Basyair Melayu Banjar juga hadir di Youtube, Kunjungi kami di https://www.youtube.com/channel/UC7DD_EHfum0_OPl-pAxI-bw dan subcribe untuk mendapatkan upload terbaru dari kami, atau Search Ketik " Syair Banjar " di Youtube

Jumat, 16 Juni 2017

SYAIR TUNJUK AJAR MELAYU
(NASIHAT IBU BAPA KEPADA ANAKNYA)
Oleh : Tenas Effendy

TENTANG MENGHORMATI GURU

Wahai ananda dengarlah amanat
Terhadap gurumu hendaklah hormat
Ilmunya banyak memberi manfaat
Menyelamatkan hidup dunia akhirat

Kepada guru hendaklah sopan
Tunjuk ajarnya ananda dengarkan
Penat letihnya jangan dilupakan
Supaya hidupmu dirahmati Tuhan

Kepada gurumu janganlah durhaka
Jangalah pula berburuk sangka
Tunjuk ajarnya ananda jaga
Supaya manfaatnya dapat dirasa

Kepada gurumu eloklah perangai
Apabila disuruhnya janganlah lalai
Tunjuk ajarnya selalu dipakai
Supaya hasratmu cepat tercapai

Apabila gurumu selalu kau tantang
Ditujuk diajar engkau membangkang
Akibatnya buruk bukan kepalang
Ilmu dituntut berkahnya hilang

Kepada guru jangan menista
Bercakap kasar bermasam muka
Orang benci Allah pun murka
Hidupmu akan terlunta-lunta

Kepada gurumu nampakkan minat
Petuah didengar petunjuk diingat
Supaya belajar beroleh manfaat
Membawa berkah dunia akhirat

Kepada gurumu hendaklah patuh
Ditunjuk diajar jangan mengeluh
Belajarlah dengan bersungguh-sungguh
Supaya hidupmu menjadi senonoh

Anggaplah guru sebagai ibu bapa
Tempat merunjuk tempat bertanya
Memudahkan ananda memahami ilmunya
Supaya pelajaranmu tak sia-sia

Jadikan gurumu contoh teladan
Minta nasihat untuk pegangan
Apa masalahmu boleh disampaikan
Supaya bebanmu menjadi ringan

Kepada gurumu berterus terang
Jangan bercakap main belakang
Supaya belajar hatimu lapang
Guru mengajar hatnya senang

Kepada gurumu berterima kasih
Kerana mengajarmu berpenat letih
Sampaikan dengan hati yang bersih
Semoga menjadi amalan soleh

Wahai ananda permata bunda
Gurumu itu juga manusia
Tentulah ada lebih kurangnya
Maafkan olehmu bila ada salahnya

Kepada guru jangan mendendam
Orang pendendam imannya padam
Budi yang baik jadi tenggelam
Hari depanmu menjadi suram

Budi gurumu janganlah dilupakan
Penat letihnya jangan diabaikan
Ilmu diterima engkau amalkan
Semoga pahalanya sama dirasakan

Budi gurumu selalu dikenang
Jasanya besar bukan kepalang
Engkau dididik menjadi orang
Ditunjukan pula jalan yang terang

Senin, 06 Februari 2017

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 10)

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 10)


SILSILAH TUMENGGUNG SURAPATI
Keterangan: T = Tumenggung Rd. = Raden Ngabehi Tuha (Kepala orang Bakumpai) menjadi wakil Sultan Banjar didaerah dusun Hulu Ngabehi Lad. Wanita suku Dayak Silang Tumenggung Urgang Tumenggung Surapati Tumenggung Jang Pati Singaraja Pangeran Dipati Nyai ButuByai Ambun Kiai Demang T.Umar T.LadT.KerT.Ajidan RD.Dipati Kiai Jadi T.AtT.Jadan T.BangkinT.Ecot T.IburT.Lugi T.Basah T.Naum Pira Satia T.Jadan T.Jadan Kiai Azis
Tumenggung Surapati dengan anak buahnya suku Dayak Siung telah memeluk agama Islam. Kedua tokoh pimpinan perjuangan ini diikat dalam hubungan kekeluargaan dengan mengawinkan putera Tumenggung Surapati yang bernama Tumenggung Jidan dengan cucu Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati dengan anak buahnya bersama Pangeran Antasari telah mengangkat sumpah bersama-sama berjuang menghalau penjajah Belanda. Mereka akan berjuang tanpa pamrih dan tanpa kompromi dengan tekad : Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing. Belanda berusaha dengan segala taktik liciknya untuk memikat hati Tumenggung Surapati agar Tumenggung ini tidak melakukan perlawanan terhadap Belanda dan bersedia membantu Belanda untuk menangkap Pangeran Antasari. Tumenggung Surapati sebagaimana suku Dayak lainnya sangat setia pada sumpah yang telah diucapkannya dan apapun yang akan terjadi mereka tidak akan menghianati sumpah tersebut. Siasat licik Belanda akan dibalas dengan siasat licik pula, dimikian tekad Tumenggung Surapati dengan anak buahnya. Belanda mempunyai keyakinan bahwa siasatnya berhasil apalagi Tumenggung Surapati telah bersahabat dengan Belanda sebelumnya. Tumenggung Surapati pernah menjamu dengan segala kebesaran dan penuh keramahan terhadap rombongan Civiel Gezaghebber dan Komandan Serdadu Marabahan Letnan I Bangert dan stuurman kapal Cipanas J.J Meyer pada tahun 1857 dua tahun sebelum terjadinya Perang Banjar. Persahabatan dengan Belanda ini menimbulkan kebencian yang mendalam di hati Tumenggunng Surapati setelah serdadu Belanda membakar rumah dan kebun rakyat yang tidak berdosa setelah terjadi Perang Banjar. Kebaikan hati Belanda hanya tipu muslihat untuk memikat rakyat agar berpihak pada penjajah. Perang Barito terjadi di sepanjang Sungai Barito dan sekitarnya. Perang ini merupakan bukti kebencian seluruh rakyat dalam wilayah Kerajaan Banjar terhadap penjajah Belanda. Perang ini adalah Perang Banjar yang terjadi di sepanjang Sungai Barito, dan diawali dengan penyerbuan gudang garam Belanda di Pulau Petak, sebelah Hulu dari Kuala Kapuas. Gudang Pulau Petak terletak di tepi sungai sedikit lebih tinggi dari kampung di sekitarnya. Gudang garam ini dijaga oleh Letnan Bichon dengan 60 orang serdadu Belanda. Kapal perang “Monterado” ikut berjaga-jaga di sungai. Pada malam tanggal 24 ke 24 Agustus 1859 Pulau Petak diserbu oleh Tumenggung Surapati dan Pembakal Sulil. Letnan Bichon tewas kena tobak dalam penyerangan ini. Belanda berusaha membujuk Tumenggung Surapati agar membantu Belanda menangkap Pangeran Antasari. Setelah usaha pertama gagal, pada bulan Desember 1859 kembali kapal “Onrust” menuju Muara Teweh. Kapal Onrust berhenti di Lontotour sekitar 3 km sebelum sampai Muara Teweh, dan dari sini Belanda mengirim utusan agar Tumenggung Surapati berkenan datang di kapal “Onrust”. Pada tanggal 26 Desember 1859 dengan sebuah perahu besar dan diiringi dengan beberapa perahu kecil, Perahu-perahu tersebut tidak beratap. Surapati dengan 15 orang pengiring yang terdiri dari keluarga dan panakawan. Perahu-perahu lainnya berlabuh di sebelah hulu dari kapal Onrust. Surapati disambut oleh Letnan Bangert yang sudah lama kenal karena pernah menjadi tamu Surapati pada tahun 1857. Surapati masuk ke dalam kamar untuk berunding disertai 4 orang anak dan menantunya. Sepuluh panakawan lainnya beramah tamah bersama para opsir di atas dek kapal. Dalam perundingan itu Belanda menjanjikan hadiah-hadiah antara lain memperlihatkan surat pengangkatan sebagai Pangeran. Keramah-tamahan yang diperlihatkan dan sikap yang meyakinkan menyebabkan Letnan Bangert merasa puas akan keberhasilan misinya. Dalam perundingan itu Letnan Bangert didampingi oleh Haji Muhammad Thalib sebagai juru runding dan perantara yang menghubungkan pihak Belanda dengan Tumenggung Surapati. Haji Muhammad Thalib sebelumnya sudah curiga dengan perahu-perahu yang ditumpangi Surapati dengan pengikutnya. Perahu-perahu tersebut tidak memakai atap, sedangkan kebiasaannya perahu mempunyai atap. Tetapi pihak belanda tidak mengerti dengan kebiasaan orang-orang Dayak dengan perahu tanpa atap tersebut, karena Surapati dengan pengikutnya memperlihatkan keramah tamahannya. Perahu tanpa atas suatu pertanda sikap permusuhan dan sangat menggembirakan bagi seluruh rakyat yang berjuang melawan Belanda. Akibat kekalahan yang sangat memalukan ini pihak Belanda mengirim serdadu sebagai ekspedisi dengan perintah bunuh semua Orang Dayak dan Melayu (Banjar) yang membantu menenggelamkan kapal perang “Onrust”. Untuk keperluan ini G.M. Verspyck memberangkatkan kapal perang “Suriname”, “Boni” dan beberapa kapal pembantu pada tanggal 27 Januari 1860. Kapal ini membawa 300 serdadu bersenjata lengkap, diantaranya 10 serdadu Eropah, beberapa pucuk meriam dan mortir. Pimpinan ekspedisi Letnan Laut de Haes melaksanakan perintah dengan membabi buta, membakar semua kampung yang dilewati dan membunuh rakyat yang ditemukan. Ketika sampai di Lontotour ternyata kampung itu telah dikosongkan penduduk. Kapal terus berlayar ke arah hulu sambil menembaki tempat-tempat yang dicurigai. Kapal Suriname dan Boni melewati kampung Leogong yang letaknya agak rendah. Dengan tidak diduga Belanda, meriam yang beratnya 30 pond menembak ke arah lambung kapal Suriname. Korbanpun berjatuhan. Kapal itupun miring karena tembakan itu mengenai kedua ketel (boiler) sehingga mesin kapalpun mati. Baru menjelang tengah malam barulah kapal itu dihanyutkan dan ekspedisi itu pulang tanpa membawa hasil apa-apa. Pertempuran di Leogong ini terjadi pada 11 Februari 1860. Pada 22 Februari 1960, kembali kapal perang Celebes dan Monterado dikirim menyerang benteng Leogong. Benteng ini dikepung dengan dua buah kapal perang di hulu dan disebelah hilir serta 200 serdadu didaratkan. Pertempuran sengit pun terjadi sepanjang sungai Barito. Menyadari terhadap pengepungan ini Pangeran Antasari dan Tumenggung Surapati melakukan siasat mundur untuk menghindarkan banyaknya jatuh korban. Perang ini berakhir tanpa hasil yang memuaskan bagi Belanda. Untuk mengantisipasi kapal-kapal perang Belanda, Tumenggung Surapati dan Pangeran Antasari mengerahkan beratus-ratus perahu dengan sebuah perahu komando yang besar. Pada perahu besar ini dipancangkan bendera kuning. Armada perahu ini disertai pula dengan beberapa buah lanting kotta-mara (katamaran) semacam panser terapung. Bentuk kotta-mara ini sangat unik karena dibuat dari susunan bambu yang membentuk sebuah benteng terapung. Kotta-mara dilengkapi dengan beberapa pucuk meriam dan lila. Selain kapal perang “Onrust” yang berhasil ditenggelamkan pada 26 Desember 1859, sebelumnya yaitu pada bulan Juli 1859 juga ditenggelamkan kapal perang Cipanas dalam pertempuran di sepanjang Barito di sekitar pulau Kanamit.
19. Demam Lehman Dan Pangeran Hidayat Dalam Proses Penangkapan
Segala siasat dan cara telah dilakukan Belanda untuk memikat Pangeran Hidayat dan Demang Lehman agar menghentikan perlawanannya terhadap pemerintah Belanda, tetapi semua siasat itu tidak berhasil. Cara lain yang dilakukan Belanda adalah berusaha untuk menangkap kedua tokoh pejuang itu hidup atau mati, dan mengeluarkan pengumuman kepada seluruh rakyat agar dapat membantu Belanda menangkap kedua tokoh itu dengan imbalan yang menggiurkan. Imbalan yang dijanjikan adalah dengan mengeluarkan pengumuman harga kepala terhadap tokoh pejuang yang melawan Belanda. Harga kepala Pangeran Hidayat adalah sebesar f 10.000,- dan Demang Lehman sebesar f 2.000,- Nilai uang sebesar itu sangat tinggi dan dapat memikat hati setiap orang yang menginginkan kekayaan. Bagi pejuang yang memegang sumpah “Haram manyarah, waja sampai kaputing”, tidak tergoyah hatinya mendengar janji-janji seperti itu, kecuali bagi mereka yang mengingkari sumpah, menghianati perjuangan bangsa dan yang lemah imannya terhadap prinsip “perang sabil”. Meskipun segala usaha telah gagal, Belanda tetap berusaha untuk menangkapnya dengan cara apapun. Pemerintah Belanda mengutus Haji Isa seorang yang dekat dengan dan tahu Pangeran ini berada. Tugas Haji Isa adalah menyampaikan keinginan pemerintah Belanda terhadap Pangeran ini. Haji Isa tidak berhasil menemukan Pangeran Hidayat, tetapi dia bertemu dengan Demang Lehman. Ketika Haji Isa menyampaikan tugas misinya terhadap Demang Lehman. Demang Lehman langsung menjawab menolak segala macam perundingan dan akan terus berjuang sampai akhirnya memperoleh kemenangan. Laporan Haji Isa ini menimbulkan semangat Belanda untuk mengatur siasat baru. Mayor Koch Asisten Residen di Martapura mengatur dan mengadakan hubungan dengan Demang Lehman atas perintah Residen G.M. Verspyck. Pertemuan dengan Demang Lehman menghasilkan kesepakatan bahwa Demang Lehman bersedia menemui Pangeran Hidayat asal Belanda berjanji mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai Raja di Martapura. Demang Lehman selalu merasa curiga dengan keinginan Belanda untuk mendudukkan Pangeran Hidayat sebagai raja di Martapura, karena itu Demang Lehman mengkonsolidasi pasukannya. Setelah terjadi hubungan surat menyurat antara Demang Lehman dengan Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang, Demang Lehman bersedia turun ke Martapura. Pada tanggal 2 Oktober 1861 Demang Lehman turun ke Martapura bersama tokoh-tokoh pejuang disertai 250 orang pasukannya. Anggota pasukannya ini akan menyusup ke seluruh pelosok Martapura dan akan mengamuk kalau Belanda menipu dan menangkap Demang Lehman. Tokoh-tokoh pejuang yang mengiringi Demang Lehman adalah : Kiai Darma Wijaya, Kiai Raksa Pati, Kiai Mas Cokro Yudo, Kiai Puspa Yuda Negara, Gusti Pelanduk, Pembakal Awang, Kiai Jaya Surya, Kiai Setro Wijaya, Kiai Muda Kencana, Kiai Surung Rana, Pembekal Noto, Pembekal Unus, Tumenggung Gamar dan lain-lain. Tanggal 6 Oktober 1861 Demang Lehman memasuki kota Martapura disertai 15 orang pemimpin lainnya. Haji Isa menyambut rombongan ini dan langsung ke rumah Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam pertemuan empat mata dengan Demang Lehman, Residen berusaha memikat Demang Lehman dengan janji akan memberikan jaminan hidup setiap bulan kepadanya asal Demang Lehman berjanji menentap di Martapura, di Banjarmasin atau Pelaihari dan mengajak kepada seluruh rakyat kembali ke kampung mereka masing-masing dan bekerjsama seperti semula. Janji Residen itu tidak menarik perhatiannya, tetapi kesetiannya kepada perjuangan dan sumpah perjuangan lebih tinggi nilainya dari pada kepentingan diri sendiri. Disamping itu Demang Lehman tegas mengatakan bahwa mereka akan berjuang terus sampai Pangeran Hidayat dapat duduk kembali di Martapura memangku Kerajaan Banjar. Semboyan mereka huruf “Mim” (huruf Arab mim) yang berarti Martapura atau mati karenanya. Hasil pertemuan dengan Residen memaksa Demang Lehman mencari tempat persembunyian Pangeran Hidayat dan akan merundingkannya dengan lebih teliti dan segala akibatnya nanti. Tanggal 9 Oktober 1861 Demang Lehman berangkat ke Karang Intan dan kepergiannya ini memakan waktu hampir sebulan. Kepergian Demang Lehman ini mengkhawatirkan Belanda dan meminta agar Demang Lehman kembali ke Martapura. Tanggal 30 Desember 1861 Residen G.M. Verspyck tiba di Martapura dan perundingan dengan Demang Lehman dilangsungkan. Residen berjanji bahwa Pangeran Hidayat boleh tinggal dengan keluarganya di Martapura selama perundingan berlangsung dan jikalau perundingan gagal Pangeran Hidayat boleh kembali ke pusat pertahanannya dalam tempo sepuluh hari dengan aman. Tanggal 3 Januari 1862 Demang Lehman kembali berangkat mencari Pangeran Hidayat menuju Muara Pahu di daerah antara Riam Kanan dan Riam Kiwa. Pada tanggal 14 Januari 1862 Demang Lehman bertemu dengan Pangeran Hidayat di Muara Pahu. Demang Lehman menyampaikan surat Residen dan surat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang. Dalam perjanjian itu Ratu Siti ibu Pangeran Hidayat dijemput dari tempatnya di Pa-auw Sungai Pinang, begitu pula keluarga Pangeran yang masih menetap di Tamanih. Pada 22 Januari 1862, rombongan Pangeran Hidayat berangkat dari Muara Pahu dengan rakit dan perahu, melewati Mangappan dan 3 hari kemudian sampai di Awang Bangkal dan baru tanggal 28 Januari tiba di Martapura. Rombongan ini disambut rakyat dengan suka hati di Martapura. Rombongan langsung menuju tempat Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang yang masih hubungan paman dari Pangeran Hidayat. Perundingan dilangsungkan pada tanggal 30 Januari 1862, dimulai pada jam 10.30 pagi.
Pihak Belanda terdiri dari :
1. Letkol Residen G.M. Verspyck
2. Mayor C.F. Koch, Assisten Residen di Martapura
3. Lettu J.J.W.E. Verstege, Controleur afdeling Kuin
4. Lettu A.H. Schadevan, ajudan Koch
5. Pangeran Jaya Pemanang, Regent Martapura
6. Kiai Jamidin, Kepala Distrik Martapura
7. Kiai Patih Jamidin, Kepala Distrik Riam Kanan
8. Haji Isa
9. Tumenggung Jaya Leksana
Pihak Pangeran Hidayat terdiri dari 23 orang diantaranya adalah :
1. Pangeran Hidayat
2. Kiai Demang Lehman
3. Pangeran Sasra Kasuma, anak Pangeran Hidayat
4. Pangeran Sahel, anak Pangeran Hidayat
5. Pangeran Abdul Rahman, anak.
6. Pangeran Kasuma Indra, menantu
7. Gusti Ali Basah, menantu
8. Raden Jaya Kasuma, ipar
9. Gusti Muhammad Tarip.
Dalam perundingan itu Belanda mengatur siasat yang licik berpura berbaik hati dengan tujuan untuk menangkap dan mengasingkan Pangeran Hidayat keluar dari Bumi Selamat. Tujuan menghalalkan cara itulah yang dilakukan Belanda. Dalam situasi yang terjepit dan kondisi yang tidak memungkinkan Pangeran Hidayat terpaksa menandatangani Surat Pemberitahuan yang ditujukan kepada rakyat Banjar, yang sudah disiapkan Belanda sebelumnya. Surat Pemberitahuan itu ditandatangani Pangeran Hidayat dengan cap Pangeran tertanggal 31 Januari 1862.
Surat Pemberitahuan itu selengkapnya berbunyi :
1) Surat ini tidak berisikan perintah, karena saya telah meletakkan dengan sukarela hak itu. (hak sebagai Mangkubumi).
2) Karena mendengarkan nasihat yang salah, saudara-saudara memberontak terhadap pemerintah Belanda, saudara menempuh jalan yang salah.
3) Saudara telah melihat bahwa Pemerintah Belanda lebih kuat dari kita, bahwa ia tidak hanya mementingkan kemakmuran rakyat yang baik, tapi juga bersikap lembut dan satria terhadap musuh-musuhnya.
4) Kepada rakyat Banjar saya mohon supaya menghentikan segala permusuhan, saudara-saudara yang masih melawan kembalilah ke rumah saudara-saudara dan carilah mata pencaharian yang damai dan jujur, sehingga drama pembunuhan dan permusuhan dapat dihentikan.
5) Letakkan senjata saudara, mohonkan ampun dengan sungguh-sungguh dan saya yakin bahwa Pemerintah Belanda akan memberinya dengan jiwa besar.
6) Jangan sekali-kali mendengarkan perintah pemimpin-pemimpin yang terus berkeras meneruskan peperangan, baik perintah dari Pangeran Antasari, Pangeran Aminullah dan orang jahat lainnya.
7) Saya mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak mengerti kepentingan saudara-saudara, dan kepentingan mereka sendiri dan saudara-saudara untuk keselamatan saudara-saudara sendiri dan demi kecintaan kepada saya, berkewajiban untuk menangkapi dan menyerahkan pemimpin rakyat yang jahat itu kepada Gubernurmen.
8) Saya sendiri memberi saudara contoh penyerahan diri itu, saudara-saudara melihat bagaimana yang saya dapatkan.
9) Saya sudah mencoba supaya mereka yang masih melawan mau menyerah.
10) Semakin cepat bekas-bekas perang yang mencelakakan ini dapat dihilangkan, semakin cepat saudara-saudara mendapatkan pengampunan dari Allah Yang Maha Tinggi untuk bencana yang selama lebih dua tahun melanda penduduk Banjar.
11) Allah Yang Maha Tinggi dan arwah-arwah nenek moyang (raja-raja) dan kuburnya akan mengutuk kalian, terutama pemimpin-pemimpin rakyat yang masih melawan, apabila permintaan saya yang terakhir ini tidak dipenuhi.
158 Pangeran sangat terperanjat dengan ucapan Residen G.M. Verspyck yang bertindak sebagai Wakil Tertinggi dari Pemerintah Belanda di daerah Selatan dan Timur Borneo dan dia berwenang memberi pengampunan dan melupakan apa yang terjadi pada masa lampau dengan syarat bahwa Pangeran Hidayat harus berangkas ke Batavia dalam tempo 8 hari. Kepada Pangeran diperkenankan membawa keluarga yang disukainya dan sebelum berangkat harus menyebarluaskan Surat Pemberitahuan yang sudah dibubuhi cap dan tanda tangan Pangeran. Ketika Pangeran mengajukan keberatan atas kepergian ke Jawa tersebut, Residen menjawab bahwa bagi Pangeran perlu “menikmati istirahat”. Demang Lehman yang merasa tertipu, sangat kecewa terhadap sikap Belanda untuk memberangkatkan Pangeran Hidayat ke Jawa. Demang Lehman berusaha mengajak Mufti dan Pangeran Penghulu untuk memohon kepada Residen agar keputusan pemberangkatan Pangeran Hidayat dibatalkan. Demang Lehman berusaha untuk menggagalkan keberangkatan ini dan ketika rombongan Pangeran berangkat pada pagi hari tanggal 3 Februari 1862, Demang Lehman telah siap dengan pasukannya untuk menggagalkannya.
158 W.A. Van Rees, De Bandjarmasinsche Krijg van 1859-1863, Thieme, Arnhem, 1865, hal. 242-244, (terjemahan M. Idwar Saleh).
Perahu yang membawa Pangeran dibelokkan ke batang rumah yang dulu pernah dijadikan tempat tinggal Demang Lehman, dan disambut dengan gegap gempita oleh rakyat. Pangeran terus dilarikan. Belanda tidak dapat bertindak apa-apa, dan baru setelah Pangeran dilarikan ke luar kampung Pasayangan, Residen mengerahkan kekuatannya untuk menangkap Pangeran. Seluruh kampung Pasayangan sampai kampung Hastak Baru dibakar Belanda. Masjid Martapura yang indah yang dibangun lebih dari 140 tahun yang lalu digempur dan dibakar Belanda. Ini terjadi pada 4 Februari 1862 merupakan saksi kebengisan dan kebrutalan penjajah Belanda terhadap rakyat Banjar yang tidak berdosa. Baru tanggal 2 Maret 1862 Pangeran Hidayat setelah menyerahkan diri diangkut dengan kapal Van OS berangkat dari Martapura dan terus merapat ke kapal Bali untuk selanjutnya diangkut ke Batavia. Pangeran Hidayat di buang ke kota Cianjur disertai sejumlah keluarga besar kerajaan yang terdiri dari : seorang permaisuri Ratu Mas Bandara, sejumlah anak kandung dari permaisuri, menantu-menantu, saudara-saudara sebapak, ipar-ipar, ibu Pangeran sendiri, panakawan-panakawan beserta isteri dan anak buahnya, budak laki-laki dan perempuan, semua berjumlah 64 orang. Sebagai seorang buangan, Pangeran mendapat rumah besar dan lebih bagus dari pada istana di Martapura, mendapat tunjangan tiap bulan yang cukup untuk hidup sebagai Mangkubumi dan keluarganya. Demang Lehman yang merasa kecewa dengan tipu muslihat Belanda berusaha mengatur kekuatan kembali di daerah Gunung Pangkal, Batulicin. Dia tidak mengetahui bahwa Belanda sedang mengatur perangkap terhadapnya. Oleh orang yang menginginkan hadiah dan tanda jasa sehabis dia melakukan Shalat subuh dan dalam keadaan tidak bersenjata, dia ditangkap. Kemudian diangkut ke Martapura. Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung terhadap pejuang yang tidak kenal kompromi ini. Dia menjalani hukuman gantung samapai mati di Martapura, sebagai pelaksanaan keputusan Pengadilan Militer Belanda tanggal 27 Februari 1862. Pejabat-pejabat militer Belanda yang menyaksikan hukuman gantung ini merasa kagum dengan ketabahannya menaiki tiang gantungan tanpa mata ditutup.
Urat mukanya tidak berubah menunjukkan ketabahan yang luar biasa. Tiada ada satu keluarganyapun yang menyaksikannya dan tidak ada keluarga yang menyambut mayatnya. Setelah selesai digantung dan mati, kepalanya dipotong oleh Belanda dan dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman disimpan di Museum Leiden di Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala.
20. Pengangkatan Pangeran Antasari Sebagai Panembahan
Pada tanggal 14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayat diasingkan ke Cianjur – Jawa Barat diproklamasikanlah pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Khalifatul Mu’minin. Proklamasi pengangkatan ini ditanda tangani oleh Tumenggung Surapati yang bergelar Kiai Tumenggung Yang Pati Jaya Raja sebagai wakil daerah Barito, Raden Mas Warga Natawijaya sebagai wakil daerah Teweh dan Tumenggung Mangkusari sebagai wakil daerah Kapuas-Kahayan. Gelar ini menunjukkan bahwa Pangeran Antasari mempunyai tiga macam tugas berat yaitu sebagai panglima tertinggi dalam pertahanan/perang sebagai kepala negara dan sebagai kepala tertinggi agama. Pangeran Antasari adalah satu-satunya pimpinan yang dapat diharapkan berjuang menghadapi Belanda dan memegang teguh terhadap sumpah perjuangan yang telah di-ikrarkan bahwa :Haram manyarah, waja sampai kaputing, betul-betul perjuangan yang tidak mengenal kompromi dengan musuh. Memang Belanda telah berulang kali berusaha untuk mengadakan kompromi dengan Pangeran Antasari, namun tawaran itu dianggap beliau sebagai najis. Bujukan kompromi Belanda ini pernah dibalas Pangeran Antasari dengan surat yang berbunyi :”Kami akan terus berjuang menuntut hak pusaka kami. Kami bahkan merasa jijik berdekatan dengan Belanda yang telah menawan saudara sepupu kami ke Jawa. Hadiah f.10.000,- Gulden pernah diumumkan kepada siapa yang dapat menangkap hidup atau mati Pangeran Antasari. Tetapi semua usaha Belanda dengan segala macam tipu muslihat tidak berhasil. Pangeran Antasari telah mengambil pilihan, lebih baik mati di medan pertempuran dari pada mati sebagai tawanan musuh. Dari segi ahli waris kerajaan, Pangeran Antasari adalah pewaris yang sah, sebab dia adalah buyut Pangeran Tahmidillah I, karena itulah dia sangat berwibawa di daerah yang belum dikuasai Belanda termasuk seluruh suku Dayak dari daerah Barito. Pada saat beliau dilantik sebagai Panembahan atau Sultan Banjar, diperkirakan umurnya sudah mencapai 72 tahun, karena itulah beliau dalam keadaan sakit-sakitan. Sakit karena usia lanjut dan pada tanggal 11 Oktober 1862 beliau meninggal dunia. Pangeran Antasari dimakamkan di kampung Sampirang, Bayan Bengok daerah Puruk Cahu. Setelah Kemerdekaan mayat beliau dipindahkan ke Makam Pahlawan Banjar di kompleks pemakaman dekat Masjid Jami’ Banjarmasin pada tanggal 11 November 1958. Putera Pangeran Antasari, Gusti Muhammad Seman dilantik menjadi Sultan Banjar terakhir, sebab setelah Sultan Muhammad Seman tewas dalam pertempuran hapuslah Kerajaan Banjar dari bumi Kalimantan.
21. Pagustian di Gunung Bondang
Setelah Pangeran Antasari meninggal, perjuangan dilanjutkan dengan pimpinan Sultan Muhammad Seman dibantu Tumenggung Surapati dan pimpinan lainnya. Tumenggung Surapati membangun sebuah Pagustian (Dewan Pertahanan) yang terletak di Gunung Bondang, sebelah udik sungai Lawung, Puruk Cahu. Pagustian ini dibantu oleh Gusti Mas Said, Raden Mas Natawijaya, Muhammad Nasir dan lainnya. Dua tahun berturut-turut yaitu tahun 1864 dan 1865 Tumenggung Surapati menyerang benteng Belanda di Muara Teweh sehingga seluruh isi benteng itu musnah. Begitu pula Benteng Belanda di Muara Montalat dihancurkan oleh suatu serangan Tumenggung Surapati. Untuk menghadapi serangan Tumenggung Surapati ini Belanda memperalat suku Dayak Sihong yang selama ini membantu Belanda dibawah pimpinan kepala sukunya Suta Ono. Karena jasa-jasanya terhadap Belanda Suta Ono diberi pangkat Overste atau Letnan Kolonel. Suku Dayak Sihong ini terkenal pemberani, tetapi apabila mereka berhadapan dengan Tumenggung Surapati, Suta Ono selalu mengundurkan diri. Tumenggung Surapati dalam perlawanannya selalu berpindah-pindah dan selama bertahun-tahun dia bertempur melawan Belanda di sepanjang Sungai Barito. Kadang-kadang dia muncul di hilir di sekitar Bakumpai, tetapi sebentar lagi ada di hulu di sekitar Manawing, sehingga sangat membingungkan pihak Belanda. Berbagai muslihat dilakukan pihak Belanda untuk menangkapnya hidup atau mati, tetapi selalu gagal. Pertempuran dan perjuangan yang bertahun-tahun melawan Belanda melemahkan pisiknya yang memang sudah tua dan akhirnya jatuh sakit, meskipun semangat juangnya tidak pernah mundur. Setelah menderita sakit yang agak lama pada tahun 1875 Tumenggung Surapati meninggal dunia sebagai pahlawan, meninggal karena sakit. Pangeran Jidan meneruskan perjuangan ayahnya bersama-sama Sultan Muhammad Seman. Kalau keluarga Sultan yang tertangkap dibuang ke Bogor, maka keluarga Tumenggung Surapati yang tertangkap dibuang ke Bengkulu.
22. Bukhari Dalam Amuk Hantarukung
Bukhari seorang anak dari orang tua bernama Manggir dan ibu bernama Bariah kelahiran desa Hantarukung, dalam wilayah Kecamatan Simpur sekarang 7 Km dari Kandangan, menjadi pimpinan yang dikenal dengan ‘Amuk Hantarukung”. Dia dilahirkan sekitar tahun 1850 dan semasa mudanya mengembara ke Puruk Cahu mengikuti pamannya Kasim yang menjadi Panakawan Sultan Muhammad Seman. Sejak itu Sultan menjadikan Bukhari sebagai Panakawan Sultan, ikut berjuang di daerah Puruk Cahu, Bukhari seorang yang setia mengabdikan dirinya. Ia orang yang dipercaya sebagai “Pemayung Sultan”. Ia dikenal di kalangan istana sebagai seorang yang mempunyai ilmu kesaktian dan kekebalan. Bahkan tersiar berita bahwa dengan ilmunya itu kalau ia tewas dapat hidup kembali. Ilmu ini diajarkan kepada siapa yang menjadi pendukungnya. Adanya kelebihan-kelebihan Bukhari tersebut, menyebabkan dia dan adiknya bernama Santar mendapat “tugas” untuk menyusun dan memperkuat barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah Banua Lima.
Dengan membawa surat resmi dari Sultan Muhammad Seman. Bukhari dan adiknya Santar datang ke Hantarukung untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat terhadap pemerintah Belanda. Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh penduduk Hantarukung. Dengan bantuan Pengerak Yuya, Bukhari berhasil mengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Sebanyak 25 orang penduduk telah menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan di bawah pimpinan Bukhari dan Santar siap untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Gerakan Bukhari ini bahkan kemudian mendapat dukungan selain penduduk Hantarukung, juga penduduk kampung Hamparaya dan Ulin. Sehubungan dengan itu alasan perlawanan yang dikemukakan bahwa penduduk dari tiga kampung itu tidak bersedia lagi melakukan kerja rodi . Sikap penduduk dan tindakan Pengerak Yuya yang tidak mau menurunkan kuli (penduduk) untuk menggali “garis” antara Amadit-Negara tersebut, kemudian dilaporkan oleh Pembekal Imat kepada Kiai, karena yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat, Pembekal melaporkan kepada Controleur Belanda di Kandangan. Penguasa di Kandangan sangat marah mendengar berita itu pada tanggal 18 September 1899 berangkatlah rombongan penguasa Belanda yang terdiri dari Controleur Adsenarpont Domes dan Adspirant K. Wehonleschen beserta 5 orang Indonesia (opas dan pembakal) yang setia kepada Belanda. Dengan menaiki kereta kuda dan diikuti yang lainnya Controleur Adsenerpont Domes ke Hantarukung menemui Pengerak Yuya. Pengerak yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk melawan pemerintah Belanda ini ketika dipanggil oleh Controleur keluar dari rumahnya dengan tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi tanya jawab mengenai mengapa penduduk tidak mengerjakan lagi gerakan menggali “garis” Amandit-Negara, tiba-tiba muncul ratusan penduduk di bawah pimpinan Bukhari dan Santar sambil mengucapkan “selawat nabi” maju kearah Controleur dengan senjata tombak, serapang dan lain-lainnya.
Dalam peristiwa itu telah terbunuh tuan Controleur Domes dan Adspirant Wehonleshen serta seorang anak emasnya. Sementara 4 orang lainnya dapat melarikan diri. Mereka itu antara lain opas Dalau dan Kiai Negara. Peristiwa tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan Pemberontakan Amuk Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang secara resmi diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimkan ke desa asal kelahirannya Hantarukung.
23. Pasukan Belanda menyerang kampung Hantarukung
Kejadian terbunuhnya Controleur dan Adspirant Belanda tersebut segera sampai kepada pejabat-pejabat Belanda di Kandangan. Kemarahan pihak Belanda tidak dapat terbendung lagi. Besok harinya pada hari Senin tanggal 19 September 1899 sekitar jam 1.00 siang pasukan Belanda datang untuk mengadakan pembalasan terhadap penduduk. Serangan pembalasan tersebut dipimpin oleh Kiai Jamjam putera daerah sendiri, dengan diperkuat oleh 2 Kompi serdadu Belanda bersenjata lengkap. Penduduk Hantarukung telah menyadari pula peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk di bawah pimpinan Bukhari, Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata mereka dipinggiran hutan dan keliling danau menanti kedatangan pasukan Belanda. Ketika sampai di desa Hantarukung di suatu awang persawahan, melihat keadaan sepi Kapten Belanda melepaskan tembakan peringatan agar penduduk menyerah. Pada waktu itulah Bukhari bersama-sama H. Matamin dan Landuk tampil dengan senjata terhunus maju menyerbu musuh sambil mengucapkan “Allahu Akbar” berulang-ulang. Tindakan Bukhari tersebut diikuti para pengikutnya yang sudah siap untuk berperang, pertempuran sengit terjadi. Bukhari, H. Matamin dan Landuk dan Pengerak Yuya gugur di tembus peluru Belanda. Melihat pemimpin-pemimpin mereka terbunuh penduduk lari menyelamatkan diri.
Demikianlah dalam peristiwa 2 hari di Hantarukung tersebut telah terbunuh masing-masing di pihak Belanda adalah Controleur Domes, Adspirant Wehonleschen dan seorang pembantunya. Sementara dari pihak penduduk telah gugur : Bukhari, Haji Matamin, Landuk, Pangerak Yuya. Peristiwa ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh Belanda terhadap penduduk yang terlibat terutama penduduk di desa Hantarukung, Hamparaya Ulin, Wasah Hilir dan Simpur. Penangkapan segera dijalankan oleh militer Belanda.
Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 23 orang yakni : Hala, Hair, Bain, Idir, Sahintul, H. Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang, Tasin, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan dan Atmin. Selanjutnya yang mati didalam penjara adalah : Hala, Hair, Bain, dan Idir. Sedangkan yang mati digantung adalah : Sahitul, H. Sananddin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang dan Tasin. Mereka yang dibuang keluar daerah adalah: Bulat, Suddin, Matasin, Yasin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan Santar. Jenazah Bukhari, Landuk dan Matamin dimakamkan di Kampung Perincahan, Kecamatan Kandangan (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) yang dikenal dengan makam Tumpang Talu. Sedangkan sembilan orang dihukum gantung oleh Belanda tersebut dimakamkan di kuburan “Bawah Tandui” di Kampung Hantarukung di Kecamatan Simpur (Hulu Sungai Selatan).
24. Hancurnya Pagustian dan Manawing dan Berakhirnya Perang Banjar (1905)
Pagustian atau Dewan Pertahanan adalah benteng pertahanan yang dibangun Tumenggung Surapati pada tahun 1865, yaitu 3 tahun setelah Pangeran Antasari meninggal karena sakit. Pagustian ini terletak di Gunung Bondang, diudik Sungai Lawung, daerah Puruk Cahu. Pertahanan yang kedua terletak di Manawing, yaitu kampung Bomban, Kalang Barat diudik Baras Kuning, Barito. Berbagai suku Dayak dapat disatukan oleh Sultan Muhammad Seman seperti suku Dayak Dusun, Nagaju, Kayan, Siang, Bakumpai dan suku Banjar Hulu, baik yang beragama Islam maupun yang masih menganut kepercayaan Kaharingan. Panglima Batur adalah salah seorang Panglima yang setia pada Sultan Muhammad Seman. Panglima Batur seorang Panglima dari suku Dayak yang telah beragama Islam berasal dari daerah Buntok-Kecil, 40 Km di udik Muara Teweh. Gelar Panglima khusus untuk daerah suku-suku Dayak pada masa itu menunjukkan pangkat dengan tugas sebagai kepala yang mengatur keamanan dan mempunyai pasukan sebagai anak buahnya. Seorang panglima adalah orang yang paling pemberani, cerdik, berpengaruh dan biasanya kebal. Gelar Tumenggung adalah gelar untuk jabatan sebagai kepala suku, sedangkan gelar Panghulu adalah gelar untuk jabatan sebagai Kepala Adat/kepala agama. Panglima dan para Tumenggung yang membantu perjuangan Sultan Muhammad Seman untuk melawan Belanda adalah Panglima Umbung dari Mangkatib, Mat Narung dari Putu Sibau, Batu Putih dari Kapuas, Tumenggung Lawas, Tumenggung Nado, Tumenggung Tawilen, Panglima Amit, Panglima Bahe dan lainnya. Panglima Batur yang bersama Sultan mempertahankan benteng terakhir di Sungai Manawing dalam perjuangan mereka melawan Belanda. Pada saat Panglima Batur mendapat perintah untuk pergi ke Kerajaan Pasir untuk memperoleh mesiu, saat itulah benteng Manawing mendapat serangan Belanda. Pasukan Belanda dibawah pimpinan Letnan Christofel yang berpengalaman dalam perang Aceh, dengan sejumlah besar pasukan marsose159 yang terkenal ganas dan bengis, menyerbu benteng Manawing pada Januari 1905. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini Sultan Muhammad Seman tidak dapat bertahan. Sultan tertembak dan dia gugur sebagai kesuma bangsa. Ia adalah sultan terakhir dari Kerajaan Banjar dalam pemerintahan pelarian di daerah Barito. Sultan Muhammad Seman benar-benar konsekwen terhadap sumpah melaksanakan amanah ayahndanya Pangeran Antasari yang tidak kenal kompromi dengan Belanda, “Haram manyarah waja sampai kaputing”.
159 Korps bukan militer yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1890 untuk menangani tugas kepolisian dan jika perlu membantu dalam tugas kemiliteran. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi Ketiga, Depdiknas, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hal. 717.
Tertegun dan dengan rasa sedih yang mendalam ketika Panglima Batur kembali ke benteng Manawing yang musnah, dan Sultan Muhammad Seman, pimpinannya telah tewas. Panglima Batur dan teman seperjuangannya Panglima Umbung pulau ke kampung halaman mereka masing-masing. Panglima Umbung kembali ke Buntok-Kecil. Sultan Muhammad di Seman di makamkan di puncak gunung di Puruk Cahu. Kini Panglima Baturlah satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih bertahan. Ia terkenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh dengan sumpah yang telah diucapkannya, tetapi ia mudah terharu dan sedih jika melihat anak buahnya atau keluarganya yang jatuh menderita. Hal itu diketahui oleh Belanda kelemahan yang menjadi sifat Panglima Batur, dan kelemahan inilah yang dijadikan alat untuk menjebaknya. Ketika terjadi upacara adat perkawinan kemenakannya di kampung Lemo, dimana seluruh anggota keluarga Panglima Batur terkumpul, saat itulah serdadu Belanda mengadakan penangkapan. Pasangan mempelai yang sedang bertanding juga ditangkap dimasukkan ke dalam tahanan, dipukuli dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Cara inilah yang dipakai Belanda untuk menjebak Panglima Batur. Dengan perantaraan Haji Kuwit salah seorang saudara sepupu Panglima Batur Belanda berusaha menangkapnya. Atas suruhan Belanda Haji Kuwit mengatakan bahwa apabila Panglima Batur bersedia keluar dari persembunyian dan bersedia berunding dengan Belanda, barulah tahanan yang terdiri dari keluarganya dikeluarkan dan dibebaskan, dan sebaliknya apabila Panglima tetap berkeras kepala, tahanan tersebut akan ditembak mati. Hati Panglima Batur menjadi gundah dan dia sadar bahwa apabila dia bertekad lebih baik dia yang menjadi korban sendirian dari pada keluarganya yang tidak berdosa ikut menanggungnya. Dengan diiringi orang-orang tua dan orang sekampungnya Panglima Batur turun ke Muara Teweh. Benar apa yang menjadi kata hatinya, bukan perundingan tetapi ia ditangkap sebagai tawanan dan selanjutnya dihadapkan di meja pengadilan. Ini terjadi pada tanggal 24 Agustus 1905. Setelah dua minggu di tawan di Muara Teweh, Panglima Batur diangkut dengan kapal ke Banjarmasin. Di kota Banjarmasin dia diarak keliling kota dengan pemberitahuan bahwa inilah pemberontak yang keras kepala dan akan dijatuhkan hukuman mati. Pada tanggal 15 September 1905 Panglima Batur dinaikkan ketiang gantungan. Permintaan terakhir yang diucapkannya dia minta dibacakan “Dua Kalimah Syahadat” untuknya. Dia dimakamkan di belakang masjid Jami’ Banjarmasin, tetapi sejak 21 April 1958 jenazahnya dipindahkan ke kompleks “Makam Pahlawan Banjar”. Gugurnya Sultan Muhammad Seman dan jatuhnya benteng pertahanan Manawing, tertangkapnya Panglima Batur pada tahun 1905, maka Perang Banjar yang dimulai dengan penyerangan terhadap benteng dan tambang batu bara Oranje Nassau di Pengaron tahun 1859, dinyatakan berakhir pada tahun 1905.160 Tokoh-tokoh pejuang yang tetap bertahan tidak mau menyerah akhirnya terpaksa menyerah, mereka dibuang keluar dari bumi bekas Kerajaan Banjar sebagai tawanan perang hidup dalam pengasingan sampai hayat mereka berakhir. Salah satu diantaranya adalah Gusti Muhammad Arsyad menantu Sultan Muhammad Seman. Gusti Muhammad Arsyad dibuang ke Bogor pada 1 Agustus 1904. Gusti Muhammad Arsyad dan isterinya Ratu Zaleha, puteri Sultan Muhammad Seman berjuang bersama ayahnya dengan penuh keberanian. Setelah benteng Manawing jatuh ia bersembunyi ke Lahai dan selanjutnya ke Mia di tepi sungai Teweh yang dianggap mereka aman dari pengejaran Belanda. Suaminya Gusti Muhammad Arsyad setahun sebelum benteng Manawing jatuh telah menyerah kepada Belanda karena pengepungan yang menyebabkan ia tidak dapat melarikan diri lagi. Karena selalu dikejar-kejar oleh serdadu Belanda. Gusti atau Ratu Zaleha merasa sangat letih disamping pisiknya juga tidak mengizinkannya lagi, akhirnya dia pada awal tahun 1906 menyerahkan diri kepada Belanda. Atas permintaannya Ratu Zaleha mengikuti suaminya dalam pengasingan di Bogor menghabiskan sisa-sisa usianya. Ratu Zaleha diikuti oleh ibunya Nyai Salamah. Keluarga Ratu Zaleha sebagai kelompok Pagustian dianggap berbahaya untuk daerah Kalimantan Selatan dan Timur.
160 Dengan runtuhnya kekuasaan Pagustian di Baras Kuning, maka sesungguhnya Perang Banjar berlangsung kurang lebih 40 tahun, bukan 4 tahun sebagaimana dikatakan W.A. Van Rees dalam bukunya De Bandjermasinsche Krijg van 1859-1863, Thieme, Arnhem, 1865.
Sebagai orang tawanan Gusti Muhammad Arsyad mendapat tunjangan sebesar f 300, perbulan terhitung sejak 1 Mei 1906 sedangkan isterinya Ratu Zaleha mendapat f 125, sebagai tambahan untuk memelihara 7 orang anggota keluarganya. Tunjangan ini berdasarkan surat Sekretaris Goebernemen 25 Juli 1906 no. 1198 yang ditujukan kepada Ekslensi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, dan Assisten Residen Bogor.
E. AKIBAT-AKIBAT SOSIAL POLITIK PERANG BANJAR
Perang Banjar diawali dengan timbulnya perasaan tidak puas dengan situasi dan kondisi saat itu. Perasaan tidak puas itu disebabkan karena terlalu banyaknya campur tangan bangsa Belanda, bangsa asing yang oleh Orang Banjar saat itu dikenal sebagai “Orang kafir”. Bangsa Belanda sebagai pedagang yang saat pertama kali memasuki daerah Kerajaan Banjar memperhatikan potensi perdagangan yang mendatangkan keuntungan bagi bangsa Belanda. Untuk memperoleh keuntungan itu bangsa Belanda menggunakan segala cara dari mulai cara lemah lembut dan bentuk persahabatan, akhirnya dalam bentuk tindakan tekanan dan kekerasan demi memperoleh keuntungan. Sebagai pedagang maka bangsa Belanda berhadapan dengan bangsa Banjar yang juga bangsa pedagang. Persainganpun terjadi dan persaingan yang menggunakan pengaruh kekuatan dan menimbulkan konflik antar dua bangsa. Disamping membahayakan bagi kerajaan Banjar secara politik dan ekonomis, juga kedatangan bangsa Belanda melahirkan pertentangan antara agama Islam dan Kristen konflik ini akan melahirkan bentuk perang membela agama, perang sabil, perang suci yang menyebabkan rakyat Banjar tidak takut mati karenanya. Perasaan tidak puas terhadap campur tangan bangsa asing ini melahirkan gerakan dengan aspek nativisme seperti yang dilancarkan oleh Panambahan Muda Datu Aling. Gerakan ini mengiginkan situasi dan kondisi Kerajaan Banjar yang diidealkan seperti dulu semasa pemerintah Sultan Kuning, bebas dari pengaruh bangsa asing, dikemukakannya tradisi nenek moyang yang berlaku turun temurun dengan rakyat yang hidup makmur bahagia. Golongan bangsawan mempergunakan gerakan ini beserta gerakan Balangan yang dipimpin Jalil melahirkan dan meningkatkan perang menjadi Perang sabil, perang suci membela agama dan melibatkan seluruh rakyat Banjar dari Kerajaan Banjar. Hasrat kembali kepada pra-penetrasi Belanda, berarti pula kembali kepada penyempurnaan hak-hak feodal dan sistem tradisional dimana kelompok ruling class, kelompok penguasa yang ideal duduk memerintah untuk mengembalikan harmoni kebudayaan suku Banjar beserta kemakmuran rakyatnya. Perang Banjar dipercepat dengan timbulnya konflik antar kelompok yang berhak dengan kelompok yang mendapat dukungan Belanda, antara kelompok Pangeran Hidayat dengan kelompok Pangeran Tamjidillah. Dengan dasar inilah Belanda mengirakan bahwa Perang Banjar itu disebabkan oleh konflik antar keluarga yang tidak terpecahkan, maka Belanda dalam hal ini Comissaris Kolonel Andressen, memaksa dengan cara halus menurunkan Sultan Tamjidillah al Wasik Billah dari kedudukannya sebagai Sultan Banjar pada tanggal 25 Juni 1859. Dengan kosongnya tahta ini diharapkan dapat ditempuh langkah politik selanjutnya, dan kesalahan dengan pelantikan terhadap raja yang lalu dengan segala akibatnya secara berangsur dapat dihapuskan. Ternyata analisa Kolonel Andresen ini keliru, sebab perang bukannya makin mereda bahkan makin bertambah besar dan meluas. Tindakan Andresen ini dianggap keliru karena itu dia diganti dengan politik kekerasan dari Gouvernement-Comissaris yang baru F.N.Niewenhuyzen dengan mengambil tindakan memecat Mangkubumi dalam suatu publikasi pada 5 Februari 1860. Sebetulnya pemecatan Mangkubumi Pangeran Hidayat dan kemudian dilanjutkan dengan penghapusan Kerajaan Banjar oleh Belanda pada 11 Juni 1860, adalah sebagai realisasi dari Gouvernements Besluit 17 Desember 1859 dimana dicantumkan bahwa kerajaan tak lagi diberi pimpinan, demi keselamatan operasional tambang batu bara termasuk daerah-daerah yang potensial mengandung lapisan batu bara untuk ditambang. Pangeran Hidayat sebagai bangsawan dan Mangkubumi Kerajaan yang meminpin rakyat melawan penjajah Belanda pada tahun 1862 menyerahkan diri dan akhirnya dibuang ke Cianjur. Pangeran Antasari seorang bangsawan yang dapat menghimpun kekuatan Orang Banjar dengan Dayak berjuang tanpa kompromi melawan Belanda, dilantik dengan gelar Panambahan Amiruddin Khalifatul Mu’minin akhirnya meninggal karena sakit pada tahun 1862. Kiai Demang Lehman sebagai patriot sejati akhirnya tertangkap dan dihukum gantung sampai mati pada tahun 1864, sedangkan Kiai Adipati Tumenggung Jalil tewas dalam pertempuran mempertahankan benteng Tundakan tahun 1861. Dengan gugurnya atau tertangkapnya tokoh-tokoh pejuang maka pada tahun 1865 perlawanan secara frontal sudah berkurang, tetapi perang Banjar itu belum berakhir. Sultan Banjar terakhir yang gugur dalam pertempuran mempertahankan benteng Manawing 1905 adalah Sultan Muhammad Seman. Sejak runtuhnya kekuasaan Pagustian di Baras Kuning dan Manawing upaya-upaya terorganisir membangkitkan kembali pemerintahan Kerajaan Banjar hampir tidak ada lagi. Peristiwa yang ada hanyalah pemberontakan-pemberontakan sporadis yang digolongkan sebagai gerakan sosial seperti Pemberontakan Guru Sanusi di Amuntai tahun 1914-1918 dan Pemberontakan Gusti Darmawi161 di Kelua, tahun 1927 dan yang paling akhir adalah perlawanan di Hariyang tahun 1937. Perang Banjar yang berlangsung mulai tahun 1859 dan berakhir pada tahun 1905 membawa akibat-akibat sosial politik bagi daerah Banjar dan rakyat Banjar itu sendiri.
Akibat-akibat itu antara lain adalah :
a) Dihapuskan Kerajaan Banjar dan seluruh bekas daerah kerajaan itu dimasukkan ke dalam tatanan baru Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van Borneo.
b) Kota Martapura sebagai bekas ibu kota kerajaan sejak tahun 1864, tanggal 19 Juni, susunan pemerintahnya sebagai berikut : Kapten C.J.Meyer Kepala militer / sipil B.J.Suringa Pembantu bagian sipil Pangeran Jaya Pemenang Regent Raden Rastan Jaksa Haji Muhammad Khalid Mufti Kiai Suta Marta Kepala Distrik Haji Makhmud Penghulu
161 Dalam M. Idwar Saleh et al, Sejarah Daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Banjarmasin, 1978/1979, hal. 48-49, tertulis Gusti Barmawi. Seharusnya Gusti Darmawi dan harus dibedakan dengan H. Ahmad Barmawi Thaib, tokoh Parindra cabang Kandangan.
c) Disisihkannya satu lapisan super elite dan satu lapisan aristokrat fungsional dari birokrasi lama.
d) Perang Banjar diartikan sebagai suatu “religius expression of secular conflict” yang bersifat politik ekonomis dan sosial kultural, dalam arti khusus mempertahankan kedudukan dan sistem Kerajaan dibawah Pangeran Hidayat sebagai raja yang menurut tradisi dan wasiat Sultan Adam adalah sah. Dalam arti umum Perang Banjar itu berwujud sebagai “a religio-political attack” atas penjajah kafir. Perang Banjar adalah perang suci, perang sabil, perang sebagai jihad fi sabilillah.
e) Golongan yang paling terpukul sebagai akibat dari perang ini adalah golongan bangsawan sebagai interest group. Pangeran Hidayat adalah “Tatuha Bubuhan Raja-Raja” yang kedudukannya diakui sesuai dengan wasiat Sultan Adam tulang punggung dan pusat harapan golongan bangsawan. Hilangnya Pangeran Hidayat berarti harapan-harapan ke arah kemungkinan restorasi kerajaan tertutup sama sekali, yang berarti pula tersisihnya mereka sebagai ruling-class dan lenyapnya segala kebesaran-kebesaran tradisional, lenyapnya kekuasaan dimasa lampau.
f) Penghapusan tanah apanase Dalam Gouvernements Indisch Besluit 17 Desember 1859 telah diputuskan bahwa Kerajaan Banjar tidak lagi diberikan sebagai pinjaman (vazal) kepada salah satu calon sultan yang akan datang. Sebagai realisasi putusan ini Komisaris Guberneman F.N.Nieuwenhuyzen telah mengeluarkan Besluit 11 Juni 1860 No.24 berupa proklamasi penghapusan kerajaan Banjar. Pada akhir proklamasi itu disinggung pula masalah pemungutan hasil dan pemilikan tanah apanase. Tanah apanase akan dihapuskan dan kepada mereka akan diberi diganti rugi, tetapi bagi pemilik tanah apanase yang ikut dalam Perang Banjar, hak memperoleh ganti rugi itu dibatalkan. Tanah apanase merupakan sumber penghasilan sultan dan seluruh golongan raja-raja. Tanpa tanah apanase kedudukan sosial, pengaruh dan wibawa golongan bangsawan akan surut.
Mereka yang terlibat langsung dalam Perang Banjar yang oleh Belanda disebut “pemberontak” tidak memiliki hak ganti rugi tanah apanase yang dihapus. Dalam kategori ini termasuk Pangeran Hidayat dengan seluruh keluarga, pangeran Antasari, Pangeran Aminullah dan mertuanya Pangeran Prabu Anom. Disamping itu termasuk golongan aristokrat fungsional yang membantu “pemberontakan”. Mengenai tanah apanase yang dikuasai Nyai Ratu Komala Sari, Ratu Syarif Husein Darmakasuma, Ratu Kasuma Negara, dinyatakan disita untuk Gubernement dengan alasan mereka tidak mau menyerahkannya dan menahan perhiasan-perhiasan mahkota yang menjadi milik kerajaan. Keputusan penghapusan tanah apanase ini dikeluarkan oleh Gouverneur General Hindia Belanda tertanggal 18 Agustus 1863 no.29. Penaksiran toelage ganti rugi tanah apanase yang dihapus disesuaikan dengan penghasilan tanah itu. Dari hasil penaksiran toelage ganti rugi yang dilaporkan ke Betawi sebesar f.84.777,34 setiap tahun. Jumlah ini dianggap Betawi terlalu besar, dan selanjutnya menetapkan bahwa Residen hanya boleh mengeluarkan f.20.000,- setahun sebagai taksiran maksimum. Untuk menetapkan besar kecilnya toelage ganti rugi yang ditetapkan kepada para bangasawan yang berhak menerimanya dibentuk sebuah komisi yang diketuai oleh Regent Martapura Pangeran Jaya Pemenang dibantu Kiai Patih Goena Wijaya. Mereka dianggap paling mengetahui tentang tanah apanase ini. Hasil kerja komisi yang kemudian disetujui oleh Residen besarnya toelage ganti rugi yang dibayar pemerintah Belanda hanya sebesar f.14.556,- setiap tahun. Dari jumlah penghasilan tanah apanase yang diperoleh para bangsawan ditaksir sebesar f.84.777,34 tetapi yang dapat disetujui untuk dibayar hanya sebesar f.14.556,- Betapa merosotnya sumber ekonomi rumah tangga para bangsawan yang tidak ikut dalam Perang atau yang ikut membantu Belanda dalam perang itu. Para bangsawan yang memperoleh toelage ganti rugi sebanyak 29 orang dan dari jumlah ini 6 orang dari golongan aristokrat fungsional dan 23 orang dari golongan bangsawan biasa. Diantara 23 orang bangsawan yang memperoleh ganti rugi paling banyak adalah Pangeran Jaya Pamenang, jabatannya dalam struktur baru pemerintahan Belanda adalah Regent Martapura yang dijabatnya sejak tahun 1861 dan kemudian sebagai Ketua Komisi penetapan toelage ganti rugi tanah apanase. Besarnya f.6.000,- setahun. Merosotnya penghasilan kaum bangsawan itu sebagai contoh dapat dilihat pada anak-anak dan keluarga almarhum Pangeran Soeria Mataram yang diberi toelage sebesar f.100,- sebulan atau f.1.200,- setahun, padahal penghasilan tanah apanase ini pada masa kerajaan adalah sebesar f.10.000,- setahun, disamping pemasukan lainnya. Contoh golongan aristokrat fungsional adalah tiga bersaudara anak-anak Kiai Adipati Danuraja. Mereka mendapatkan f.15,- per-orang atau sebesar f.450,- bertiga setahunnya, pada hal penghasilan pada masa kerajaan adalah sebesar f.8.000,-setahunnya. Bagi golongan bangsawan tindakan ini merupakan pukulan terakhir dalam bidang ekonomi, suatu tindakan pemerintah Belanda yang paling menentukan bagi kelangsungan mereka mempertahankan status sosial dalam hierarki sistem status yang baru. Disamping itu golongan ini menghadapi perubahan sosial yang amat cepat dan sistem nilai yang baru dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda.
g) Perubahan status sosial ekonomi sesudah tahun 1863 Setelah Perang Banjar selesai pada tahun 1905 daerah dan masyarakat Banjar mengalami perubahan. Orang Banjar sebagai warganegara dari sebuah kerajaan merdeka adalah sebuah bangsa atau nation yaitu bangsa Banjar yang mempunyai kedudukan sederajat dengan bangsa-bangsa merdeka lainnya. Tetapi setelah perang usai, bangsa Banjar yang sebelumnya adalah bangsa merdeka, turun derajatnya menjadi bangsa jajahan dan hanya dikenal sebagai Orang Banjar, sebagai inlander dari penduduk Hindia Belanda. Daerah Kerajaan Banjar yang telah dihapuskan dimasukan dalam suatu bentuk tatanan ketatanegaraan baru menjadi sebuah Residensi dari Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengkonsolidasi pemerintahan dibentuk organisasi baru yang modern dan sentralistis. Golongan bangsawan fungsional yang merupakan elite ruling class lenyap dan kedudukannya digantikan golongan birokrasi Hindia Belanda. Mula-mula golongan bangsawan fungsional yang sebelumnya membantu Belanda dalam Perang Banjar, mendapat tempat dalam birokrasi baru ini. Dengan dasar kriteria turunan dan otoritas kharisma, golongan bangsawan memperoleh kepercayaan menjabat sebagai Regent sebagai jabatan tertinggi, kemudian sabagai Kiai menjadi Kepala Distrik, sebagai jaksa, sebagai kepala polisi dan jabatan lainnya. Kriteria pemilihan pegawai untuk menduduki jabatan tertentu kemudian berubah sesuai dengan perkembangan masa itu. Untuk jabatan sebagai Kiai yang mengepalai sebuah distrik diperlukan lulusan pendidikan MOSVIA dan Sekolah Raja. Keperluan untuk pegawai rendahan memaksa Belanda untuk mendirikan Sekolah Kelas Dua dan Sekolah Kelas Satu, sedangkan untuk anak-anak Eropah khusus didirikan Europese Lagere School (ELS). Kecuali daerah Barito, seluruh daerah Hulu Sungai terbuka bagi lalu lintas perdagangan. Sistem talian yang amat mencekik para pedagang dihapus; ketertiban dan keamanan memungkinkan timbulnya usaha-usaha baru. Hubungan perdagangan langsung dengan Surabaya dan Singapore membuka perspektif bagi pengusaha perkebunan untuk menanam tanaman yang menghasilkan untuk di ekspor, selain mengekspor hasil-hasil hutan seperti rotan, damar, lilin. Dengan perdagangan dari kalangan rakyat biasa. Naik haji menjadi lebih mudah dengan beroperasinya kapal Belanda KPM. Persentase jumlah orang naik haji untuk daerah ini cukup tinggi, begitu pula jumlah para ulama hasil pendidikan Perguruan Tinggi Al Azhar Kairo-Mesin makin bertambah besar, sebagai usaha kaum ulama untuk menandingi pendidikan Barat yang dibangun Belanda. Pertumbuhan kampung dan kota mengalami perubahan. Dari Banjarmasin melalui Martapura Belanda membangun jalan raya besar ke Hulu Sungai sampai dengan Ampah, Muara Uya. Untuk menjaga keamanan dan mudah mengadakan kontrol, Belanda memaksa memindahkan kampung-kampung yang pada mulanya disepanjang sungai, dipindah disepanjang jalan raya yang dibangun Belanda. Muncullah desa-desa baru yang rumah-rumahnya berbaris menghadapi jalan raya. Disetiap persimpangan sungai yang strategis dibuat benteng pengawasan wilayah. Dengan demikian muncul kota-kota baru seperti Rantau, Kandangan, Barabai, Tanjung, Pelaihari dan sebagainya. Pembuatan jalan raya ini membuka daerah yang terisolasi, penting bagi pengawasan militer Belanda, tetapi juga membawa pengaruh bagi perkembangan ekonomi perdagangan.
Perubahan ini sangat mempengaruhi kelompok kaum bangsawan dan sesudah tahun 1863 yaitu setelah tanah apanase sumber penghasilan kaum bangsawan dihapus oleh Belanda, kaum bangsawan menghadapi krisis prestise. Dengan dihapusnya kerajaan, kekuasaan politik pemerintahan pindah ketangan super elite baru, pemerintah Hindia Belanda. Kedudukan politis kaum bangsawan sama dihadapan penjahan Belanda, sebagai “inlander” mempunyai kewajiban yang sama membayar pajak dan lain sebagainya. Kaum bangsawan tidak memperoleh hak sebagai pelaksana politik kecuali bagi mereka yang memperoleh pendidikan tertentu. Gelar kebangsawanan lama kelamaan tidak membawa pengaruh apa-apa di kalangan rakyat Orang Banjar. Orang Banjar berjiwa dagang dengan semangat Islam yang tinggi dan menghargai seseorang bukan dengan dasar gelar kebangsawanan atau harta benda, tetapi dengan dasar ketaqwaan terhadap Allah, karena itulah golongan ulama mendapat kehormatan sepanjang masa sejak dulu sampai sekarang. Pedagang Banjar muncul sebagai pedagang kelas menengah dan menguasai perdagangan hasil hutan daerah Barito. Perdagangan mereka cukup kuat dan perdagangan Orang Banjar menggunakan kapal-kapal layar sendiri sampai menjalani rute Banjarmasin-Singapore-Madras India. Perdagangan Sungai Barito dikuasai oleh golongan pedagang Banjar dan ketika Borsumy membuka kantor cabangnya di Banjarmasin, Borsumy terlebih dahulu mengadakan perundingan dengan kelompok pedagang Banjar agar operasional mereka tidak terganggu. Akibat perubahan situasi ekonomi perdagangan ini, maka golongan bangsawan kedudukannya merosot sama sekali, mereka sekarang merupakan golongan yang diatur tata ekonominya dan sekarang menjadi golongan konsumtif dan posisi mereka menurun. Hal ini membawa akibat pula dalam bidang kebudayaan daerah. Hilangnya keraton, menyebabkan sarana untuk perkembangan kesenian klasik ikut berkurang dan disamping itu sikap golongan ulama yang tidak menyenangi budaya keraton. Kesenian kelasik mengalami proses disintegrasi dan akhirnya hampir tidak dikenal lagi di kalangan luas masyarakat Banjar. Dalam masyarakat tradisional, golongan bangsawan merupakan golongan yang memberi identitas kepada kebudayaan masyarakat Banjar disamping Islam. Sesudah tahun 1863 golongan ini berada dalam keadaan kritis nilai, sehingga kedudukan mereka sebagai kekuatan sosial menjadi lemah dan secara berangsur-angsur hilang beralih ke dalam lapisan sosial yang lain dan akhirnya mengalami krisis identitas. Identitas bangsawan yang sekarang masih ada hanya berupa gelar-gelar didepan nama yang tak berfungsi lagi ditinjau dari segi status bangsawan seperti semula. 

 (Selesai)

Sumber : Sejarah


Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 9)

Sejarah Masuknya Islam di Kerajaan Banjar (Bag. 9)


1. Pangeran Antasari dan Kerajaan Muning
Pangeran Antasari adalah seorang putera hasil perkawinan antara Pangeran Masohut dengan Gusti Hadijah puteri Sultan Suleman. Kakeknya adalah Pangeran Amir yang dibuang ke Srilangka akibat dari pertentangan antara Pangeran Amir yang ingin mengambil hak atas tahta yang sah dengan pihak Sultan Nata Alam. Dengan bantuan Belanda, Pangeran Amir dikalahkan dan mengalami nasib dalam pembuangan ke Srilangka (1787). Kematian Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bergelar Ratu Anom (1759-1761) pada saat Pangeran Amir salah seorang puteranya masih belum dewasa. Pangeran Amir berserta saudara-saudaranya Pangeran Abdullah dan Pangeran Rahmat ditinggalkan orang tuanya dalam status belum dewasa. Sesuai dengan tata aturan kerajaan saat itu pemerintahan dipegang oleh Wali Sultan oleh pamannya Pangeran Nata Alam. Ambisi untuk merebut kekuasaan dari keturunan yang sah menyebabkan ketiga bersaudara putera-putera Sultan Muhammad Aliuddin tersingkir. Untuk merukunkan kedua pihak keluarga ini dilakukan oleh Sultan Suleman dengan cara mengawinkan puterinya dengan Pangeran Masohut anak dari Pangeran Amir. Pangeran Masohut juga dijadikan anggota dari Dewan Mahkota yang berfungsi sebagai Dewan Penasihat terhadap Sultan. Disamping itu juga Pangeran Masohut diikut sertakan dalam berbagai kegiatan politik seperti ikut menanda tangani beberapa perjanjian politik dengan pihak Belanda. Selanjutnya Sultan Suleman mengawinkan cucunya Sultan Muda Abdurrahman dengan Ratu Antasari adik dari Pangeran Antasari. Sultan Muda Abdurrahman adalah putera mahkota, calon sultan kalau nanti Sultan Adam meninggal. Seandainya Ratu Antasari ini panjang umurnya, maka generasi yang sah dari keturunan Sultan Kuning atau Sultan Hamidullah akan berlanjut kembali, tetapi kenyataannya berbeda karena Ratu Antasari lebih dahulu meninggal sebelum memberi keturunan. Pangeran Antasari tinggal di kampung Antasan Senor Martapura. Dia adalah seorang sederhana yang tidak terpandang sebagai layaknya seorang bangsawan. Sebagai bangsawan yang tidak dikenal dia hanya memiliki tanah lungguh (apanage) di daerah Mangkauk sampai daerah Wilah dekat Rantau yang berpenghasilan hanya f.400 setahun. Penghasilan ini tidak mencukupi keluarganya sebagaimana seorang bangsawan saat itu. Ia dianggap sebagai orang yang tidak mempunyai kemampuan apa-apa tanpa penonjolan sifat-sifat yang menunjukkan ia seorang pemimpin, hidup terlupakan ditengah-tengah rakyat biasa dan saat itu telah berumur sekitar 50 tahun. Tetapi pada saat yang paling menentukan,saat situasi sewenang-wenang, campur tangan Belanda yang menodai tradisi, serta masuknya budaya barat yang merusak norma-norma agama Islam, ternyata Pangeran Antasari adalah seorang tokoh yang paling diharapkan. Dia ternyata seorang ahli siasat dan strategi, kecerdasan otak yang tinggi dan memiliki keberanian yang tinggi dan memiliki keberanian yang mengagumkan. Gerakan Muning yang muncul kemudian erat sekali dengan kepemimpinannya dan Pangeran Antasari pula yang memberi semangat patriotisme untuk mengusir penjajah Belanda yang mencampuri urusan dalam Kerajaan Banjar. Gerakan Muning muncul di daerah Banua Ampat di kampung Kumbayau dekat Lawahan sekarang. Daerah Muning terdapat sepanjang Sungai Muning dan induk sungainya bermuara di Sungai Negara atau Sungai Bahan. Sungai Tapin yang ada sekarang saat itu belum dikenal. Selain Banua Lima, maka daerah Banua Ampat ini merupakan gudang padi Kerajaan Banjar. Daerah ini, merupakan daerah rawa daerah aliran pasang surut. Rakyatnya hidup dari hasil sawah disamping mencari ikan air tawar. Daerah Muning pada mulanya adalah tanah lungguh apanase yang dimiliki Pangeran Prabu Anom putera Sultan Adam tetapi setelah Pangeran ini dibuang ke Jawa, daerah Muning dirampas oleh Sultan Tamjidillah. Di daerah yang berawa-rawa inilah terletak kampung Kumbayau yang saat itu hanya terdiri kurang lebih 23 buah rumah. Disalah sebuah rumah tersebut tinggalah seorang tua yang bernama Aling. Pada masa mudanya Aling merupakan perampok sungai yang paling ditakuti. Namun sekarang dia telah tobat, menjalankan amal kebaikan dan menjadi seorang yang saleh dan taat pada ajaran agama Islam. Akhirnya dia dikenal karena kesalehannya. Ketika Belanda melantik Pangeran Tamjidillah menjadi Sultan kerajaan, Pangeran Antasari meminta kepada Aling yang saleh itu untuk melakukan tapa dan mohon kepada Allah SWT agar diberi petunjuk apa yang akan terjadi dan bagaimana harus berbuat menghadapi Kerajaan yang tidak menentu itu. Sejak itu Aling melakukan tapa dengan berpuasa, berzikir, dan shalat terus menerus agar diberi petunjuk oleh Allah Yang Maha Kuasa, selama 9 bulan, 9 hari. Khalwat atau tapa ini dimulai sejak akhir bulan April 1858 dan berakhir pada awal Februari 1859. Aling dalam melakukan shalat dan zikir tersebut dengan menggunakan 5 buah mata uang yang sama besarnya dan nilainya dan dipindah-pindahkannya antara kedua tangannya berganti-ganti. Pada 10 Rajab 1275 Hijriah atau 2 Februari 1859 Aling menerima petunjuk dengan mendengar suara yang tidak diketahui dari mana datangnya. Ceritera tentang Aling diinformasikan oleh anaknya Sambang kepada Residen J.J. Meijer yang waktu itu menjadi Residen di Banjarmasin. Suara itu berbunyi dalam bahasa Banjar sebagai berikut : “Ikam nang baamal dengan kesukaan aku, akan parmintaan ikam mandapat nagri dan pagustianikam batatap, kardjaakan, barbunyian, mau raja-raja gaib manolong ikam, sakira-kira jadi salamat nagri dan rajapun tatap. Tatapi Pangeran Antasari ikam aturi ka Muning”.140 Dalam bahasa Indonesia berarti : “Engkau yang melakukan amalan zikir, Shalat serta puasa dengan kesukaan atau izinku, akan segala permintaan engkau untuk mendapat negeri dan raja-raja yang bertahta, bunyikanlah bunyi-bunyian. Anakmu yang bisa menari gandut, suruh menarikan gandut dilaksanakan, maka raja-raja gaib akan menolong kamu, sehingga menjadi selamatlah negeri, dan rajapun akan duduk di atas tahta. Tetapi Pangeran Antasari kamu mohon datang ke Muning”. 141
140 J.J. Meijer, Voor Beratib Jaren te Bandjermasin, Iets Over Panembahan Moeda, Sultan Kuning en Goesti Kasran, Figuren Uit Den Bandjermasinchen Opstand 1859, I.G. Tijrib I, 1899, hal. 66-67. 141 M. Idwar Saleh, Pangeran Antasari dan Gerakan Muning, dalam Kalimantan Scientiae, No. 17 Th. VII, Januari 1988, hal. 29.
Perintah dari suara halus itupun segera dilaksanakan. Bunyi-bunyian dengan tarian gandut dilaksanakan pula. Pada tanggal 13 Rajab 1275 atau 17 Pebdruari 1859, anak Aling yang perempuan bernama Saranti kesurupan. Dalam keadaan kesurupan itu Saranti mengaku sebagai Puteri Junjung Buih, yaitu Ratu Mitos dalam periode Negara Dipa. Dia mengeluarkan suara : “Apakah ayahnya ingin anaknya selamat atau mati. Kalau ayahnya ingin supaya anaknya selamat, kawinkanlah dia dengan Dulasa, sebab dia akan dijadikan Ratu Junjung Buih dan suaminya akan menjadi Pangeran Suryanata”. Puteri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata adalah pasangan Raja dan Ratu pada periode Negara Dipa, cakal bakal dari raja-raja Banjar. Perintah ini segera dilaksanakan. Saranti dikawinkan dengan Dulasa dan dijadikanlah sebagai Puteri Junjung Buih dan suaminya menjadi Pangeran Suryanata. Maka terbentuklah “Kerajaan Muning”. Selanjutnya Ratu mengorganisir pemerintahan “Kerajaan Muning”. Ayahnya Aling diangkat dengan Gelar Panambahan Muda, kakaknya yang paling tua yang bernama Sambang mendapat gelar Sultan Kuning. Sultan Kuning adalah gelar dari Sultan Hamidullah. Raja Banjar abad ke- 17 dan periode Sultan ini dikenal sebagai masa yang paling aman, dan kemakmuran meningkat, disamping itu Sultan Kuning adalah nenek moyang garis keturunan yang sah dalam tradisi raja-raja Banjar, dan Muning dari Pangeran Antasari. Saudara perempuan Saranti yang tertua bernama Nuriman diberi gelar Ratu Keramat sedangkan suami Nuriman diberi gelar Khalifah Rasul. Anak laki-laki Aling yang kedua bernama Usang diberi gelar Kindu Mui, yaitu nama salah seorang Mantri yang terkenal dalam pemerintahan Ratu Anum dalam Keraton Negara Daha. Saudara sepupunya yang laki-laki diberi gelar Pangeran Mangkubumi Kesuma Wijaya, sedangkan sepupunya yang perempuan diberi gelar Siti Fatimah. Ratu Puteri Junjung Buih juga mengangkat empat orang Mantri baru dengan gelar-gelar yang dikenal pada masa Keraton Negara Daha, Pangaruntun Manau, Pangaruntun Waluh, Panimba Sagara dan Pambalah Batung. Selain itu ada lagi Mantri yang bergelar : Mindu Aji, Kindu Sara dan Bayan Sampit.
Sebagai Panglima ditunjuk Panglima Sijuntai Langit dan wakilnya Siti Fatimah. Kemudian desa Kumbayau diganti menjadi Tambai Mekkah atau Serambi Mekkah. Setelah aparat kerajaan terbentuk dan semua Mantri sudah lengkap dari “Kerajaan Muning”, maka Panambahan Datu Aling mengibarkan dua buah bendera kuning dan memakai sebuah payung kuning kebesaran. Panambahan Muda Datu Aling dikenal sebagai orang yang seringkali dimasuki muakal dan pengikutnya menyebutnya sebagai “Raja Keramat”. Datu Aling telah dikirim Tuhan untuk menyelamatkan Kerajaan Banjar dari ketidakadilan dan kemungkaran, dan akan menyerahkan tahta kerajaan Banjar kepada yang berhak. Tugas ini harus dilaksanakan dalam waktu tiga bulan. Setelah tugas itu selesai maka semua unsur pejabat kerajaan yang telah dibentuk tidak berfungsi lagi dan mereka kembali menjadi orang Kumbayau seperti semula. Dalam proses penyerahan tahta ini menurut Datu Aling, Orang Belanda tidak perlu dibunuh sebab mereka nantinya akan keluar dari Kerajaan Banjar dengan sendirinya. Keluarga “kerajaan” ini memang memperlihatkan kesaktiannya, sehingga dengan cepat dikenal oleh seluruh desa dan bahkan desa-desa yang jauhpun ikut mengatur sembah ke Kumbayau. Ratu Keramat mengancam kepada mereka yang tidak mau tunduk kepada perintah “Kerajaan” akan ditimpa penyakit kuning dan marabahaya, terutama penyakit kena wisa. Tuhan telah memberi kekuatan pada Datu Aling, sehingga dapat menguasai hidup dan mati orang, dan bagi mereka yang menjadi pengikutnya akan menjadi kebal tubuhnya. Begitu pula Tuhan memberikan tenaga gaib kepada Puteri Junjung Buih yang dapat menghidupkan kembali orang yang mati dengan menyentuh jakunnya. Orang yang telah dihidupkan kembali ini adalan Muna, Andin, Lanting, dan Belakup. Untuk melengkapi sarana ibadah, Datu Aling yang juga bergelar Raja Keramat memerintahkan mencari sebidang tanah untuk mendirikan sebuah masjid. Tanah yang telah dipilih untuk dijadikan lokasi masjid itu adalah sangat suci dan dapat dijadikan untuk keperluan sesuai dengan tujuan yang diinginkan, umpama dijadikan jimat. Pembukaan masjid akan dilakukan pada tanggal 1 Ramadhan atau 04 April 1859 dan akan diresmikan oleh Raja Keramat sendiri.
Berita tentang Kerajaan Muning ini tersebar luas dalam waktu yang singkat dan hampir semua desa dalam daerah Banua Ampat bahkan Di luar Banua Ampat juga mengakui kekuasaan Kerajaan Muning, antara lain : Banua Gadung, Banua Atas, Rantau, Banua Padang, Batang Hulu, Kandangan, Jambu, Amandit, Bamban dan Pangambau. Daerah-daerah ini memberi upeti kepada Kerajaan Muning dan mengatur sembah kepada Raja Keramat. Raja Keramat melarang kepada semua rakyat membayar pajak kepada Sultan Tamjid. Dalam tahun 1858 hasil padi dari pertanian rakyat sangat baik, sehingga rakyat merasa kehidupannya tenteram tidak terganggu dengan masalah makan. Saat itu harga beras juga murah hanya f.4 untuk 100 gantang dan satu gantang garam bisa ditukar dengan lima gantang beras. Dengan demikian tentang masalah kehidupan rakyat tidak terganggu khususnya di daerah Muning dan sekitarnya, akan tetapi rasa tidak puas terhadap pemerintahan Sultan Tamjid semakin meningkat dan dalam diri rakyat timbul gejala untuk memberontak. Situasi seperti ini diketahui oleh Residen dan Residen pada 2 April 1859 mengutus jaksa kepala Pangeran Suryawinata dan Penghulu Kepala Pangeran Muhammad Seman pergi ke Muning untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi. Utusan ini diikuti oleh 120 orang pengikut dan beberapa diantaranya orang Haji. Sultan Kuning menunggu tamunya 700 orang pengikut sebagian besar dengan senjata terhunus. Kedua Pangeran utusan Residen Belanda itu harus merelakan kedua pengawalnya yang membawa tombak untuk menyembah kepada Sultan Kuning. Kemudian terjadi dialog antara Sultan Kuning dengan Pangeran Suryawinata, Sultan Kuning berkata : “Apakah kalian orang Eropah (Orang kafir) dan apa tujuan kesini, tujuan baik atau tujuan jahat?” Kedua utusan Residen itu menjawab bahwa mereka Orang Islam dan tujuan kesini untuk menemui Panambahan Muda Datu Aling. Sultan Kuning mengantarkan utusan ke tempat tinggal Panambahan Muda Datu Aling.di tengah perjalanan terjadilah insiden kecil. Wakil Panglima pasukan Kerajaan Muning Siti Fatimah mencoba merampas senapan pengawal utusan, terjadilah pergumulan perebutan senjata itu.
Pangeran Suryawinata sudah mencabut keris, untung akhirnya dapat diselesaikan secara damai. Pengikut Panambahan Datu Aling makin bertambah besar dan bertambah kuat karena semua rakyat datang mengatur sembah kepadanya. Dulasa yang bergelar Pangeran Suryanata setiap hari menerima sembah dari seluruh rakyat yang datang. Dulasa suami Saranti atau suami Puteri Junjung Buih, merasa dirinya tidak pantas mendapat peghormatan tinggi dari semua orang, dia adalah orang desa yang terbiasa sebagai orang kecil. Perasaan ini pada suatu hari mencapai puncaknya dan akhirnya dia lari dari lingkungan yang penuh penghormatan lari ke daerah tambang batu bara Oranje Nassau di Pengaron. Kalau kita memperhatikan unsur-unsur yang mendominasi gerakan Muning ini maka jelas bahwa Gerakan Muning ini termasuk Gerakan Nativistis.
Unsur-unsur nativisme ini dapat diketahui dari hal-hal berikut :
a. Gerakan ini berusaha untuk memperbaiki adat lama kerajaan dan segala kebiasaan sebagai kebudayaan kerajaan asal Banjar.
b. Menghapuskan segala dominasi Barat yang masuk, baik politis, ekonomis, dan kultural.
c. Pemerintahan harus dipegang oleh dinasti lama, dan diberikan kepada keturunan yang berhak.
d. Pemerintahan yang sekarang dipandang sebagai pemerintah dominasi Belanda.
Gerakan ini sangat diwarnai oleh unsur-unsur magis, pemujaan nenek moyang, kultus kekebalan dan sebagainya. Gerakan ini juga bersifat messianistis, karena Datu Aling sebagai orang yang diutus Tuhan bertugas untuk memperbaiki ketidak adilan. Akan tetapi Datu Aling bukanlah messias yang ditunggu atau sebagai Ratu Adil yang dinanti-nantikan. Keinginan seperti suasana dinasti lama rupanya berhubungan langsung dengan harapan, keadilan, keamanan, dan kemakmuran seperti terdapat dalam periode Sultan Kuning dalam abad ke- 17. Unsur-unsur agama Islam juga mendominasi dalam Faham yang timbul dari gerakan ini, seperti pergantian nama Kumbayau dengan Tambai Mekkah atau Serambi Mekkah. Nama Serambi Mekkah mengandung anggapan bahwa desa ini adalah desa yang suci. Pimpinan gerakan ini adalah Datu Aling yang dikenal sebagai orang saleh, melakukan ibadah Shalat, puasa, dan berzikir dan memimpin kegiatan di masjid yang dibangunnya. Ajaran Islam yang mempengaruhinya adalah ajaran bahwa perang menghadapi Orang Belanda adalah perang melawan Orang kafir dan mati dalam perang itu adalah mati syahid. Mati syahid adalah sorga balasannya dan perangnya adalah perang sabil.
Jadi Gerakan Muning ini ada dua faktor yang mempengaruhinya yaitu :
a. Faktor Mitos yang bersifat historis-legendaris dan
b. Faktor agama Islam yang keduanya saling mengisi.
Suatu petunjuk dari suara gaib memberitahu kepada Datu Aling bahwa Datu Aling harus memohon kepada Pangeran Antasari untuk datang ke Muning. Berita ini disampaikan Lurah Kitting kepada Pangeran Antasari pada sekitar bulan Maret 1859, meskipun tidak jelas apakah Lurah Kitting utusan dari Datu Aling. Situasi yang menghangat ini akhirnya Residen memerintahkan kepada Sultan dan Mangkubumi Nata Pangeran Hidayat untuk memeriksa soal Muning. Mangkubumi Nata Pangeran Hidayat mengutus Pangeran Antasari, Pangeran Jantera Kusuma, Pangeran Syarif Umar beserta 10 orang pengikutnya ke Muning. Ketika rombongan sampai di Tambai Mekkah terjadilah pembicaraan empat mata antara Pangeran Antasari dengan Panambahan Muda Datu Aling. Dalam pembicaraan itu Pangeran Antasari akan mengawinkan anaknya Gusti Muhammad Said dengan Saranti puteri Datu Aling, inkarnasi Puteri Junjung Buih dengan mahar 4 ringgit. Perkawinan itu terjadi tanpa kehadiran Gusti Muhammad Said. Dengan terjadinya perkawinan ini, resmilah Datuk Aling dan keluarganya masuk keluarga raja-raja Banjar dan tak seorangpun petugas Sultan berani untuk menangkapnya. Pengaruh dari hak legitimasi kerajaan ini sangat besar dan sangat ditakuti oleh rakyat biasa. Dengan Muning sebagai pusat kegiatan dan pengumpulan kekuatan, Pangeran Antasari bekerjasama dengan Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja yang merupakan wakil Mangkubumi Pangeran Hidayat di Banua Lima pengaruhnya sangat luas. Penduduk Tanah Laut dan Tumenggung Surapati dari Dusun Atas, serta kepala-kepala dusun yang berpengaruh memperkuat kesatuan dan persiapan untuk suatu perang besar.
Anak buah Pangeran Antasari dan Tumenggung Jalil mengusir semua pegawai Sultan yang menduduki posisi tempat penerimaan pajak dan cukai di Martapura, serta menahan pengiriman beras dan makanan lainnya ke Banjarmasin, Pangeran Antasari kemudian memaklumkan kepada semua rakyat bahwa pajak dipungut atas nama Mangkubumi Nata Pangeran Hidayat. Pangeran Hidayat memerintah atas wasiat Sultan Adam dan sebagai Kepala Agama. Ketika Pangeran Antasari dan Panambahan Muda Datu Aling bertemu kembali di Tambarangan 30 hari kemudian, Pangeran Antasari berkeyakinan bahwa tanpa perkawinan politikpun sebetulnya rencana perang besar sudah matang dan akan segera meletus. Pangeran Antasari telah menjadikan Gerakan Muning yang mulanya sebagai gerakan lokal di Banua Ampat menjadi sebuah gerakan regional di daerah kekuasaan Sultan dan daerah yang dikuasai Belanda. Gerakan Muning ternyata dapat mengobarkan nyala pemberontakan di seluruh daerah Kerajaan dengan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dari semua kegiatan menghadapi Belanda yang mendukung pemerintahan Sultan. Pada tanggal 6 April 1859 Mangkubumi mendapat surat dari Sultan dengan cap dan tandatangan Sultan Tamjid. Surat itu bersifat perintah kepada Kiai Bagus dan Kiai Kartawinata agar pengikutnya lebih banyak membuat kekacauan di Muning seperti yang ia lakukan beserta Kiai Dipati melakukan sebelumnya. Segala kekacauan yang timbul sebagai rekayasa Sultan itu, seakan-akan Mangkubumi sebagai penyebabnya. Dalam bulan Maret 1859 sebetulnya Sultan sudah panik dengan siasatnya. Atas nasihat Residen Sultan disarankan untuk menempati istananya di Keraton Bumi Selamat di Martapura, agar dia berada di tengah-tengah rakyatnya dan mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sebelum berangkat ke Martapura Sultan meminta kepada Residen bantuan persenjataan sesuai dengan perjanjian tahun 1826 berupa : 2 pucuk meriam, peluru selengkapnya, 40 senapan, 4 tong mesiu serta sebuah kapal jaga di muka keraton di Martapura. Semua permintaan itu ditolak Residen, karena dianggap belum perlu, dan juga tidak dengan cara demonstratif memusuhi rakyatnya sendiri. Selama sepuluh hari di Martapura, Sultan kelihatan bertambah panik. Di muka istana diperkuatnya dengan 500 pasukan bersenjata dan dipasangnya sebuah meriam. Untuk menenangkan pikirannya dia menghabiskan beberapa peti cognac sehingga raja peminum itu makin dibenci rakyatnya yang taat pada ajaran agama Islam. Selama di Martapura Sultan memanggil Pangeran Antasari dan mempertanggungjawabkan missinya ke Muning, dengan ancaman hukuman berat kalau tidak diindahkan. Perintah itu tidak dihiraukan Pangeran Antasari. Selanjutnya Sultan memerintahkan agar Mangkubumi berangkat ke Muning dan menentramkan keadaan. Pada tanggal 4 April 1859 Mangkubumi berangkat ke Banjarmasin dan melaporkan pada Residen bahwa tugas ke Muning tidak dapat dilaksanakan, berhubung bulan puasa. Dalam bulan suci Ramadhan ini orang hanya mengkhususkan beribadah menjalankan puasa dan menghindarkan diri dari pekerajaan dunia yang tidak berguna. Akibatnya usaha untuk mengamankan Banua Lima dan Banua Ampat gagal. Sementara itu di Banua Lima dan Banua Ampat terjadi pengumpulan kekuatan dan kebencian terhadap Belanda sudah mencapai puncaknya. Sementara Mangkubumi di Banjarmasin, pada tanggal 4 April1859 itu, adik Sultan Pangeran Adipati Aria Kasuma datang membawa surat Sultan memohon bantuan dengan dasar Pasal 13 Kontrak 1826. Ini adalah permintaan yang kedua kalinya. Permintaan yang kedua ini diajukan Sultan dengan dasar laporan dari Kiai Gangga Suta tentang rencana penyerbuan terhadap tambang batu bara Oranje Nassau oleh Pangeran Antasari dengan kekuatan 3.000 orang prajurit. Bila Pengaron jatuh serbuan diarahkan ke Martapura. Permintaan inipun tidak disetujui Residen. Residen hanya memberi nasihat pada Sultan agar kembali ke Banjarmasin, sebab di Martapura bagi Sultan tidak aman, Permintaan bantuan ini tetap tidak dikabulkan Belanda, hanya Residen meminta nasihat pada Mangkubumi bagaimana mangatasi keadaan yang gawat ini.
Pada tanggal 6 April 1859 Mangkubumi memberi jawaban pada Residen tentang usaha yang harus ditempuh untuk mengatasi keadaan yaitu, jika :
a. Mangkubumi diperintah dari Residen untuk menyelidiki kekacauan,
b. Mangkubumi dapat memberi jaminan kepada rakyat Martapura dan seluruh kerajaan, bahwa segala keluhan dan keberatan-keberatan mereka akan didengarkan serta keinginan-keinginan mereka dipertimbangkan dengan adil dan bijaksana.
c. Dari Sultan ia mendapat pernyataan yang tuntas bahwa hanya Mangkubumi semata yang bertanggung jawab atas kekuasaan eksekutif, diperkuat dengan persetujuan dan tanda tangan Residen.
142 Situasi dalam bulan April 1859 merupakan kondisi politik yang makin memanas, gambaran suasana perang sudah diambang pintu, hanya menunggu saat yang tepat. Keadaan wilayah sangat kritis. Tokoh-tokoh dan pemimpin-pemimpin rakyat menunjukkan gejala kewaspadaannya yang cukup tinggi. Tumenggung Surapati tokoh pimpinan Dusun Atas dari kelompok Dayak, Pangeran Kasuma yang diangkat menjadi Sultan Kerajaan Pasir, rakyat Marabahan memihak pada gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Antasari. Pengikut Pangeran Antasari semakin hari semakin bertambah besar dan menjadi 6.000 orang banyaknya. Pangeran Ahmid saudara Sultan Adam dan kakek dari Pangeran Hidayatullah juga merupakan tokoh yang sangat menentang Sultan Tamjidillah. Pangeran ini dengan tergesa-gesa pergi dari Banjarmasin ke Martapura memberi kabar bahwa Belanda akan menangkap Mangkubumi bila dia ke Banjarmasin. Dengan berita ini Mangkubumi tidak pergi ke Banjarmasin hanya menulis surat pada Residen bahwa dia keberatan pergi ke Banua Lima untuk menyelesaikan kekacauan di sana. Surat itu ditulisnya pada tanggal 18 April 1859. Pada tanggal 18 April 1859 Pangeran Aminullah bertemu dengan Residen dan Pangeran ini berhasil meyakinkan Residen bahwa situasi dapat diselesaikan asal Residen mengirim dia ke Martapura untuk menyelesaikannya. Salah satu cara yang akan dilakukan Pangeran Aminullah, membujuk para pimpinan-pimpinan dan tetuha-tetuha rakyat dengan hadiah-hadiah asal Residen bersedia memberinya uang sebesar F.5.000,- Uang sebesar itu akan digunakan untuk menyenangkan hati para tetuha masyarakat itu, agar mereka dapat ditarik berpihak pada Sultan. Residen juga menugaskan pada Pangeran Aminullah agar Pangeran ini berusaha menangkap Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja. Tugas ini disampaikan oleh Commies van Volden.
142 M. Idwar Saleh, “Papper…, op.cit., hal. 43.
Selanjutnya Pangeran Aminullah memberi nasihat pada Commies van Volden sebagai berikut :
a. Bahwa seluruh lapisan rakyat membenci pada Sultan yang peminum dan pemabuk itu.
b. Ia menginginkan dikirimkannya utusan ke Muning untuk menghalangi usaha Datu Aling memperbesar pengikutnya.
c. Ia sangat tidak setuju kalau jaksa sebagai pegawai Belanda dikirim kesana, karena hal itu berarti campur tangan Belanda terhadap urusan Kerajaan.
d. Pangeran juga menasihatkan agar Residen meminta bantuan serdadu ke Jawa sebab dalam bulan Mei atau April mungkin akan terjadi pemberontakan besar untuk menurunkan Sultan Tamjidillah, serta mengangkat Pangeran Hidayat sebagai penggantinya.
143 Pada tanggal 20 April 1859 Pangeran Aminullah ke Martapura melaksanakan tugas yang dibebankan Residen kepadanya. Tetapi setelah sampai di Martapura Pangeran ini bukan menjalankan tugas yang dibebankan Residen, melainkan menyelesaikan rencana terakhir rencana pemberontakan besar dan pemusnahan tambang batu bara Kalangan. Pada tanggal yang sama di Banjar tertangkap dua orang cucu Kiai Adipati Anom Dinding Raja. Kedua orang ini telah menjumpai Mangkubumi di rumahnya di Antalanggu. Mereka menerima surat dari Mangkubumi yang ditujukan kepada Kiai Adipati Anom Dinding Raja, menugaskan pada Kiai Adipati untuk membawa turun 2.000 orang prajurit dari Batang Balangan dan Tabalong ke Martapura. Di samping itu Pangeran Antasari dengan pasukan dari Muning telah berkumpul dan siap siaga di sekitar Gunung Pamaton. Tanggal 28 April 1859 tambang batu bara “Oranje Nassau” dikepung, maka dengan demikian pecahlah Perang Banjar.
4. Perang Banjar Meletus
143 M. Idwar Saleh, ibid., hal. 47.
Pada bulan September 1858 Pangeran Aminullah telah mengirim utusan dan surat menyurat dengan tokoh-tokoh suku di Banjar di daerah kerajaan Kalimantan Barat. Salah satu diantara surat itu jatuh ke tangan Belanda. Surat berbunyi, memanggil orang-orang Banjar yang berada di luar Kerajaan Banjar untuk pulang ke negeri Banjar untuk ikut membantu perang sabil menentang pemerintahan Belanda dan Sultan Tamjidillah. Pada awal tahun 1859 berita itu tersebar luas dan diketahui oleh pemerintah Belanda di Batavia. Untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan Pemerintah Belanda mengirim Kapal perang “Arjuna” lengkap dengan persenjataannya ke Banjarmasin, dan tiba di Banjarmasin pada tanggal 2 Februari 1859. Residen E.P. Graaf van Bentheim Teeklenburg Rhede berpendapat bahwa situasi tidak ada yang mengkhawatirkan, karena itu tiga hari kemudian kapal perang Arjuna di kembalikan ke Batavia. Residen berpendapat bahwa pertentangan yang ada semata-mata pertentangan dalam keluarga Sultan. Residen telah berusaha mengatasi masalah ini dan telah berhasil merukunkan kedua keluarga itu dengan cara mengawinkan putera Pangeran Hidayat dengan Puteri Bulan. Residen menganggap pertentangan telah selesai dan situasi telah normal kembali, itulah sebabnya kapal perang Arjuna dikembalikan. Setelah beberapa hari kemudian. Residen menerima laporan dari Administrator tambang batu bara Oranje Nassau, bahwa telah berkumpul 4.000 orang untuk mengangkat Sultan yang baru di Muning atau di Gunung Pamaton. Pengangkatan Sultan baru itu akan dilaksanakan pada ke 14 hari puasa atau 17 April 1859. Residen juga memperoleh laporan dari Kiai Gangga, bahwa Pangeran Hidayat telah menerima pernyataan Nyai Ratu Komala Sari, isteri Sultan Adam, yanng bunyinya mempercayakan sepenuhnya Kerajaan Banjar pada Pangeran Hidayat, karena pengangkatan Sultan Tamjid bertentangan dengan keinginan keluarga. Pangeran Hidayat beberapa kali mengadakan rapat keluarga. Dalam rapat itu dijelaskan bahwa Gerakan Muning perlu dihubungi, dan Pangeran Antasari ditugaskan untuk melaksanakannya. Pangeran Antasari diberi kepercayaan oleh Mangkubumi Pangeran Hidayat untuk menjalin kerjasama dengan Sultan Kuning dan Gerakan Muningnya, sedangkan Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja diberi kepercayaan atas pemerintahan Banua Lima. Pangeran Hidayat juga telah melakukan kegiatan mengumpulkan para tetuha masyarakat di Mangkauk dan Kalangan agar rakyat mengerti perjuangan yang dihadapi. Pangeran Hidayat telah berhasil mengumpulkan kekuatan dari tiga komponen pimpinan masyarakat. Sultan Kuning seorang tokoh elite kultural, Pangeran Antasari seorang tokoh elite aristokratis sedangkan Tumenggung Jalil, Kiai Adipati Anom Dinding Raja adalah elite birokratis. 144Dalam perkembangannya masing-masing gerakan itu berdiri sendiri-sendiri, sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah masing-masing. Tetapi gerakan sosial itu dapat digerakkan secara bersama dengan membangkitkan sentimen yang paling sensitif dan mengarahkan pada tujuan yang sama. Sentimen yang paling sensitif itu ialah sentimen agama, bahwa perang menghadapi orang kafir adalah perang sabil, perang suci, dan berjihad di jalan Allah berperang melawan orang kafir (Belanda) adalah berjuang di jalan Allah. Mati dalam membela agama melawan orang kafir (Belanda) adalah mati syahid. Mati syahid balasanya hanya sorga. Tujuan perang mengusir Belanda dan menggantikan pemerintahan yang ada (Sultan Tamjid) dengan pemerintahan yang berhak. Disamping itu kerjasama ketiga pimpinan ini adalah kerjasama yang saling menguntungkan. Pangeran Antasari sebagai seorang bangsawan yang dilupakan, hidup sederhana di tengah-tengah masyarakat kaum jaba. Berkepribadian luhur muncul sebagai pimpinan yang ditakuti Belanda dan ditaati perintahnya oleh suku Banjar dan Dayak. Sultan Kuning pimpinan Gerakan Muning yang sedang termasyhur dengan pengikut yang banyak mempunyai semangat juang yang tidak kenal menyerah, merasa beruntung dapat bekerjasama dengan Pangeran Antasari. Kerjasama ini dapat mengangkat wibawa dan kharismanya sebagai pimpinan tradisional yang baru. Pangeran Antasari juga merasa beruntung dapat bekerjasama dengan Pangeran Kuning, karena pengikut Gerakan Muning dapat digerakkan untuk mencapai tujuan bersama, mengusir Belanda dan mengganti pemerintahan Sultan Tamjidillah.
144 Tamny Ruslan, op.cit., hal. 84.
Bergabungnya Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja karena Jalil berada di pihak Mangkubumi Pangeran Hidayat, untuk bersama-sama melancarkan serangan terhadap Belanda dan menggantikan Sultan Tamjidillah. Dengan meningkatnya pergolakan rakyat Banjar, akhirnya Belanda menyadari akan bahaya yang akan menimpa. Usaha Belanda dengan melalui Mangkubumi Pangeran Hidayat, ternyata juga gagal, karena Pangeran Hidayat sebetulnya berpihak pada rakyat. Salah satu usaha Belanda untuk menyelesaikan masalah adalah dengan mendatangkan bantuan dari Jawa. Kolonel Andresen memimpin bantuan dan langsung mengambil alih pemerintahan Residen Beinthein yang dianggap terlalu lemah dalan menjalankan tugasnya. Pengaruh golongan ulama sangat besar dalam membangkitkan semangat berjuang menghadapi Belanda sebagai berjihad di jalan Allah. Seluruh rakyat taat pada petuah kaum ulama, bahwa perang menghadapi Belanda adalah perang suci. Kefanatikan terhadap agama Islam ini menjadikan orang tidak takut mati. Para ulama memberikan doa-doa untuk keselamatan, jimat-jimat pelindung dari bahaya, dan para ulama bersatu menghadapi orang kafir (Belanda). Kemana pun para ulama ini pergi mereka diterima oleh rakyat, dan mereka mengerjakan shalat berjamaah. Selanjutnya para ulama ini memberikan doa-doa, syair memuji Allah dan ungkapan-ungkapan yang memberi semangat juang. Mereka selalu mengadakan shalat berjamaah, berzikir, berdoa yang akhirnya menimbulkan semangat juang dan keberanian yang mengagumkan. Mereka para pengikut yang akan berjihad fisabilillah ini berpakaian kuning dan putih, memakai jimat ditutup kepala, dengan parang bungkul dan tombak yang tajam. Disamping melakukan, shalat, berpuasa, berzikir dan berdoa, mereka juga melakukan latihan perang-perangan. Dengan mata tajam, mereka berdiri di depan bayonet dan di medan pertempuran dengan tombak yang panjang. Hanyalah kematian yang dapat menahan semangat juang mereka.145
145 Gids, De Bandjarmasinsche: Oorlog tot de Indische Kijgeschedenis, 1866, hal. 278, terjemahan Tunjung, “Perang Banjarmasin”.
Inilah gambaran Gerakan Muning dalam membangkitkan semangat juang menghadapi orang kafir (Belanda) menjelang penyerbuan terhadap benteng tambang batu bara Oranje Nassau.
5. Penyerbuan Terhadap Benteng Oranje Nassau
Pangeran Hidayat telah menyusun kekuatan rakyat untuk menghadapi Belanda secara menyeluruh. Pada bulan April 1859 ia menghubungi lagi Gerakan Muning. Gerakan Muning ini merupakan gerakan yang terbesar jumlah pengikutnya karena itu menjadi perhatiannya. Sementara Mangkubumi Pangeran Hidayat memperhitungkan kekuatan Belanda yang dalam bidang teknik dan persenjataan lebih unggul, Gerakan Muning mempersiapkan latihan perang-perangan dan kekuatan mental spiritual untuk menghadapi kekuatan Belanda yang dalam segi teknik lebih unggul tersebut. Siasat lain yang dipergunakan Pangeran Hidayat untuk mengimbanginya ialah dengan menggunakan teknik perang secara menyeluruh. Sekitar bulan April 1859 yaitu pada minggu pertama, Sultan Kuning mengirim 4 orang utusan menghadap kepada Mangkubumi Pangeran Hidayat untuk meminta izin menyerang benteng tambang batu bara Oranje Nassau di Pengaron. Pangeran Hidayat mengizinkannya, apa pun yang akan terjadi. Residen memperoleh informasi ini dari Ahmad yang melaporkan pada Residen tentang kegiatan Sultan Kuning yang merencanakan menyerang Oranje Nassau, berdasarkan informasi dari Lurah Dadang di Marampiau. 146Untuk mengantisipasi situasi ini Residen merasa kurang mampu. Residen hanya memiliki sebuah garnizun dibawah pimpinan Kapten L.Uhalan. Residen Andresen berusaha untuk memperoleh bantuan dari Jawa. Bantuan itu datang secara bergelombang dan diantaranya ditempatkan di Pengaron serta pos-pos yang diperkirakan dapat memperkuat pertahanan. Langkah lain yang dilakukan Belanda ialah menangkapi tokoh-tokoh yang mencurigakan gerak geriknya khususnya yang tinggal di Banjarmasin.
146 Tamny Ruslan, op.cit., hal. 88.
Mengalirnya bantuan fihak Belanda, mempercepat meletusnya pertempuran. Pangeran Hidayat memerintahkan pada Sultan Kuning dan Pangeran Antasari mempercepat serangan terhadap benteng batu bara Oranje Nassau Pengaron. Serangan ini diikuti oleh gerakan-gerakan sosial lainnya yang tersebar di seluruh Kerajaan Banjar. Pada hari Kamis 24 Ramadhan 1215 H bertepatan dengan tanggal 18 April 1859 Perang Banjar, meletus. Pada pagi hari itu sejumlah 50 orang Muning yang datang terlebih dahulu sangat bernafsu menyerbu benteng tersebut. Serangan itu semacam serangan pancingan dan kemudian mundur. Pada malam harinya yaitu malam Jumat 19 April 1859, pasukan Muning yang datang kemudian telah tiba, jumlah ribuan banyaknya. Pasukan ini bertambah besar setelah pasukan Riam Kiwa, pimpinan Pangeran Antasari tiba. Pasukan ini sebagian dikirim ke Martapura untuk memperkuat pertahanan di Martapura, sebagian lagi menyerbu benteng Belanda di Kalangan dan Tabanio. Pasukan Muning dan Riam Kiwa yang bertahan menyerbu benteng Oranje Nassau berjumlah 500 orang pasukan. Pasukan ini bertambah dengan bergabungnya 165 buruh tambang batu bara. Pasukan Belanda yang kecil jumlahnya bertahan dalam benteng. Di dalam pertempuran yang berlangsung beberapa hari jumlah korban berjatuhan diantara kedua belah pihak. Usaha menyerbu benteng itu tidak berhasil, karena itu pasukan Muning dan Riam Kiwa berusaha mengurung benteng itu dari luar, sampai persediaan bahan makanan mereka habis. Salah seorang Belanda yang berusaha keluar untuk pergi mencari bantuan ke Banjarmasin, dibunuh di desa Sungai Raya. Perhitungan ternyata meleset, sebab Belanda mampu bertahan dalam benteng sementara menunggu bantuan datang. Sementara itu pasukan Muning yang menyerbu benteng Belanda di Kalangan, Gunung Jabok, Sungai Durian dan Tabanio sebagian berhasil menghancurkan kekuatan Belanda. Semua orang Belanda di benteng Kalangan dan Tabanio dibunuh, begitu pula seorang opsir kesehatan Diepenbroek dibunuh.147
147 Gids, op.cit., hal. 279.
Untuk menghadapi serangan ini Pemerintah Belanda mengadakan konsolidasi. Pada tanggal 1 Mei 1859 pemerintah sipil diganti dengan pemerintahan militer dan dipegang oleh Kolonel Andresen. Kolonel Andresen memerintahkan Kapten Uhalan menyerbu Martapura, sedangkan Letnan Beekman bertugas mempertahankan pos-pos yang ada. Pangeran Antasari.148 Setelah 6 minggu bertahan dalam benteng Oranje Nassau, bala bantuan Belanda tiba. Pada tanggal 15 Juni datang 250 pasukan Belanda, pasukan artileri , pasukan zeni dengan beberapa pucuk meriam untuk menolong Oranje Nassau. Kemudian dalam bulan Juni itu pula datang 9 batalyon infantri, 43 artileri dengan 4 pucuk meriam, 2 pucuk meriak kecil dan 2 montir. Selanjutnya Kolonel Andresen diangkat menjadi Panglima. Mangkubumi Pangeran Hidayat masih tinggal di Martapura dan Kolonel Andresen telah berusaha memulihkan keadaan. Siasat yang dilakukan Andresen ialah dengan menempatkan Pangeran Hidayat pada kedudukan yang sewajarnya sebagai Sultan dan menurunkan Pangeran Tamjidillah. Meskipun Andresen yakin bahwa penyerbuan terhadap kalangan dan pembunuhan terhadap 20 orang Belanda termasuk anak-anak dan wanita adalah kesalahan dan atas perintah Pangeran Hidayat, tetapi kesalahan itu dimaafkan demi terciptanya ketenteraman negeri. Andresen yakin suasana akan tenteram kembali kalau Pangeran Hidayat dijadikan Sultan, meskipun Andresen telah memperoleh 2 lembar surat perintah yang ditandatangani Pangeran Hidayat dan ditujukan kepada kaum ulama untuk bangkit melawan Belanda. Andresen selanjutnya mengadakan rapat-rapat dengan pimpinan-pimpinan rakyat agar mereka tidak memihak Pangeran Antasari yang oleh Belanda dianggap sebagai pemberontak. Andresen selanjutnya akan melaksanakan taktik dan strateginya dengan melantik Pangeran Hidayat sebagai Sultan pada tanggal 25 Juni 1859. Penyerangan terhadap Oranje Nassau dipimpin langsung oleh Pangeran Antasari dibantu oleh Pembekal Ali Akbar, Mantri Temeng Yuda Panakawan Sultan Kuning.
148 Gids, loc.cit.
Pada tanggal 30 April 1859 kekuatan rakyat telah berkumpul di sekitar Sungai Durian dekat Kalangan. Penyerbuan Kalangan, Banyu Irang dan Bangkal dilaksanakan pada 1 Mei 1859 dibawah pimpinan Pangeran Ardhi Kasuma, paman Pangeran Hidayat. Benteng Kalangan dihancurkan dan 20 orang Belanda yang menjadi korban diantaranya Wijnmalen direktur tanbang batu bara Kalangan, Ir. Motley, Opzichter School Boodt dan lain-lain. Sepasukan dari Muning yang menyerbu tambang batu bara Hermina di Sungai Durian, dan tambang batu bara di Gunung Jabok berhasil menewaskan pegawai Belanda yang bekerja di tambang itu. Sementara itu pasukan yang menyerbu benteng Tabanio bersama rakyat dibawah pimpinan Haji Buyasin telah menewaskan pejabat Gezaghebber Maurits dengan anak buahnya. Mereka menduduki benteng Belanda yang dibangun pada tahun 1790 itu.
6. Sultan Tamjidillah Turun Tahta
Rakyat mengangkat senjata secara serempak di seluruh Kerajaan Banjar. Pertempuran terjadi di Martapura, Tanah Laut, Margasari, Bakumpai dan Banua Lima. Begitu pula rakyat di Pulau Telu di sepanjang Sungai Kapuas dibawah pimpinan Pambakal Sulil. Di Pulau Petak dalam pertempuran yang sengit menewaskan 9 orang Belanda, 4 orang diantaranya pendeta Belanda. Sebagai akibat dari serangan serentak ini, maka hampir seluruh kekuatan Belanda di daerah Banjar dapat dilumpuhkan. Kaki tangan Belanda di Banua Lima, yaitu di Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua dibersihkan oleh Tumenggung Jalil bersama Pambakal Gapur, Duwahap, Dulahat, dan Panghulu Abdul Gani, sehingga Belanda kehilangan jalur komunikasi dan sulit mengetahui kekuatan rakyat. Kolonel Andresen berusaha untuk memikat hati Pangeran Hidayat. Andresen mengutus Haji Isa dan Pangeran Syarif Husein menemui Pangeran Hidayat. Usaha ini gagal. Ratu Siti Ibu Pangeran Hidayat, Pangeran Citra paman Pangeran Hidayat dan Pangeran Ardhi Kesuma, tidak setuju kalau Pangeran Hidayat memenuhi panggilan Kolonel Andresen ke Banjarmasin. Sementara itu Kolonel Andresen berusaha agar Pangeran Hidayat tidak melakukan kegiatan memimpin rakyat melawan pemerintah Belanda. Untuk menekan perjuangan rakyat Pemerintah Belanda memaklumkan keadaan perang (in Staat van Oorlog en Verzet). Pengumuman ini diperkuat dengan datangnya kapal perang Arjuna, Celebes, Montrado, Bone dan Van Os. Meskipun demikian semangat juang rakyat malah bertambah tinggi dan tidak takut menghadapi musuh yang memiliki persenjataan yang lebih baik dari mereka. Sebagai jawaban atas tekanan Belanda ini Pangeran Antasari menempatkan 500 orang prajurit di sekitar Masjid, 250 orang di sekitar rumah Residen dan sekitar 3000 orang di sekitar Keraton Bumi Selamat. Para pejuang ini didatangkan dari Banua Lima, Tanah Laut atas permintaan Pangeran Hidayat pada Tumenggung Jalil dan Demang Lehman. Usaha terakhir Kolonel Andresen dengan mengutus Penghulu Mohammad Seman untuk mengundang Pangeran Hidayat dan Pangeran Aminullah berunding di kapal perang Celebes sebagai usaha untuk mengatasi kemelut yang telah terjadi. Menyadari akan hal yang mungkin akan terjadi Pangeran Hidayat tidak bersedia datang dan dia bersama isteri, Pangeran Antasari dan isteri, Pangeran Aminullah, Pangeran Wijaya Kesuma serta pimpinan rakyat lainnya pergi ke Pengaron. Kolonel Andresen sangat marah sebab siasatnya untuk menangkap Pangeran Hidayat beserta Pangeran Aminullah telah bocor. Pada hari itu pula Andresen mengundang 80 orang bangsawan yang ada di ibukota kerajaan Martapura. Kepada para bangsawan dijelaskannya keinginannya agar Pangeran Hidayat bersedia kembali ke Martapura. Berdasarkan informasi yang diperolehnya di Martapura, bahwa rakyat tidak menyenangi pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan. Pengangkatan itu selain bertentangan dengan tradisi dan ahli waris tahta yang sebenarnya, tetapi juga melanggar wasiat Sultan Adam Al Wasik Billah yang dianggap rakyat keramat. Karena itu Andresen berkesimpulan bahwa sumber kekacauan itu berasal pada pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan.
Dengan dasar inilah Sultan Tamjidillah dengan secara paksa diturunkan dari tahta Kerajaan Banjar dan untuk sementara dipegang oleh Komisi Pemerintah Kerajaan (25 Juni 1859).
Proklamasi turunnya tahta dari Kerajaan Banjar, raja terakhir, Sultan Tamjidillah dengan alasan sebagai berikut :
1. Bahwa Kerajaan Banjar amat menderita akibat pemberontakan terhadap mahkota dan Pemerintah Belanda.
2. Agar rakyat kembali tunduk dan patuh kepada pemerintah yang sah, dengan ini Sultan menyatakan berhenti memerintah dan menyerahkan kekuasaan ke tangan Kolonel Andresen, Komisaris Gubernemen dan komandan tentara afdeling Selatan dan Timur Borneo, atas kemauan sendiri tanpa paksaan apa-apa.
3. Atas jaminan Gubernemen Hindia Belanda, bahwa bila keamanan telah kembali, mahkota akan diberikan kepada dia yang menurut hukum sebenarnya berhak atas itu dan dianggap Pemerintah Belanda sesuai pula untuk jabatan itu.
4. Sebagai hadiah kepada raja disebutkan dua helai tikar rotan, untuk patuh dan menurut kepada kekuasaan yang sah agar tenteram, aman, dan kemakmuran datang kembali.
Sementara Sultan baru belum dilantik, pemerintah kerajaan dipegang oleh sebuah Komisi Pemerintah Kerajaan yang dipimpin oleh Pangeran Surya Mataram, anak Sultan Adam, paman dari Pangeran Hidayat, dan Pangeran Muhammad Tambak Anyar, putera dari Ratu Anom Mangkubumi Kencana, sepupu Pangeran Hidayat.
Anggota Komisi Pemerintah Kerajaan itu terdiri dari :
- Pangeran Hamim
- Pangeran Ahmid
- Pangeran Dulah
- Raden Ardi Kesuma
- Pangeran Jaya Sumitra
- Kiai Patih Guna Wijaya
- Kiai Wira Yuda
- Kiai Rana Manggala
- Kiai Mangun Rasmi.
Meskipun Sultan Tamjidillah sudah diturunkan dari tahta, namun Pangeran Hidayat tidak mau kembali ke Martapura. Hal itu berarti siasat dan strategi Kolonel Andresen keliru. Suasana bukan bertambah tenang, tetapi sebaliknya serangan rakyat bertambah berani. Perang meluas ke seluruh pelosok Kerajaan Banjar. Karena itulah Kolonel Andresen digantikan oleh Mayor G.M. Verspyck yang diangkat menjadi Panglima dan Residen. Rakyat bukan saja tidak menyukai Pangeran Tamjidillah sebagai Sultan, tetapi kebencian rakyat ditujukan terhadap Belanda yang mencampuri urusan pemerintahan Kerajaan. Orang Banjar lebih mencintai kemerdekaan dan kebebasan, karena itu mereka berjuang mengusir penjajah dengan semboyan “Waja Sampai Kaputing”.
7. Sultan Kuning di Sekitar Muning
Sejak pecahnya perang Banjar, tokoh pimpinan perang yang disebut-sebut dan dikenal oleh Belanda adalah Sultan Kuning dan Pangeran Antasari. Pangeran Hidayat sebagai pucuk pimpinan yang menggerakkan rakyat untuk bangkit melawan Belanda belum diketahui pihak Belanda aktivitasnya, sehingga pihak Belanda belum menaruh curiga terhadap Pangeran Hidayat. Apa yang dilakukan oleh Tumenggung Jalil di daerah Balangan adalah atas perintah Pangeran Hidayat. Pembersihan terhadap kaki tangan Sultan Tamjidillah di daerah Balangan adalah atas perintahnya pula tetapi Belanda belum merasa curiga terhadap loyalitas Pangeran ini. Pada awal perang Banjar kekuatan yang diperhitungkan oleh pihak Belanda adalah kekuatan Sultan Kuning dan Pangeran Antasari. Setelah Sultan Kuning dan Pangeran Antasari secara berurutan menghancurkan kekuatan Belanda di daerah Kalangan, Tanah Laut, Gunung Jabok, Sungai Durian dan Martapura. Belanda melakukan aksi serangan balasan. Untuk menghindarkan korban yang lebih besar, Pangeran Antasari dengan pasukannya mundur ke daerah Muara Tewe dan mengumpulkan kekuatan di daerah itu untuk kembali menyerang kekuatan Belanda. Sultan Kuning dan pasukannya tetap bertahan di daerah Muning, yaitu di daerah Tambarangan. Munggu Thayor, Margasari, Beras Kuning, Sungkai dan Banua Padang. Daerah-daerah ini adalah pusat pertahanan Sultan Kuning yang sukar ditembus Belanda. Pasukan Muning pada mulanya berkumpul di Sungkai tetapi kemudian mundur sampai di Muning. Pada akhir tahun 1859 Pasukan Belanda dipimpin oleh Kapten Benshop dan Kapten Grass menuju Muning. Daerah Muning yang terletak ditepi rawa, penuh parit terlindung hutan yang lebat menyebabkan pasukan Belanda sulit menuju sasaran. Sebaliknya bagi pasukan Sultan Kuning, kondisi alam seperti ini menguntungkan mereka sebab mereka telah menguasai medan dan mudah menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda. Pasukan Sultan Kuning berpakaian serba putih dan mereka berkeyakinan bahwa perang melawan Belanda adalah perang sabil dan berjihad di jalan Allah. Anggota pasukan ini juga memakai azimat dan minyak untuk memperoleh kekebalan dan agar terhindar dari peluru Belanda. Ketika pasukan Belanda pada tanggal 16 November 1859 tiba-tiba memasuki benteng pertahanan Sultan Kuning, pasukan Belanda kucar-kacir karena serangan yang mendadak dari pasukan Sultan Kuning. Dengan teriakan yang dahsyat dengan sebutan Allahu Akbar yang bergema di daerah hutan itu, pasukan Belanda kehilangan komando. Mula-mula muncul 20 orang berpakaian putih-putih di sela-sela semak belukar kemudian muncul 100 orang dengan teriakan Allahu Akbar menyerang pasukan Belanda. Perkelahian ini berlangsung berhadap-hadapan sehingga senjata senapan yang bawa Belanda tidak berperan. Komando pasukan Belanda Kapten Benschop tewas tertusuk tombak dalam perang berhadap-hadapan ini. Bantuan pasukan Belanda yang datang menyusul satu peleton, menyebabkan pasukan Sultan Kuning mundur dari medan pertempuran untuk menyusun pertempuran untuk menyusun kekuatan baru bersembunyi di balik pepohonan yang lebat. Pada waktu itulah kampung Muning pusat pertahanan Sultan Kuning dibakar Belanda. Meskipun demikian Belanda menghadapi perlawanan yang gigih dari Panembahan Muda Datu Aling bersama pengikutnya. Banyak rakyat yang tidak berdosa menjadi korban dari keganasan pasukan Belanda, termasuk diantaranya Panembahan Muda Datu Aling, anaknya Nuramin dan adiknya Mangkubumi Kesuma Wijaya menjadi korban terbakar. Belanda kecewa karena Sultan Kuning dan Pasukannya lolos dari pengepungan Belanda. Sultan Kuning beserta pasukannya lari ke utara dan membuat benteng pertahanan di kampung Cambooi dekat Tambarangan. Pertahanan ini diketahui Belanda dan akhirnya diserang Belanda dari tiga penjuru, dibawah pimpinan Kapten Schiff, Cochen, dan Blondeu. Serbuan pertama dilakukan oleh kapten Blondeu, tetapi pasukan Muning berhasil memukul Mundur pasukan Blondeu, bahkan Kapten Blondeu tewas kena dua buah tusukan tombak di dadanya. Serbuan kedua juga gagal begitu pula serbuan Belanda yang ketiga kalinya. Baru serbuan yang keempat yang dilakukan dari segala penjuru, berhasil menerobos pertahanan pasukan Muning. Dalam pertempuran yang cukup sengit ini dikabarkan bahwa Sultan Kuning Tewas, sebetulnya tidak. Residen G.M. Verspyck menginstruksikan pada pasukannya agar Sultan Kuning ditangkap hidup-hidup, tetapi dengan berita bahwa Sultan Kuning sudah tewas, G.M. Verspyck meminta bukti dengan membawa mayatnya ke Banjarmasin. Terbunuhnya Controleur Fuijck pada 16 Desember 1861 juga dilakukan oleh pengikut Sultan Kuning, sehingga Belanda berusaha keras untuk menangkap Sultan Kuning hidup-hidup. Melalui pejabat-pejabat agama Tuan Guru dan alim ulama yang memihak Belanda disebarkan kontra propaganda bahwa bagi mereka yang melindungi, membantu dalam bentuk apapun terhadap pasukan Muning dan Sultan Kuning akan mendapat hukuman yang keras. Selanjutnya Belanda mewajibkan pada Lurah, Pembakal, Pangeran dan seluruh penduduk untuk membantu agar dapat menangkap Sultan Kuning. Dengan cara ini Belanda berhasil menangkap Sultan Kuning pada tanggal 19 Oktober 1863 di kampung Kulur daerah Tambarangan. Sultan Kuning setelah di bawa ke Rantau, terus dibawa ke Banjarmasin. Sultan Kuning diadili dan mendapat hukuman kerja paksa selama 10 tahun.
8. Pertempuran Sekitar Benteng Munggu Thayor
Munggu Thayor (Munggu Dayor) adalah sebuah benteng yang dibangun oleh rakyat dibawah pimpinan Demang Lehman, Mohammad Aminullah dan Antaluddin serta pasukan Sultan Kuning. Benteng cukup kuat dan sangat sulit ditempuh, terletak antara Tambarangan dan Sungkai. Di dalam benteng hanya dipertahankan oleh pasukan Antaluddin, sedangkan pasukan lainnya berada di luar benteng. Demang Lehman dengan pasukannya mengintai dan memancing ketika pasukan Belanda memulai mengadakan serangan ke benteng ini. Mengetahui bahwa benteng sulit ditempuh pasukan Belanda memulai serangan ke Sungkai. Pada tanggal 28 Desember 1859, pasukan Belanda dengan 200 orang personil infantri, prajurit pendukung dengan 2 buah meriam, 2 mortir menyerang pertahanan rakyat di Sungkai. Setelah Sungkai di serang Belanda, Belanda bergerak mendekati benteng Munggu Thayor. Benteng itu mempunyai tempat pengintaian terletak di atas bukit Thayor, melalui kaki bukit itu mengalir sebuah sungai.149 Demang Lehman memancing dengan lemparan api, dan segera terjadi pertempuran yang sengit. Tiang bendera patah kena tembakan pasukan Belanda, dan kemudian disusul dengan tembakan meriam. Tembakan meriam dijawab dengan tembakan senapan yang terus menerus. Serang menyerang terhenti, karena pasukan Belanda mendapat bantuan dibawah pimpinan Kapten Grass. Pasukan lainnya dibawah pimpinan Letnan Verstege dan Epke mengitari sekitar benteng. Ternyata hanya sekitar 200 orang yang bertahan dalam benteng sedangkan pasukan yang lebih besar berada di luar. Benteng Munggu Thayor berhasil diduduki Belanda selanjutnya dijadikan Belanda sebagai benteng pertahanannya. Selanjutnya pada tanggal 30 Desember 1859, pasukan Belanda dengan 80 orang personil serdadunya menyerbu Banua Padang. Serbuan pertama gagal karena hujan turun dan penuh lumpur menyebabkan pasukan Belanda bergerak sangat lambat, disamping harus bertahan terhadap serangan rakyat. Besok harinya ketika langit cerah Kapten Schiff mengerahkan 300 orang personil serdadu dengan 3 pucuk meriam mengulangi penyerbuannya terhadap Banua Padang, Teluk Pagat, dan Banua Halat. Dalam pertempuran yang terjadi di tiga buah tempat ini pasukan Belanda mendapat serangan yang gencar dari rakyat menyebabkan Kapten Schiff harus mengambil siasat mundur dan bersembunyi diantara pepohonan yang rimbun. Hujan yang deras membantu kemenangan rakyat dimana pasukan Belanda dalam keadaan yang sangat lemah dan kekurangan bahan makanan. Kekalahan pada pertempuran di tiga buah tempat menyebabkan Kapten Schiff yang telah menduduki Munggu Thayor juga mengundurkan diri.150
149 Gids, op.cit., hal. 284. 150 Gids, loc.cit.
9. Demang Lehman dan Pangeran Hidayatullah
Demang Lehman adalah seorang panakawan Pangeran Hidayat sejak tahun 1857. dia lahir di Martapura pada tahun sekitar 1837, mula-mula bernama Idis. Oleh karena kesetiaan dan kecakapannya dan besarnya jasa sebagai Panakawan Pangeran Hidayat, dia diangkat menjadi Kiai sebagai Kepala Distrik Riam Kanan. Pada awal tahun 1859 Nyai Ratu Komala Sari, permaisuri Sultan Adam, telah menyerahkan surat kepada Pangeran Hidayat, bahwa kerajaan Banjar diserahkan kepadanya, sesuai dengan surat wasiat Sultan Adam. Selanjutnya Pangeran Hidayat mengadakan rapat-rapat untuk menyusun kekuatan dan memberi bantuan kepada Tumenggung Kiai Adipati Anom Dinding Raja berupa 20 pucuk senapan. Sementara itu Pangeran Antasari dan Demang Lehman mendapat tugas yang lebih berat yaitu mengerahkan kekuatan dengan menghubungi Tumenggung Surapati dan Pembakal Sulil di daerah Barito, Kiai Langlang dan Haji Buyasin di daerah Tanah Laut. Pada awal Perang Banjar yaitu sekitar akhir bulan April 1859 Belanda memimpin kekuatan dan penggempuran di sekitar Martapura dan Tanah Laut, bersama-sama Kiai Langlang dan Penghulu Haji Buyasin. selanjutnya Demang Lehman diperintahkan mempertahankan kota Martapura, karena pusat pemerintahan Kerajaan oleh Pangeran Hidayat dipindahkan ke kota Karang Intan. Bersama-sama Pangeran Antasari, Demang Lehman menempatkan pasukan disekitar Masjid Martapura dengan kekuatan 500 orang dan sekitar 300 orang disekitar Keraton Bumi Selamat. Pada akhir tahun 1859 pasukan rakyat yang dipimpin oleh Demang Lehman, Pangeran Antasari, Tumenggung Antaluddin, Pambakal Ali Akbar berkumpul dibenteng Munggu Thayor. Demang Lehman terlibat dalam pertempuran sengit di sekitar Munggu Thayor. Belanda menilai tentang Demang Lehman sebagai musuh yang paling ditakuti dan paling berbahaya dan menggerakkan kekuatan rakyat sebagai tangan kanan dari Pangeran Hidayat. Demang Lehman menyerbu Martapura dan melakukan pembunuhan terhadap pimpinan militer Belanda di Martapura. Pada tanggal 30 Agustus 1859 Demang Lehman berangkat menuju Keraton dengan 3000 kekuatan dan secara tiba-tiba mengejutkan Belanda karena melakukan serangan secara tiba-tiba, menyebabkan Belanda kebingungan menghadapinya, hingga hampir menewaskan Letnan Kolonel Boon Ostade.151 Dalam serangan tiba-tiba ini Demang Lehman menunggang kuda dengan gagah berani mengejar Letnan Kolonel Boon Ostade. Serbuan ke Keraton Bumi Selamat ini gagal karena berhadapan dengan pasukan Belanda yang sedang berkumpul melakukan inspeksi senjata. Pertempuran sengit terjadi, sehingga anggota Demang Lehman kehilangan 10 orang yang menjadi korban, begitu pula pihak Belanda berpuluh-puluh yang jatuh korban. Sementara itu kapal perang Bone dikirim Belanda ke Tanah Laut untuk merebut kembali benteng Tabanio yang telah dikuasai Demang Lehman dalam sebuah pertempuran yang mengerikan Belanda. Ketika pasukan Letnan Laut Cronental menyerbu benteng Tabanio, 9 orang serdadu Belanda tewas, dan terpaksa pasukan Belanda sisanya mengundurkan diri dengan menderita kekalahan. Serangan kedua oleh Belanda dilakukan, tetapi benteng itu dipertahankan dengan gagah berani oleh Demang Lehman, Kiai Langlang, dan Panghulu Haji Buyasin. Karena serangan serdadu Belanda didukung oleh angkatan laut yang menembakkan meriam dari kapal perang, sedangkan pasukan darat menyerbu benteng Tabanio, Demang Lehman berserta pasukannya lolos dengan tidak meninggalkan korban. Belanda menilai bahwa kemenangan terhadap benteng Tabanio ini tidak ada artinya, kalau diperhitungkan dengan jumlah sarana yang dikerahkan. 15 buah meriam, dan sejumlah senjata yang mengkilap, ternyata tidak berhasil melumpuhkan kekuatan Demang Lehman. Selanjutnya Demang Lehman memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan Gunung Lawak (Tanah Laut). Benteng itu terletak di atas bukit, di setiap sudut benteng dipersenjatai dengan meriam. Pertempuran memperebutkan benteng ini terjadi pada tanggal 27 September 1859. Dalam pertempuran yang sengit dan pasukan Demang Lehman mempertahankan benteng Gubung Lawak dengan gagah berani, akhirnya mengorbankan lebih dari 100 tewas dalam pertempuran ini.
151 Gids, ibid., hal. 281.
Belanda sangat bangga dengan kemenangannya ini sehingga dilukiskannya sebagai “salah satu pertempuran yang indah di tahun 1859”. Kekalahan ini tidak melemahkan semangat pasukan Demang Lehman, sebab mereka yakin bahwa berperang melawan Belanda adalah perang sabil, dan mati dalam perang adalah mati syahid. Bahkan pasukan Kolonel Andresen banyak korban dalam perjalanan naik perahu ketika menuju ke Banjarmasin, bahkan Kolonel Andresen sendiri hampir tewas dalam serangan mendadak ini. Pangeran Antasari dan Demang Lehman mencoba mendatangkan senjata dengan cara mengirim utusan ke Kerajaan Kutai, Pasir dan Pagatan. Tetapi rupanya sudah diketahui oleh Belanda, sehingga Belanda menekan semua raja-raja yang membantu Pangeran Antasari dan Demang Lehman. Meskipun demikian Demang Lehman memperoleh sebanyak 142 pucuk senapan dan beberapa buah meriam kecil (lila), tetapi sayang ketika senjata ini dalam perjalanan diangkut dengan perahu dirampas oleh Belanda di tengah laut. Pada akhir tahun 1859 medan pertempuran terpencar dalam 3 lokasi, yaitu di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah Laut dan di sepanjang Sungai Barito. Medan pertempuran di sekitar Banua Lima dibawah pimpinan Tumenggung Jalil Kiai Adipati Anom Dinding Raja, medan yang kedua dibawah pimpinan Demang Lehman, sedangkan medan ketiga dibawah pimpinan Pangeran Antasari. Pada bulan September 1859 Demang Lehman, bersama pimpinan lainnya seperti Pangeran Muhammad Aminullah, Tumenggung Jalil berangkat menuju Kandangan untuk merundingkan bentuk perlawanan terhadap Belanda dan sikap serta siasat yang ditempuh selanjutnya. Pertemuan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh pejuang dari segala pelosok. Dari pertemuan itu menghasilkan kesepakatan, bahwa pimpinan-pimpinan perang menolak tawaran Belanda untuk berunding.
Pertemuan menghasilkan pula bentuk perlawanan yang terarah dan meluas dengan cara :
a. Pemusatan kekuatan di daerah Amuntai.
b. Membuat dan memperkuat pertahanan di daerah Tanah laut, Martapura, Rantau dan Kandangan.
c. Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di Dusun Atas.
d. Mengusahakan tambahan senjata. Suatu sikap yang keras telah diambil bahwa para pejuang tersebut bersumpah mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar.
Mereka akan berjuang tanpa kompromi “Haram Manyarah Waja Sampai Kaputing”, berjuang sampai titik darah yang penghabisan. Untuk melumpuhkan perjuangan rakyat Belanda mendirikan benteng-benteng. Di daerah Tapin, diperkuat Belanda benteng Munggu Thayor yang telah direbutnya dari pasukan Demang Lehman. Di daerah Kandangan, didirikan pula benteng dikenal sebagai benteng Amawang. Demang Lehman dan pasukannya merencanakan untuk menyerang benteng Belanda di Amawang ini. Demang Lehman berhasil menyelundupkan dua orang kepercayaannya ke dalam benteng sebagai pekerja Belanda. Informasi dari kedua pekerja ini Demang Lehman bertekad akan menyerbu benteng Belanda tersebut. Pihak Belanda memperoleh informasi bahwa rakyat telah berkumpul di Sungai Paring hendak menyerbu benteng Amawang. Dengan dasar informasi ini, pasukan Belanda dibawah pimpinan Munters membawa 60 orang serdadu dan sebuah meriam menuju Sungai Paring. Saat pasukan tersebut keluar dan diperkirakan sudah mencapai Sungai Paring, Demang Lehman menyerbu benteng Amawang pada sekitar jam 02.00 siang hari tanggal 31 Maret 1860. dengan 300 orang pasukannya Demang Lehman menyerbu benteng tersebut. Ketika pasukan Demang Lehman menyerbu, kedua orang kepercayaan yang menjadi buruh dalam benteng tersebut mengamuk dan menjadikan serdadu Belanda menjadi kacau dibuatnya. Kedua orang yang mengamuk tersebut tewas dalam benteng dan sementara itu pertempuran sengit terjadi. Pasukan Munters ternyata kembali ke benteng sebelum sampai di Sungai Paring. Datangnya bantuan kekuatan ini, menyebabkan Demang Lahman dan pasukannya mundur. Demang Lehman mundur di sekitar Sungai Kupang dan Tabihi bersama Pangeran Muhammad Aminullah dan Tuan Said. Pasukan Belanda menyusul ke Tabihi dan terjadi pertempuran. dalam pertempuran itu komandan pasukan Belanda Van Dam van Isselt tewas dan beberapa orang serdadu menjadi korban keganasan perang. Demang Lehman meneruskan ke daerah Barabai membantu pertahanan Pangeran Hidayat dan pengiringnya. G.M. Verspyck berusaha keras untuk menghancurkan kekuatan Pangeran Hidayat dan Demang Lehman yang berkedudukan di sekitar Barabai. G.M. Verspyck mengerahkan serdadu dari infantri batalyon ke 7, batalyon ke 9 dan batalyon ke 13. Batalyon ke 13 berjumlah 210 orang serdadu dibawah pimpinan Kapten Bode dan Rhode. Pasukan ini diikutkan pula 100 orang perantaian yang bertugas membawa perlengkapan perang dan makanan. Pengepungan terhadap kedudukan Pangeran Hidayat ini disertai pula kapal-kapal perang Suriname, Bone, Bennet dan beberapa kapal kecil. Kapal-kapal perang ini pada tanggal 18 April 1850 telah memasuki Sungai Ilir Pemangkih. Karena banyak rintangan yang dibuat, maka kapal-kapal perang tidak dapat memasukinya, serdadu Belanda terpaksa menggunakan perahu-perahu. Iringan perahu ini mendapat serangan dari kelompok Haji Sarodin yang menggunakan Lila dan senapan lantakan. Dalam pertempuran ini Haji Sarodin tewas, tetapi dia berhasil menewaskan beberapa serdadu Belanda. Pertempuran terjadi pula di Walangku dan Kasarangan dan Pantai Hambawang. Dengan teriakan “Allahu Akbar”, rakyat menyerbu serdadu Belanda yang bersenjata lengkap. Mereka tidak takut mati, karena mereka yakin mati dalam perang melawan Belanda adalah mati syahid. Demang Lehman dan Pangeran Hidayat berusaha keras dan penuh keberanian menahan serangan serdadu Belanda. Tetapi karena jumlah personil Belanda lebih besar dan perlengkapan perang lebih unggul, maka diambil suatu siasat mundur. Pangeran Hidayat mengundurkan diri ke Aluwan, sedangkan Demang Lehman bertahan di Pajukungan. Akhirnya Belanda berhasil menduduki Barabai setelah meninggalkan banyak korban.152 Belanda berusaha keras untuk memutuskan hubungan Pangeran Hidayat yang berada di Aluwan dengan pasukan Demang Lehman yang berada di sekitar Amawang. Usaha Belanda untuk melemahkan kekuatan rakyat ternyata tidak berhasil, karena rakyat menggunakan taktik gerilya dalam serangannya.
152 Gusti Mayur, op.cit., hal. 54.
10. Pertempuran di Gunung Madang
Pangeran Hidayat dan Demang Lehman meminta pada Tumenggung Antaluddin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Pasukan Pangeran Hidayat, Demang Lehman dan pasukan Tumenggung Antaluddin terkumpul di sekitar benteng ini. Persiapan benteng ini diketahui oleh Belanda sehingga datanglah serangan Belanda secara mendadak pada 3 September 1860, sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda menyelusuri Karang Jawa dan Ambarai dan langsung menuju Gunung Madang. Serdadu Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu serangan mendadak menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya, sehingga tentara Belanda mundur kembali ke benteng Amawang. Keesokan harinya tanggal 4 September 1860 pasukan infantri dari batalyon ke 13 mengadakan serangan kedua kalinya. Serdadu Belanda ini dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian untuk membawa perlengkapan perang dan dijadikannya umpan dalam pertempuran. Serdadu Belanda melemparkan 3 biji granat tetapi tidak berbunyi, dan disambut dengan tembakan dari dalam benteng. Di dalam benteng itu terdapat pula beberapa orang perantaian yang lari memihak pasukan Pangeran Hidayat ketika terjadi pertempuran di Pantai Hambawang. Ketika Letnan de Brauw dan Sersan de Vries menaiki kaki Gunung Madang, dia hanya diikuti serdadu bangsa Eropah sedangkan serdadu bangsa bumi putera membangkang tidak ikut bertempur Letnan de Brauw kena tembak di pahanya, dan 9 orang serdadu Eropah terkapar kena tembak dari dalam benteng. Setelah Letnan de Brauw kena tembak, serdadu Belanda mundur dan kembali ke benteng di Amawang. Serangan ketiga dilakukan beberapa hari kemudian setelah Belanda memperoleh bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai. Pada tanggal 13 September 1860 Belanda melakukan kembali serangannya terhadap benteng Gunung Madang. Serangan ini dipimpin oleh Kapten Koch dengan perlengkapan meriam dan mortir. Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin mempersiapkan menunggu serangan Belanda sedangkan Pangeran Hidayat mengatur strategi untuk menghadapinya. Pertempuran ini terjadi dalam jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin dengan gagah berani menghadapinya. Ketika bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda meriamnya hancur kena tembakan. Kapten Koch mempertimbangkan untuk mundur kembali ke benteng Amawang. Kegagalan serangan Kapten Koch ini tersebar sampai ke Banjarmasin, sehingga G.M. Verspyck memerintahkan Mayor Schuak menyiapkan pasukan infantri dari batalyon ke 13 yang terdiri dari 91 opsir bangsa Eropah. Tanggal 18 September 1860 Mayor Schuak membawa pasukan dengan dibantu Kapten Koch menyerang Gunung Madang. Belanda membawa sebuah howitser, sebuah meriam berat dan mortir. Menjelang pukul 11.00 siang hari Demang Lehman memulai menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. G.M. Verspyck yang berani mendekati benteng dengan pasukannya, kena tembak oleh anak buah Tumenggung Antaluddin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu, dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju, kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Mereka dengan bergegas menggotong mayat Koch dan berlari meninggalkan medan pertempuran, langsung mengundurkan diri kembali ke benteng Amawang. Setelah serangan keempat ini gagal, Belanda mempersiapkan kembali untuk penyerangan yang kelima Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin juga mempersiapkan siasat apa yang diambil untuk menghadapi serangan secara besar-besaran keluar dan tidak terpusat bertahan dalam benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari Kiai Cakra Wati pahlawan wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari daerah Gunung Pamaton. Serangan kelima terjadi pada 22 September 1860. Belanda mempersiapkan dengan teliti, belajar dari kegagalan empat kali penyerangannya. Belanda mempersiapkan mendirikan bivak-bivak dan perlindungan pasukan penembak meriam dengan sistem pengepungan benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi keesokan harinya dengan tembakan meriam dan lemparan granat. Pada pagi hari itu pertempuran tidak begitu seru, tetapi menjelang pukul 11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin mengadakan serangan besar-besaran dengan meriam dan senapan. Tembakan itu terus menerus bersahutan sampai menjelang subuh. Karena serangan yang gencar itu Belanda kehilangan komando apalagi malam hari yang gelap gulita. Pasukan Belanda kucar kacir. Situasi yang tegang ini dipergunakan Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin beserta pasukannya keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng, dan selanjutnya berpencar. Kiai Cakrawati meneruskan perjalanan ke Gunung Pamaton yang kemudian terlibat pula dalam pertempuran disini. Alangkah kecewanya Belanda ketika dengan hati-hati memasuki benteng untuk menghancurkan kekuatan Demang Lehman dan pasukannya ternyata benteng sudah kosong, hanya ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.
11. Pertempuran di Sekitar Martapura dan Gunung Pamaton
Dalam bulan Juni 1861 Pangeran Hidayat berada di Gunung Pamaton. Rakyat Gunung Pamaton menyambut kedatangan Pangeran Hidayat dan rakyat membuat benteng pertahanan sebagai usaha mencegah serangan Belanda yang akan menangkap Pangeran Hidayat. Sementara itu Pangeran Hidayat berunding dengan Mufti di Martapura. Perundingan pertama diadakan di Kalampayan dan yang kedua di dalam Pagar. Dalam perundingan itu disepakati rencana akan melakukan serangan umum terhadap kota Martapura. Para penghulu dan alim ulama akan mengerahkan seluruh rakyat melakukan jihad perang sambil mengusir Belanda dari bumi Banjar. Serangan umum ini direncanakan dilakukan pada tanggal 20 Juni 1861, tetapi rencana itu bocor ke tangan Belanda. Oleh karena itu sebelum tanggal 20 Juni Belanda secara tiba-tiba menyerang benteng Gunung Pamaton tempat pertahanan Pangeran Hidayat. Serangan Belanda itu dapat digagalkan dengan banyak membawa korban di pihak Belanda. Sementara itu di kampung Kiram, tidak jauh dari Gunung Pamaton dan di daerah Banyu Irang Pambakal Intal dan pasukan Tumenggung Gumar telah berhasil menghancurkan kekuatan Kopral Neyeelie. Mayat-mayat pasukan Belanda ini dihanyutkan di sungai Pasiraman. Pambakal Intal berhasil menguasai senjata serdadu Belanda ini. Untuk menghadapi serangan umum terhadap Martapura ini Assisten Residen Mayor Koch yang merangkap menjadi Panglima di daerah Martapura meminta bantuan kepada Residen G.M. Verspyck di Banjarmasin. Residen segera mengirimkan bantuan dengan mengirimkan kapal perang van Os yang mengangkut meriam dan perlengkapan perang lainnya. Serangan selanjutnya dilakukan oleh Mayor Koch secara besar-besaran terhadap benteng Gunung Pamaton, mendahului rencana serangan umum terhadap Martapura oleh rakyat yang bocor ke pihak Belanda. Rakyat seluruh daerah Martapura dan sekitarnya bangkit melakukan serangan sehingga hampir di seluruh pelosok terjadi pertempuran. Pertempuran terjadi pula di Kuala Tambangan. Tumenggung Gamar yang akan membawa pasukannya memasuki kota Martapura ternyata tidak berhasil, karena Belanda telah mempersiapkan pertahanan yang lebih kuat. Pambakal Mail terlibat perang menghadapi serdadu Belanda di sekitar Mataraman, sementara di Gunung Pamaton pertempuran terus berkobar. Pasukan Belanda bukan saja menyerang benteng Gunung Pamaton yang belum berhasil dikuasainya, tetapi juga membakar rumah-rumah penduduk yang tidak berdosa. Membinasakan kebun-kebun dan menangkapi penduduk, sehingga penjara Martapura penuh sesak. Dalam pertempuran di Gunung Pamaton tersebut banyak sekali jatuh korban di kedua belah pihak. Letnan Ter Dwerde dan Kopral Grimm tewas kena tombak dan tusukan keris di perutnya. Serangan bulan Juni terhadap benteng Gunung Pamaton berhasil digagalkan oleh rakyat yang hanya memiliki persenjataan sederhana. Memang benteng Gunung Pamaton saat itu dipertahankan oleh pimpinan perang yang gagah berani, selain Pangeran Hidayat terdapat pula Demang Lehman, Tumenggung Gamar, Raksapati, Kiai Puspa Yuda Negara. Selain itu terdapat pula pahlawan wanita Kiai Cakrawati yang selalu menunggang kuda yang sebelumnya ikut mempertahankan benteng Gunung Madang, dan saat itu ikut mempertahankan benteng Gunung Pamaton. Dalam bulan Agustus 1861 Mayor Koch sekali lagi mengerahkan pasukannya menyerbu Gunung Pamaton. Sebelum serangan dilakukan. Mayor Koch menghancurkan semua ladang, lumbung padi rakyat, hutan-hutan, dengan harapan menghancurkan persediaan bahan makanan, dan menghancurkan hutan-hutan yang dapat dijadikan benteng pertahanan. Mayor Koch gagal dalam usahanya untuk menangkap Pangeran Hidayat dan pimpinan perang lainnya, karena sebelumnya benteng ini telah ditinggalkan, karena rakyat menggunakan siasat gerilya dalam usaha melawan Belanda yang memiliki persenjataan yang lebih baik. Perang gerilya adalah salah satu siasat untuk mengantisipasi musuh yang memiliki persenjataan yang lebih unggul.
12. Peristiwa Margasari
Pada saat sedang memuncak dan seluruh wilayah Kerajaan Banjar bergolak melawan Belanda, Belanda melakukan tindakan mengesahkan apa yang telah dilakukannya. Tindakan itu adalah mengeluarkan pengumuman penghapusan Kerajaan Banjar tertanggal 11 Juni 1860 yang ditanda tangani oleh Residen Surakarta F.N. Nieuwenhuijzen yang merangkap Komisaris Pemerintahan Belanda untuk afdeling Selatan dan Timur Kalimantan. Sejak itu Belanda seolah-olah menyelesaikan persoalan dalam negerinya sendiri bukan berhadapan dengan suatu bangsa yang berperang mengembalikan kemerdekaan bangsanya. Sejak itu Belanda mengatur aparat pemerintahannya di daerah Kerajaan Banjar. Daerah-daerah yang telah dikuasainya ditetapkan Kepala-Kepala Distrik baru. Salah satu distrik baru itu adalah di Margasari. Kepala Distriknya ialah Kiai Jaya Di Pura. Kiai ini banyak membantu perjuangan rakyat dengan cara membantu bahan makanan dan juga informasi tentang aktivitas serdadu Belanda.
Akhirnya sikapnya pro perjuangan rakyat ini diketahui Belanda dan dia diganti sebagai Kiai oleh Kiai yang mempunyai loyalitas tinggi terhadap Belanda. Tanggal 14 Desember 1861 dilakukan timbang terima jabatan Kiai Margasari dengan Kiai baru Kiai Sri Kedaton. Pada tanggal 14 Desember 1861 Controleur Fuijck datang ke Margasari dikawal 5 orang serdadu. Malam hari tanggal 16 Desember Controleur Fuijck dan pengawalnya dibunuh dan rumahnya dibakar. Mendengar berita yang menyedihkan ini Residen G.M. Verspyck mengirim Letnan Croes dengan 20 orang serdadu ke Margasari. Letnan Croes mengejar pembunuh dengan menggunakan 5 buah jukung (perahu) ke Sungai Jaya anak Sungai Negara. Mereka berangkat pukul 11.00 siang. Para pejuang dibawah pimpinan Tagah Obang sudah menunggu di sungai sempit itu. Letnan Croes disergap para pejuang dengan cara tiba-tiba dan terjadilah pergumulan di dalam perahu dan disekitar sungai sempit itu. Tiga jam kemudian perahu itu kembali dengan membawa mayat Letnan Croes dan 14 orang serdadunya yang telah menjadi mayat, 8 orang diantaranya orang Eropah. Letnan Croes terkulai tangannya kena parang bungkul dan kemudian ditombak dengan serapang. Berita duka ini sampai ketelinga Residen G.M. Verspyck pada saat ia sedang bergembira karena kemenangannya menghancurkan perjuangan rakyat di rumah Asisten Residen di Martapura. Residen G.M. Verspyck segera kembali ke Banjarmasin dan memerintahkan kapal perang Boni dan Celebes mengejar para pembunuh.
13. Tumenggung Jalil Gelar Kiai Adipati Anom Dinding Raja
Sejak kecil dia diberi nama Jalil, penduduk kelahiran Pelimbangan Amuntai sekitar tahun 1840. dia seorang jaba bukan berdarah bangsawan. Sejak kecil dia dikenal pemberani dan pendekar dalam ilmu silat. Pada waktu berusia 20 tahun dia terlibat dalam perlawanan terhadap Belanda di Tanah Habang dan Lok Bangkai. Karena kepahlawanannya dia dikenal sebagai “Kaminting Pidakan”. Pada tahun 1859, Jalil yang diberi gelar oleh Pangeran Hidayat, Kiai Adipati Anom Dinding Raja telah menyusun kekuatan di Banua Lima. Jalil membuat pos-pos penjagaan di sekitar Babirik, Alabio dan Sungai Banar. Di sekitar Masjid Amuntai didirikan benteng. Di sungai dibuat rintangan-rintangan sehingga mempersulit bagi kapal yang akan lewat. Pada awal Februari 1860, Belanda mengerahkan kapal-kapal perang Admiral van Kingsbergen dan kapal Bernet dengan beberapa ratus serdadu dan pasukan meriam dipimpin oleh Mayor G.M. Verspyck. Kapal perang itu akhirnya sampai di Alabio, dan seterusnya terpaksa menggunakan kapal atau perahu yang lebih kecil karena rintangan yang banyak di sungai. Pertempuran terjadi disekitar Masjid Amuntai. Dari masjid inilah keluar prajurit-prajurit rakyat yang tidak mengenal lelah menyerbu dengan hanya bersenjatakan tombak, parang bungkul dan mandau dengan meneriakkan “Allahu Akbar” menyerbu Belanda. Korban berjatuhan dan perang berhadapanpun terjadi. Semangat membela agama dan berjuang melawan Orang kafir dan mati dalam perang itu adalah semangat patriotisme yang tinggi yang mengisi dada setiap rakyat yang bertempur melawan penjajah Belanda. Benteng di sekitar masjid dipertahankan dengan kuat dibawah pimpinan Matia atau Mathiyassin pembantu utama Tumenggung Jalil dengan gagah berani mengamok menyerbu serdadu Belanda. Beratus-ratus yang menjadi suhada dalam pertempuran itu, 44 orang diantaranya dimakamkan di Kaludan. Rumah-rumah penduduk ikut menjadi korban terbakar serta kampung di sekitarnya menjadi saksi kepahlawanan rakyat Amuntai mempertahankan agama. Diantara kampung yang musnah adalah Kampung Karias, dan diantara rumah penduduk yang musnah terdapat rumah Tumenggung Jalil. Di bekas benteng yang hancur, dijadikan Belanda bivak, benteng baru terletak di pertemuan Batang Balangan dan sungai Tabalong. Pertempuran ini terjadi pada 9 Februari 1860. Pasukan-pasukan Pangeran Hidayat yang tersebar di sekitar Barabai bergabung dengan pasukan Tumenggung Jalil dan dapat menahan gerakan serdadu Belanda di sekitar Pantai Hambawang. Dalam pertempuran yang terjadi di Lampihong diantara serdadu Belanda yang menjadi korban adalah Kapten de Jong. Pertempuran ini menyebabkan serdadu Belanda mundur. Bantuan serdadu Belanda kemudian diangkut dengan kapal perang Boni pada tanggal 15 Mei 1860 menuju dan memudiki sungai Tabalong. Sebelum mencapai daerah Tabalong, serdadu Belanda menghadapi serbuan rakyat di sepanjang sungai yang dilewati. Sesampai di daerah Tabalong, terjadi pertempuran dengan Pasukan Tumenggung Jalil. Perlawanan rakyat cukup sengit menyebabkan serdadu Belanda terpaksa mundur ke daerah Kalua dan Amuntai. Baru bulan Juni 1860 Belanda berhasil menduduki daerah Tabalong. Serdadu Belanda menghadapi perlawanan dari pasukan Hidayat, pasukan Jalil dan pasukan Pangeran Antasari, Tumenggung Surapati yang berpusat di Tanah Dusun. Tumenggung Jalil kemudian membuat benteng di Batu Mandi dan dari benteng ini dapat memutuskan hubungan serdadu Belanda antara Barabai dan Lampihong. Benteng ini terletak di atas sebuah bukit dan di sekitarnya diberi rintangan-rintangan, seperti parit-parit, lubang perangkap, tali jerat dan potongan pohon kayu besar yang sewaktu-waktu dapat digulingkan dari atas bukit. Benteng ini dipercayakan kepada Penghulu Mudin. Ketika serdadu Belanda menyerbu dan menaiki bukit yang dijadikan benteng ini, banyak sekali korban dari pihak Belanda, karena jebak yang dibuat. Diantara yang jatuh korban adalah pimpinan penyerbuan ini Sersan van de Bosch. Karena gagal menaiki benteng tersebut, serdadu Belanda menembaki benteng ini dengan meriam dari bawah. Sementara itu Pangeran Antasari memperkuat benteng Tabalong. Pangeran Antasari menaikkan bendera di atas benteng itu, yaitu bendera merah dengan dua buah keris bersilang. Benteng Batu Mandi dipersiapkan dengan sungguh-sungguh oleh Pangeran Antasari dan Pangeran Hidayat. Disamping itu terdapat pula Pangeran Syarif Umar, ipar Pangeran Hidayat, Pangeran Usman kemenakan Pangeran Hidayat. Sedangkan Tumenggung Jalil mempersiapkan pertahanan di sepanjang sungai Balangan. Sebelum sampai ke benteng ini, terdapat kubu-kubu pertahanan di Batang Balangan. Di daerah Batang Alai terdapat kekuatan dibawah pimpinan Demang Jaya Negara Seman dan Kiai Jayapati. Pusat kekuatan telah dibagi dan dipencar-pencar Pangeran Antasari tetap bertahan di sekitar Amuntai, Kalua dan Tabalong, sedangkan Jalil berada di pusat kekuatan di Pasimbi, yang berusaha menghambat gerakan serdadu Belanda menuju Batu Mandi. Kubu-kubu pertahanan Jalil selain di Pasimbi, juga terdapat di Lampihong, Layap, Muara Petap dan lain-lain.
Ketika serdadu Belanda sampai ke benteng Batu Mandi pada tanggal 13 Oktober 1860 ternyata benteng itu telah dikosongi. Belanda sangat kecewa karena sebelum mencapai benteng Batu Mandi, serdadu Belanda menghadapi perlawanan yang gencar dari segala pelosok, ternyata benteng itu telah kosong. Garis pertahanan Pangeran Antasari antara benteng Pengaron, benteng Tundakan dan Gunung Tongka (di daerah Barito) merupakan basis perjuangan yang tak mudah ditaklukkan Belanda. Tumenggung Jalil setelah terpukul di Banua Lima, kemudian menggabungkan diri ke benteng Tundakan bersama-sama Tumenggung Baro dan Pangeran Maradipa. Ketika terjadi pertempuran menghadapi pasukan serdadu Belanda yang menyerbu benteng Tundakan, banyak korban berjatuhan kedua belah pihak. Benteng di dipertahankan dengan sekuat tenaga oleh para pejuang tak kenal menyerah. Mati syahid adalah idaman mereka dalam setiap pertempuran menghadapi Orang kafir Belanda. Pertempuran itu terjadi pada 24 September 1861. Tumenggung Jalil mempertahankan benteng itu bersama-sama Pangeran Antasari dan tokoh pejuang lainnya. Benteng Tundakan hanya dipertahankan dengan 30 pucuk meriam dan senapan jatuh lebih kecil dibanding dengan persenjataan Belanda. Meskipun dengan persenjataan yang kecil, tetapi dengan semangat juang tak kenal menyerah, akhirnya Belanda terpaksa mundur dan dapat dihalau dari tempat pertempuran. Dengan demikian benteng Tundakan dapat dipertahankan dan diselamatkan. Setelah usai ternyata Tumenggung Jalil tewas sebagai kesuma bangsa. Mayatnya ditemukan dalam tumpukan tumpukan bangkai-bangkai serdadu Belanda, jauh di luar benteng. Barulah diketahui bahwa ketika perang sedang berkecamuk, Tumenggung Jalil mengamok ke tengah-tengah musuh, dan dia korban bersama-sama serdadu Belanda yang dibunuhnya. Tumenggung Jalil menjadi Syahid, seorang putera bangsa terbaik telah hilang, namun semangat juang tidak pernah punah. Kebencian Belanda kepada Tumenggung Jalil sebagai musuhnya yang paling ditakutinya, berusaha mencari dimana kubur Tumenggung ini. Akhirnya penghianat perjuangan memberi tahu letak kubur tersebut. Kubur itu dibongkar kembali oleh kaki tangan Belanda, tengkoraknya diambil dan disimpan di Negeri Belanda, sisa mayatnya dihancurkan dan dia pejuang bangsa yang tidak mempunyai kubur.
14. Penghulu Rasyid dan Gerakan Beratib Baamal
Rasyid dilahirkan dikampung Telaga Itar, Kecamatan Kelua sekarang. Ayahnya bernama Ma’ali penduduk kampung Telaga Itar. Kapan Rasyid dilahirkan tidak diketahui, hanya dapat diperkirakan sekitar tahun 1815. Perkiraan ini didasarkan pada perkiraan bahwa pada waktu terjadi Perang Banjar dan perjuangan yang menghangat di seluruh Banua Lima tahun 1860 sampai tahun 1865, Rasyid berumur 50 tahun, sejak kecil ia mempunyai ciri-ciri kepemimpinan dan mempunyai kepribadian yang tinggi. Pengetahuan agama Islam yang dimilikinya disertai dengan alamiah yang kuat, maka Rasyid dijadikan sebagai pemimpin agama dengan sebutan Penghulu, maka selanjutnya ia dikenal sebagai Penghulu Rasyid. Penghulu Rasyid adalah salah seorang diantara sejumlah ulama yang bangkit bergerak berjuang mengangkat senjata melawan penjajah Belanda. Sebagai seorang pimpinan agama Penghulu Rasyid tergerak hatinya untuk patriotismenya untuk membela negara Kerajaan Banjar yang dijajah Belanda. Penghulu Rasyid dan para ulama lainnya mengorbankan semangat juang, sebagai gerakan Baratib Baamal. Gerakan Baratib Baamal ini meliputi hampir seluruh Banua Lima dan wilayah yang sekarang menjadi daerah Hulu Sungai Tengah dan Utara dengan pusat kegiatan di masjid dan langgar. Pimpinan dari gerakan ini para ulama yang dikenal dengan sebutan Tuan Guru. Secara etimologis kata Baratib Baamal terdiri dari dua kata, yaitu baratib yang berarti berdzikir dan Baamal yaitu melakukan perbuatan atau berdoa untuk memohon kebaikan. Berdasarkan kenyataan aksi Baratib Baamal lebih cenderung dianggap sebagai khalwat dalam usaha memohon keselamatan untuk memerangi Orang kafir.153
153 P.J. Veth, et al, Het Beratib Beamal in Bandjermasin, TNI Tweede Deel (Zalt-Bommel Bijjoh Noman en Zoon), 1869, hal. 200. Lihat pula A. Gazali Usman, “Pengaruh Pengajaran Tasawuf
Praktik Baratib Baamal dilakukan sebagai berikut : Pengikut yang terdiri dari kaum muslimin berkumpul di masjid atau langgar dengan dipimpin oleh seorang ulama, yang disebut Tuan Guru. Jamaah ini bersama-sama membaca dzikir ‘La ilaha illa Allah” disertai kalimat puji-pujian dan seterusnya diucapkan sebagai berikut :
La ilaha illa Allah, La ilaha illa Allah, dengan menadah tangan keatas, rizki minta dimurahkan, bahaya minta dijauhkan, umur minta dipanjangkan serta iman. La ilaha illa Allah, dengan menadah tangan keatas, rezeki minta dimurahkan, bahaya minta dijauhkan, umur minta panjangkan serta iman. La ilaha illa Allah, tumat di Mekkah ke madinah, di situ tempat rasulullah. La ilaha illa Allah, tumat di Mekkah ke Madinah, di situ tempat Siti Fatimah. La ilaha illa Allah, hati yang siddiq, ya maulana, ya Muhammad Rasul Allah. La ilaha illa Allah, hati yang mu’min bait Allah. La ilaha illa Allah, Nabi Muhammad hamba Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad sifat Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad aulia Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah. La ilaha illa Allah, Muhammad Rasul Allah. La ilaha illa Allah, maujud Allah.
154 Pratek berzikir itu berlangsung lama, berhari-hari. Dalam kehusyu’annya mereka tenggelam dalam keasyikan mengingat Allah. Puji-pujian itu diucapkan berirama, mula-mula bernada rendah, makin lama makin tinggi, dan keras berupa jeritan yang histeris. Dalam situasi yang demikian mental perjuangan berhasil ditingkatkan sehingga mereka siap untuk menyerbu musuh tanpa menghiraukan risiko maut yang dihadapi. Jamaah dzikir ini memakai seragam jubah putih kecuali pimpinanya Tuan Guru yang memakai jubah kuning. Pengaruh amaliah dzikir ini sangat mendalam dan mempengaruhi jiwa raga manusia yang melakukannya.
dan Dzikir terhadap Rakyat Banjar dalam Usaha Menghadapi Kolonialisme Belanda”, Makalah pada Seminar Sejarah Nasional ke III di Yogyakarta, 1985, hal. 98. 154 A. Gazali Usman, loc.cit.
Sangat mungkin sekali jamaah Baratib Baamal ini adalah salah satu jenis Tarikat yang memang sudah lama berkembang didalam daerah Kerajaan Banjar. Tarikat ini adalah Tarikat Naqsabandiyah.
Pelaksanaan khalwat tarikat ini dengan cara :
(1) menyendiri atau berkelompok ditempat yang sunyi dan sepi
(2) mengurangi nafsu makan / minum
(3) membaca dzikir
(4) meninggalkan nafsu birahi
(5) menjaga kesucian badan
(6) pakaian serba putih
(7) memotong rambut
(8) mengurangi tidur
(9) memperbanyak ibadah dan
(10) taat terhadap petunjuk pimpinan/Tuan Guru.
Dengan cara praktik khalwat ini membawa orang senantiasa mengingat Allah, lidah, hati, perasaan, pandangan, penglihatan dan seluruh tubuhnya tidak yang lain kecuali Allah. Dalam perasaan itu dirinya sudah tidak ada lagi, dia sudah fana. Hal ini berarti bahwa telah mampu menyatukan dirinya dengan Allah, dalam bentuk tauhidul af’al, sifat dan zat. Penaruh ajaran Syekh Abdul Hamid Abulung dengan aliran wahdatul wujud155 bukanlah yang tidak mungkin juga mempengaruhi gerakan Baratib Baamal ini karena ajaran ini membawa pikiran manusia dan dunia atau manusia dan Tuhan itu tidak terpisahkan menjadi satu, dalam kehidupan ruhani yang tinggi fana. Aliran Wahdatul wujud memang sudah berkembang dalam wilayah kerajaan Banjar sejak abad ke- 18.
15. Pertempuran di Banua Lawas
Pimpinan Baratib Baamal pimpinan Penghulu Abdul Rasyid dan Haji Bador di Banua Lawas pertama kali terlibat dalam pertempuran menghadapi serdadu Belanda di Habang pada tanggal 8 Oktober 1861, pertempuran kedua di Krimiang dan yang ketiga pada tanggal 18 Oktober 1861 di Banua Lawas. Anak buah Haji Bador di Banua Lawas memusatkan kekuatannya di Masjid, jumlah ratusan orang. Sambil mengucapkan dzikir dan parang di tangan mereka maju meyerbu sardadu Belanda tanpa ragu dan penuh keberanian. Setelah terjadi perang bergumul dan berhasil menewaskan 3 orang serdadu Belanda, Kapten Thelen mundur ke Kalua dan minta bantuan serdadu Belanda di Amuntai. Serdadu dari Amuntai datang menyerbu, tetapi setelah sampai di masjid Kalua, serdadu Belanda mendapat serangan gencar dengan tembakan senapan dan lila dari pengikut Haji Bador.
155 A. Gazali Usman, ibid., hal. 97.
Besok harinya terjadi lagi pertempuran di Banua Lawas. Pertempuran sengit ini mengakibatkan banyak jatuh korban. Tidak kurang dari 160 orang pengikut Haji Bador diantaranya tewas sebagai suhada. Pertempuran terakhir di Banua Lawas terjadi pada 15 Desember 1865. Belanda mengepung Pasar Arba Banua Lawas dengan menggunakan kapal perang Van Os melalui Sungai Anyar. Serdadu dari Amuntai mengepung dari segala penjuru. Belanda menggunakan segala cara untuk menaklukkan dan melumpuhkan perjuangan Penghulu Abdul Rasyid. Diantara cara itu adalah dengan mendatangkan pasukan Dayak Maanyan dari Tamiang Layang dibawah pimpinan Tumenggung Jailan yang bergelar Tumenggung Jaya Kanti. Tumenggung Jailan ini terkenal berani seperti juga Suta Ono yang berjasa membantu Belanda untuk melumpuhkan perjuangan Pangeran Antasari. Taktik lain adalah dengan memberi pengumumam kepada barang siapa yang berhasil memotong kepala Penghulu Abdul Rasyid dengan imbalan hadiah f 1.000,- disamping pembebasan pajak 7 turunan. Kubu pertahanan Penghulu Abdul Rasyid dibumi hanguskan oleh Belanda. Banyak sekali korban berjatuhan gugur sebagai kesuma bangsa menjadi suhada. Penghulu Abdul Rasyid tumitnya kena tembak sehingga dia terpaksa menghindarkan diri dari medan pertempuran. Dalam persembunyiannya dia masih sempat membunuh beberapa orang serdadu Belanda dan pengikutnya yang tersesat. Tergiur hadiah f 1.000,- dan pembebasan pajak semalam 7 turunan, teman seperjuangan dan keluarganya sendiri Teja Kusuma menghianati perjuangan bangsanya dan memenggal kepala Penghulu Abdul Rasyid yang sudah tidak berdaya lagi. Menurut penuturan orang-orang setempat yang mengetahui dari cerita sebelumnya menjelaskan bahwa puteri Penghulu Abdul Rasyid sendiri membela kematian ayahnya dan berhasil menembak mati Teja Kusuma sehingga berhasil merebut kepala ayahnya yang hanya kepalanya saja. Tetapi setelah kepala tersebut diambilnya dia pingsan melihat ayahnya yang hanya kepalanya saja. Akhirnya Kepala Penghulu Abdul Rasyid tersebut berhasil direbut oleh orang-orang yang menginginkan hadiah f 1.000,- dan menyerahkannya kepada Belanda. Jenazah Penghulu Abdul Rasyid dimakamkan tanpa kepala di dekat Masjid Pasar Arba. Masjid ini termasuk yang tertua dan didirikan oleh Penghulu Abdul Rasyid semasa hidupnya bersama 4 orang tokoh masyarakat saat itu masing-masing bernama Datuk Seri Panji. Datuk Langlang Buana dan Datuk Sari Negara.156
16. Pertempuran di Teluk Selasih
Kalau di Banua Lawas Gerakan Baratib Baamal dipimpin oleh Penghulu Abdul Rasyid dan Haji Bador, maka di Kampung Teluk Selasih tidak jauh dari Amuntai gerakan itu dipimpin oleh Penghulu Buyasin dan Abdul Gani. Sebagaimana Gerakan Baratib Baamal pimpinan Penghulu Abdul Rasyid, maka di Kampung Teluk Selasih pun mempunyai tujuan yang sama, membangkitkan semangat juang fi sabilillah, perang sabil dan cita-cita mati syahid. Pakaian mereka berjubah putih kecuali pimpinannya berjubah kuning. Setelah Belanda mencium adanya gerakan ini, Belanda merundingkan dengan Regent Amuntai Danuraja. Regent Amuntai Danuraja menyanggupi akan menyelesaikannya. Regent membawa 300 anak buah bersenjatakan senapan dan lila dan akan berusaha menangkap Penghulu Suhasin. Pada tanggal 9 November 1861 jam 02.00 petang Regent mendekati Teluk Selasih dan sambut dengan tembakan oleh pengikut Penghulu Suhasin. Diantara pengikut Abdul Gani ada yang menyusup dari belakang sehingga terjadi pergumulan. Salah seorang diantaranya melompat menombak Regent Danuraja. Regent tewas di tempat kejadian, begitu pula anak buah Regent juga juga kena tombak. Dengan kematian Regent Danuraja yang sudah tua ini maka pertempuranpun usailah. Belanda kemudian mengangkat Tumenggung Jaya Negara sebagai Regent yang baru.
156 Anggraini Antemas, Orang-Orang Terkemuka dalam Sejarah Kalimantan, B.P. Anggraini Features, Banjarmasin, 1971, hal. 51.
17. Pertempuran Jatoh
Gerakan Baratib Baamal di daerah Jatoh dipimpin oleh Penghulu Muda yang selalu berbaju jubah kuning sedangkan anak buahnya yang menjadi jamaah dzikir memakai jubah putih. Ketika Belanda memperoleh informasi tentang Gerakan Baratib Baamal di Jatoh, pada tanggal 5 Desember 1861 Belanda menyerbu Jatoh dibawah pimpinan Van der Heyden, Koch dan opsir lainnya. Ketika serdadu Belanda sampai di Jatoh, mereka disambut dengan serangan secara tiba-tiba dari pasukan Penghulu Muda. Dengan pekik dan dzikir “Allahu Akbar’ mereka menyerbu dengan parang terhunus. Serbuan pertama ini yang keluar secara tiba-tiba dari semak-semak kebun lada, jatuh menjadi syahid ketika Belanda memuntahkan meriamnya. Tetapi sangat mengejutkan serangan selanjutnya berdatangan juga secara tiba-tiba seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan teman mereka sebelumnya yang telah menjadi syahid. Pergumulan terjadi. Penembak meriam kena tombak begitu pula Van Haldren luka parah dan beberapa serdadu Belanda bergelimpangan kena tombak dan parang. Penghulu Muda yang berjubah kuning dan memakai serban putih mengayunkan tombak ke arah Van der Heyden, dapat diselamatkan oleh Koch. Tetapi justeru Koch yang kena tombak dan keris dari Penghulu Muda, Koch tewas. Pertempuran usai setelah kedua belah pihak berjatuhan korban. Pertempuran selanjutnya terjadi pada 26 Desember 1861, dan dalam pertempuran ini Van Haldren tewas. Gerakan Baratib Baamal berkembang dengan pesat di daerah Amuntai – Balangan – Tabalong dan menjadi pusat perlawanan yang sangat ditakuti Belanda. Untuk mengantisipasi gerakan ini Belanda mengirim para ulama dan mufti yang memihak kepada Belanda untuk mencegah agar rakyat jangan ikut melawan terhadap pemerintah Belanda. Tetapi justeru sebaliknya karena ulama-ulama yang dikirim oleh Belanda ini justeru memberi restu dan doa terhadap mereka yang berjuang melawan Belanda.
18. Perang Barito Sampai Hancurnya Pagustian
Hasil pertemuan bulan September 1859 antara Pangeran Hidayat, Pangeran Antasari, Kiai Demang Lehman dan tokoh perjuangan lainnya di daerah Kandangan menetapkan bahwa Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di daerah Dusun Atas, sedangkan Tumenggung Jalil memperkuat pertahanan di Banua Lima, bersama Pangeran Hidayat. Di daerah Martapura dibawah pimpinan Demang Lehman dan tokoh-tokoh pimpinan masyarakat lainnya. Pangeran Antasari bermukim di daerah suku Dayak Siung Dusun Atas mendampingi Pimpinan suku Dayak Siung Tumenggung Surapati. Komandan kapal “Onrust” Van del Velde mengantarkan Surapati melihat-lihat meriam, begitu pula anak buah Surapati diajak melihat-lihat kapal perang itu. Menurut kesaksian Haji Muhammad Talib yang selamat dengan melarikan diri bersembunyi menceritakan bahwa kejadian terjadi pada siang hari 26 Desember 1859. Serdadu Belanda tidak merasa curiga dan mereka tidak mempunyai senjata, kecuali Van del Velde yang memiliki pedang tetap dipinggangnya. Letnan Bangert juga tidak bersenjata. Anak buah Surapati sudah tidak sabar lagi dan ketika Gusti Lias dengan perahu berada disisi kapal, Ibon putera Surapati menghunus mandaunya sambil berteriak teriakan perang dan ini berarti perang ‘amok” dimulai. Mandau Ibon mengenai Letnan Bangert dan jatuh tersungkur. Surapati menghunus mandaunya terhadap Van der Velde dan pertarungan pun terjadi dan berakhir dengan menjadi mayat Van der Velde. Selanjutnya kesaksian Haji Muhammad Thalib mengatakan bahwa teriakan perang itu menyebabkan anak buah Surapati berdatangan dengan perahunya mendekati kapal “Onrust”. Dalam waktu sekejab sekitar 400-500 orang anak buah Surapati telah berada di atas kapal dan pergumulan perkelahian terjadi. Dalam hal ini meriam dan senapan tidak berbunyi karena perkelahian terjadi dalam jarak dekat. Para pemimpin perang lainnya seperti Tumenggung Aripati, Tumenggung Maas Anom, Tumenggung Kertapati ikut mengamok di atas kapal Onrust tersebut. Perkelahian itu berlangsung hampir satu jam. Semua opsir dan serdadu Belanda yang berjumlah 90 orang berhasil ditewaskan dan kapal perang “Onrust” berhasil ditenggelamkan. Yang kemudian diketahui selamat adalah penghubung perundingan Haji Muhammad Thalib yang kemudian menceritakan apa yang terjadi atas kapal “Onrust” dan baru 31 Desember 1859 sampai Banjarmasin. Semua isi kapal perang itu sebelum ditenggelamkan diangkut, senapan, lila, meriam dan mesiu yang kemudian digunakan Tumenggung Surapati dan Pangeran Antasari untuk menembaki kapal-kapal Belanda yang lewat. Menurut catatan perang Belanda, bahwa kerugian yang paling besar diderita Belanda adalah dalam Perang Banjar, karena kapal perang berisi senjata beserta serdadunya terkubur bersama-sama ke dasar sungai Barito. Tenggelamnya kapal perang “Onrust” sangat mengejutkan dan menggemparkan pihak Belanda, sebaliknya menimbulkan semangat juang yang tinggi. Tumenggung Surapati adalah seorang putera suku Dayak Siung dilahirkan dilembah Sungai Kahayan, sekarang termasuk wilayah Kalimantan Tengah. Sebagai seorang kepala suku, dia terkenal dengan gelar Kiai Tumenggung Pati Jaya Raji. Tumenggung Surapati berjuang bersama-sama Pangeran Antasari dan dibantu oleh tokoh-tokoh pejuang lainnya seperti Tumenggung Singapati, Tumenggung Kartapata, Tumenggung Mangkusari dalam perang Barito untuk menghancurkan kekuasaan kolonialisme Belanda di daerah itu. Merekalah tokoh-tokoh pejuang yang menggerakkan rakyat Barito melawan Belanda dalam Perang Barito (1865-1905).157
157 Anggraini Antemas, ibid., hal. 61.
(Bersambung ke Bagian 10)

Sumber : Sejarah