditanda tangani oleh
Residen Surakarta F.N. Nieuwenhuijzen yang merangkap Komisaris
Pemerintahan Belanda untuk afdeling Selatan dan Timur Kalimantan. Sejak
itu Belanda seolah-olah menyelesaikan persoalan dalam negerinya sendiri
bukan berhadapan dengan suatu bangsa yang berperang mengembalikan
kemerdekaan bangsanya. Sejak itu Belanda mengatur aparat pemerintahannya
di daerah Kerajaan Banjar. Daerah-daerah yang telah dikuasainya
ditetapkan Kepala-Kepala Distrik baru. Salah satu distrik baru itu
adalah di Margasari. Kepala Distriknya ialah Kiai Jaya Di Pura. Kiai ini
banyak membantu perjuangan rakyat dengan cara membantu bahan makanan
dan juga informasi tentang aktivitas serdadu Belanda.
Akhirnya
sikapnya pro perjuangan rakyat ini diketahui Belanda dan dia diganti
sebagai Kiai oleh Kiai yang mempunyai loyalitas tinggi terhadap Belanda.
Tanggal 14 Desember 1861 dilakukan timbang terima jabatan Kiai
Margasari dengan Kiai baru Kiai Sri Kedaton. Pada tanggal 14 Desember
1861 Controleur Fuijck datang ke Margasari dikawal 5 orang serdadu.
Malam hari tanggal 16 Desember Controleur Fuijck dan pengawalnya dibunuh
dan rumahnya dibakar. Mendengar berita yang menyedihkan ini Residen
G.M. Verspyck mengirim Letnan Croes dengan 20 orang serdadu ke
Margasari. Letnan Croes mengejar pembunuh dengan menggunakan 5 buah
jukung (perahu) ke Sungai Jaya anak Sungai Negara. Mereka berangkat
pukul 11.00 siang. Para pejuang dibawah pimpinan Tagah Obang sudah
menunggu di sungai sempit itu. Letnan Croes disergap para pejuang dengan
cara tiba-tiba dan terjadilah pergumulan di dalam perahu dan disekitar
sungai sempit itu. Tiga jam kemudian perahu itu kembali dengan membawa
mayat Letnan Croes dan 14 orang serdadunya yang telah menjadi mayat, 8
orang diantaranya orang Eropah. Letnan Croes terkulai tangannya kena
parang bungkul dan kemudian ditombak dengan serapang. Berita duka ini
sampai ketelinga Residen G.M. Verspyck pada saat ia sedang bergembira
karena kemenangannya menghancurkan perjuangan rakyat di rumah Asisten
Residen di Martapura. Residen G.M. Verspyck segera kembali ke
Banjarmasin dan memerintahkan kapal perang Boni dan Celebes mengejar
para pembunuh.
13. Tumenggung Jalil Gelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja
Sejak
kecil dia diberi nama Jalil, penduduk kelahiran Pelimbangan Amuntai
sekitar tahun 1840. dia seorang jaba bukan berdarah bangsawan. Sejak
kecil dia dikenal pemberani dan pendekar dalam ilmu silat. Pada waktu
berusia 20 tahun dia terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda di Tanah
Habang dan Lok Bangkai. Karena kepahlawanannya dia dikenal sebagai “Kaminting Pidakan”. Pada
tahun 1859, Jalil yang diberi gelar oleh Pangeran Hidayat, Kiai Adipati
Anom Dinding Raja telah menyusun kekuatan di Banua Lima. Jalil membuat
pos-pos penjagaan di sekitar Babirik, Alabio dan Sungai Banar. Di
sekitar Masjid Amuntai didirikan benteng. Di sungai dibuat
rintangan-rintangan sehingga mempersulit bagi kapal yang akan lewat.
Pada awal Februari 1860, Belanda mengerahkan kapal-kapal perang Admiral
van Kingsbergen dan kapal Bernet dengan beberapa ratus serdadu dan
pasukan meriam dipimpin oleh Mayor G.M. Verspyck. Kapal perang itu
akhirnya sampai di Alabio, dan seterusnya terpaksa menggunakan kapal
atau perahu yang lebih kecil karena rintangan yang banyak di sungai.
Pertempuran terjadi disekitar Masjid Amuntai. Dari masjid inilah keluar
prajurit-prajurit rakyat yang tidak mengenal lelah menyerbu dengan hanya
bersenjatakan tombak, parang bungkul dan mandau dengan meneriakkan
“Allahu Akbar” menyerbu Belanda. Korban berjatuhan dan perang
berhadapanpun terjadi. Semangat membela agama dan berjuang melawan Orang
kafir dan mati dalam perang itu adalah semangat patriotisme yang tinggi
yang mengisi dada setiap rakyat yang bertempur melawan penjajah
Belanda. Benteng di sekitar masjid dipertahankan dengan kuat dibawah
pimpinan Matia atau Mathiyassin pembantu utama Tumenggung Jalil dengan
gagah berani mengamok menyerbu serdadu Belanda. Beratus-ratus yang
menjadi suhada dalam pertempuran itu, 44 orang diantaranya dimakamkan di
Kaludan. Rumah-rumah penduduk ikut menjadi korban terbakar serta
kampung di sekitarnya menjadi saksi kepahlawanan rakyat Amuntai
mempertahankan agama. Diantara kampung yang musnah adalah Kampung
Karias, dan diantara rumah penduduk yang musnah terdapat rumah
Tumenggung Jalil. Di bekas benteng yang hancur, dijadikan Belanda bivak,
benteng baru terletak di pertemuan Batang Balangan dan sungai Tabalong.
Pertempuran ini terjadi pada 9 Februari 1860. Pasukan-pasukan Pangeran
Hidayat yang tersebar di sekitar Barabai bergabung dengan pasukan
Tumenggung Jalil dan dapat menahan gerakan serdadu Belanda di sekitar
Pantai Hambawang. Dalam pertempuran yang terjadi di Lampihong diantara
serdadu Belanda yang menjadi korban adalah Kapten de Jong. Pertempuran
ini menyebabkan serdadu Belanda mundur. Bantuan serdadu Belanda kemudian
diangkut dengan kapal perang Boni pada tanggal 15 Mei 1860 menuju dan
memudiki sungai Tabalong. Sebelum mencapai daerah Tabalong, serdadu
Belanda menghadapi serbuan rakyat di sepanjang sungai yang dilewati.
Sesampai di daerah Tabalong, terjadi pertempuran dengan Pasukan
Tumenggung Jalil. Perlawanan rakyat cukup sengit menyebabkan serdadu
Belanda terpaksa mundur ke daerah Kalua dan Amuntai. Baru bulan Juni
1860 Belanda berhasil menduduki daerah Tabalong. Serdadu Belanda
menghadapi perlawanan dari pasukan Hidayat, pasukan Jalil dan pasukan
Pangeran Antasari, Tumenggung Surapati yang berpusat di Tanah Dusun.
Tumenggung Jalil kemudian membuat benteng di Batu Mandi dan dari benteng
ini dapat memutuskan hubungan serdadu Belanda antara Barabai dan
Lampihong. Benteng ini terletak di atas sebuah bukit dan di sekitarnya
diberi rintangan-rintangan, seperti parit-parit, lubang perangkap, tali
jerat dan potongan pohon kayu besar yang sewaktu-waktu dapat digulingkan
dari atas bukit. Benteng ini dipercayakan kepada Penghulu Mudin. Ketika
serdadu Belanda menyerbu dan menaiki bukit yang dijadikan benteng ini,
banyak sekali korban dari pihak Belanda, karena jebak yang dibuat.
Diantara yang jatuh korban adalah pimpinan penyerbuan ini Sersan van de
Bosch. Karena gagal menaiki benteng tersebut, serdadu Belanda menembaki
benteng ini dengan meriam dari bawah. Sementara itu Pangeran Antasari
memperkuat benteng Tabalong. Pangeran Antasari menaikkan bendera di atas
benteng itu, yaitu bendera merah dengan dua buah keris bersilang.
Benteng Batu Mandi dipersiapkan dengan sungguh-sungguh oleh Pangeran
Antasari dan Pangeran Hidayat. Disamping itu terdapat pula Pangeran
Syarif Umar, ipar Pangeran Hidayat, Pangeran Usman kemenakan Pangeran
Hidayat. Sedangkan Tumenggung Jalil mempersiapkan pertahanan di
sepanjang sungai Balangan. Sebelum sampai ke benteng ini, terdapat
kubu-kubu pertahanan di Batang Balangan. Di daerah Batang Alai terdapat
kekuatan dibawah pimpinan Demang Jaya Negara Seman dan Kiai Jayapati.
Pusat kekuatan telah dibagi dan dipencar-pencar Pangeran Antasari tetap
bertahan di sekitar Amuntai, Kalua dan Tabalong, sedangkan Jalil berada
di pusat kekuatan di Pasimbi, yang berusaha menghambat gerakan serdadu
Belanda menuju Batu Mandi. Kubu-kubu pertahanan Jalil selain di Pasimbi,
juga terdapat di Lampihong, Layap, Muara Petap dan lain-lain.
Ketika
serdadu Belanda sampai ke benteng Batu Mandi pada tanggal 13 Oktober
1860 ternyata benteng itu telah dikosongi. Belanda sangat kecewa karena
sebelum mencapai benteng Batu Mandi, serdadu Belanda menghadapi
perlawanan yang gencar dari segala pelosok, ternyata benteng itu telah
kosong. Garis pertahanan Pangeran Antasari antara benteng Pengaron,
benteng Tundakan dan Gunung Tongka (di daerah Barito) merupakan basis
perjuangan yang tak mudah ditaklukkan Belanda. Tumenggung Jalil setelah
terpukul di Banua Lima, kemudian menggabungkan diri ke benteng Tundakan
bersama-sama Tumenggung Baro dan Pangeran Maradipa. Ketika terjadi
pertempuran menghadapi pasukan serdadu Belanda yang menyerbu benteng
Tundakan, banyak korban berjatuhan kedua belah pihak. Benteng di
dipertahankan dengan sekuat tenaga oleh para pejuang tak kenal menyerah.
Mati syahid adalah idaman mereka dalam setiap pertempuran menghadapi
Orang kafir Belanda. Pertempuran itu terjadi pada 24 September 1861.
Tumenggung Jalil mempertahankan benteng itu bersama-sama Pangeran
Antasari dan tokoh pejuang lainnya. Benteng Tundakan hanya dipertahankan
dengan 30 pucuk meriam dan senapan jatuh lebih kecil dibanding dengan
persenjataan Belanda. Meskipun dengan persenjataan yang kecil, tetapi
dengan semangat juang tak kenal menyerah, akhirnya Belanda terpaksa
mundur dan dapat dihalau dari tempat pertempuran. Dengan demikian
benteng Tundakan dapat dipertahankan dan diselamatkan. Setelah usai
ternyata Tumenggung Jalil tewas sebagai kesuma bangsa. Mayatnya
ditemukan dalam tumpukan tumpukan bangkai-bangkai serdadu Belanda, jauh
di luar benteng. Barulah diketahui bahwa ketika perang sedang
berkecamuk, Tumenggung Jalil mengamok ke tengah-tengah musuh, dan dia
korban bersama-sama serdadu Belanda yang dibunuhnya. Tumenggung Jalil
menjadi Syahid, seorang putera bangsa terbaik telah hilang, namun
semangat juang tidak pernah punah. Kebencian Belanda kepada Tumenggung
Jalil sebagai musuhnya yang paling ditakutinya, berusaha mencari dimana
kubur Tumenggung ini. Akhirnya penghianat perjuangan memberi tahu letak
kubur tersebut. Kubur itu dibongkar kembali oleh kaki tangan Belanda,
tengkoraknya diambil dan disimpan di Negeri Belanda, sisa mayatnya
dihancurkan dan dia pejuang bangsa yang tidak mempunyai kubur.
14. Penghulu Rasyid dan Gerakan Beratib Baamal
Rasyid
dilahirkan dikampung Telaga Itar, Kecamatan Kelua sekarang. Ayahnya
bernama Ma’ali penduduk kampung Telaga Itar. Kapan Rasyid dilahirkan
tidak diketahui, hanya dapat diperkirakan sekitar tahun 1815. Perkiraan
ini didasarkan pada perkiraan bahwa pada waktu terjadi Perang Banjar dan
perjuangan yang menghangat di seluruh Banua Lima tahun 1860 sampai
tahun 1865, Rasyid berumur 50 tahun, sejak kecil ia mempunyai ciri-ciri
kepemimpinan dan mempunyai kepribadian yang tinggi. Pengetahuan agama
Islam yang dimilikinya disertai dengan alamiah yang kuat, maka Rasyid
dijadikan sebagai pemimpin agama dengan sebutan Penghulu, maka
selanjutnya ia dikenal sebagai Penghulu Rasyid. Penghulu Rasyid adalah
salah seorang diantara sejumlah ulama yang bangkit bergerak berjuang
mengangkat senjata melawan penjajah Belanda. Sebagai seorang pimpinan
agama Penghulu Rasyid tergerak hatinya untuk patriotismenya untuk
membela negara Kerajaan Banjar yang dijajah Belanda. Penghulu Rasyid dan
para ulama lainnya mengorbankan semangat juang, sebagai gerakan Baratib Baamal. Gerakan Baratib Baamal ini
meliputi hampir seluruh Banua Lima dan wilayah yang sekarang menjadi
daerah Hulu Sungai Tengah dan Utara dengan pusat kegiatan di masjid dan
langgar. Pimpinan dari gerakan ini para ulama yang dikenal dengan
sebutan Tuan Guru. Secara etimologis kata Baratib Baamal terdiri dari dua kata, yaitu baratib yang berarti berdzikir dan Baamal yaitu melakukan perbuatan atau berdoa untuk memohon kebaikan. Berdasarkan
kenyataan aksi Baratib Baamal lebih cenderung dianggap sebagai khalwat
dalam usaha memohon keselamatan untuk memerangi Orang kafir.153
153 P.J. Veth, et al, Het Beratib Beamal in Bandjermasin, TNI Tweede Deel (Zalt-Bommel Bijjoh Noman en Zoon), 1869, hal. 200. Lihat pula A. Gazali Usman, “Pengaruh Pengajaran Tasawuf
Praktik
Baratib Baamal dilakukan sebagai berikut : Pengikut yang terdiri dari
kaum muslimin berkumpul di masjid atau langgar dengan dipimpin oleh
seorang ulama, yang disebut Tuan Guru. Jamaah ini bersama-sama membaca
dzikir ‘La ilaha illa Allah” disertai kalimat puji-pujian dan seterusnya diucapkan sebagai berikut :
La
ilaha illa Allah, La ilaha illa Allah, dengan menadah tangan keatas,
rizki minta dimurahkan, bahaya minta dijauhkan, umur minta dipanjangkan
serta iman. La
ilaha illa Allah, dengan menadah tangan keatas, rezeki minta
dimurahkan, bahaya minta dijauhkan, umur minta panjangkan serta iman. La
ilaha illa Allah, tumat di Mekkah ke madinah, di situ tempat
rasulullah. La ilaha illa Allah, tumat di Mekkah ke Madinah, di situ
tempat Siti Fatimah. La ilaha illa Allah, hati yang siddiq, ya maulana,
ya Muhammad Rasul Allah. La ilaha illa Allah, hati yang mu’min bait
Allah. La ilaha illa Allah, Nabi Muhammad hamba Allah. La ilaha illa
Allah, Muhammad sifat Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad aulia Allah.
La ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad
Rasul Allah. La ilaha illa Allah, maujud Allah.
154
Pratek berzikir itu berlangsung lama, berhari-hari. Dalam kehusyu’annya
mereka tenggelam dalam keasyikan mengingat Allah. Puji-pujian itu
diucapkan berirama, mula-mula bernada rendah, makin lama makin tinggi,
dan keras berupa jeritan yang histeris. Dalam situasi yang demikian
mental perjuangan berhasil ditingkatkan sehingga mereka siap untuk
menyerbu musuh tanpa menghiraukan risiko maut yang dihadapi. Jamaah
dzikir ini memakai seragam jubah putih kecuali pimpinanya Tuan Guru yang
memakai jubah kuning. Pengaruh amaliah dzikir ini sangat mendalam dan
mempengaruhi jiwa raga manusia yang melakukannya.
dan
Dzikir terhadap Rakyat Banjar dalam Usaha Menghadapi Kolonialisme
Belanda”, Makalah pada Seminar Sejarah Nasional ke III di Yogyakarta,
1985, hal. 98. 154 A. Gazali Usman, loc.cit.
Sangat
mungkin sekali jamaah Baratib Baamal ini adalah salah satu jenis
Tarikat yang memang sudah lama berkembang didalam daerah Kerajaan
Banjar. Tarikat ini adalah Tarikat Naqsabandiyah.
Pelaksanaan khalwat tarikat ini dengan cara :
(1) menyendiri atau berkelompok ditempat yang sunyi dan sepi
(2) mengurangi nafsu makan / minum
(3) membaca dzikir
(4) meninggalkan nafsu birahi
(5) menjaga kesucian badan
(6) pakaian serba putih
(7) memotong rambut
(8) mengurangi tidur
(9) memperbanyak ibadah dan
(10) taat terhadap petunjuk pimpinan/Tuan Guru.
Dengan
cara praktik khalwat ini membawa orang senantiasa mengingat Allah,
lidah, hati, perasaan, pandangan, penglihatan dan seluruh tubuhnya tidak
yang lain kecuali Allah. Dalam perasaan itu dirinya sudah tidak ada
lagi, dia sudah fana. Hal ini berarti bahwa telah mampu menyatukan
dirinya dengan Allah, dalam bentuk tauhidul af’al, sifat dan zat. Penaruh ajaran Syekh Abdul Hamid Abulung dengan aliran wahdatul wujud155 bukanlah
yang tidak mungkin juga mempengaruhi gerakan Baratib Baamal ini karena
ajaran ini membawa pikiran manusia dan dunia atau manusia dan Tuhan itu
tidak terpisahkan menjadi satu, dalam kehidupan ruhani yang tinggi fana.
Aliran Wahdatul wujud memang sudah berkembang dalam wilayah kerajaan
Banjar sejak abad ke- 18.
15. Pertempuran di Banua Lawas
Pimpinan
Baratib Baamal pimpinan Penghulu Abdul Rasyid dan Haji Bador di Banua
Lawas pertama kali terlibat dalam pertempuran menghadapi serdadu Belanda
di Habang pada tanggal 8 Oktober 1861, pertempuran kedua di Krimiang
dan yang ketiga pada tanggal 18 Oktober 1861 di Banua Lawas. Anak buah
Haji Bador di Banua Lawas memusatkan kekuatannya di Masjid, jumlah
ratusan orang. Sambil mengucapkan dzikir dan parang di tangan mereka
maju meyerbu sardadu Belanda tanpa ragu dan penuh keberanian. Setelah
terjadi perang bergumul dan berhasil menewaskan 3 orang serdadu Belanda,
Kapten Thelen mundur ke Kalua dan minta bantuan serdadu Belanda di
Amuntai. Serdadu dari Amuntai datang menyerbu, tetapi setelah sampai di
masjid Kalua, serdadu Belanda mendapat serangan gencar dengan tembakan
senapan dan lila dari pengikut Haji Bador.
155 A. Gazali Usman, ibid., hal. 97.
Besok
harinya terjadi lagi pertempuran di Banua Lawas. Pertempuran sengit ini
mengakibatkan banyak jatuh korban. Tidak kurang dari 160 orang pengikut
Haji Bador diantaranya tewas sebagai suhada. Pertempuran terakhir di
Banua Lawas terjadi pada 15 Desember 1865. Belanda mengepung Pasar Arba
Banua Lawas dengan menggunakan kapal perang Van Os melalui Sungai Anyar.
Serdadu dari Amuntai mengepung dari segala penjuru. Belanda menggunakan
segala cara untuk menaklukkan dan melumpuhkan perjuangan Penghulu Abdul
Rasyid. Diantara cara itu adalah dengan mendatangkan pasukan Dayak
Maanyan dari Tamiang Layang dibawah pimpinan Tumenggung Jailan yang
bergelar Tumenggung Jaya Kanti. Tumenggung Jailan ini terkenal berani
seperti juga Suta Ono yang berjasa membantu Belanda untuk melumpuhkan
perjuangan Pangeran Antasari. Taktik lain adalah dengan memberi
pengumumam kepada barang siapa yang berhasil memotong kepala Penghulu
Abdul Rasyid dengan imbalan hadiah f 1.000,- disamping pembebasan pajak 7
turunan. Kubu pertahanan Penghulu Abdul Rasyid dibumi hanguskan oleh
Belanda. Banyak sekali korban berjatuhan gugur sebagai kesuma bangsa
menjadi suhada. Penghulu Abdul Rasyid tumitnya kena tembak sehingga dia
terpaksa menghindarkan diri dari medan pertempuran. Dalam
persembunyiannya dia masih sempat membunuh beberapa orang serdadu
Belanda dan pengikutnya yang tersesat. Tergiur hadiah f 1.000,- dan
pembebasan pajak semalam 7 turunan, teman seperjuangan dan keluarganya
sendiri Teja Kusuma menghianati perjuangan bangsanya dan memenggal
kepala Penghulu Abdul Rasyid yang sudah tidak berdaya lagi. Menurut
penuturan orang-orang setempat yang mengetahui dari cerita sebelumnya
menjelaskan bahwa puteri Penghulu Abdul Rasyid sendiri membela kematian
ayahnya dan berhasil menembak mati Teja Kusuma sehingga berhasil merebut
kepala ayahnya yang hanya kepalanya saja. Tetapi setelah kepala
tersebut diambilnya dia pingsan melihat ayahnya yang hanya kepalanya
saja. Akhirnya Kepala Penghulu Abdul Rasyid tersebut berhasil direbut
oleh orang-orang yang menginginkan hadiah f 1.000,- dan menyerahkannya
kepada Belanda. Jenazah Penghulu Abdul Rasyid dimakamkan tanpa kepala di
dekat Masjid Pasar Arba. Masjid ini termasuk yang tertua dan didirikan
oleh Penghulu Abdul Rasyid semasa hidupnya bersama 4 orang tokoh
masyarakat saat itu masing-masing bernama Datuk Seri Panji. Datuk
Langlang Buana dan Datuk Sari Negara.156
16. Pertempuran di Teluk Selasih
Kalau
di Banua Lawas Gerakan Baratib Baamal dipimpin oleh Penghulu Abdul
Rasyid dan Haji Bador, maka di Kampung Teluk Selasih tidak jauh dari
Amuntai gerakan itu dipimpin oleh Penghulu Buyasin dan Abdul Gani.
Sebagaimana Gerakan Baratib Baamal pimpinan Penghulu Abdul Rasyid, maka
di Kampung Teluk Selasih pun mempunyai tujuan yang sama, membangkitkan
semangat juang fi sabilillah, perang sabil dan cita-cita mati syahid.
Pakaian mereka berjubah putih kecuali pimpinannya berjubah kuning.
Setelah Belanda mencium adanya gerakan ini, Belanda merundingkan dengan
Regent Amuntai Danuraja. Regent Amuntai Danuraja menyanggupi akan
menyelesaikannya. Regent membawa 300 anak buah bersenjatakan senapan dan
lila dan akan berusaha menangkap Penghulu Suhasin. Pada tanggal 9
November 1861 jam 02.00 petang Regent mendekati Teluk Selasih dan sambut
dengan tembakan oleh pengikut Penghulu Suhasin. Diantara pengikut Abdul
Gani ada yang menyusup dari belakang sehingga terjadi pergumulan. Salah
seorang diantaranya melompat menombak Regent Danuraja. Regent tewas di
tempat kejadian, begitu pula anak buah Regent juga juga kena tombak.
Dengan kematian Regent Danuraja yang sudah tua ini maka pertempuranpun
usailah. Belanda kemudian mengangkat Tumenggung Jaya Negara sebagai
Regent yang baru.
156 Anggraini Antemas, Orang-Orang Terkemuka dalam Sejarah Kalimantan, B.P. Anggraini Features, Banjarmasin, 1971, hal. 51.
17. Pertempuran Jatoh
Gerakan
Baratib Baamal di daerah Jatoh dipimpin oleh Penghulu Muda yang selalu
berbaju jubah kuning sedangkan anak buahnya yang menjadi jamaah dzikir
memakai jubah putih. Ketika Belanda memperoleh informasi tentang Gerakan
Baratib Baamal di Jatoh, pada tanggal 5 Desember 1861 Belanda menyerbu
Jatoh dibawah pimpinan Van der Heyden, Koch dan opsir lainnya. Ketika
serdadu Belanda sampai di Jatoh, mereka disambut dengan serangan secara
tiba-tiba dari pasukan Penghulu Muda. Dengan pekik dan dzikir “Allahu Akbar’ mereka
menyerbu dengan parang terhunus. Serbuan pertama ini yang keluar secara
tiba-tiba dari semak-semak kebun lada, jatuh menjadi syahid ketika
Belanda memuntahkan meriamnya. Tetapi sangat mengejutkan serangan
selanjutnya berdatangan juga secara tiba-tiba seolah-olah tidak terjadi
apa-apa dengan teman mereka sebelumnya yang telah menjadi syahid.
Pergumulan terjadi. Penembak meriam kena tombak begitu pula Van Haldren
luka parah dan beberapa serdadu Belanda bergelimpangan kena tombak dan
parang. Penghulu Muda yang berjubah kuning dan memakai serban putih
mengayunkan tombak ke arah Van der Heyden, dapat diselamatkan oleh Koch.
Tetapi justeru Koch yang kena tombak dan keris dari Penghulu Muda, Koch
tewas. Pertempuran usai setelah kedua belah pihak berjatuhan korban.
Pertempuran selanjutnya terjadi pada 26 Desember 1861, dan dalam
pertempuran ini Van Haldren tewas. Gerakan Baratib Baamal berkembang
dengan pesat di daerah Amuntai – Balangan – Tabalong dan menjadi pusat
perlawanan yang sangat ditakuti Belanda. Untuk mengantisipasi gerakan
ini Belanda mengirim para ulama dan mufti yang memihak kepada Belanda
untuk mencegah agar rakyat jangan ikut melawan terhadap pemerintah
Belanda. Tetapi justeru sebaliknya karena ulama-ulama yang dikirim oleh
Belanda ini justeru memberi restu dan doa terhadap mereka yang berjuang
melawan Belanda.
18. Perang Barito Sampai Hancurnya Pagustian
Hasil
pertemuan bulan September 1859 antara Pangeran Hidayat, Pangeran
Antasari, Kiai Demang Lehman dan tokoh perjuangan lainnya di daerah
Kandangan menetapkan bahwa Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di
daerah Dusun Atas, sedangkan Tumenggung Jalil memperkuat pertahanan di
Banua Lima, bersama Pangeran Hidayat. Di daerah Martapura dibawah
pimpinan Demang Lehman dan tokoh-tokoh pimpinan masyarakat lainnya.
Pangeran Antasari bermukim di daerah suku Dayak Siung Dusun Atas
mendampingi Pimpinan suku Dayak Siung Tumenggung Surapati. Komandan
kapal “Onrust” Van del Velde mengantarkan Surapati melihat-lihat
meriam, begitu pula anak buah Surapati diajak melihat-lihat kapal perang
itu. Menurut kesaksian Haji Muhammad Talib yang selamat dengan
melarikan diri bersembunyi menceritakan bahwa kejadian terjadi pada
siang hari 26 Desember 1859. Serdadu Belanda tidak merasa curiga dan
mereka tidak mempunyai senjata, kecuali Van del Velde yang memiliki
pedang tetap dipinggangnya. Letnan Bangert juga tidak bersenjata. Anak
buah Surapati sudah tidak sabar lagi dan ketika Gusti Lias dengan perahu
berada disisi kapal, Ibon putera Surapati menghunus mandaunya sambil
berteriak teriakan perang dan ini berarti perang ‘amok” dimulai.
Mandau Ibon mengenai Letnan Bangert dan jatuh tersungkur. Surapati
menghunus mandaunya terhadap Van der Velde dan pertarungan pun terjadi
dan berakhir dengan menjadi mayat Van der Velde. Selanjutnya kesaksian
Haji Muhammad Thalib mengatakan bahwa teriakan perang itu menyebabkan
anak buah Surapati berdatangan dengan perahunya mendekati kapal “Onrust”.
Dalam waktu sekejab sekitar 400-500 orang anak buah Surapati telah
berada di atas kapal dan pergumulan perkelahian terjadi. Dalam hal ini
meriam dan senapan tidak berbunyi karena perkelahian terjadi dalam jarak
dekat. Para pemimpin perang lainnya seperti Tumenggung Aripati,
Tumenggung Maas Anom, Tumenggung Kertapati ikut mengamok di atas kapal
Onrust tersebut. Perkelahian itu berlangsung hampir satu jam. Semua
opsir dan serdadu Belanda yang berjumlah 90 orang berhasil ditewaskan
dan kapal perang “Onrust” berhasil ditenggelamkan. Yang kemudian
diketahui selamat adalah penghubung perundingan Haji Muhammad Thalib
yang kemudian menceritakan apa yang terjadi atas kapal “Onrust” dan
baru 31 Desember 1859 sampai Banjarmasin. Semua isi kapal perang itu
sebelum ditenggelamkan diangkut, senapan, lila, meriam dan mesiu yang
kemudian digunakan Tumenggung Surapati dan Pangeran Antasari untuk
menembaki kapal-kapal Belanda yang lewat. Menurut catatan perang
Belanda, bahwa kerugian yang paling besar diderita Belanda adalah dalam Perang Banjar, karena kapal perang berisi senjata beserta serdadunya terkubur bersama-sama ke dasar sungai Barito. Tenggelamnya kapal perang “Onrust” sangat
mengejutkan dan menggemparkan pihak Belanda, sebaliknya menimbulkan
semangat juang yang tinggi. Tumenggung Surapati adalah seorang putera
suku Dayak Siung dilahirkan dilembah Sungai Kahayan, sekarang termasuk
wilayah Kalimantan Tengah. Sebagai seorang kepala suku, dia terkenal
dengan gelar Kiai Tumenggung Pati Jaya Raji. Tumenggung Surapati
berjuang bersama-sama Pangeran Antasari dan dibantu oleh tokoh-tokoh
pejuang lainnya seperti Tumenggung Singapati, Tumenggung Kartapata,
Tumenggung Mangkusari dalam perang Barito untuk menghancurkan kekuasaan
kolonialisme Belanda di daerah itu. Merekalah tokoh-tokoh pejuang yang
menggerakkan rakyat Barito melawan Belanda dalam Perang Barito
(1865-1905).157
157 Anggraini Antemas, ibid., hal. 61.
(Bersambung ke Bagian 10)Sumber : Sejarah
Langganan:
Postingan (Atom)